Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Friday, July 11, 2014

About Movie: Transformers: Age of Extinction (2014)




This is not war... It's human extinction!
 - Optimus Prime -

Saya sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk menonton seri Transformers ke-4 dari Michael Bay ini. Bahkan saya menonton kembali ketiga film ‘Transformers’ sebelumnya secara maraton. Persiapan yang saya maksud disini adalah persiapan untuk bertahan dalam kelelahan dan kebosanan. Persiapan untuk tidak mengharapkan sesuatu apapun dari ‘Transformers: AoE’. Persiapan tersebut memang bukan tanpa alasan. Apalagi durasi ‘Transformers: AoE’ yang mencapai 165 menit yang memang sangat berpotensi menimbulkan kelelahan. Sama seperti ketiga film sebelumnya yang sangat sukses membuat saya sangat kelelahan (apalagi ditonton secara maraton). Berapa kali saya ketiduran saking lelahnya melihat logam-logam raksasa itu bertarung.
Seperti yang kita tahu, Bay dan ‘Transformers’-nya ini memang selalu mendapat nada-nada negatif di kalangan penikmat film. Entah itu kritikus, penggemar maupun penonton biasa. Pada dasarnya ‘Transformers’ itu memang tidak menawarkan apapun selain pertarungan para robot. Coba tengok tiga film sebelumnya. Semuanya hanya tentang pertarungan Autobots dan Decepticons. Nothing more, nothing less. Plot? Don’t asking! Trilogi Transformers ini memang tidak mempunyai isi apa-apa dari segi cerita. Sangat, sangat tidak berisi a.k.a kosong melompong. Tidak punya esensi sama sekali. Akting pemainnya juga sama tak berisinya. Namun ada sesuatu dari Michael Bay yang mungkin tidak dipunyai sutradara lain. Hobinya yang senang meluluhlantakkan kota, ledakan-ledakan super over dan segala ke (le)Bay-an lainnya, selalu dibuat dengan visual yang sangat artistik. Dan selalu mengalami peningkatan dari seri ke serinya.
Bicara film Transformers itu seru sebenarnya. Kasusnya mungkin kurang lebih sama kayak ‘Twilight’. Di satu sisi selalu benci, tapi disisi lain juga tidak pernah sepi penonton. Bahkan ‘Transformers: AoE’ ini memecahkan rekor boxoffice Amerika sebagai film berpenghasilan terbesar tahun 2014 di minggu pertamanya (100 juta dolar). Heran juga saya. Mungkin Michael Bay ada benarnya juga ketika bilang bahwa biarlah filmnya dibenci toh pada akhirnya mereka nonton juga. Dari sana saya jadi sadar bahwa ternyata benci itu bentuk lain dari peduli. Bentuk lain dari menunjukkan rasa perhatian berlebih. 


Michael Bay memang pernah bilang bahwa ‘Transformers: AoE’ adalah startup dari sebuah trilogi baru yang akan membawa dunia ‘Transformers’ ke dalam era baru. Hal tersebut bisa saja sedikit memberi harapan baru juga buat para penonton. Namun saya sudah tidak percaya lagi. Dan terbukti, ‘Transformers: AoE’ langsung banjir kritik pas rilis di minggu pertamanya. Maka dari itu, ketika saya memutuskan menonton film ini, saya tidak mengharapkan apapun dari film ini. Tidak peduli sama cerita, naskah, karakter ataupun akting. Tidak berusaha menemukan kelemahannya termasuk plot hole. Tidak juga membandingkan film ini dengan film sebelumnya. Saya hanya ingin hiburan. Saya ingin adegan action yang dahsyat dengan skala besar. Pertarungan robot, kehancuran, ledakan dan kota yang luluh lantak dalam balutan visual fantastis.
Overall, tidak ada yang baru sebenarnya dari ‘Transformers: AoE’. Benang merahnya masih sama seperti yang dulu. Cuma mengganti pemain saja. Soal visual, Bay sudah pasti jagonya. Selebihnya, sama klisenya. Sama berantakannya. Sama payahnya kayak yang sudah-sudah. Namun untungnya film ini masih punya Dinobots dan Lockdown yang jadi pembeda. Saya gak tahu apa jadinya ‘Transformers: AoE’ kalau tidak ada mereka. Terus ada juga Nicola Peltz yang berhasil jadi pemanis yang pas disini (tanpa melihat perannya). Sosoknya yang lebih muda terlihat lebih fresh saja buat saya dibanding Megan Fox ataupun Rossie Huntington. Dan untungnya, Peltz juga tidak terlalu banyak menonjolkan lekuk tubuhnya seperti leading lady sebelumnya.


