Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Thursday, December 31, 2015

Catatan Nonton #Desember’15

FINALLY! Genap sudah dua tahun post Catatan Nonton di blog saya ini. Tak terasa ternyata post bulanan ini sudah memasuki edisi ke-24 semenjak saya memulai merangkum kumpulan review pendek dari film yang saya tonton selama satu bulan dalam post berlabel Catatan Nonton ini. Telah banyak judul-judul film yang masuk daftar ini semenjak memulainya pertama kali. Tak mudah sebenarnya untuk konsisten menulis post bulanan seperti ini (apalagi saya pemalas). Belum lagi mood nonton yang mulai fluktuatif di tahun kedua ini. Hal yang sesungguhnya berbeda di tahun pertama dimana hasrat saya menonton film sangat menggebu-gebu. Tapi untungnya itu tidak menyurutkan niat untuk bisa mem-posting Catatan Nonton di setiap akhir bulan. Meski kuantitasnya cenderung menurun beberapa waktu belakangan ini.
Dan... besok sudah mulai memasuki tahun baru, saya pun masih berharap untuk terus bisa membuat post ini lagi sampai... entah tidak tahu sampai kapan. Tapi yang pasti, demi menutup berakhirnya tahun 2015 sekaligus tanda menggenapkannya Catatan Nonton dalam kurun waktu dua tahun ini, berikut kumpulan short review film yang masuk edisi Catatan Nonton bulan Desember ini. Here it is! 
And Happy New Year!!!

Pan (2015) (22/12/15)


Short review:
Kisah Peter Pan versi Warner Bros. ini memang tak seperti yang kita dengar. Tapi itu tidak menjadi masalah jika filmnya menyenangkan. Sedikit harapan memang layak disandangkan pada seorang Joe Wright. Wright memang berhasil memberi nyawa pada ‘Pan’ lewat desain produksinya yang ok, baik dari set, kostum, karakter dan visualnya yang ciamik. Namun ‘Pan’ sendiri seolah terjangkit virus yang sama di hollywood, dimana ‘Pan’ hendak menjadi sebuah film blockbuster yang megah dan penuh kehebohan disana-sini. Namun pada akhirnya melewatkan aspek narasi yang juga harus digarap dengan baik.
Skor: 3/5

Negeri van Oranje (2015) (23/12/15)


Short review:
Review filmnya bisa dilihat disini.
Sementara review bukunya bisa dilihat disini.
Skor: 3/5

The Walk (2015) (24/12/15)


Short review:
Dalam beberapa kasus, ada film yang memang tidak difokuskan pada hasil akhir melainkan pada prosesnya. Dan ‘The Walk’ adalah salah satu diantaranya. Mungkin hampir sebagian orang didunia mengenal seorang Philippe Petit, seorang artis akrobatik Perancis spesialis berjalan diatas kawat. Petit pernah menghentak dunia saat ia melakukan hal gila, menyeberangi gedung WTC dengan seutas kawat. Apakah dia berhasil? Ya, tentu saja. Tapi seperti yang saya singgung di awal, bahwa ‘The Walk’ memang tidak berfokus pada hasil akhirnya melainkan pada prosesnya. Dan Robert Zemeckis berhasil mengemas proses itu dengan sangat apik walaupun sempat tersendat di awal-awal. Perjalanan menyeberangi gedung tertinggi saat itupun menjadi tidak mudah karena banyak faktor yang juga turut mempengaruhinya. Dan inilah bagian menariknya. Sebelum akhirnya sebuah klimaks menghantarkan kita pada sensasi mendebarkan penuh ketegangan.
Skor: 3,75/5

Hotel Transylvania 2 (2015) (26/12/15)


Short review:
Semenjak film pertamanya dirilis 2012 lalu, ‘Hotel Transylvania’ cukup berhasil memberikan sarana hiburan keluarga yang ringan. Walaupun kualitasnya tidak bisa dibandingkan dengan film seangkatannya macam ‘Wreck-It Ralph’ atau ‘Frankenweenie’, tapi perolehan box-office sudah jadi alasan kenapa sekuelnya muncul tahun ini. Kembali ditangani orang yang sama yakni Genndy Tartakovski, ‘Hotel Transylvania 2’ masih memiliki tone yang sama seperti predesesornya. Tidak ada yang banyak berubah di semua lininya. Premisnya sebenarnya bisa dibuat kaya akan konflik jika melihat sosok dilematis Dennis yang notabene merupakan seorang anak hasil perkawinan dua makhluk berbeda. Meski masih memunculkan sisi itu tapi apa yang dilakukan Genndy Tartakovski masih terlalu aman. Biarpun begitu ‘Hotel Transylvania 2’ tetap bisa menjalankan tugasnya sebagai sarana hiburan keluarga yang ringan di waktu senggang.
Skor: 3/5

