Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Monday, June 30, 2014

Catatan Nonton #Juni’14



Sebuah penurunan kuantitas menonton bila dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Bulan Juni kemarin hanya sedikit film-film yang sempat saya tonton dan cuma beberapa yang di-share disini (alamat mulai males nih kayaknya, hehe). Tapi ya, semoga saja ke depannya bisa konsisten lagi. Ok, berikut film-film yang masuk edisi ‘Catatan Nonton’ kali ini. Check this out!

The LEGO Movie (2014) (01/0614)


Short review:
Everything is AWESOME! 'The LEGO Movie' itu kayak semacam hadiah buat para penggemar permainan bongkar pasang paling populer ini. Dan mungkin semua orang yg pernah memainkannya walaupun merknya bukan 'Lego'. Sprti 'Wreck-It Ralph' yg mengingatkan kita sama zaman arcade game dulu., 'The LEGO Movie' jg melakukan hal yg sama. Dgn bantuan teknologi CGI-nya, kita benar2 dibawa dlm dunia lego yg penuh imajinasi dan kreativitas. Seru, cantik & penuh warna. Diisi cameo karakter2 terkenal dan disuarakan aktor-aktris yg ok juga. Template from zero to hero-nya mungkin biasa, tapi bersabarlah sampai kita kena efek twist-nya.
Skor: 4/5

x-Men: Days of Future Past (2014) (02/06/14)


Short review:
Sepertinya Bryan Singer berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu saat melepas film ke-3 X-Men ke tangan Brett Ratner. Ya, Setelah sempat terjatuh akibat ‘The Last Stand’ kemudian dibangkitkan kembali lewat ‘First Class’ dan sekarang ‘Days of Future Past’, para mutan yang terkumpul dalam X-Men ini kembali punya arah yang jelas. Puncaknya mungkin akan hadir di ‘Apocalypse’ nanti. Tapi sejauh ini, ‘Days of Future Past’ adalah film X-Men yg paling menyenangkan. Benang merah dari keseluruhan film X-Men yg ada. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor: 4/5

Killers (2014) (12/06/14)


Short review:
Percaya atau tidak bahwa dlm diri setiap orang terdapat sisi gelap yg suatu saat bisa saja muncul dan berkuasa. 'Killers' adalah salah satu jawaban dr pernyataan itu. Sebuah perjalanan eksplorasi sisi gelap manusia tempat monster mengerikan itu bersemayam. "Inside Us Lives a Killer", tagline provokatif yg sudah mengisyaratkan bagaimana 'Killers' akan bekerja. Setelah sukses mencuri perhatian lewat pesta berdarah di 'Rumah Dara', Mo Brothers menyajikan sesuatu yg lain dlm 'Killers'. Bukan lagi gore movie dgn adegan slasher yg asal tebas, melainkan sesuatu yg lebih dalam, yaitu thriller-psikoligis. Dan duo Mo cukup tahu bagaimana sebuah thiller-psikologis hrs bekerja dan mampu menggiring penonton ikut masuk ke dalamnya.
Skor: 3,5/5

How To Train Your Dragon 2 (2014) (18/06/14)


Short review:
How To Train Your Dragon 2 adalah hidangan manis ditengah gempuran summer blockbuster dan pasukan superhero yang menerjang bioskop. Sebuah film animasi yang tidak hanya unggul dalam sinematografi tapi unggul dalam isi filmnya sendiri. Sekuel yang berhasil menyisipkan kata ‘lebih’ dari pendahulunya. Formula sama yang berani dieksplor lebih jauh dari sebelumnya. Kisah kekeluargaan, persahabatan, kesetiaan, kepercayaan dsb jadi momentum tersendiri. Meninggalkan kesan mendalam dalam hati setiap penonton dengan rentetan efek emosi fluktuatifnya. Sweet! Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor: 4/5

The Mist (2007) (22/06/14)