Kalau dibilang rame? Ya rame. Terhibur? Ya saya terhibur. Toh saya tidak pernah mengharapkan apapun dari film ini (udah bilang berapa kali nih?). Dan memang harus saya akui adegan aksi, desain-desain robot yang lebih ok sampai lansekap-lansekap yang tersaji disini memberi keseruan tersendiri buat saya. Namun ternyata biarpun begitu film ini tetap saja masih terasa melelahkan. Memang tidak melelahkan dalam stadium 4. Tapi durasi 165 menitnya itu lumayan terasa lamanya. Untung mata saya masih mampu dimanjakan dengan visual yang semakin canggih saja. Meskipun tidak mencapai eye-gasm tapi setidaknya mampu membuat saya tak beranjak dari tempat duduk.  Dan yang terpenting adalah ‘Transformers: AoE’ ini tidak sampai membuat saya dongkol dan kesal ketika keluar pintu bioskop.


Terlepas dari itu semua, saya justru dibuat lumayan penasaran sama sekuel ‘Transformers: AoE’ nanti. Sosok misterius ‘The Creator’ yang disebut Lockdown dan Optimus Prime itu siapa sebenarnya. Apalagi di ending kita bisa lihat Optimus Prime yang terbang ke angkasa meninggalkan bumi. Itu bisa dijadikan petunjuk bahwa di sekuelnya nanti, bumi tidak akan dijadikan lagi arena pertarungan para robot Hasbro ini. Mungkin inilah yang disebut Bay sebagai era baru ‘Transformers’. Dan memang sudah saatnya ‘Transformers’ melakukannya. Menaikkan level dan memperluas skalanya. Tidak hanya berkutat disitu saja. Ya, sebelum para penonton semakin muak.
Hasilnya gimana? Kita tunggu saja 2016 nanti. Yang pasti kunci nonton film-film ‘Transformers’ itu sederhana. Jadikan dia sekedar hiburan semata tanpa perlu menaruh harapan berlebih walau itu hanya sedikit. Terima dan maklumi saja gaya Michael (le)Bay yang seperti itu. Karena memang itulah dia dan selamanya (mungkin) dia akan begitu.

Wednesday, July 9, 2014

About Movie: Noah (2014)




“The beginning! The beginning of everything!”
- Noah -

Noah adalah salah satu film yang masuk daftar tunggu saya di tahun 2014 ini. Ada dua alasan kenapa film ini menjadi ditunggu buat saya. Pertama, karena ada nama Darren Aronofsky yang mengisi spot director untuk film ini. Seperti yang kita tahu Darren Aronofsky termasuk salah satu director yang punya signature khas dalam film-filmnya. Coba saja tengok ‘Requiem for a Dream’, ‘The Wrestler’ atau ‘Black Swan’. Kedua, karena film ini mengisahkan seseorang yang besar, seseorang yang ketika saya kecil sering mendengar kisahnya. Salah satu Nabi Allah yaitu Nabi Nuh.
Membawa tema religi dalam dunia film memang susah karena hampir pasti menimbulkan tingkat sensitifitas yang cukup tinggi. Apalagi kalau kisah tersebut diambil dari seorang pembawa pesan Tuhan kepada umat manusia yang sudah tertera dalam Al Kitab. Buat kita-kita yang masih fanatik, kontroversi tentu tak akan bisa diindahkan. Termasuk saya ketika menonton film ini pertama kali. Meskipun dari jauh-jauh hari Darren Aronofsky sudah bilang bahwa kisah ini tidak murni menyadur dari Al Kitab. Melainkan melakukan adaptasi bebas dan menambahkan element-element fantasi untuk memberikan kesan hiburannya. Tapi tetap saja kontroversi tersebut tak bisa dihindari dan menyebabkan film ini mendapat berbagai kecaman dan larangan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dari sana saya berkesimpulan. Jadi, sebelum menonton ‘Noah’ kita harus memposisikan pandangan kita dulu pada film ini. Apakah kita menontonnya murni sebagai hiburan semata. Seperti halnya film-film yang kita tonton tanpa mempedulikan sosok Noah itu sendiri atau justru sebaliknya.