Friday, December 25, 2015

Resensi Buku: Pulang


Tere Liye bisa dibilang salah satu penulis ternama di Indonesia. Telah banyak karya yang ia telurkan, beberapa diantaranya juga telah diadaptasi menjadi film. Sebut saja ‘Hafalan Shalat Delisa’, ‘Bidadari-bidadari Surga’ atau ‘Moga Bunda Disayang Allah’. Saya sendiri tidak terlalu tahu tentang karya Tere Liye, karena tak satupun bukunya pernah saya baca. Walaupun (sebenarnya) namanya terasa familiar di telinga. Hingga saat saya berkunjung ke toko buku (sudah cukup lama), saya menemukan karya Tere Liye yang ternyata lumayan banyak dan cukup variatif. Saya pikir Tere Liye hanya menulis novel yang setipe dengan judul-judul yang saya sebut sebelumnya. Tidak demikian ternyata. Pasalnya, sebuah buku bersampul manusia berdasi yang memakai topeng berhidung panjang cukup menarik perhatian saya waktu itu, judulnya ‘Negeri Para Bedebah’. Sekilas, ‘Negeri Para Bedebah’ memang terlihat berbeda dengan judul diatas atau judul macam ‘Rembulan Tenggelam di Wajahmu’, ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’, ‘Senja Bersama Rosie’ dll. Mungkin hanya ‘Negeri di Ujung Tanduk’ yang sedikit mirip. Walaupun ‘Negeri Para Bedebah’ terlihat menarik, tak sekalipun saya mengambilnya walau dalam hati menginginkannya. Mungkin lain kali saja, kata saya dalam hati.
Beberapa waktu lalu, saya kembali ke toko buku yang sama. Saya pun kembali ke rak buku yang biasa memajang karya Tere Liye. Beberapa judul terasa asing karena baru pertama kali saya lihat. Seperti buku berwarna hijau dengan cover matahari terbit dalam kertas tersobek yang terpampang memenuhi separuh isi rak. Sebuah buku berjudul pendek tersebut seolah memanggil untuk diambil, dibawa pulang, kemudian dibaca. Sebuah karya terbaru berjudul satu kata dimana kata tersebut menurut saya memiliki muatan filosofis yang tinggi. Sarat akan makna dan arti. Buku tersebut berjudul ‘Pulang’.
Menurut orang-orang yang sudah akrab dengan karya Tere Liye, mayoritas judul yang dipakai akhir-akhir ini memang pendek dengan hanya memakai satu kata saja. Seperti ‘Bumi’ ‘Rindu’ ‘Bulan’ ‘Pulang’. Namun lewat ‘Pulang’ lah saya mencoba berkenalan dengan Tere Liye. Kenapa ‘Pulang’? Karena seperti yang saya bilang, kata pulang itu sendiri memiliki jutaan makna yang bisa merefleksikan hidup jiwa manusia beserta hakikatnya. Walaupun saya tak tahu ceritanya tapi saya tak ragu untuk mengambilnya. Karena judul ‘Pulang’ itu sendiri merupakan sebuah panggilan. Saya pikir, mungkin sensasi ‘Pulang’ akan sama seperti ‘Life of Pi’-nya Yan Martel yang sentimentil itu. Dengan caranya sendiri tentunya.
‘Pulang’ dibuka dengan satu hal yang sangat familiar. Berbicara tentang lima emosi dalam diri manusia: bahagia, sedih, jijik, marah dan takut. Sangat familiar buat saya karena itu adalah ‘Inside Out’. Sebuah film animasi Pixar rilisan tahun 2015 yang bercerita tentang lima emosi dalam diri manusia yang diwakili anak sebelas tahun. Setelahnya, cerita melompat ke sebuah hutan yang menyoroti kisah perburuan babi hutan. Perburuan babi hutan? Sungguh itu bukanlah yang saya harapkan dari buku ini. Hingga sampai di bagian ketiga yang memiliki subjudul ‘Shadow Economy’ saya mulai mengerti alur ‘Pulang’ akan kemana. Sayapun sadar bahwa plotnya tidak sesempit hutan dengan perburuan babi didalamnya. Plot ‘Pulang’ jauh lebih besar. Jauh lebih kompleks dari itu.
Saya senang karena Tere Liye banyak mengaitkan cerita dengan beberapa hal yang terindikasi dengan realita. Seperti lima emosi ‘Inside Out’ tadi. Kemudian yang tak kalah menarik adalah ketika dimunculkan sosok calon Presiden berkemeja putih bernomor urut dua. Walaupun Tere Liye tidak pernah mengungkap secara gamblang siapa sosok tersebut, tapi kita semua tahu itu mengarah ke siapa. Saya senyum-senyum saja membaca bagian ini. Berasa gimana gitu? Ckckck. Selain itu, saya juga senang ketika Tere Liye mendefinisikan perspektifnya tentang suara adzan (adzan shubuh kalau disini). Karena nyatanya masih banyak yang menganggap suara adzan (terutama adzan shubuh) sebagai suara yang mengganggu. Tere Liye menepis sekaligus mematahkan anggapan itu disini. Bahwasanya suara adzan yang dikumandangkan bukanlah untuk mengganggu manusia tapi justru memberi panggilan pada jiwanya.
Jika melihat judulnya, plot ‘Pulang’ hampir tidak terduga. Karena mungkin tak ada yang menyangka jika ‘Pulang’ akan membawa premis tentang dunia hitam. Dunia hitam yang dimaksud disini adalah dunianya para mafia / gangster / triad / yakuza / berandal atau sejenisnya (nih udah kayak menu nasi goreng dekat kampus saya aja, haha) yang menguasai tatanan ekonomi dan sosial dalam suatu negara. Sebuah pergerakan bawah tanah yang terorganisir, rapi, besar, tak terendus dunia luar yang berpengaruh (bahkan melebihi pemerintahan). Menjadi dalang dibalik semua peristiwa yang ada. Penggerak para boneka suruhan mereka. Sebuah dunia penuh kamuflase dibalik setelan rapi tuxedo dan dasi yang justru tak segan merenggut nyawa. Sebuah dunia yang memang terasa asing di telinga kita dan Tere Liye dengan senang hati membawa kita masuk ke dunia tersebut. Menyusuri setiap sudut gelapnya.
Dengan premis seperti itu, ‘Pulang’ tidak banyak membuang waktu bercerita melankolis dengan drama mendayu-dayu. Lebih dari itu, ‘Pulang’ menghadirkan banyak kekerasan, ketegangan, intrik, konspirasi dan adegan aksi. Tokoh utamanya adalah Bujang. Seorang pria perfeksionis dengan kecerdasan diatas rata-rata yang mampu memaksimalkan potensi otak dan fisik sama kuatnya. Seorang anti-hero. Dari kacamatanya, kita melihat dunia hitam yang perjalanannya tidak selalu mudah dan mulus. Selalu ada harga tinggi yang harus ditebus dibalik mahalnya kuasa. Selalu ada darah yang tumpah dibalik misi yang harus diemban. Selalu ada pengorbanan besar dibalik semua perjuangan meraih tujuan yang lebih besar. Semuanya terjalin rapi dalam satu ranah bernama ambisi manusia yang tak berbatas.
Sekilas, ‘Pulang’ seperti sebuah parade aksi yang menampilkan berbagai pertarungan, baku tembak dan hantam. Namun jika dilihat lebih dalam lagi, sesungguhnya ‘Pulang’ adalah tentang seorang Bujang. Seorang pria yang tengah mencari jati diri dalam sebuah krisis identitas yang dialaminya. Seorang pria yang tengah mencari solusi akibat konfrontasi dalam dirinya. Seorang pria yang harus berdamai dengan masa lalunya. Karakter Bujang yang multidimensional cukup berhasil dikulik Tere Liye. Hal ini tak lepas dari keberadaan para karakter pendukung yang turut memberi kedalaman karakter pada seorang Bujang. Meski tidak sampai kuat sekali tapi itu sudah lebih cukup untuk membuat Bujang berdiri di garda terdepan.
Kekuatan terbesar sebenarnya dalam ‘Pulang’ terletak pada caranya bertutur lewat alurnya. Dengan alur maju-mundur (campuran) yang tersusun rapi, Tere Liye berhasil mempresentasikan plot besarnya dengan baik. Seandainya saja Tere Liye memakai alur maju yang linear dan merunutkan semuanya secara sistematis, ‘Pulang’ pasti akan sangat membosankan. Pasalnya, garis besar cerita ‘Pulang’ tidak sampai menawarkan inovasi baru untuk genrenya meski masih menyajikan detail-detail menarik. Saya memang tidak terlalu akrab dengan buku tapi saya cukup akrab dengan film. Dan premis seperti ini tentu bukan barang baru dalam film. Maka dari itu alur yang ditempuh ‘Pulang’ sangat berperan besar dalam membuatnya menarik untuk dibaca. Selain juga karena gaya bahasa Tere Liye yang ramah dengan tetap menyajikan guratan-guratan penuh makna dimana bila diresapi lebih dalam akan menjadi sebuah bahan renungan. Tak heran ada banyak kalimat quotable yang potensial disukai dan dikutip pembaca.
Konklusi ‘Pulang’ memang dieksekusi dengan agak klise dalam ranah yang terbilang aman. Meski bukan satu-satunya jalan tapi bisa jadi itu adalah cara yang paling tepat untuk mengakhiri kisahnya. Setidaknya itu sudah cukup untuk mengguratkan perasaan puas dimata pembaca. Jika ada hal yang kurang maka itu adalah kedalaman emosinya. Sebuah epilog berjudul pulang pun masih belum cukup membawa sentuhan emosi yang punya impact dalam buat pembaca. Salah satu alasannya (mungkin) karena plotnya yang bercerita tentang dunia hitam yang memang kurang personal untuk kebanyakan orang. Esensi kata pulang pun tidak sesentimentil seperti yang terlintas dalam benak saya saat pertama kali melihat judul buku ini. Tapi ‘Pulang’ berhasil memberi persepsi lain tentang kata pulang itu sendiri. Bahwasanya pulang itu tidak selalu tentang kembali. Tapi pulang bisa berarti memulai lagi. Seperti matahari yang senantiasa terbit untuk kembali memulai hari.

