Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Tuesday, April 8, 2014

Tentang Film Captain America: The Winter Soldier (2014)




This isn’t freedom. This is fear!
- Steve Rogers -

Cukup banyak ternyata yg masih memberi nada negatif kehadiran superhero satu ini diawal kemunculannya. Secara, ‘Captain America: The First Avenger’ yg dirilis 2011 lalu tidak cukup memuaskan ekpektasi mereka mengenai bagaimana seorang superhero beraksi disebuah layar.  Tidak seperti superhero Marvel yang lainnya, ‘Captain America: The First Avenger’ hadir dgn setting jadul, adegan aksi yg terasa masih kurang spektakuler dan tentunya karakter Captain America sendiri yg masih disangsikan letak superheronya dimana. Dalam arti, dibanding superhero Marvel lain macam Iron Man atau Thor, Captain America mungkin sosok yg paling tidak punya kekuatan istimewa kecuali perisai supernya itu. Kecuali anda penggemar Marvel, hal-hal itu tentu tidak akan menjadi masalah. Tapi ternyata tidak buat para penonton yg beranggapan demikian. Saya sendiri tidak mempermasalahkan hal-hal seperti diatas, asalkan ketika menonton film bertema superhero saya mengalami pengalaman nonton yg baru saya tidak mempedulikan superhero ini punya kekuatan apa, superhero itu punya kekuatan apa. Dan kali ini saya berani bilang bahwa apa yg orang-orang katakan mengenai Captain America di ‘The First Avenger’ salah besar disekuelnya ini, ‘The Winter Soldier’.


Dua tahun pasca pertarungan dahsyat dlm ‘The Avengers’, Captain America (Chris Evan) dibantu agen Natasha Romanoff aka Black Widow (Scarlett Johansson) menjalankan sebuah misi S.H.I.E.L.D. dlm sebuah kapal yg disinyalir mengalami pembajakan. Keberhasilan misi tsb ternyata hanyalah awal dari sebuah kekacauan baru, sebuah konspirasi hitam didalam tubuh S.H.I.E.L.D. sendiri, keraguan sang Captain atas apa yg dirahasiakan darinya ditambah munculnya sosok masa lalu yg mengerikan, villain baru (yg pada saat melihat trailer saya sudah jatuh hati sama karakter ini), The Winter Soldier. Nick Fury (Samuel L. Jackson) yg tengah diburu sang villain menaruh kepercayaan pada Steve Rogers utk mengungkap tabir dibalik semua konspirasi itu. Ditengah menghilangnya kepercayaan, Steve beruntung karena masih ada Natasha Romanoff dan teman berlarinya, Sam Wilson aka Falcon (Anthony Mackie) yg membantu menyingkap konspirasi tersebut. Apa yg terjadi, siapa dalangnya dan apa bahayanya.


Apa yg membuat line-up superhero Marvel menjadi begitu hebat ketika dijadikan live action adalah bahwa Kevin Feige (Presiden Marvel Studio) bersama semua jajaran2ya sudah punya konsep dan visi yg jelas mengenai adaptasi komik yg mereka buat. Dgn embel-embel Marvel Cinematic Universe-nya (dan digadang-gadang akan berlangsung sampai 2028 kelak), mereka semua sudah tahu apa yg harus mereka lakukan ke depan. Hal ini berbanding terbalik dgn pesaing utamanya, DC Comics. Yang walaupun sempat menghentak lewat ‘The Dark Knight’, namun sehabis itu Marvel justru semakin jauh didepan meninggalkan pesaingnya itu.
Semenjak Marvel Cinematic Universe fase ke-2 bergulir, diawali dgn kemunculan Iron Man 3, Thor 2: The Dark World sampai Captain America: The Winter Soldier (dan masih menyisakan 'Guardians of the Galaxy' Agustus nanti), perubahan tone sangat, sangat terasa dlm film2 Marvel. Kalau ditanya siapa yg terbaik, saya akan bilang filmnya Steve Rogers yg baru ini. Bahkan dgn superhero solo Marvel lainnya. Dan kita tidak akan menyangka bahwa orang dibalik kehebatan ‘The Winter Soldier’ adalah dua kakak-beradik, Anthony Russo & Joe Russo yg justru tidak punya track record menggarap film sci-fi apalagi superhero.