Sebagai sebuah hiburan, film ini memang tampil cukup baik. Dana sebesar 130 juta dolar yang digelontorkan untuk film ini memang tidak disia-siakan. Hasilnya, sebuah parade visual efek dan CGI cantik yang bekerja cukup baik untuk membuat kita tetap terduduk. ‘Noah’ memang film ambisiusnya Darren tapi kalau dibilang karya terbaiknya, rasanya bukan. Alasannya sederhana, plot yang dihadirkan disini terkesan terlalu bermain aman. Tidak ada hal istimewa yang benar-benar mengikat penonton untuk ikut larut dalam suasana. Bukan berarti jelek, hanya saja karena ini filmnya Darren Aronofsky, jadinya ada semacam ekspektasi lebih yang saya harapkan dari film ini.
Dan sebagai sebuah bilbical story, ekspektasi kita adalah setidaknya ‘Noah’ mampu memberi inspirasi spiritual lewat kisahnya. Namun justru aspek ini malah terkesan kurang menonjol. Selain rasa fanatisme yang mengganggu kenikmatan saya menonton film ini (meskipun sudah saya coba kesampingkan tapi tetap tak bisa). Overall, film ini tidak sanggup memberikan efek spiritual yang besar buat saya. Dalam arti, hubungan intim manusia dan Tuhan disini kurang tergali sehingga auranya kurang begitu terasa.
Daripada tampil sebagai sosok Nabi kekasih Tuhan, Darren Aronofsky memang memilih menempatkan sosok Noah tersebut sebagai sosok manusia biasa. Seorang kepala keluarga yang dihadapkan pada konflik batin terhadap apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Namun itu bukanlah kelemahan karena justru itulah nilai plusnya ‘Noah’. Karakter yang diperankan oleh Russel Crowe ini berhasil tampil membawa sentuhan emosi khas film-film Darren Aronofsky yang kita kenal. Dan saya rasa disinilah moment manisnya.
Pada akhirnya, saya memandang film ini murni sebagai hiburan berkonsep religius semata. Membuang jauh-jauh sosok Nabi Nuh yang saya yakini di film ini. Menyimpan sejenak fanatisme yang ada. Dan memandang ‘Noah’ sebagai sebuah film yang kisahnya meminjam dari kisah Nabi Nuh. Hasilnya, sebuah film drama-adventure yang tampil cukup menyenangkan. Lengkap dengan berbagai element fantasinya. Apalagi ada dukungan sisi teknis yang tampil ciamik dalam balutan visual efek dan CGI. Dan walaupun tampil tidak terlalu menonjol, aspek religius yang dihadirkan disini sudah tampil cukup berimbang. Dan sudah cukup memberi penontonnya sebuah bahan renungan.