Negeri Van Oranje (2015): Narsisme Si Negeri Kincir Angin


"Cukup satu kejadian. Cukup satu"
- Wicak -

Cukup satu kejadian kata untuk mengungkapkan kekuatan terbesar dari buku berjudul ‘Negeri van Oranje’. Menyenangkan. Itulah kata tepatnya. Buku bersampul orange yang ditulis oleh empat orang sekaligus ini memang mempunyai semua hal untuk bisa menjadi bacaan menyenangkan. Resensi bukunya pernah saya posting disini. Lalu bagaimana jika buku setebal 565 halaman ini diadaptasi menjadi sebuah gambar bergerak berdurasi 100 menit? Samakah sensasi menyenangkannya?
Buku dan film adalah dua elemen yang berbeda. Tentu keduanya tidak bisa dibandingkan satu dengan yang lainnya. Baik buku maupun film, dimata pembaca dan penonton keduanya mempunyai sisi menariknya masing-masing. Maka menjadi kurang fair ketika sebuah film yang diadaptasi dari sebuah buku selalu dibandingkan dengan sumber aslinya. Hal yang acap kali terjadi dan seringkali menimbulkan pertanyaan di benak orang. Koq beda sama yang di buku? Koq di film begini? Koq di film begitu?
Pada dasarnya, film membutuhkan beberapa perubahan yang harus dilakukan guna menyesuaikan dengan medium film itu sendiri. Maka perbedaan sudah pasti akan terjadi. Jadi tidak terlalu menjadi masalah jika menemukan beberapa perbedaan antara buku dan film. Selama garis besar ceritanya tidak melenceng jauh, maka itu adalah hal yang wajar.
Seperti yang kita tahu, premis dasar ‘Negeri van Oranje’ adalah persahabatan. Berfokus pada 5 (lima) orang mahasiswa Indonesia (Banjar, Wicak, Daus, Geri dan Lintang) yang kuliah di Belanda. Persahabatan yang terjalin tanpa kesengajaan hanya karena kesamaan nasib. Terjebak badai di Amersfoort dan sama-sama berasal dari  Indonesia. Persahabatan tanpa rencana inipun menjadi salah satu bagian penting dari hidup mereka berlima. Hingga seiring berjalannya waktu timbullah benih-benih cinta diantara tali pertemanan.
Daripada membuat kisah tentang hangatnya sebuah persahabatan di negeri orang sampai akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta dalamnya, Endri Pelita selaku sutradara ternyata lebih memfokuskan kisahnya pada siapa yang kelak akan menjadi pasangan Lintang. Seperti bermain tebak-tebakan dengan penonton. Hal ini tercium semenjak ‘Negeri van Oranje’ membuka narasinya, dimana kita melihat seorang Lintang (Tatjana Saphira) yang tengah mempersiapkan pesta pernikahannya. Setelah itu, penonton pun mulai digiring dalam permainan Endri yang mulai mengenalkan satu persatu dari keempat pria sang calon suami berikut interaksinya bersama Lintang.
Kendati sedari awal fokusnya sudah seperti itu, narasinya pun hanya berkutat dengan permainan tebak-tebakan siapa yang akan menjadi pasangan Lintang. Yang terasa adalah kisah persahabatannya sendiri menjadi kurang tergali secara dalam. Memang kisah persahabatan AAGABAN terlihat cukup menyenangkan, tapi naskahnya sendiri tidak memberikan cukup banyak ruang untuk membawa sentuhan emosional yang sejatinya akan berdampak pada emosi penonton. Dengan kata lain, naskahnya terlalu bersifat ringan kalau tidak mau dibilang lemah. Ini pula yang membuat proses yang harusnya menjadi fokus utama menjadi terasa setengah matang. Belum ditambah kisah perjuangan mereka sebagai mahasiswa rantau dinegeri orang yang hampir tak tersentuh sama sekali.
 ‘Negeri van Oranje’ mengambil lokasi syuting di lima kota di Belanda + Praha (Rep. Ceko). Sejak film ini dibuka (baik Praha maupun Belanda) sudah saling pamer keelokan Eropa. Eksploitasi keindahan sudut-sudut kota berhasil ditangkap dengan baik lewat sinematografi Yoyok Budi Santoso (walaupun sedikit over di lens flare). Jika ‘Negeri van Oranje’ dimaksudkan untuk memancing hasrat penonton untuk pergi kesana maka itu sudah sangat berhasil. Ya, siapapun pasti akan dibuat ngiler melihat keelokan Belanda dan Praha. Namun karena terlampau over pamer keindahan “luar negeri”, ‘Negeri van Oranje’ pun menjadi lupa bahwa mereka pun harus bercerita. Seperti tercipta sebuah kesan bahwa syuting diluar negeri harus selalu memaksimalkan potensi lansekapnya. Tidak salah, tapi lebih seringnya justru meminimalkan aspek cerita yang lebih penting. Dan inilah yang terjadi pada ‘Negeri van Oranje’.
Beruntung ‘Negeri van Oranje’ punya ensemble cast yang menjanjikan. Walaupun eksplorasi karakter masing-masing kurang berkembang. Tapi nama-nama macam Tatjana Saphira, Ciccho Jerikho, Arifin Putra, Abimana Aryasatya sampai Ge Pamungkas, jelas menjadi daya tarik terbesar ‘Negeri van Oranje’. Merekapun cukup berhasil membawakan setiap karakter dengan kekuatannya masing-masing. Tatjana Saphira sebagai Lintang sudah cantik, pantas bila diperebutkan. Ciccho Jerikho sudah sangat tepat memerankan karakter Geri yang perfect, yang menurukan pasaran standar ganteng orang Indonesia. Abimana Aryasatya mampu menampilkan sisi misterius Wicak yang pendiam namun meneduhkan. Arifin Putra pun bisa meninggalkan sisi cool-nya ketika berperan sebagai pria bar-bar tukang nyablak dalam diri Banjar, yang sukses berduet dengan Daus (Ge Pamungkas ) yang konyol.
Sedari awal memutuskan menonton ‘Negeri van Oranje’, saya memang tidak memasang ekspektasi tinggi untuk film ini. Saya hanya ingin menontonnya bareng teman-teman. Mencari hiburan. Senang-senang. Sudah. Kalau dibilang ‘Negeri van Oranje’ menghibur, ya menghibur. Kita bisa tertawa karena Banjar dan Daus. Penonton perempuan bisa sangat dimanjakan lewat perhatian Geri. Bisa dibuat melting lewat sosok Wicak. Penonton laki-laki, ah sudah cukup dengan melihat nama Tatjana Saphira saja. Gambar-gambar yang tersaji dilayar pun nyaman untuk ditonton. Namun satu bagian esensial film ini yang mengatasnamakan persahabatan menjadi kurang sentimentil dibenak saya. Karena ‘Negeri van Oranje’ terlalu bernarsis-narsis ria dengan set-nya, sementara narasi yang juga harus tampil sama baiknya harus menjadi korban. Naskahnya yang terlalu ringan, tidak berkembang dan terlalu bermain aman sehingga eksplorasi konfliknya terasa dangkal. Overall, masih bisa menyenangkan dan cukup layak dinikmati.