Sangat berbeda dengan prekuelnya, dgn bantuan naskah Christopher Marcus & Stephen McFelly, ‘The Winter Soldier’  dibawa Russo bersaudara dlm ranah spy thriller, espionage ala-ala Bourne & Bond lengkap dengan segala intrik politik dan konspirasi didalamnya, fighting scene ala-ala ‘The Raid’ (dan memang diakui sendiri oleh mereka bahwa film ini terinspirasi ‘The Raid’). Tanpa menghilangkan signature-nya sbg superhero, hal-hal tadi sangat berpengaruh terhadap gaya bercerita Captain America kali ini. Semakin kompleksnya cerita + nuansa kelam yg coba dihadirkan menjadi tontonan yg segar sekaligus menegangkan. Dan jangan aneh (walaupun tidak sampai hilang) bila ‘The Winter Soldier’ meminimalisir  humor-humor yg sering kita saksikan dlm film-filmnya Marvel.
Dengan penampilan barunya (yg pasti lebih segar dibanding yg dulu), Chris Evan (ditengah gonjang-ganjing isu pensiunnya) kembali membawa kharisma sang Captain dgn aura soldier & leadership yg dimilikinya ke tingkat yg lebih tinggi dari sebelumnya. Kehadiran Scarlett Johannsson yg memang mendapat porsi lebih disini, makin membuat saya betah nonton film ini. Sosok Nick Fury juga mendapat porsi yang lebih. Kalau Iron Man punya Tony Stark yg nyeleneh dan Thor punya Loki sbg pemancing tawa, maka dlm Captain America ada sosok Falcon yg diperankan cukup baik oleh Anthony Macki. Cukup mencairkan suasana ditengah tampilan Steve Rogers yg senderung serius. Sang villain, The Winter Soldier juga berhasil diperankan Sebastian Stan. Walaupun tidak sebesar namanya yg dipakai judul utama (karena ternyata perannya memang tidak sebanyak yg saya perkirakan) tapi sosoknya tetap mampu mencuri perhatian buat saya apalagi dia juga berperan sbg villain dramatis yg sedikit banyak memberi dampak emosional yg lain.


Kalau dulu, di film pertama kita masih menganggap aksinya kurang greget maka tidak kali ini. Dan jangan ragukan kemampuan Russo bersaudara yg memang lebih banyak mengarahkan komedi, krna adegan aksi Captain America ini sangat spektakuler. Kombinasi adegan aksi, ledakan dan special efek dihadirkan secara konsisten dan proporsional. Ya, itulah kunci keberhasilan film ini. Keputusan meminimalisir efek CGI juga menjadi alasan kuat. Hasilnya, koregorafi cantik dgn teknik shoot dan editing yg ok punya. Bukan hanya dosis dan skalanya yg sudah ditingkatkan, ‘Captain America: The Winter Soldier’ adalah sebuah hiburan superhero yg akan memberi kesan lain dan berbeda. Cool!
P.S. jangan beranjak dulu sampai credit scene berakhir karena ada dua scene tambahan khas Marvel yg menanti.

Friday, April 4, 2014

Tentang Film The Raid 2: Berandal (2014)



 You apologize! In their language, in our land!
Where is your honor?
 - Uco -

Pada awalnya ‘Berandal’ adalah sebuah proyek ambisius seorang Gareth Evans pasca ‘Merantau’ (yg sesungguhnya) tidak ada sangkut pautnya dengan ‘The Raid’ a.k.a. ‘Serbuan Maut’. Bahkan naskah film ini sudah selesai berikut sebuah teaser yg sudah dirilis jauh sebelum ‘The Raid’ dibuat. Hanya saja karena berbagai kendala produksi yg dialami, ‘Berandal’ mengalami proses penundaan. Hingga akhirnya Merantau film memutuskan membuat film lain yg lebih simple & minim budget, dan kita tahu itu adalah ‘The Raid’. Hasilnya?
2 tahun lalu, ‘The Raid’ adalah sebuah fenomena dalam perfilman Indonesia. Tak disangka plot yg begitu sederhana, set yg hanya disatu tempat, mampu tampil spektakuler dan menghentak perfilman tanah air bahkan dunia. Hingga Sony Pictures Classics-pun tak ragu membeli hak edar film ini. Segenap prestasi dan kesuksesan yg diraih ‘The Raid’ seakan memberi lampu hijau buat proyek Gareth Evans yg sempat tertunda. And this is it, ‘Berandal’. A sequel of The Raid.
Mengambil setting 2 jam setelah kekecauan yg terjadi dalam ‘The Raid’, Rama (Iko Uwais) kembali harus berhadapan dengan kenyataan bahwa saat ini ia tak bisa hidup normal lagi. Demi keselamatan dirinya terutama keluarganya, ia menerima saran kakaknya Andi (Doni Alamsyah) utk menemui Bunawar (Cok Simbara), seorang polisi veteran yg berniat menggali informasi mengenai para polisi2 korup yg terlibat dengan sindikat mafia kelas kakap di Jakarta dibawah pimpinan Bangun (Tio Pakusadewo) dan Goto (Kenichi Endo). Tugas yg awalnya terlihat mudah karena Rama hanya menyamar dan masuk ke sindikat mafia Bangun dgn mendekati anaknya, Uco (Arifin Putra) justru menjadi begitu rumit. Ditambah lagi ada Bejo (Alex Abbad) seorang pimpinan gangster lain yg berniat menguasai dunia hitam tersebut