Ngalor Ngidul Seputar Sinetron Indonesia Zaman Sekarang

         Menindaklanjuti post saya kemarin, pas lagi kangen sama suasana '90-an. Akhirnya punya kesempatan juga buat nulis fenomena sinetron Indonesia zaman sekarang. Dan ternyata saya baru tahu sekaligus sadar (sesadar-sadarnya) kalau ternyata sinetron Indonesia zaman sekarang itu keren, hebat, dahsyat dan sejuta bentuk kata pujian lainnya yang sudah tidak bisa saya ungkapkan lagi. Gak percaya? Ini buktinya.
Ok, kita mulai dari sini dulu. Kenapa saya bilang sinetron Indonesia zaman sekarang itu keren, hebat, dahsyat dsb, itu bisa dilihat dari judulnya. Percaya atau tidak judul-judul sinetron Indonesia punya aura magis yang kuat. Contoh ‘Putri yang Ditukar’, ‘Cinta Fitri’, ‘Binar Bening Berlian’, ‘Anak Anak Manusia’ sampai ‘Ganteng Ganteng Serigala’. Kurang keren gimana coba?
Terus makin bertambah keren dan hebat karena sinetron-sinetron Indonesia zaman sekarang itu punya cerita yang kompleks banget. Saking kompleksnya itu cerita, sinetron Indonesia bisa menghabiskan ratusan episode untuk menyelesaikan ceritanya. Bahkan beberapa ada yang udah nyampe angka 1000 episode atau lebih. So what? Itu membuktikan bahwa orang-orang yang ada dibalik sinetron Indonesia punya ide dan daya kreativitas yang sangat tinggi.
Hal tersebut sangat jauh berbeda dengan yang diluar negeri. Korea contohnya. Drama Korea paling banyak menghasilkan sekitar 30 episode untuk satu serial drama. 30 itu paling banyak dan itu juga jarang. Paling banter episode serial drama Korea rata-rata ada di sekitaran 15-20an episode saja. Habis itu tamat. Di Amerika lain lagi. Hampir sama sih kayak di Korea episode dari serial-serial TV disana hanya sekitar 15-20an saja. Cuma kalau disana biasanya punya beberapa season lanjutan yang punya jeda satu atau dua tahun setelahnya.
Sinetron Indonesia zaman sekarang juga semakin tinggi tingkat kompleksitasnya. Ya, karena kalau diperhatikan judul sinetronnya apa, jalan ceritanya kemana. Itu juga bukti kehebatan sinetron Indonesia zaman sekarang. Secara pribadi, saya salut sekali sama dua sinetron ini. ‘Tukang Bubur Naik Haji The Series’ dan ‘Ganteng Ganteng Serigala’ yang melakukan apa yang saya sebut di paragraf ini.
Selain kompleks, sinetron Indonesia zaman sekarang juga punya cerita yg original dan fresh. Pantesan sinetron Indonesia itu banyak (di)plagiat sama drama atau serial dari luar. Tengok saja ‘Buku Harian Nayla’ yg ternyata (di)tiru ‘One Litre of Tears’ dari Jepang. Atau kejadian yang masih hangat beberapa waktu lalu. Tatkala sinetron Indonesia dengan judul terindah yang pernah saya dengar ‘Kau yang Berasal dari Bintang’ yg jelas-jelas (di)ambil idenya bahkan semua isinya oleh ‘My Love from the Stars’ dari Korea tanpa pernah izin dulu. Tanpa pernah dapetin lisensi atau hak tayangnya terlebih dulu (walaupun sekarang katanya udah dapet lisensinya). Dan ternyata masih banyak lagi sinetron Indonesia yg (di)plagiat di luar negeri. Mau disebutin lagi? Gak usah kali ya. Parah ya mereka! Saya juga baru tahu kalau ternyata kisah vampir melankolis ala Edward Cullen dan Bella Swan adalah jelmaan dari para Vampir ‘Ganteng Ganteng Serigala’ (jadi yang ganteng siapa sebenarnya, vampirnya atau serigalanya nih?). Dan ternyata plot cerita serial TV Amerika berjudul 'Teen Wolf' juga mengadaptasi kisah ‘Ganteng Ganteng Serigala’. Hebat.