Monday, November 30, 2015

Catatan Nonton #November’15

Catatan Nonton bulan November ini sudah memasuki edisi ke-23. Sebentar lagi, post bulanan di blog saya ini akan genap dua tahun. Tak terasa juga ternyata sudah hampir dua tahun saya membuat post berisi kumpulan review pendek dari film yang saya tonton dalam satu bulan.  Walaupun mood nonton kadang kali naik turun terutama akhir-akhir ini, tapi saya tetap mempertahankan post Catatan Nonton ini seperti biasa. Movie of the month untuk edisi ini jatuh pada ‘The Man from U.N.C.L.E.’ Dan berikut short review film yang masuk edisi Catatan Nonton bulan November 2015. Check this out!
Gambar dari sini.

Mission: Impossible – Rogue Nation (2015) (01/11/15)


Short review:
Setelah dibuat terpesona Brad Bird di ‘Ghost Protocol’, Ethan Hunt melanjutkan petualangannya ditangan Christopher McQuarrie. Memang menjadi beban tersendiri mengingat Brad Bird pernah menghentak dunia lewat adegan fenomenal Ethan Hunt memanjat gedung tertinggi dunia, Burj Khalifa ditambah pula kualitas ‘Ghost Protocol’ yang diakui. Namun bukan berarti McQuarrie tanpa amunisi. Adegan pembuka dipesawat sedikit masih kalah dengan adegan memanjat gedung, tapi ‘Rogue Nation’ punya cara tersendirinya untuk menghibur dengan berbagai adegan aksi penuh ketegangan. Semuanya dihadirkan dengan begitu intim dan efektif. Berbagai element yang sudah menjadi ciri khas ‘Mission Impossible’ sebagai salah satu franchise espionage terkenal tidak hilang. Ada pula Rebecca Ferguson yang begitu mencuri perhatian.
Skor: 4/5

The Man from U.N.C.L.E. (2015) (01/11/15)


Short review:
Tahun 2015 bisa disebut sebagai tahunnya film spionase karena begitu banyaknya film spionase yang rilis tahun ini. Salah satu diantaranya adalah ‘The Man from U.N.C.L.E.’ garapan Guy Ritchie yang merupakan serial TV populer di era 60-an. Meski tidak menawarkan formula spionase yang baru tapi ‘The Man from U.N.C.L.E.’ muncul sebagai salah satu film spionase paling menyenangkan tahun ini. Setting asli yang dipilih Ritchie sangatlah tepat. Dengannya, kita seolah dibawa rasa dejavu kenapa kita menyukai film spionase. ‘The Man from U.N.C.L.E.’ juga mempunyai cast yang mentereng, ada Henry Cavill, Armie Hammer dan Alicia Vikander (my fav). Interaksi ketiganya turut memberi sumbangsih besar yang membawa nuansa segar ‘The Man from U.N.C.L.E.’ Terlebih Napoleon Solo (Cavill) dan Illya Kuryakin (Hammer) merupakan karakter yang bertolak belakang. Ada pula Gabriella Teller (Alicia Vikander) yang manis. Lengkap lah sudah!
Skor: 4/5

