Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Thursday, March 27, 2014

Tentang Film Divergent (2014)



   

“I don't want to be just one thing. I can't be. 
I want to be brave, and I want to be selfless, intelligent, and honest and kind. 
Well, I'm still working on kind” 
- Four - 

Pada dasarnya buku dan film adalah dua media yang sangat berbeda. Dan mengadaptasi cerita dalam sebuah buku menjadi bentuk visual memang gampang, gampang, susah. Tentunya tidak akan mudah menerjemahkan tiap lembar halaman buku menjadi sajian visual dengan durasi yg terbatas. Maka dari itu, film akan melakukan modifikasi disana-sini dan berusaha memaksimalkan durasinya yang sempit tanpa harus menghilangkan esensi dari buku itu sendiri. Nah bagaimana dengan adaptasi novel ‘Divergent’ karangan Veronica Roth ini?
Inti cerita dari ‘Divergent’ sendiri adalah tentang dunia (dalam bentuk kota Chicago) di masa depan dimana umat manusia dibagi menjadi 5 (lima) faksi berdasarkan sifat alamiahnya yaitu Dauntless (The Brave), Amity (The Peacefull), Candor (The Honest), Erudith (The Intelligent) dan Abnegation (The Selfless). Namun tidak semua orang cocok dengan ke-5 faksi tersebut, ada orang-orang tertentu yang punya sifat lebih dari satu faksi. Mereka dinamakan Divergent. Masalahnya Divergent itu dianggap mengancam, berbahaya dan harus dimusnahkan. Dan ketika proses tes pemilihan faksi dilakukan, Beatrice Prior (Shailene Woodley) menemukan dirinya adalah seorang Divergent.

 
 Adaptasi novel menjadi film memang semakin marak di kancah perfilman hollywood. Setiap tahun selalu ada film yg memang diadaptasi dari sebuh novel apalagi yg bertema young adult. Tapi entah mana yang lebih nikmat, baca novelnya dulu baru nonton filmnya atau sebaliknya. Untuk ‘Divergent’ ini, saya membaca novelnya terlebih dulu. Mungkin itu alasan terkuat kenapa saya mau nonton film ini. Tak dapat dipungkiri memang ketika menonton film yg diadaptasi dari sebuah buku sementara bukunya telah kita baca, kesan membanding-bandingkan pasti melekat di benak kita. Tapi pada kasus ini saya beruntung karena telah membaca novelnya terlebih dahulu. Kenapa?


Ya, karena bagi para penonton yg tidak membaca novelnya siap-siap untuk diajak berbingung ria. Ini terbukti dari 1-2 penonton disebelah saya yg sepertinya kebingungan mengenai arah film ini. Pertanyaan kenapa ini begini, awalnya gimana, maksudnya apa dsb tercetus dari mulut mereka. Hal ini cukup beralasan karena sepertinya Neil Burger (The Illusionist & Limitless) bersama penulis naskahnya Evan Daugherty & Vanessa Taylor seperti kurang cermat meramu bagian-bagian dari novel yang potensial sebagai aspek pembangun atensi penonton di paruh pertamanya. Temponya juga naik turun. Ketika temponya melambat Neil Burger terkesan melama-lamakan setiap scene yang justru tidak begitu penting dan bisa dipercepat. Namun disaat temponya mulai naik, justru banyak moment-moment esensial yang terlewatkan sehingga semuanya seperti berlalu begitu saja.
Masalah lainnya yang cukup mengganggu buat saya adalah film ini terlalu berfokus pada Beatrice ‘Tris’ Prior dalam perspektif yang sangat sederhana dan sempit. Hubungan keluarga, persahabatan, asmara (yang ini saya tidak peduli) & karakter2 disekitar Tris kurang begitu digali, Peter contohnya. Padahal hal itu merupakan element-element penting yang membangun kisah dari film pertama ‘Trilogi Divergent’ ini. 