Short review:
Karya2 Stephen King memang sudah banyak yg diadaptasi jadi sebuah film, salah satunya ya 'The Mist' ini. Bergerak perlahan membangun tensi ketegangan yg intens ke depan, Frank Darabont cukup berhasil mengeksekusi horror-sci-fi ini. Ya, walaupun dibeberapa bagian masih terasa agak sedikit membosankan. Yg menarik disini adalah walaupun film ini dirilis di era 2000-an tepatnya 2007, tapi Darabont memberikan warna lain pada 'The Mist' dgn element2 klasik dan nuansa 90-annya yg kental. Dan kalau kita masih ingat dgn karya Darabont di thn 1994, ketika dgn cerdasnya memberi kejutan lewat 'harapan' dlm 'The Shawsank Redemption'. Nah, 'The Mist' ini bisa dibilang kebalikannya, memberi kejutan lewat 'keputusasaan'.
Skor: 3,5/5

Fiksi. (2008) (24/06/14)


Short review:
Datar, sepi, murung, suram, minim dialog namun mampu bercerita dgn baik. "Alice in Wonderland" versi Indonesia, versi kelam atau apapun itu, 'Fiksi.' adalah debut penyutradaraan Mouly Surya yg sukses mencuri atensi waktu itu. Lewat keberhasilannya mengulik sisi gelap terdalam manusia, terlebih lagi krna yg diambil adalah perpektif perempuan. Membanggakan pula krna ternyata seorang perempuan mampu mengarahkan thriller-psikologis sprti ini. Salah satu yg terbaik di Indonesia.
Skor: 4/5

Man of Steel (2013) (24/06/14)


Short review:
'Man of Steel' mungkin menjadi salah satu film yg cukup personal buat sy. Ya, sedikit bernostalgia ke masa setahun yg lalu. Waktu itu dan utk pertama kalinya pergi ke bioskop malam2, sendirian, cuma buat nonton film Zack Snyder yg jg melibatkan orang2 hebat dibalik 'The Dark Knight' ini. Padahal paginya mesti berangkat KKN ke luar kota dan parahnya, belum persiapan sama sekali. Tp ternyata seru juga nonton sendiri. Yg ngaku suka sama film kayaknya belum lengkap kalo gak pernah ngerasain sensasi nonton sendiri. Ya, meskipun konsep ini masih dianggap tabu & aneh bagi kebanyakan orang.
Skor: 3,75/5

The Social Network (2010) (25/06/14)


Short review:
Kolaborasi hebat antara penyutradaraan David Fincher dgn naskah hasil tulisan Aaron Sorkin yg berhasil menyajikan kisah social media terkemuka di dunia ini menjadi menarik. Dialog2 cerdas yg mengalir renyah meski terkadang masih saya rasakan terlalu cepat, hehe. Seru, ternyata lumayan pelik jg permasalan awal mula facebook ini. Btw, kenapa si Eduardo (Andrew Garfield) jd tokoh yg membuat sy simpati ya?
Skor: 4/5

Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief (2010) (25/06/14)


Short review:
Kisah adaptasi novel yg lumayan seru. Walaupun mungkin bukan termasuk kategori yg bisa dibilang berkualitas tinggi. Tapi setidaknya adegan aksi, humor yg tersaji + plotnya masih mampu tampil menghibur. Tontonan pas saat santai. Pas saat membutuhkan tontonan ringan.
Skor: 2,5/5

Percy Jackson: Sea of Monsters (2013) (30/06/14)


Short review:
Ada peningkatan dari sisi teknis pd installment kedua Percy Jackson kali ini. Visual effectnya lebih ngena dengan semua adegan aksi dan karakter2 yg ada didalamnya. Overall, pada dasarnya saya sebenarnya tidak terlalu berekspektasi pada seri ini. Tapi sekali lagi, 'Sea of Monsters' masih tetap memberikan hiburan ringan buat saya. Namun utk bisa sekelas Harry Potter rasanya Percy Jackson masih harus bersabar.
Skor: 2,75/5

Wednesday, June 18, 2014

About Movie: How To Train Your Dragon 2 (2014)