Ich Seh Ich Seh / Goodnight Mommy (2014) (02/11/15)


Short review:
Film horor Austria ini begitu ramai dibicarakan dan disebut-sebut sebagai salah satu yang terseram tahun ini. ‘Ich Seh Ich Seh’ sesungguhnya tidak memunculkan satu sosok makhluk astral pun untuk menciptakan suasana horor. Bahkan sepanjang 70 % durasinya tidak ada kengerian yang nyata untuk membuat saya begidik. Suasananya begitu tenang. Namun memunculkan aura misterius yang kental bersama sesuatu yang “tidak beres” antara si ibu dan dua orang anaknya. Ketegangan dengan rasa horor yang kentara memang baru muncul disisa durasinya. Tapi pabila ditelaah lagi, rasa horor itu sendiri sudah dibangun sejak awal lewat atmosfer-nya yang creepy, dingin dan misterius itu.  Twist yang dihadirkan disini memang bukan sesuatu yang sulit ditebak. Tapi tidak lantas menjadikannya sebuah kekurangan untuk film yang juga didaftarkan pada ajang Oscar ini.
Skor: 3,75/5

Seventh Son (2014) (03/11/15)


Short review:
Salah satu film terburuk tahun ini. Entahlah tak ada satupun aspek film yang benar-benar menarik disini. Setidaknya, ‘Fantastic Four’-nya Josh Trank yang juga dianggap film gagal masih bisa saya menikmati. Berbeda dengan ‘Seventh Son’ yang dilihat dari berbagai sisipun benar-benar tak menarik sama sekali. Membosankan. Durasinya benar-benar terasa sangat melelahkan. Jikalau ada satu hal yang saya nikmati dan menjadi nilai plus buat ‘Seventh Son’ adalah kehadiran Alicia Vikander. Itupun bukan karena penampilannya. Melainkan karena sosoknya yang manis. Sebuah alasan kenapa saya mau nonton film ini.
Skor: 1,75/5

Ant-Man (2015) (07/11/15)


Short review:
‘Ant-Man’ seperti ajang perjudian berikutnya dari Marvel. Namun Marvel yang sekarang adalah Marvel yang sudah punya nama. Dengan kata lain, meski karakter yang akan dibuatkan filmnya terkesan asing tapi nama Marvel sendiri sudah menjadi jaminan bahwa filmnya akan berhasil. Setidaknya menghibur. Begitu pula yang terjadi pada ‘Ant-Man’. Bagian menarik dari ‘Ant-Man’ adalah eksplorasi dunia mikroskopis yang jarang kita temukan dalam film superhero. ‘Ant-Man’ seperti sebuah antitesis dari kebanyakan film superhero yang selalu membawa arena pertarungan pada set yang megah, tempat terbuka, tengah kota sampai luar angkasa. Lain dengan ‘Ant-Man’, kamar tidur anak kecil pun bisa jadi arena pertarungan yang seru. Namun secara keseluruhan, formula ‘Ant-Man’ masih sama dengan film-film Marvel lainnya. Bukannya apa, ada sedikit kekhawatiran jika formula yang sama ini dipakai terus-terusan, film-film Marvel dimasa depan akan berpotensi membosankan.
Skor: 3,5/5

American Ultra (2015) (10/11/15)


Short review:
Apapun filmnya, jika ada ada nama Kristen Stewart disana sudah pasti akan saya tonton. Termasuk ‘American Ultra’ yang menandai duet kedua kalinya K-Stew dengan sang Lex Luthor baru, Jesse Eisenberg, setelah sebelumnya mereka bermain bersama di ‘Adventureland’. Beruntung saya masih bisa merasakan chemistry yang kuat antara Stewart dan Eisenberg disini. Namun jika melihat plot ‘American Ultra’ secara keseluruhan, terdapat berbagai kekurangan yang terasa sangat mengganjal. Kritik orang-orang yang sempat dialamatkan pada Nima Nourizadeh selaku sutradara film ini pun sepertinya tidak salah tempat. Karena memang ada rasa seperti itu setelah menontonnya. Namun apabila mengesampingkan hal-hal mengganjal di film ini, ‘American Ultra’ sendiri sudah cukup untuk menjadi penghibur.
Skor: 3/5