Dengan konsep yg sudah tersedia dan tinggal menyambungkan dengan benang merah ‘The Raid’ sepertinya pekerjaan Gareth Evans kali ini akan cukup mudah. Dan seperti yang telah ia gembar-gemborkan sebelumnya, bahwa sekuel ‘The Raid’ akan jauh lebih kompleks dari sebelumnya ditambah skala yg lebih besar di semua aspek. Ya, kenyataannya memang demikian.
Kalau dulu, kita hanya menganggap plotnya biasa-biasa saja dan terkesan dangkal. Sekarang Evans menyuguhkan sebuah plot lebih kompleks. Ada nafas-nafas ala ‘The Godfather’ dan ‘Infernal Affairs’ disana. Melibatkan perebutan kekuasaan, revenge, dad-son relationship dan dilema seorang undercover. Dosis ceritanya memang telah ditingkatkan. Awalnya saya masih meraba-raba arah cerita film ini tapi ternyata setelah ditilik lebih jauh ceritanya bisa dibilang sederhana, justru terkesan dragging dibeberapa bagian. Mungkin aspek ceritanya tidak menyentuh level yang spektakuler tetapi tetap mampu menghadirkan sebuah drama kriminal yang menyenangkan. Temanya sendiri terbilang jarang diangkat oleh film-film Indonesia.
Mungkin aspek ceritanya tidak memuaskan, tapi percayalah untuk yang ini, ekpektasi tinggi kita dilampaui begitu saja. Ya, inilah DNA-nya ‘The Raid’, fighting scene. Kalau dulu, kita hanya melihat baku hantam didalam sebuah apartemen tua. Sekarang sudah merambah ke berbagai lokasi dan tidak terbatas hanya disitu saja. Lapangan penjara, toilet, jalanan, bar, pabrik film porno, dapur dan masih banyak lagi. Ditambah sebuah adegan car chase (yg jujur saya bilang itu keren banget!). Shelter busway yg rusak di trailernya, sepertinya tidak ada apa-apanya disini. Benda apapun bisa dipakai untuk membunuh, darah darah dimana-mana, tulang-tulang retak dan patah, sayatan-sayatan yang merobek kulit dsb disajikan dengan sangat brutal dan ekstrim. Pertarungan-pertarungan epik dan memompa spot jantung yg lebih brutal dari sebelumnya. Sampai tiba di bagian final fight antara Rama dan The Assasins dgn kerambitnya (Karambiak: Minang) yg mengingatkan kita pertarungan threesome ‘The Raid’ dulu (Rama, Andi & Mad Dog).