Tidak hanya dari segi cerita, sinetron Indonesia zaman sekarang juga punya kualitas sinematografi yang begitu artistik. Efek-efek grafis yang ada di sinetron Indonesia zaman sekarang itu keren-keren. Harimau CGI-nya ‘Life of Pi’ mah kalah jauh dari harimau di sinetron Indonesia. Jauh banget. Saking hebatnya harimaunya sinetron Indonesia itu tidak napak ke tanah, melayang. Hebat kan? Coba tebak dimana ada harimau melayang dan gak napak tanah. Gak ada kan? Itulah hebatnya sinetron Indonesia.
Dari sinetron Indonesia zaman sekarang pula kita punya bahasa dan istilah-istilah baru yg memperkaya perbendaaraan kata dalam bahasa Indonesia. Apa gak makin kaya tuh bahasa persatuan tanah air kita ini. Kurang dijunjung apa lagi bahasa kita ini, bahasa Indonesia!
Dan ini yang paling penting, bahwa sinetron Indonesia zaman sekarang kaya akan pesan moral kuat nan bersahaja. Harta, tahta, wanita-wanita cantik, mobil mewah, kekayaan, kesenangan dan segala bentuk gaya hidup hedonis lainnya. Siapa yang gak mau coba? Siapa sih yang mau meniru cara hidup Abah di ‘Keluarga Cemara’ atau Doel di ‘Si Doel Anak Sekolahan’ yang penuh kesederhanaan, yang jelas-jelas 180o sangat, sangat berbanding terbalik. Abah dan si Doel mah udah ketinggalan zaman! Gak level, bro!
Selain hal-hal diatas, yang membuat sinetron Indonesia zaman sekarang itu hebat adalah karena mereka sangat diperhatikan sama KPI. Kurang care apalagi coba KPI sama sinetron zaman sekarang. Sinetron Indonesia zaman dulu mana pernah dapet rasa care atau peduli dari KPI. Bahkan sinetron yg katanya bersahaja seperti ‘Catatan Hati Seorang Istri’ pun tak luput dari perhatian KPI. Saking sayangnya KPI sama sinetron Indonesia. Coba cek pas KPI merilis daftar acara TV sebagai bentuk dari rasa peduli dan cinta KPI, hampir semua isinya sinetron. Keren kan? KPI aja menunjukkan rasa cinta dan pedulinya sama sinetron Indonesia dengan sangat besar. Masa kita sebagai sebagai warga negara yang baik nggak?
Haha. Pada bingung gak sama tulisan diatas atau udah pada nyadar? Ya, tulisan tersebut memang majas ironi, satire, sarkasme dan majas-majas sindiran lainnya dari saya sama kondisi sinetron Indonesia yang udah gak jelas ini. Bahkan mungkin bukan hanya sinetron tapi untuk semua acara-acara TV yang ada. Memang tidak semua seperti itu tapi saya bingung kenapa fenomena ini masih saja terjadi. Kalau emang gak bisa buat sinetron, ya mending gak usah. Mending balikin waktu prime time kita sama acara yg mendidik, menginspirasi atau mengenalkan budaya-budaya tanah air kita pada generasi-generasi muda. Kalau gak bisa juga, ya minimal menghibur saja sudah cukup. Tapi caranya juga harus cerdas. Jangan bikin acara komedi yang gak ada lucu-lucunya sama sekali. Jangan bikin acara yang isinya ngehina orang, membuka aib orang atau semua kelakuan aneh, absurd dan gak jelas lainnya yang ada di TV. Kalau masih ngebet juga bikin sinetron, buat sinetron yang baik dan benar. Minimal kayak dulu lah. Yang tayangnya seminggu sekali. Yang unforgettable dan memorable. Sarat akan pesan moral dan menjunjung tinggi adat istiadat, tradisi serta budaya tanah air kita. Yang kehadirannya ditunggu. Yang setidaknya mampu menghibur. Yang punya kualitas + totalitas dari para pemainnya. Yang punya keseriusan dari para pembuatnya. Jangan kayak sekarang. Udah mah stripping, jam tayangnya banyak bahkan sampai shubuh-shubuh tu sinetron pada nongol, akting pemain yang seadanya (mungkin gara-gara kecapean, bosan syuting tiap hari), tidak berbobot dan berkualitas pula isinya.
So, sudah saatnya dan sudah seharusnya diadakan revolusi besar-besaran dari dunia hiburan pertelevisian kita ini. Semoga stasiun-stasiun TV pada sadar dan bisa memberi angin segar pada dunia hiburan pertelevisian kita ini. Memberi pencerahan bagi semua pemirsa setianya dimanapun berada.