Thursday, November 5, 2015

Resensi Buku: Hypnotic Killer


Wahyu membeli sebuah mesin ketik kuno yang disebut-sebut sebagai peninggalan seorang penulis terkenal. Entah kenapa, dengan mesin ketik tersebut, Wahyu berhasil menyelesaikan cerpen-cerpen misteri yang luar biasa. Sementara itu, kematian demi kematian terjadi secara misterius hanya berselang satu pekan. Polisi kesulitan mengungkap identitas pelakunya karena tidak adanya sidik jari dan jejak serta saksi mata. Hanya ada satu petunjuk, yakni kesamaan kronologi kejadian pembunuhan dengan cerpen misteri yang ditulis oleh Wahyu.
Sebuah premis menarik berhasil dihadirkan Eko Hartono dari sinopsis yang dihadirkan. Ada indikasi kisah misteri kuat dibalut thriller dan suspense yang menyeruak disana. Sebuah genre yang memang saya sukai. Bagian menariknya memang terlihat ketika Eko menyandingkan karya tulisan berupa cerpen yang notabene merupakan karya fiksi dengan peristiwa dikehidupan nyata yang keduanya seolah memiliki keterkaitan satu sama lain. Berbagai pertanyaan pun bermunculan dan membuat penasaran, akan seperti apa Eko Hartono meramu kisah yang cukup potensial ini? Tagline bukunya yang berbunyi “Hati-hati dengan apa yang kau tulis...” pun cukup menggelitik. Lalu seperti apakah jadinya?
Sedari awal sudah saya akui bahwa premis ‘Hypnotic Killer’ itu menarik. Namun menurut saya ada satu kesalahan besar Eko Hartono yang ia buat di bagian Kata Pengantar. Disana, Eko seolah sangat percaya diri dengan kisah misterinya ini dengan menulis “pembaca akan menemukan kejutan demi kejutan”. Dengan kata lain, ada twist berlapis yang potensial mengejutkan dan mengecoh pembaca. Saya membayangkan Eko Hartono akan menebar kepingan-kepingan puzzle yang harus dirangkai para pembaca. Kemudian setelah dirangkai sedemikian rupa oleh pembaca, Eko menghancurkan rangkaian puzzle tersebut dengan twist cerdas dan gila yang tak pernah diduga sebelumnya. Tentunya hal seperti ini akan memberikan sensasi yang luar biasa buat para pembaca.
Sesungguhnya tidak terlalu bermasalah jika penulis sangat percaya diri dengan tulisannya dan memberi clue bahwa bukunya ini akan memberi kejutan demi kejutan. Namun bagaimana jika kejutan demi kejutan tersebut tidak mengejutkan dan terlampau mudah ditebak? Inilah yang terjadi dengan ‘Hypnotic Killer’. Twist-nya teramat mudah ditebak. Bahkan tak perlu pusing merangkai kepingan puzzle untuk menebak dalang dari segala kasus yang ada. Karena jika kita seksama, melihat judulnya + membaca bagian keempat buku ini (sesungguhnya) kita sudah dapat menerka-nerka jawabannya. Twist kedua yang berhubungan dengan tokoh perempuan disinipun juga sangat mudah ditebak. Sampai motif para karakternya pun mudah ditebak. Kalau sudah begitu, apakah kejutan masih disebut kejutan jika teramat mudahnya kejutan itu ditebak?
Memang (masih di bagian Kata Pengantar), Eko juga menulis, “Ada kejutan di akhir cerita yang tidak terduga”. Dan itu yang terjadi ketika cerita melompat ke masa sepuluh tahun dari setting sebelumnya. Jujur, untuk yang satu ini sayapun tidak bisa menerkanya. Namun kalau boleh saya bilang, bagian yang ini (yang disebut penulis sebagai sebuah kejutan tak terduga) tidaklah terlalu esensial dengan cerita. Karena ceritanya sendiri sudah berakhir. Dengan kata lain, siapapun bisa saja membuat alternatif cerita dengan kejutan atau apalah secara sekenanya ketika plot utamanya sendiri sudah berakhir. Dan buat saya itu bukanlah sebuah twist atau kejutan. Twist yang baik adalah ketika si penulis memberikan clue yang telah ditebar baik pada plot, set, tokoh, karakterisasi dan bagian intrinsik lainnnya, kemudian setelah pembaca mulai percaya diri terhadap dugaannya, penulis membelokan dugaan pembaca dengan cara yang tak pernah terduga, sampai akhirnya BOOM!!! Pembaca pun melongo. That’s twist!
Daripada menyebut akhir cerita ‘Hypnotic Killer’ sebagai sebuah kejutan yang tak terduga atau twist, saya lebih senang menyebutnya sebagai sebuah open ending. Biasanya ending seperti ini merupakan indikasi akan adanya cerita lanjutan atau sekuel. Atau hanya sekedar untuk mengumbar pertanyaan yang akan menjadi bahan diskusi buat para pembaca setelahnya. Atau hanya akal-akalan penulisnya saja untuk membuat pembacanya gregetan. Hehe.
Mungkin akan lain ceritanya jika penulis tidak pernah mengungkapkan bahwa bukunya ini akan mengejutkan pembaca. Karena jika melihat genre-nya, twist itu sendiri sudah sepaket dengan cerita (biasanya, walaupun tidak semua). Dengan begitu, twist atau kejutan itu tidak akan menjadi sebuah ekspektasi melainkan sebuah bonus bagi pembaca. Seandainya kejutan itu mudah ditebak pun tetap akan terasa menyenangkan, apalagi jika tidak mudah ditebak. Dan disini, penulis menyatakan dengan lugas bahwa bukunya ini akan menyajikan rangkaian kejutan. Tak ayal, hal ini menimbulkan ekspektasi dan imajinasi liar dari pembacanya. Tak akan jadi masalah jika twist itu benar-benar berhasil mengelabui pembaca. Masalahnya adalah twist ‘Hypnotic Killer’ itu sangat tidak berhasil dan membuat kita berujar, “Hah? Segitu doang?” Itulah kenapa diawal saya sebut Eko Hartono telah melakukan satu kesalahan besar.
Biarpun begitu, saya tetap mengapresiasi penulis yang secara implisit mengakui bahwa menulis cerita misteri seperti ini tidaklah mudah. Karena memang begitulah adanya. Ini bisa terlihat dari ucapan tokoh Wahyu tatkala bercakap-cakap dengan Mang Darman. Wahyu berujar bahwa tema misteri atau detektif dalam sebuah karya tulisan itu sulit. Tema-tema seperti ini butuh pemikiran yang cerdas dan cerdik.  Karena mayoritas tema seperti ini memiliki alur yang berliku, penuh teka-teki, berselimut rahasia tanpa meninggalkan rasio dan logika (hal. 32). Statement Wahyu kepada Mang Darman ini menurut saya merupakan manifestasi dari pikiran penulis ‘Hypnotic Killer’ sendiri yaitu Eko Hartono.
Element kejutnya yang sangat tidak berhasil berbanding terbalik dengan element suspense-nya. Tiga perempat bagian awal atau sebelum konklusi dihadirkan, saya merasakan ketegangan yang cukup kentara dan seolah masuk kedalam cerita ini. Hal ini tak lepas dari pengenalan karakter utama ‘Hypnotic Killer’ yang menurut saya cukup berhasil. Karakter Wahyu berhasil menghadirkan aura simpatik sehingga pembaca peduli dengan karakter ini. Deskripsi karakter Wahyu sendiri cukup related dengan kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahasa dan diksi yang sederhana tapi tepat sasaran menjadikan ‘Hypnotic Killer’ juga mudah diikuti.
Overall, ‘Hypnotic Killer’ gagal total memberikan aspek kejut (twist) yang sudah sangat percaya diri ditulis sang penulis di Kata Pengantar karena terlampau mudahnya ditebak. Tapi mengesampingkan hal itu, ‘Hypnotic Killer’ cukup berhasil menggulirkan kisah misterinya yang enak diikuti. Ketegangan pun cukup terasa terutama sebelum konklusinya dihadirkan. Penggambaran karakter Wahyu sebagai tokoh utama cukup menarik simpati sehingga pembaca peduli dengan karakternya. Dan sekali lagi, bagian ending sebelum tamat itu bukanlah sebuah kejutan. That’s not twist, that’s open ending.