Selain itu, karakter-karakter yg ada juga lebih beragam. Yang paling ikonik tentu duo kaki tangan Bejo yg jadi scene stealer, Hammer Girl (Julie Estelle) dan Baseball Bat-Man (Veri Tri Yulisman). Gareth Evans pun juga menghadirkan unsur drama yang kental kali ini. Bahkan sosok menyeramkan Mad Dog pun dikasih porsi drama disini lewat perannya sbg Prakoso. Tapi seberapa hebat apapun sebuah karakter tidak akan berarti apa-apa jika tidak diisi penampilan gemilang ensemble cast-nya.
Dukungan aktor-aktor baru, baik junior maupun senior tampil cukup memukau, baik itu peran yang penting maupun cuma numpang lewat. Iko Uwais memberi peningkatan dalam memerankan Rama. Julie Estelle juga mampu memberi teror yg kuat walau tidak berbicara. Veri Tri Yulisman tampil cool dengan pemukul baseball-nya (Sini, bolanya!). Cecep Arif Rahman sbg The Assasin mampu menampilkan kemampuan silat terbaiknya. Pertarungan terakhirnya dgn Iko menjadi pertarungan silat paling memorable kali ini. Dan yang patut diapresiasi lebih tentunya Arifin Putra yg berperan sebagai Uco yg mampu mengekplorasi karakternya sebagai sosok anak bos mafia ambisius, berwajah dingin sekaligus kejam.
Aspek teknis disini juga mengalami peningkatan yg besar. Cinematografinya lebih dahsyat. Lebih cantik, kalau saya bilang. Angle-angle kamera yg diambil entah yg bergerak lambat atau cepat mampu menyajikan ketegangan yg intens. Scoringnya juga bekerja dengan baik. Dan semakin menambah kekayaan film ini. Film action paling cantik yg pernah saya tonton.
Kalau dalam ‘The Raid’ yg memang tersaji pure non-stop action sehingga membuat kita tidak bisa bernafas lega, dalam ‘Berandal’ tidak demikian. Jadi tidak usah khawatir buat penonton yg suka shock kalau nonton film beginian. Kita masih bisa bernafas lega dalam waktu yg cukup lama. ‘Berandal’ mempunyai unsur dramatisasi yang coba digali kali ini dan yang lebih mengejutkan banyak kekonyolan disini. Semakin konyol karena penonton lain saat itu begitu ekpresif merespon scene-scene tadi bahkan yang tidak patut ditertawakan sekalipun. Bagaimana tidak, sempat-sempatnya mereka bilang “Ciye! Ciye!” waktu Rama membunuh Uco. Dan begitu lepasnya tawa mereka melihat acara makan malamnya Mamang Yayan Ruhiyan dengan Marsha Timothy. Padahal menurut saya itu usaha yang sangat bagus dari seorang Yayan Ruhiyan yg mencoba untuk tampil lebih dramatis daripada hanya sekedar bak-bik-buk saja. Tapi saya cukup terhibur juga dgn kelakuan para penonton waktu itu, setidaknya itu mampu mengendurkan urat saraf para penonton yg menegang saat adegan aksi yg di tampilkan di layar & mengganti kata-kata umpatan dgn tawa. Buat saya, moment lucu itu muncul dari scene salju waktu Prakoso mati. Scene salju itu memang manis sekaligus melankolis tapi Evans dgn beraninya menampilkan gerobak dorong jualan abang2 khas di Indonesia + ada tulisannya saya lupa lagi, entah mie ayam, lomie ayam atau apa itu (LOL). 


Selain hal-hal tadi, yg cukup annoying dalam ‘Berandal’ buat saya adalah saya masih bisa menemukan formula-formula klise khas film action disini. Dalam arti, sosok pahlawan yg terlalu tangguh dan sulit sekali dibuat mati. Ya, Rama terlalu tangguh kali ini. Ambil contoh [SPOILER!], sebelum melakukan aski penerobosan ke sarang Bejo. Rama sudah terluka terlebih dulu bahkan lengannya sempat robek waktu dia bertarung dengan para polisi. Tapi setelah itu, dia masih bisa bertarung sekan tidak terjadi apa-apa dan malamnya dia beraksi sendirian menghabisi musuh-musuhnya. Kurang hebat apalagi coba? Memang bukan problem besar dan sepertinya hal lumrah utk genre action, tapi menurut saya Rama yg dulu jauh realistis dari yang ini bahkan saya dibuat peduli pada nasib karakternya ini. Saya berharap semoga saja detail-detail seperti ini bisa diperhatikan Evans di film selanjutnya.
Finally, ‘Berandal’ adalah sebuah film yg memuaskan. Seorang Gareth Evans memang tahu sekali cara memperlakukan sebuah sekuel yg sudah sangat ditunggu orang-orang dengan berbagai ekpektasinya. Menaikkan kelas dan levelnya jauh lebih tinggi dari predesesornya. Terlepas dari berbagai kekurangan (yg sesungguhnya) tidak begitu menjadi masalah, ‘Berandal’ mampu membuat saya bangga nonton film Indonesia. Sehingga ketika film ini berakhir, saya tidak tahan untuk tidak bertepuk tangan (hal yang jarang saya lakukan di bioskop). Cukup sulit juga menerima kenyataan bahwa credit scene telah bergulir dan film ini telah usai. Rasanya ingin terus melihat pertarungan lewat seni beladiri silat ini lagi, lagi dan lagi.