Sumber gambar disini
 “Now you know where I get my dramatic flair”
- Hiccup - 

 ‘How To Train Your Dragon’ bisa saja menjadi film animasi terbaik di tahun 2010 andai saja ‘Toy Story 3’ tidak muncul saat itu. Ya, dengan segala kesenangan didalamnya, petualangan seru lengkap dengan fun & heart unsure-nya, efek 3D yg ciamik, apalagi ada naga disana (yeah, I like dragon!), HTTYD memang berpotensi untuk itu.  Dan memang, HTTYD mendapat respon positif baik secara komersial maupun kritikus. Hingga Dreamworks selaku studio yang memproduksinya langsung memberi lampu hijau untuk menggarap sekuelnya. Rentang waktu empat tahun rasanya cukup untuk berekspektasi lebih pada kisah manusia dan naga ini.
Lima tahun pasca reformasi yang dilakukan Hiccup (Jay Baruchel), Berk sudah menjadi tempat yang damai bagi manusia untuk hidup berdampingan dengan naga. Tak ada lagi cerita bangsa Viking memerangi bangsa naga. Biarpun begitu, hidup Hiccup masih belum merasa tenang karena ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa ayahnya, Stoick (Gerard Butler) akan segera pensiun sebagai pemimpin suku dan tentunya tahta tersebut tidak akan jatuh ke tangan siapa-siapa selain pada Hiccup. Walaupun sudah tumbuh dewasa ia masih merasa bahwa sosok pemimpin bukanlah jiwanya. Ia lebih senang berpetualang bersama sahabat terbaiknya, Toothless mencari tempat-tempat baru hingga tak aneh ia sering kabur-kaburan ditengah acara yang dilangsungkan di Berk. Sampai suatu saat perjalanan tersebut membawa Hiccup dan Toothless pada dua nama, Valka (Cate Blanchett) dan Drago (Djimon Hounsou).
Empat tahun semenjak rilisan pertamanya, waktu yang bisa dibilang cukup lama untuk penggarapan sebuah sekuel, benar-benar dimanfaatkan dengan baik oleh Dean DeBlois. Meskipun sempat ditinggal rekan duetnya Chris Sanders yang mengerjakan proyek ‘The Croods’. Bertugas juga sebagai penulis, DeBlois sepertinya tahu benar bagaimana membuat sekuel yang punya unsur ‘lebih’ dibanding predesesornya.
Apa yang coba ditampilkan DeBlois di ‘How To Train Your Dragon 2’  sebenarnya cukup sederhana. Justru kalau boleh saya bilang formulanya masih sama dengan yang pertama. Terutama gaya penceritaannya yang sangat kental nuansanya dengan yang pertama. Mungkin hal ini memang disengaja tapi kalau eksekusinya salah tetap saja formula tersebut malah jadi bumerang dan menyebabkan sekuel tersebut terjerembab ke dalam pengulangan-pengulangan yang sebenarnya sudah tidak substansial lagi untuk ditampilkan. Tapi tenanglah, seperti yang saya bilang diatas DeBlois memang tahu bagaimana cara membuat sekuel yang punya unsur ‘lebih’ dibanding predesesornya.