Tuesday, July 8, 2014

Rindu ‘90-an


Beberapa hari terakhir ini, saya jadi kangen sekali sama masa 90-an. Gara-garanya mungkin karena akhir-akhir ini saya banyak melihat dan mendengar sesuatu tentang ’90-an. Awalnya, hanya tak sengaja melihat video klipnya The Rembrandts – I’ll Be There For You tengah malam di salah satu stasiun TV. Terus kebetulan nonton We’re The Millers yg ada Jennifer Aniston-nya. Jadi inget serial TV zaman dulu (pasti tahu apa). Pas muter lagu di laptop secara random yg keputer tu lagu2 90-an. Terus baca beberapa artikel di internet tentang kondisi pertelevisian Indonesia sekarang yg bikin saya makin kangen sama acara televisi tahun 90-an. Dan puncaknya, sebuah penggalan lirik yg saya dengar dari salah satu acara TV bunyinya begini: “Harta yg paling berharga adalah keluarga. Istana yg paling indah adalah keluarga”. Habis itu, saya langsung dengerin lagunya di youtube sampai seharian. Searching segala hal tentang ’90-an. Jadi senyum-senyum sendiri, ketawa-ketawa sendiri, nyanyi-nyanyi sambil main gitar sendiri sampai tetangga kamar pada keanehan lihat tingkah saya yg bak seorang anak kecil terjebak dlm tubuh orang dewasa. Oh God! I really, really miss the 90’s.
Kalau diinget-inget lagi, dibayangin lagi, dikenang lagi, banyak sekali hal yg membuat diri ini ingin kembali ke masa ’90-an. Buat saya, generasi yg lahir tahun ’90-an tentu semua hal yg berhubungan dengan anak kecil. Mainannya, permainannya, acara TV-nya, musiknya, cemilan-cemilannya, pokoknya banyak deh. Dan yg paling pasti kenapa ’90-an itu jadi masa yg dirindukan, karena hal-hal yg ada di ’90-an gak akan ditemukan dizaman sekarang. Saat ini. Hari ini. Ya, meskipun sebenarnya secara pribadi saya benar-benar menikmati era 90-an cuma periode akhirnya saja. Secara, saya lahir berbarengan sama kelahiran generasi emasnya Manchester United. Mungkin tulisan saya kali ini akan terasa sangat cerewet. Karena isinya bakalan ngalor-ngidul seputar hal yg mengingatkan saya sama era 90an.
Pertama-tama, saya bicara dulu soal musik. Tentunya seperti yg kita tahu, masa-masa itu masih jaya-jayanya lagu-lagu anak. Siapa yg tidak kenal penyanyi-penyanyi macam Joshua, Trio Kwek-Kwek, Chiquita Meidy, Enno Lerian dll. Lagu-lagu macam Diobok-obok, Katanya, Si Nyamuk Nakal, Kuku Kuku, Si Lumba-lumba, Aku Cinta Rupiah dan banyak lagi yg lainnya. Siapa yg tidak tahu acara Tralala Trilili yg dipandu Agnes Monica (Sekarang Agnes udah dewasa dan...ya gitu deh!), acara Cilukba atau Kring Kring Olala. Tokoh-tokoh ikonik macam Susan, si Komo sampai si Unyil (untungnya sI Unyil masih ada sampai sekarang). Lagu-lagu anak memang merajalela waktu itu. Bahkan jeda perpindahan acara TV-pun diisi sama video klip lagu anak-anak. Zaman sekarang, mana ada yg kayak gitu. Alih-alih ingin membuat acara anak-anak, justru malah nggak ada nuansa anak-anaknya sama sekali. Masa anak-anak umur 5 tahunan udah niru-niru gaya Syahrini yg kayak begitu. Bikin kontes nyanyi anak, lagu-lagunya lagu dewasa, cuma krna biar punya kesan anak-anaknya akhirnya kata-kata cinta diganti sama persahabatan. Gak ngaruh bos!. Terus menyebut beberapa artis yg katanya artis cilik padahal nggak ada cilik-ciliknya sama sekali. Saya pernah lihat beberapa waktu lalu (udah lumayan lama sih) ada sekumpulan anak-anak dibawah 8 tahun pada nyanyi “Kau bidadari jatuh dari surga dihadapanku” sambil nari-nari gak jelas. Ada juga yg nyanyi lagu dangdut ‘Buka Sitik Joss’ dan nari-nari yg sama gak jelasnya. Good! #miris. Dan ini nyata!