Saturday, October 31, 2015

Catatan Nonton #Oktober’15

Setelah beberapa waktu agak mulai menurun, sepertinya bulan ini saya mulai menemukan kembali mood menonton film seperti biasanya. Terbukti di edisi ke-22 dari ‘Catatan Nonton’ kali ini jari tangan saya sudah tak bisa menghitungnya. Triwulan terakhir dalam setahun biasanya selalu menghadirkan film-film yang worhted buat ditonton. Dengan kata lain, banyak film-film bagus (yang tidak hanya sekedar hiburan) yang rilis di periode ini. Film-film ramah Oscar pun selalu bermunculan diperiode ini. Khusus bulan Oktober saja, ada cukup banyak film-film yang nongol di bioskop. Sebut saja The Martian, Sicario, The Walk, Crimson Peak dan Bridge of Spies. Film-film tersebut sebenarnya juga muncul dalam daftar film yang saya tunggu tahun ini dipostingan awal tahun. Meski begitu, kenyataannya saya tidak bisa menyaksikan semua film-film itu. Tentunya ada berbagai alasan kenapa itu bisa terjadi. Tapi apapun itu, ini adalah ‘Catatan Nonton’ yang berisi review-review pendek film yang saya tonton selama sebulan ini. Movie of the Month kali ini adalah Crimson Peak-nya Guillermo del Toro yang sukses menyajikan tontonan tercantik sekaligus termegah tahun ini. Dan seperti biasa gambar diambil dari sini.

Tomorrowland (2015) (01/10/15)


Short review:
Diilhami dari salah satu wahana Disneyland, 'Tomorrowland' memang terasa begitu ambisius dengan segala remeh temeh tentang masa depan dan dunia futuristik. Dari luar, 'Tomorrowland' tampak begitu megah dengan visual futuristik yang memanjakan mata. Menghibur? Ya. Menyenangkan? Ya. Namun ketika kita melihat lebih dalam lewat caranya bercerita. 'Tomorrowland' seperti terseok-seok dalam bertutur soal konsep dan ide yang imajinatif yang digelontorkan bersama isu kehancuran bumi dimasa depan. Pesan besarnya mungkin kurang begitu tersampaikan, walaupun Brad Bird telah banyak menceramahi penonton dengan berbagai pikiran positif dan optimis. Eksekusi memang menjadi permasalahan disini.
Skor: 3,25/5

Terminator: Genisys (2015) (01/10/15)


Short review:
Bukan salah penonton jika harus kebingungan sendiri menyaksikan installment terbaru sekaligus reboot dari franchise yang melambungkan nama Arnold Schwarzenegger. Mengusung elemen time travel dan alternate timeline yang bertabrakan menjadi sebuah paradoks memang terlihat cerdas dan rumit disaat bersamaan. Namun itu hanya akan jadi omong kosong belaka jika skrip yang ditulis tidak sebagaimana mestinya. Duo Laeta Karogridis dan Patrick Lussier terlihat malas dalam menjelaskan hukum sebab-akibat yang pasti guna memaparkan bla-bla-bla tersebut. Dan terkesan menggampangkan semuanya dengan dalih "masa lalu telah berubah, begitupun masa depan". Beruntung Alan Taylor masih menyisakan unsur hiburan yang cukup bekerja (meski tidak istimewa) dan menebar homage-homage kecil yang membawa kita bernostalgia dengan ‘Terminator’. Setidaknya, itu menyenangkan (ditambah Emilia Clarke tentunya).
Skor: 3,25/5

Paper Towns (2015) (04/10/15)


Short review:
Ada kehangatan yang begitu kentara melihat adaptasi novel young adult John Green ini. 'Paper Towns' tidak hanya berbicara tentang kisah cinta masa SMA saja, ada kisah persahabatan yang diulik disini. Jika itu belum cukup, tenang, karena 'Paper Towns' memberi selipan misteri dan sebuah perjalanan menyenangkan bersama iringan musik indie yang catchy. Seperti kisah young adult pada umumnya, 'Paper Towns' pun akan membawa unsur pendewasaan yang kalau saya bilang lebih related disini. Dari luar mungkin terlihat sederhana, tapi ada muatan filosofis yang membuat kitapun ikut merenungkannya bersama ending bittersweet itu. Moment-moment yang terjadi disinipun sedikit banyak membawa kita ikut berkontemplasi ke masa putih-abu dulu. Pun ketika mereka menyanyikan opening song ‘Pokemon Indigo League’ yang seru, lucu dan bikin kangen.
Skor: 3,5/5

The Martian (2015) (05/10/15)


Short review:
‘The Martian’ mungkin agak kurang sesuai dengan ekspektasi awal saya, dimana saya mengharapkan ini akan menjadi tontonan serius dan kelam layaknya ‘Gravity’ atau ‘Interstellar’. Dan kalau mau dibandingkan pesona ‘The Martian’ memang masih kalah dari keduanya menurut saya. Tapi jalan berbeda yang ditempuh Ridley Scott adalah jalan yang sangat tepat, terlepas dari novelnya yang juga demikian atau tidak. Setidaknya itu bisa membuat ‘The Martian’ berdiri sendiri tanpa harus terus dikaitkan dengan ‘Gravity’ atau ‘Interstellar’. Caranya itu pula yang membuat ‘The Martian’ menyisakan perasaan puas di benak penontonnya. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor: 3,75/5

Pixels (2015) (10/10/15)


Short review:
Premis ‘Pixels’ memang sudah menjanjikan sesuatu yang menarik ketika pertama kali film ini diumumkan. Meski ada kekhawatiran ketika nama Adam Sandler didapuk sebagai pemeran utama. Maklum akhir-akhir ini nama Adam sudah terdengar sangat ‘membosankan’ melalui judul-judul yang dibintanginya. Dan ditangan Chris Colombus nama Adam Sandler (sepertinya) mulai agak naik lagi nih. Hehe. ‘Pixels’ memang bukanlah tipikal tontonan yang bagus di cerita ataupun karakter, tapi Chris Colombus berhasil menyulap premisnya yang sudah menarik itu menjadi sajian menghibur dan menyenangkan. Terlebih saya belum pernah menyaksikan versi short movie yang menjadi dasar pembuatan film ini. Visualnya juga sangat layak diapresiasi. Dan satu hal lagi (mungkin ini point-nya) bahwa ‘Pixels’ sukses menyajikan moment nostalgia yang manis untuk siapapun yang pernah hidup dengan arcade game.
Skor: 3,5/5