Sumber gambar disini
 Secara garis besar, formula yang ditampilkan HTTYD2 memang sama dengan yang pertama tapi yang hebat adalah bagaimana DeBlois mampu menampilkan kembali semua fun unsure yang ditampilkan HTTYD dengan dosis yang ditingkatkan. Ya, tentu skalanya sedikit berbeda dari sekedar remaja tanggung yang tidak sependapat dengan ayahnya yang terkesan diktator. Lebih dewasa. Lebih emosional.
Bergerak dengan plot yang semakin rapi diikuti aspek teknis yang membuat grafik animasinya menjadi semakin memanjakan mata. Ya, dengan sisi yang satu itu gambar-gambar yang tersaji, karakter yang hadir dan tentunya adegan aksi yang ditampilkan berhasil membawa kita ikut larut dalam petualangan Hiccup. Karakter-karakter baru yang muncul (pasti ingat dengan bayi-bayi naga yang lucu-lucu itu), transformasi karakter-karakter terdahulu (terutama Astrid yang terlihat lebih manis dari sebelumnya, hehe) dan pertarungan-pertarungan seru dalam skala besar memberi kesan lain dari HTTYD2. Dan yang membuat HTTYD2 menjadi begitu berkesan buat saya adalah ada sisi emosional yang begitu besar disini.
Ya, tak bisa dipungkiri inilah faktor terbesar yang membuat HTTYD2 mempunyai nilai plus daripada sebelumnya. Kalau kita masih ingat bagaimana HTTYD mempermainkan emosi kita dengan ending yang “manis-manis-pahit gimana” itu, nah di HTTYD2 lebih dari itu. Hal tersebut tak lepas dari bagaimana DeBlois sukses menampilkan setiap momentum dari setiap scene yang ada dengan tepat dan cermat. Setiap moment yang sarat akan emosi itu, entah suka, duka, canda, tawa, tangis semua terangkum dengan rapi, konsisten dan dinamis. Menjadi rangkaian fluktuasi emosi bak rollercoaster yang naik-turun dengan cepat tapi tetap terjaga. Hingga tak jarang seisi bioskop riuh dengan tawa bersama kemudian hening dalam sekejap menikmati moment-moment di layar. Beberapa penonton perempuan malah sempat menitikkan air matanya. Sayapun berujar dalam hati “Sadis, nih film!” Tak hanya moment mengharu biru karena masih ada tawa di HTTYD2. Karakter-karakter seperti Ruffnut, Gobber sampai Hiccup dan Toothless sendiri tampil mencuri tawa dengan tingkahnya. Bahkan Gobber sempat merusak sebuah sweet nostalgic moment yg disambut dengan tawa riuh penonton waktu itu.
Jay Baruchel kembali lagi menjadi Hiccup dengan lebih dewasa. Para pengisi suara yang lain baik yang baru maupun yang lama mampu menghidupkan setiap karakter dengan cukup baik. Ya, setidaknya karakter-karakter yang muncul akan nempel di otak kita dan tidak dilupakan begitu saja. Yang paling menonjol mungkin Cate Blanchett yang berhasil menampilkan aura keibuan yang kuat.
Dan tanpa perlu banyak bicara lagi, overall HTTYD2 adalah hidangan manis ditengah gempuran summer blockbuster dan pasukan superhero yang menerjang bioskop. Sebuah film animasi yang tidak hanya unggul dalam sinematografi tapi unggul dalam isi filmnya sendiri. Sekuel yang berhasil menyisipkan kata ‘lebih’ dari pendahulunya. Formula sama yang berani dieksplor lebih jauh dari sebelumnya. Kisah kekeluargaan, persahabatan, kesetiaan, kepercayaan dsb jadi momentum tersendiri. Meninggalkan kesan mendalam dalam hati setiap penonton dengan rentetan efek emosi fluktuatifnya. Sweet! Dan mudah-mudahan rencana untuk membuat HTTYD ini menjadi quadrilogy tidak membuat seri ini jatuh dimasa mendatang.

Monday, June 2, 2014

Tentang Film X-Men: Days of Future Past (2014)