Tuesday, April 1, 2014

Catatan Nonton #Maret’14



Masih melanjutkan postingan yang sudah-sudah. Catatan nonton kali ini berlanjut di edisi bulan Maret. Untuk bulan ini beberapa film yg saya tonton adalah film yg dapat nominasi Oscar beberapa waktu lalu dan film-film Peter Jackson yg mengadaptasi buku J.R.R. Tolkien. Ada ‘Divergent’ juga yang saya tonton di bioskop + review singkat tentang bukunya. Sisanya bisa dilihat selanjutnya.
Check it out!

Saw (2004) (04/03/14)


Short review:
“10 tahun lalu, sebelum nama James Wan mencuat lewat film2 horrornya. Bersama Leigh Wannel, Wan membuat sebuah kisah horror-gore sadis yg berkembang jd sebuah franchise sukses yg digemari dan telah berakhir di seri ke-7 tahun 2010 lalu, 'Saw'. Dan seri pertamanya ini adalah seri terbaik dr franchise 'Saw'. Tidak hanya jualan kesadisan + darah. Ada sentuhan2 psikologis dlm balutan misteri & thriller yg membuat setiap scene jd begitu menegangkan + twist yg membuat film ini jd shocking movie ending
Skor: 3,75 / 5

American Hustle (2013) (05/03/14)


Short review:
'American Hustle' boleh saja kalah telak saat perhelatan Oscar 2014 kemarin. Tapi walaupun begitu, 'American Hustle’ tetaplah sebuah film khas David O. Rossell yg keren, berkualitas Oscar sprti film2 Rossell sebelumnya. Mengambil tema con-artist, tentunya dgn berbagai intrik & penipuan disana-sini, dibumbui dark comedy & humor2 satir lengkap dgn twist-nya, menjadikannya sebuah rangkaian cerita yg tertata rapi. Semakin berhasil krna diisi taburan bintang yg tampil sangat2 baik. Studi masing2 karakter & chemistry yg terjalin apik. Dandanan yg sangat nyentrik, musik khas '70-an, semakin menambah keeksentrikan film ini. Cool!
Skor: 4 / 5

Dallas Buyers Club (2013) (06/03/14)


Short review:
'Dallas Buyers Club' berhasil menempatkan dua aktornya menjadi yg terbaik di ajang Oscar kemarin, Matthew McCounaghey & Jared Leto. Tapi bukan hanya performa cast-nya saja yg kuat, plot yg dibangun 'Dallas Buyers Club' jg tampil sama baiknya. Berkisah mengenai perjuangan seseorang yg divonis mati krn mengidap virus HIV. Inspiratif, pastinya. Tapi sangat berbeda dgn film2 sejenis. Dgn aura depresif yg kental, studi karakter yg dalam dan sedikit sentilan isu sosial yg tengah berkembang di masyarakat dlm bidang kesehatan. Film ini bukanlah kisah biopik yg berujung tentang kepedihan semata, banyak unsur yg akan membuat penonton menyukainya. P.S. Walaupun berhasil mencuri perhatian, agak geli juga melihat si vokalis '30 Seconds to Mars' jd waria.
Skor: 3,75 / 5

Oldboy (2003) (07/03/14)


Short review:
Sbg seseorang yg sangat tdk menggemari Korea, saya berani menyebut 'Oldboy' sbg salah satu film Korea terbaik yg pernah saya tonton. Bahkan remake hollywoodnyapun 2013 lalu tdk sanggup melampaui film ini. Dirilis tahun 2003, seri kedua dr 'Vengeance Trilogies' ini punya kelas ala film2 hollywood baik dr sisi teknis maupun non-teknis. Kisah balas dendam yg sangat apik, mengeksplor sisi tergelap manusia, begitu memorable (apalagi mimik Dae-Su di ending film), menyakitkan, sadis, mengejutkan dgn berbagai twist-nya dan pastinya menyesakkan bahkan sampai film ini telah berakhir. Shocking movie ending!
Skor: 4 / 5