Selain itu, ‘Divergent’ juga jatuh pada level yang serba tanggung. Penonton tidak diberi effort lebih untuk ikut peduli dan merasakan permasalahan yang diangkat dalam ‘Divergent’. Aspek-aspek ketegangan yang dibangun pun sangat tanggung. Padahal menurut saya, begitu banyak moment menegangkan dalam buku yang cukup potensial untuk diangkat. Sayangnya, selain banyak yang dihilangkan, ketegangan dalam ‘Divergent’ pun masih kurang menggigit. Contohnya saja, adegan-adegan pada saat proses inisiasi Dauntless berlangsung atau adegan bagaimana Tris dan Four mencoba kabur dan melakukan aksi penyelundupan yang dilakukan Tris harusnya bisa sangat menegangkan. Tapi ternyata tidak. Untungnya, scene-scene yang berfungsi mengundang tawa penonton mampu berjalan efektif. Walaupun tidak sampai gimana-gimana, setidaknya seisi bioskop cukup riuh dan terhibur. 


Dari segi cast-nya, memang lebih baik bila dibandingkan kemasan ceritanya. Shailene Woodley sebagai tokoh utama di film ini tampil cukup baik. Melihatnya mengingatkan kita akan sosok Katniss Everdeen di ‘The Hunger Games’. Gelagat sosok Tris ketika menjadi masih menjadi faksi Abnegation dan beralih menjadi faksi Dauntless mampu digambarkan Woodley dengan baik. Walaupun saya merasa sisi rapuhnya masih kurang tergali dan sosoknya malah terlihat sangat kuat. Yang cukup menarik justru Theo James yg berperan sebagai Four. Ya, di pikiran saya sosok Four itu memang seperti apa yang Theo James lakukan disini. Yang agak mengecewakan justru datang dari Jai Courtney dan Kate Winslet. Khusus untuk Jai Courtney, saya sangat mengharapkan dia menjadi sosok yang menyeramkan sebagai Eric yg terkenal dengan tatapan mata tajamnya. Kate Winslet? Kemunculannya memang sedikit tapi sebagai dalang utama dibalik semua kekacauan ini, saya merasa dia masih terlalu baik. Kurang kejam. Kurang dingin.
Sebenarnya dengan sedikit bersabar dan mencoba untuk menyatu dengan suasananya, film ini masih cukup menyenangkan. Setidaknya ini lebih baik dibanding ‘Beautiful Creatures’ atau ‘The Host’ yang rilis tahun lalu di periode yang sama dengan ‘Divergent’. Buktinya ‘Divergent’ langsung meraih posisi pertama tangga boxoffice di minggu pertamanya. Disisi lain, visualisasi kondisi Chicago dimasa depan juga lumayan, ada nuansa sendu disana. Scene-scene di detik-detik pertamanya malah tampil sangat meyakinkan menurut saya. 


Overall, film ini memang tidak jatuh pada level yang rendah (buruk). Memang masih dibawah ekpektasi, tapi tetap Ok koq. (Serius!) Cuma nggak luar biasa aja. Film ini hanya terjebak di bagaimana pemilihan element-element penting dalam buku diangkat dalam film. Dan bagaimana cara mengeksekusi cerita tanpa harus terkesan tanggung, dipaksakan dan terburu-buru dalam durasi yang sebenarnya cukup panjang, 139 menit.
Sebagai sebuah adaptasi novel dan pembuka sebuah trilogi, saya rasa ‘Divergent’ kurang berhasil membawa dunia ‘Divergent’ ini menjadi sesuatu yang akan menjadi hype di seri berikutnya (setidaknya buat saya). Ceritanya mungkin saja akan lain kalau saya langsung nonton filmnya saja tanpa membaca bukunya terlebih dulu. Akan menjadi tugas yang cukup berat untuk sekuelnya nanti, ‘Insurgent’. Semoga akan lebih baik.
Kita tunggu saja!!!

Monday, March 3, 2014

Catatan Nonton #Februari’14

OK, jadi sebelum merangkum daftar film yang saya tonton di bulan Februari kemarin, beberapa jam yang lalu pagelaran Oscar 2014 telah digelar. Pemenangnya pun telah diketahui, beberapa prediksi tentang pemenang Oscar kali ini pun sebagian besar mendekati kebenaran. ‘Gravity’ adalah film yang paling banyak mendapatkan piala pada Oscar kali ini, tercatat tujuh piala berhasil diboyong film arahan Alfonso Quaron + Best Director untuk sang sutradara. Dan berikut daftar pemenang Oscar 2014. Selamat buat para pemenang!
 