Diantara film-film superhero yang muncul di tahun 2014, kisah para mutan inilah yang paling saya nantikan. Alasannya sederhana, pertama karena judul film X-Men kali ini keren banget: Days of Future Past. Kedua, tentu karena film X-Men yg terakhir yaitu First Class begitu menyenangkan. Apalagi ‘Days of Future Past’ dinahkodai oleh orang yg pertama kali membawa kisah X-Men dlm ranah film, Bryan Singer. Sehingga tak ada alasan untuk melewatkannya. So, apakah ‘X-Men: Days of Future Past’ benar-benar seperti yg diharapkan atau tidak?
Garis besar cerita ‘Days of Future Past’ adalah dikirimkannya Wolverine dari masa depan (2023) ke masa lalu (1973) untuk mencegah kepunahan bangsa mutan dimasa depan akibat proyek robot Sentinel yang dirancang pemerintah untuk memusnahkan para mutan waktu itu. Sesederhana itukah? Tentu tidak. Karena ‘Days of Future Past’ menyajikan kompleksitas cerita nan ambisius, lebih dari apa yang pernah kita temui dari film-film X-Men sebelumnya.
Bryan Singer sepertinya tahu betul cara menarik atensi penonton sedari awal. Hal ini  terbukti lewat opening scene-nya yg langsung tampil mencuri perhatian. Cepat. Taktis. Sadis. Apalagi dengan balutan atmosfernya yang gelap dan kelam. I really, really like it. Walaupun selepas itu, tempo perlahan mulai menurun namun tensi ketegangan tetap terjaga. Meskipun masih ada selingan dialog-dialog ringan pengundang tawa dari para tokohnya.
‘Days of Future Past’ diambil dari komik berjudul sama terbitan tahun 1981. Sesuai namanya, ‘Days of Future Past’ akan berkutat dengan masalah waktu, bolak-balik antara masa depan dan masa lalu. Time travel. Dan perjalanan waktu antara masa depan dan masa lalu itulah yang menyenangkan buat saya. Terlebih lagi karena Bryan Singer berhasil menyajikan visual indah baik di masa lalu maupun di masa depan. Salah satu kekuatan ‘Days of Future Past’ memang ada dibagian ini. Lewat narasi ‘Days of Future Past’ ini, kita bisa tarik sebuah benang merah yang menghubungkan semua film-film X-Men yang pernah ada dari awal sampai yang paling terakhir, termasuk spin-off dan prekuelnya. Dan pada akhirnya kita juga akan mengerti makna ‘Days of Future Past’ itu sendiri. Memang akan sedikit membingungkan bila kita kurang paham dan tidak mengikuti film-film X-Men sebelumnya.
Menggabungkan banyak karakter dalam satu frame tentunya bukan pekerjaan mudah. Ketimpangan porsi karakter bisa saja terjadi. Tapi sekali lagi Singer tahu betul cara memanfaatkan kelemahan ini. Terbukti hampir semua karakter X-Men baik dari masa lalu maupun masa depan berhasil mendapatkan moment-nya sendiri-sendiri. Tanpa harus tumpang tindih satu sama lain, ditengah keterbatasan perform yang mereka punya. Beberapa malah sanggup jadi scene stealer. Sebut saja Quicksilver (yang ini benar-benar juaranya). Dan kalau dulu kita merasa bahwa Wolverine selalu berada di garda terdepan alias leading role dari film-film X-Men. Sekarang hal itu tidak berlaku disini.
Seperti menebus kesalahan di masa lalu, saat Singer melepas film ke-3 X-Men demi Superman Returns ke tangan Brett Ratner. Ia kali ini berhasil menyajikan film X-Men yang paling menyenangkan sejauh ini. Perjalanan waktu, adegan aksi, drama dan sisi2 emosional lain yang digali disini + seabrek tokoh yang ia tampilkannya disini sudah cukup membuat hype kita sama film ini terobati.
Itu semua tentu tidak akan berhasil jika tidak ada dukungan naskah yang ditulis Simon Kinberg dan Jane Goldman + Matthew Vaughn yang telah memberikan yang terbaik sehingga membuat setiap narasinya benar-benar terasa bermakna. Naskah tersebut juga memberi kesempatan buat para tokohnya untuk mempererat chemistry antar karakter yang juga berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh setiap tokohnya.
Namun sesudah apa yang diberikan ‘Days of Future Past’ tadi, ada satu hal yang masih terasa kurang buat saya. Ya, entah kenapa klimaks film ini masih kurang sedikit lagi untuk mencapai titik didih klimaksnya. Mungkin itu perasaan saya saja. Atau memang sengaja disimpan buat ‘Apocalypse’ nanti? Entahlah. Tapi yang pasti, terlepas dari hal diatas (overall) saya cukup puas sama film ini. Luar biasa. Sangat tidak mengecewakan sebagai film superhero yang saya tunggu tahun ini.