The Silence of the Lambs (1991) (18/03/14)


Short review:
Para juri Oscar di tahun 1992 punya alasan yg cukup kuat ketika menobatkan 'The Silence of the Lambs' sbg Best Picture Oscar di tahun tsb. Padahal film ini bukanlah tipikal film2 pemenang Oscar (baca: thriller). Sbg genre film favorit, 'The Silence of the Lambs' memberikan semua hal yg menjadi kenikmatan saat menonton film thriller. Ketegangan, plot dan karakter memorable yg hanya dgn gestur, tatapan mata & cara dia berbicara sudah sangat mengerikan (Hannibal Lecter). Dgn sedikit sentuhan horror, pola2 khas psikopat dan pastinya darah, serta dukungan aspek teknis dan non-teknis yg bekerja efektif, film ini adalah film thriller terbaik di era 90-an.
Skor: 4,5 / 5

Fantastic Mr. Fox (2009) (20/03/14)


Short review:
Bukan hanya dr segi kuantitasnya saja, film2 animasi di thn 2009 juga mampu berbicara lewat kualitas. Salah satunya animasi stop-motion arahan Wes Anderson, 'Fantastic Mr. Fox' ini. Dgn gaya nyentriknya, Wes Anderson menyulap cerita dr buku anak2 karya Roald Dahl menjadi tontonan yg menyegarkan. Plotnya lumayan, tdk terlalu spesial tapi asyik, cukup imajinatif. Tampilan grafis yg ok, para pengisi suara yg keren, dialog2 humor + komedi yg lucu, musik2 yg catchy dan tentunya pesan2 moral khas film animasi yg memang selalu ada dlm genre film ini.
Skor: 3,5 / 5

The Wolf of Wall Street (2013) (20/03/14)


Short review:
Lupakan durasinya yg menyentuh 3 jam dan berpotensi melelahkan untuk diikuti. Tapi percaya hal ini tdk terjadi kalau Martin Scorsese yg ada dibelakangnya. Kolaborasi ke-5 kalinya bersama Leonardo Di Caprio ini mungkin akan menjadi yg paling gila, segila-gilanya. Tak ada lagi gangster2 eranya Robert De Niro. Berganti menjadi penjahat kriminal berdasi, rapi & berambut klimis. Narasinya cukup thought-provoking mengenai kehidupan kaum hedonis yg mendewakan uang. Masih tetap dgn unsur black comedy yg kental, satir & lucu.
Skor: 4 / 5

The Hobbit: An Unexpected Journey (2012) (22/03/14)


Short review:
Memutuskan membuat adaptasi bukunya yg hanya setebal 300-an halaman menjadi sebuah trilogi film mungkin menjadi keputusan kontroversialnya, tp sepertinya Peter Jackson punya pendapat lain. Ya, walaupun dibeberapa bagian film terasa membosankan dan terkesan dipanjang-panjangkan. 'An Uexpected Journey' tetaplah sebuah perjalanan yg menyenangkan. Dunia fantasi imajinasi J. R. R. Tolkien beserta makhluk2 unik didalamnya mampu divisualisasikan dgn indah & detail. Dan 'An Unexpected Journey' mungkin saja hanya dimaksudkan sbg pengantar utk petualangan2 seru & mengejutkan diseri selanjutnya.
Skor: 3 / 5

The Hobbit: The Desolation of Smaug (2013) (23/03/14)


Short review:
Sebuah peningkatan ketika membandingkan seri pertamanya yg lebih mengedepankan adventure ride dibanding action scene-nya. 'The Desolation of Smaug' juga mempunyai penceritaan yg lebih kelam dibanding predesesornya yg terkesan kekanak-kanakan. Membuat plot semakin kompleks dgn berbagai sub-plot yg hadir, walaupun tidak sampai mencapai klimaks. Mungkin hal ini memang disengaja krna puncaknya 'Battle of Five Armies' akan hadir di installment ketiga 'There & Back Again'. Semoga saja film ketiganya nanti akan tampil spektakuler sprti pendahulunya, 'The Lord of The Rings'.
Skor: 3,5 / 5

The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring (2001) (23/03/14)