Best Picture
: 12 Years a Slave
Director : Alfonso Cuarón (Gravity)
Best Actor : Matthew McConaughey (Dallas Buyers Club)
Best Actress : Cate Blanchett (Blue Jasmine)
Best Supporting Actor : Jared Leto (Dallas Buyers Club)
Best Supporting Actress : Lupita Nyong'o (12 Years a Slave)
Adapted Screenplay : 12 Years a Slave
Original Screenplay : Her
Animated Feature : Frozen
Best Foreign Language Film : The Great Beauty
Production Design : The Great Gatsby
Cinematography : Gravity
Costume Design : The Great Gatsby
Documentary Feature : 20 Feet From Stardom
Documentary Short : The Lady in Number 6: Music Saved My Life
Editing : Gravity
Make-up and Hairstyling : Dallas Buyers Club
Original Score : Gravity
Original Song : Let It Go (Frozen)
Sound Editing : Gravity
Sound Mixing : Gravity
Visual Effects : Gravity
Animated Short : Mr. Hublot
Live Action Short : Helium

Selanjutnya beberapa film yang saya tonton di bulan Februari 2014 berikut review singkat yang selalu saya update via facebook. Dan setiap memasuki bulan baru selalu saya posting disini.
Check It Out!

Thor The Dark World (2013) (07/02/14)


Short Review:
“Berpindahnya kursi sutradara ke tangan Alan Taylor memberi kesan yg berbeda pd Thor. Dlm fase kedua dr 'Marvel Cinematic Universe' ini, Thor terasa jauh lebih ringan tapi lebih menyenangkan pada adegan action-nya. Overall, 'Thor: The Dark World' adalah sebuah kelebihan disatu sisi dan kekurangan yg sama disisi lainnya. Masih tetap menghibur dgn rasa film khas Marvel yg kita kenal”.
Skor: 3/5

Gravity (2013) (08/02/14)


Short Review:
Salah satu film terbaik di 2013. Masterpiecenya Alfonso Cuaron. Sedikit mengingatkan pd '2001: A Space Odyssey'-nya Stanley Kubrick. Sederhana pd naskah & premisnya, luar biasa pd aspek teknisnya. Sinematografi, scoring + suasana yg dibawa 'Gravity' adalah keindahan. Menontonnya sprti berada dlm roller coaster sebuah petualangan luar angkasa yg penuh ketegangan. Tak ketinggalan bintang utama sekaligus 'one woman show' yg tampil sangat, sangat baik, Sandra Bullock. Menyesal sekali waktu itu gak bisa nonton di bioskop.
Skor: 4,5/5

Enders Game (2013) (11/02/14)


Short Review:
 “Kisah aliens invasion yg dihadirkan 'Ender's Game' pd awalnya cukup menarik dgn pendekatannya yg berbeda. Hanya saja, konsep yg demikian tsb tdk didukung dgn pondasi cerita yg kuat, shg terdapat bagian2 kosong yg menimbulkan pertanyaan2 yg tdk pernah dijelaskan secara pasti (walaupun masih sedikit terobati di ending). Dgn kata lain (mungkin) film ini kurang mengekplorasi isi novelnya secara utuh. Tetapi, dr divisi cast-nya terutama Asa Butterfield, masih mampu tampil dgn performa apik meski masih terasa ada yg kurang”.
Skor: 2,5/5

All Is Lost (2013) (12/02/14)


Short Review:
'All Is Lost' sepertinya bukanlah tipe film yg bakal disukai penonton 'kebanyakan' bahkan cenderung dihindari (baca: bosan). Bagaimana tidak, film ini hanya mempertontonkan seseorang yg tua terjebak ditengah samudra. Tanpa dialog, minim scoring, depresif dan sangat sepi. Film ini berbeda dgn tipe film survival sejenis, ada kesederhanaan & unsur realistis yg coba dibangun J.C. Chandor disini. Dan efeknya cukup terasa. Tentunya, krna sang our man, Robert Redford sukses sbg 'one man show' dgn ekspresi, mimik dan segala tingkah lakunya, sbg seseorang yg mencoba bertahan hidup dilautan lepas dgn berbagai tantangan yg dihadapi.
Skor: 3/5

Warrior (2011) (17/02/14)