Minions (2015) (11/10/15)


Short review:
I think, siapapun sudah tahu jika ‘Minions’ adalah perwujudan kebiasaan hollywood yang suka mengekploitasi karakter pendukung yang mencuri perhatian penonton. Dan setelah jadi scene stealer di dua seri ‘Despicable Me’ (yang kedua malah mendapat porsi lebih) Minion pun akhirnya mendapat jatah peran utama. Sesungguhnya, selalu ada kekhawatiran terkait hal-hal seperti ini. Menjadikannya sebuah prekuel sekaligus spin-off, ‘Minions’ hadir membawakan origin story-nya. Lantas apalagi yang ingin ditawarkan Illuminations Studios dari si kuning imut ini? Kekhawatiran yang sebelumnya ada memang menjadi terbukti dan beralasan. Pada akhirnya, ‘Minions’ pun tidak menawarkan sesuatu apapun. Kemunculan film inipun semakin menyiratkan secara tegas jika para pembuatnya sengaja meraup pundi-pundi dolar dari makhluk kecil tersebut. Selain memperpanjang usia franchise-nya tentunya.
Skor: 2,75/5

Me and Earl and the Dying Girl (2015) (11/10/15)


Short review:
‘Me and Earl and the Dying Girl’ memang bukan seperti drama remaja pada umumnya yang menjadikan penyakit mematikan sebagai premisnya. Sebenarnya semua elemen khas tema seperti ini masih ada, hanya caranya saja yang berbeda dan tak biasa. Dan itu menyenangkan, sekaligus menghangatkan. Terlebih ‘Me and Earl and the Dying Girl’ membawa aura positif dibalik semua getir yang ada. Sisi gloomy kematian dibawanya pada sebuah pelajaran berharga buat karakternya. Menjadikannya lebih dewasa dalam menghadapi hidup dan menghargainya. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor: 4/5

Cop Car (2015) (13/10/15)


Short review:
Opening yang teramat menarik disebuah padang gersang membawa dua bocah yang sedang berjalan-jalan. Melontarkan kata-kata umpatan yang terasa salah tapi juga menggelikan disaat bersamaan. Sebuah mobil polisi tergeletak begitu saja, lengkap dengan kuncinya. Namanya juga anak-anak mereka langsung saja bermain-main dengannya. Membawa mereka pada perjalanan mengemudi pertama yang mungkin juga menjadi yang terakhir. Di tempat lain ada seorang polisi yang sedang melakukan perbuatan yang juga terasa salah dan akhirnya harus kehilangan mobilnya. Dan mulailah pencarian si polisi akan mobilnya sementara para bocah asyik bermain dengan mobil yang ditemukannya. Semua yang terasa salah tapi juga menggelikan disaat bersamaan seperti menjadi fokus utama disini. Dan Joan Watts cukup efektif dalam mengungkapnya. Filmnya memiliki tempo yang lambat tapi entah kenapa tiba-tiba sudah mendekati ujungnya saja. Dengan kata lain, saya menikmatinya.
Skor: 3,75/5

Assasination Classroom (2015) (14/10/15)


Short review:
Apa yang dilakukan Eiichiro Hasumi pada ‘Assasination Classroom’ terbilang cukup tepat. Dia tak sampai hati untuk memodifikasi secara ekstrim fokus dan tone-nya. Menyederhanakannya, mungkin kata yang lebih tepat. Walaupun diluar sana masih banyak yang merasakan perbedaan, itu tidak terlalu bermasalah. Karena memang diperlukan beberapa penyesuaian dari serial 22 episode menjadi film berdurasi 110 menit. Saya pikir, versinya ini masih bisa diterima (dan disukai) baik oleh kalangan fans maupun non-fans. Apalagi modal “menyenangkan” sudah dipunyai ‘Assasination Classroom’ sedari awal. Sayapun menikmatinya. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor: 3,75/5

Crimson Peak (2015) (19/10/15)


Short review:
Terlepas dari rasa horornya yang kurang menggigit atau romansanya yang kurang emosional, saya sangat menikmati ‘Crimson Peak’ secara utuh. Nama Guillermo del Toro sebenarnya sudah sangat mengisyaratkan bahwa ini bukanlah film horor komersil macam ‘Insidious’ atau ‘The Conjuring’. Lagipula, saya juga tidak pernah mengharapkan tontonan seperti itu saat menonton ‘Crimson Peak’. Justru ‘Crimson Peak’ berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Walaupun memang harus diakui ada beberapa bagian yang kurang. Tapi semua itu seolah begitu mudahnya termaafkan ketika tak henti-hentinya kecantikan dan kemegahan tersaji indah dilayar. Kembali saya terhipnotis oleh karya del Toro seperti yang pernah saya rasakan dalam ‘Pan’s Labyrinth’. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor: 4/5

Fantastic Four (2015) (27/08/15)


Short review:
Permasalahan internal yang menimpa reboot ‘Fantastic Four’ memang berimbas penuh pada hasil akhir filmnya. Josh Trank yang pernah mengejutkan dunia lewat ‘Chronicle’ ternyata membuat para fanboy naik pitam dengan merevolusi penuh ‘Fantastic Four’. Mulai dari pemilihan cast, pembuatan origin story, sampai tone yang dibuat berbeda. Pun dengan kesenangan yang selalu hadir pada warna bendera Marvel yang kita kenal tak kita temukan disini. Sesungguhnya separuh awalnya masih bisa dinikmati oleh saya ketika Trank membawa sisi drama berbau sci-fi dalam penceritaannya (terlepas dari berbagai kekurangan yang masih terasa). Namun setelahnya adalah sebuah kesalahan yang membuat film ini seolah terpisah antara bagian awal dan bagian akhirnya. Parahnya lagi, bagian akhir inilah yang paling fatal. Bagaimana tidak, Dr Doom yang notabene adalah salah satu villain terkuat dijagat Marvel dibuat lemah tak berdaya dengan membuat pertarungan bodoh semacam itu? Selebihnya, tonton sendiri saja! Karena masih banyak kekonyolan dan kebodohan lainnya.
Skor: 2,25/5