Selain musik, konten-konten acara TV juga adalah surganya anak-anak ’90-an. Gimana nggak?  Hampir setiap hari acara anak-anak nongol disemua stasiun TV. Hari minggu apalagi. Kita bisa menghabiskan waktu seharian hanya buat nonton TV. Dari mulai Power Rangers, Kamen Rider, Ultraman, Dragon Ball sampai yg paling legend, Doraemon. Saking banyaknya kadang suka bingung menentukan pilihan untuk nonton film apa. Tapi sekarang, bisa kita lihat keadaanya kayak apa. Sangat sedikit konten-konten anak di TV. Kalau saya lihat acara TV hari minggu sangat sedikit stasiun TV yg menayangkan acara anak seperti zaman saya dulu. Semua sudah berubah sekarang. Untung saya udah gede (thanks God!). Tapi kalo dipikir-pikir kasihan juga ya anak-anak zaman sekarang.
Selain musik, zaman itu permainan-permainan tradisional masih sering dimainkan oleh anak-anak. Masih terbesit dibenak saya, main petak umpet, lari-larian, kejar-kejaran. Main kelereng, gambar, yoyo, gasing, layang-layang sampai harus blusukan ke sawah. Hujan-hujanan, mancing, nyari belut, mandi disungai, perang-perangan, tembak-tembakan dari yg pake pistol bambu yg pelurunya kertas sampai peluru karet. Main mobil-mobilan dari yg buat sendiri sampai pake tamiya ala serial ‘Let’s and Go’. Bahkan permainan yg dibuat sendiri sampai saya sendiri tidak tahu Bahasa Indonesianya apa. Pokoknya main yg ujungnya ...an-anan. Atau anak-anak perempuan yg main tali, c0ngklak, bola bekel dan yg lainnya (lupa saya namanya, saking banyaknya). Sekarang, saya sudah jarang lihat yg seperti itu. Yg saya perhatikan, anak-anak zaman sekarang lebih senang mantengin monitor berjam-jam, main game seharian, playstation lah, game online lah, internetan sampai lupa waktu. Mainin gadget dari yg sekecil-kecilnya sampai yg segede-genya dan jujur menurut saya mereka gak butuh-butuh amat sama barang-barang itu. Saya dan mungkin teman yg segenarasi juga sama main game mulai dari game boy, tamagotchi, nintendo, sega, ding-dong, sampai playstation. Tapi walaupun begitu, permainan tradisionalpun tak pernah terlewatkan.
Terus pada inget gak sama Ingat sama Nirmala, Bona & Rong Rong? Hehe. Ini juga salah satu yg mengingatkan sama 90an lho. Dulu itu internet belum ada, jadi media baca masih banyak yg berbentuk fisik. Untuk anak-anak ya tentunya majalah anak. Dulu banyak sekali majalah anak yg terbit, kalo sekarang saya tidak begitu tahu. Tapi yg pasti majalah si ‘Kelinci’ adalah yg paling ikonik untuk kita.
Paragraf2 diatas mungkin hanya segelintir kenangan saya tentang masa kecil tatkala hidup di era 90an. Dan selanjutnya saya ingin berandai-andai. Seandainya di era 90an saya udah agak gedean dikit, ya minimal SMP lah saya juga akan senang banget. Sebagai penggemar musik dan film, era 90an itu punya cerita yg tidak dipunyai era-era lainnya.
Jujur saya ingin sekali hidup ketika Kurt Cobain dengan Nirvana-nya membawa era musik yg baru lewat musik grunge-nya. Menyaksikan sendiri grup-grup band asal Britania Raya macam Oasis, Blur, Suede dsb membawa arus baru dlm dunia musik yg disebut Britpop. Dan menjadi saksi kehadiran album masterpiece dari salah satu band favorit saya saat ini, Radiohead. Rasanya saya akan senang sekali menikmati hegemoni dan euforia musik kala itu. Seorang musisi Indonesia pernah bilang bahwa pada dasarnya style musik itu berputar dan perputaran terakhir ada di era 90an. Era setelahnya hanyalah berupa pengulangan-pengulangan yg sudah ada, cuma disesuaikan dgn zaman saja. Khusus untuk musik di Indonesia sendiri, kalo tidak salah saya pernah menulisnya disini.