Short Review:
“Apa yg coba ditawarkan Gavin O'Connor dlm 'Warrior' adalah sesuatu yg sangat dalam. Tidak hanya bicara tentang pertarungan diatas ring, tapi lebih dari itu. Ada konflik keluarga yg sesungguhnya berpotensi mengaduk-ngaduk emosi penonton. Itu cukup berhasil terutama di bagian ending. Walaupun pd beberapa bagian naskah, ada hal yg terkesan membuatnya mengambang dan tdk berkembang. Tapi sejauh itu 'Warrior' adalah kisah drama terhebat buat para lelaki. Tom Hardy! You're my favorite”.
Skor: 3,75/5

Free Birds (2013) (18/02/14)


Short Review:
'Free Birds' punya konsep menarik dr segi cerita apalagi ada unsur time travel yg diusung. Sayangnya, eksekusinya justru terlalu sederhana dan menyebabkan 'Free Birds' terjebak dgn animasi2 kebanyakan. Berpotensi tp tdk maksimal, menghibur tapi sebatas saat menontonnya saja, forgettable & tdk berkesan lama.
Skor: 2/5

Argo (2012) (20/0214)


Short Review:
'Argo' adalah salah satu pencapaian Ben Affleck sbg sutradara yg patut diapresiasi. Pada akhirnya, best picture oscar 2013 memang dimenangkan film ini. Filmnya memang predictable, tp film ini berbicara tentang proses. Dan Ben Affleck berhasil mengemas proses tsb menjadi sebuah sajian kisah penyelamatan yg menegangkan, menghibur tanpa kehilangan embel2 'berdasarkan kisah nyata' + muatan2 politisnya. Kemajuan pesat buat Ben Affleck sbg seorang sutradara. Argo f**k yourself!
Skor: 3,75/5

12 Years a Slave (2013) (26/02/14)


Short Review:
“Tak berlebihan jika menyebut '12 Years A Slave' jadi salah satu kandidat kuat peraih 'Best Picture Oscar' tahun ini. Dgn naskah yg ditulis John Ridley, Steve McQueen tahu betul cara mengeksekusi jalinan cerita menjadi tontonan berkualitas. Kisah perbudakan yg juga cukup sering diangkat oleh film2 hollywood menjadi punya rasa berbeda. Depresif, suram, pedih, brutal tp tetap punya kadar emosi yg dalam. Moment2 dr scene2 yg memilukan berkolaborasi dgn scoring Hans Zimmer yg membuat suasana semakin kelam. Great! Tapi kenapa film2 sprti ini selalu telat tayang di bioskop tanah air?”
Skor: 4/5

The Game (1997) (27/02/14)


Short Review:
“Dibandingkan 'Se7en' atau 'Fight Club', 'The Game' memang kalah pamor. Tapi keasyikan nonton filmnya David Fincher masih sangat terasa disini. Seperti biasa Fincher selalu membawa kita masuk ke dlm jiwa si tokoh utama dan dikejutkan di akhir cerita dgn twist-nya yg kadang tak pernah terduga. Itulah kenapa saya sangat suka sama sutradara yg pada tahun ini filmnya juga bakal keluar, 'Gone Girl' (CAN'T WAIT!). 'The Game' sendiri masih membawa aura thriller gelap dgn sentuhan psikologis. Dan dentingan pianonya itu... ? Sedikit spoiler tentang 'The Game': Kalau anda sadar, sesungguhnya judulnya saja sudah sangat spoiler”.
Skor: 3,5/5

Frozen (2013) (27/02/14)


Short Review:
“Disaat sang bawahan 'Pixar' mengalami penurunan kualitas dlm menghasilkan film2 animasi pasca 'Toy Story 3'. Disney justru mampu kembali bangkit. Diawali 'Tangled', 'Wreck-It Ralph' dan kini, 'Frozen'. 'Frozen' mengembalikan lagi kenangan film2 animasi Disney yg kita kenal. Elemen2 klasik khas Disney sangat terasa dan cukup efektif dibawa dlm lingkup yg lebih modern. Tidak hanya parade visual, alur cerita dgn sedikit twist, ada sajian musik khas broadway yg turut memeriahkan 'Frozen' + Olaf yg tampil menghibur. So, akankah 'Frozen' jdi film animasi terbaik di ajang Oscar tahun ini?”
Skor: 4/5

Gambar diambil dari sini.