Short review:
Siapapun tak akan menyangkal kalau LOTR adalah salah satu trilogi film terhebat yg pernah ada. Menyaksikannya lg dlm versi extended, yg durasinya lebih lama masih menjadi pengalaman menonton yg menyenangkan. (Hobbit, dwarf, elf, wizard, etc) dan keindahan middle earth masih tetap segar dimata. Sinematografi & scoring yg membuat semuanya terasa epik. Peter Jackson memang orang yg tepat menerjemahkan tiap lembar halaman karya J. R. R. Tolkien menjadi bentuk visual. Ibarat makanan, 'The Fellowship of the Ring' adalah appetizer lezat sebelum menyantap menu utamanya.
Skor: 4 / 5

The Lord of the Rings: The Two Towers (2002) (25/03/14)

Short review:
Filmnya memang berdurasi sangat lama apalagi versi extendednya. Filmnya juga sudah lebih dari satu dekade lalu. Tapi tetap saja hal itu tdk menyurutkan kesenangan menonton film ini kembali. Kesan kolosal & megah sangat terasa di 'The Two Towers'. Siapapun pasti ingat betapa epiknya pertempuran melawan Orc / Uruk-Hai itu. Peter Jackson jg kembali berhasil meramu film ini menjadi lebih memorable dibanding yg pertama. Scene2 yg manis + selipan2 humor yg catchy jg turut andil membuat film ini tdk membosankan. Terus ada Gollum yg diperankan Andy Serkis yg tampil keren
Skor: 4 / 5

Divergent (2014) (26/03/14)


Short review:
Mungkin sedikit dibawah ekspektasi bagi yg sudah membaca novelnya. Walau Neil Burger punya track record yg cukup bagus lewat 'The Illusionist' & 'Limitless', tp disini dia justru seperti kebingungan mengemas cerita 'Divergent' itu sendiri. Selain banyak element2 penting dlm buku yg ia hilangkan, eksekusi yg ia lakukan juga terkesan dipaksakan dan terburu-buru. Hasilnya, semua jadi terasa tanggung. Overall, tdk buruk juga sebenarnya dan 'Divergent' juga tdk jatuh pd level yg rendah & mengecewakan. Masih cukup layak utk disimak. Hanya saja, film ini tdk cukup kuat utk memberi hype yg besar di sekuelnya nanti. Ya, 'Insurgent' punya tugas yg cukup berat memang. Review lengkapnya bisa dilihat  disini
Book review (19/03/14):
Kisah2 fiksi tentang 'Dystopia' selalu menarik untuk diikuti (IMO). Premisnya sendiri tak jauh dr pergolakan dlm sistem pemerintahan & kekuasaan, pemberontakan, diskriminasi sosial dsb. Sedikit mengingatkan 'The Hunger Games'-nya Suzanne Collins, walaupun ide & konsep 'Divergent' sendiri berbeda. Nuansa coming of age-nya cukup terasa, dibumbui romansa & aksi2 menegangkan dgn plot yg bergerak perlahan. Menempatkan 'Tris' Prior di garda terdepan sbg sosok hero yg kuat disatu sisi dan rapuh disisi lainnya. Dlm filmnya nanti, Shailene Woodley yg akan berperan sbg Tris. Tentang apa itu 'Divergent' memang masih menjadi misteri disini. Tapi salut buat Veronica Roth yg nulis buku ini waktu ia masih kuliah.
Skor: 2,75 / 5



The Lord of the Rings: The Return of the King (2003) (27/03/14)


Short review:
Peraih 11 piala Oscar. Film terlaris ke-7 sepanjang masa. imdb rating: 8.9, tomatometer: 94% & metascore: 94. Epic, setidaknya itulah kata yg menggambarkan film ini. Penutup spektakuler dr rangkaian trilogi LOTR bahkan lebih baik dr seri sebelumnya. Hal yg jarang dilakukan trilogi2 film yg lain. Adanya 'The Return of the King' semakin menasbihkan LOTR sbg salah satu trilogi film terbaik dan terhebat yg pernah ada. Bahkan 'The Hobbit' pun, walau dibuat orang yg sama dan dibuat dimasa yg lebih canggih tdk sanggup menandinginya. Kado terindah dr Peter Jackson buat semua penikmat & pecinta film di seluruh dunia. Tak terkecuali buat saya.

Skor: 4,5 / 5