Kalo film lain lagi. Di era 90an kita bisa menemukan sutradara-sutradara hebat masa kini yg memulai debutnya di era 90an. Sebut saja Quentin Tarantino, David Fincher, Wes Anderson, Paul Thomas Anderson, Darren Aronofsky, David O. Russel sampai Cristopher Nolan yg memulai lewat debutnya lewat Following tahun 1998. Hebatnya lagi film-film tahun 90an juga punya kualitas yg tidak kalah mentereng dengan era sekarang. Bahkan bisa dibilang lebih bagus. Dengan teknologi yg masih terbatas saat itu, film 90an justru mampu berbicara lewat cita rasa seni kompleks yg jarang ditemui di era sekarang. Selain itu, film-film 90an itu punya ciri khas. Anda bisa membandingkan sendiri perbedaan film 90an dengan sekarang. Ada nuansa yg khas banget dari film 90an yg tidak ada di era sebelum atau sesudahnya. Coba saja tengok film-film macam Edward Scissorhands, The Silence of the Lambs, Forrest Gump, The Shawsank Redemption, Seven sampai The Truman Show.
Untuk dunia perfilman di Indonesia sendiri saya kurang begitu tahu. Yang saya tahu sih akhir 90an ada film “sejuta umat” untuk anak Indonesia, judulnya Petualangan Sherina. Ya, film itu memang magis banget untuk anak-anak Indonesia. Ok, karena soal perfilman Indonesia saya tidak tahu banyak jadi kita alihkan saja pada acara TV-nya.
Ngomongin  acara TV di Indonesia, era 90an termasuk era yg bagus dlm dunia pertelevisian Indonesia. Acaranya begitu variatif dan punya kualitas. Mulai dari variety show sampai sinetron. Judul-judul berikut mungkin akan mengingatkan kita sama masa itu. Ada Si Doel Anak Sekolahan, Wiro Sableng, Keluarga Cemara (salah satu sinetron terbaik di Indonesia) sampai Jin & Jun atau Tuyul & Mbak Yul. Dan masih banyak lagi yg lainnya. Selain acara dari negeri sendiri, TV-TV nasional kita juga disuguhi tayangan2 dari luar, seperti telenovela dan serial TV macam Hercules, Sinbad dan Xena (Wah seandainya saja itu terjadi sekarang pasti bisa nonton Breaking Bad atau True Detective di r**i nih!). Dan faktanya pertelevisian kita sekarang udah beda banget. Sekarang sih acara2 TV Indonesia udah kebanyakan gak jelasnya. Sinetron contohnya. Entah apa yang ada dalam pikiran orang-orang sinetron kita, apa maunya sih? Sinetron judulnya apa ceritanya kemana? (Btw, ngomongin sinetron seru juga kayaknya. Next Post, mungkin?) Terus ada lagi acara variety show yg katanya komedi. Entah selera humor saya yg rendah atau gimana tapi buat saya acara-acara kayak begitu gak ada lucunya sama sekali. SUMPAH! Konten gak jelas. Semuanya serba gak jelas. Isinya malah ngeledek-ngeledek orang, ujung-ujungnya ditegur sama KPI. Emang parah nih pertelevisian kita sekarang!
Rasanya gak akan ada habis-habisnya nih buat cerita 90an. Jadi, saya sudahi sajalah. Sebelum tulisan ini makin cerewet dan melebar kemana-mana. Namun yg pasti, 90an itu memang penuh memori. Entah buat anak-anak, remaja, dewasa bahkan orang tua. Dan saya merasa beruntung pernah mengalami masa 90an. Ya, seandainya waktu bisa terulang kembali. Seandainya saya adalah Tim ‘About Time’ yg bisa melakukan time travel cukup dgn membayangkannya saja di ruang gelap. Seandainya teman saya adalah Kitty Pryde ‘Days of Future Past’ yg bisa mengirim saya ke masa lalu. Tapi tentu itu semua tak mungkin. Dan biarlah 90an telah berlalu tapi ingatan2 dan kenangan2nya akan selalu ada. Udah dulu kali ya rindunya, kangen2annya, nostalgianya. Jangan sampai terjebak terlalu jauh sama masa lalu. Siapa tahu kita gak bisa balik lagi. Haha. Sekarang saatnya kembali ke masa ini dan menikmati apa yang ada. Salam buat semua yg pernah merasakan masa 90an dimanapun berada.