Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Sunday, March 29, 2015

Catatan Nonton #Maret’15

Semenjak memulai menulis ‘Catatan Nonton’ Desember 2013 lalu, post yang merupakan kumpulan short review film yang saya tonton sudah memasuki jilid ke-16 pada bulan ini. Dan di bulan Maret ini, saya masih melanjutkan menonton film-film rilisan tahun 2014 yang belum sempat ditonton tahun lalu. Movie of the month kali ini diberikan kepada film yang dibintangi Robert Downey Jr. dan Robert Duvall, ‘The Judge’. Sisi hubungan ayah-anak yang dipertontonkan mereka berdua telah memberi kesan berbeda terhadap film ini. Dan berikut daftar lengkap ‘Catatan Nonton’ edisi Maret 2015. Check this out!

The Imitiation Game (2014) (05/03/15)

Short review:
Ada rahasia besar dibalik kemenangan sekutu pada Perang Dunia II. Salah satu sosok yang berjasa untuk itu bernama Alan Turing. Walaupun tidak terjun langsung dalam pertempuran, alat yang diciptakannya (cikal bakal komputer) mampu memperpendek umur perang yang telah menelan banyak korban. Namun naasnya, perilaku menyimpang yang masih dianggap kriminal saat itu, membuat namanya ditutupi dalam catatan sejarah. Sebelum akhirnya Ratu Elizabeth II memberi pengampunan tahun 2013 lalu. Sebagai sebuah biopik, 'The Imitation Game' memang tidak menawarkan inovasi baru dari segi alur penceritaannya. Tapi ketika Morten Tyldum menyandingkan usaha keras pemecahan kode enigma yang rumit dalam sentuhan thriller dengan kompleksitas karakter Alan Turing yang sama rumitnya, membuat 'The Imitation Game' ini menjadi lebih spesial dan emosional sebagai sebuah biopik.
Skor: 4/5

Fifty Shades of Grey (2015) (06/03/15)

Short review:
‘Fifty Shades of Grey’ hanyalah sebuah drama romantis biasa yang hanya mencoba tampil berbeda lewat premis sensualnya. Kehebohan yang mengiringi perjalanan ‘Fifty Shades of Grey’ tak sejalan dengan hasil akhirnya. Terlalu standar. Tidak ada yang spesial dan berkesan. Konsep nakalnya pun juga terkesan tempelan semata. Beruntung dua pemeran utamanya tampil dengan cukup baik. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor: 2,5/5

Foxcatcher (2014) (09/03/15)

Short review:
'Foxcatcher' mengambil jalan berbeda sebagai sebuah film bertema olahraga. Tak ada ingar bingar dan sorak sorai penonton yang menggema. Tak ada aksi heroik atlet didetik-detik akhir pertandingannya. Ya, itu sudah terlalu cheesy dan cliche memang. Menyoroti obsesi manusia yang bersanding dengan sisi gelapnya, 'Foxcacther' hadir dalam alunan sepi nan depresif. Seolah gulat hanyalah kamuflase untuk menutupi kesepiannya. Tone-nya yang kelam dan dingin membawa rasa yang berujung kegetiran. Studi karakter yang berhasil ditunjukkan para pemerannya. Terutama buat Steve Carrel yang sukses menyulap dirinya menjadi sosok yang serius dengan karakternya yang kompleks. Oh ya, buat yang tidak terbiasa, film ini mungkin akan membuat anda bosan.
Skor: 3,75/5

Exodus: Gods and Kings (2014) (10/03/15)

Short review:
Tidak ada masalah sebenarnya dengan film 'Exodus: Gods and Kings' ini. Hanya saja, dengan durasinya yang panjang, Ridley Scott seperti hanya bermain aman saja dengan narasi dan plot yang terlewat sederhana. Yang terjadi adalah film ini benar-benar terasa begitu lama dan melelahkan. Tidak hanya disitu, kedalaman emosi yang seharusnya bisa ditonjolkan lewat karakternya juga kurang tergali. Bahkan untuk two men show-nya, Bale and Edgerton. Nama-nama besar lainnya juga hanya sekedar cameo semata. Beruntung aspek teknisnya bisa menambal sedikit kekecewaan tadi. Ya, sisi visualnya benar-benar sanggup memanjakan mata, mulai dari set peradaban Mesir yang megah sampai klimaks di laut merah. Meskipun begitu, 'Exodus: Gods and Kings' tidak berada pada tahap epik seperti yang digembar-gemborkannya.
Skor: 3/5

The Judge (2014) (11/03/15)

Short review:
Menonton sebuah courtroom drama memang selalu punya keasyikan tersendiri. Melihat orang-orang bersilat lidah, memamerkan kelihaiannya berargumen, mengungkap fakta-fakta yang ada sampai ketukan palu menutup semuanya dengan keputusan yang menghentak. Pencapaian 'The Judge' memang belum sampai pada tahap yang diraih seniornya '12 Angry Men' sebagai sebuah courtroom drama terbaik sepanjang masa. Namun dengan menyoroti sisi lain tentang hubungan ayah-anak ditengah pergolakan persidangan justru membawa nuansa hangat buat 'The Judge'. Rasa hangat yang tidak hanya emosional tapi juga mengharu biru. Seperti memberi sebuah perenungan bagi kita, dan tentang hubungan dengannya ayah kita masing-masing.
Skor: 4/5

Unbroken (2014) (12/03/15)

Short review:
Ada beberapa alasan kenapa 'Unbroken' yang dilihat dari semua segi punya kans untuk masuk nominasi Oscar, namun tidak dilirik juri Oscar untuk kategori utama. Setelah menontonnya, kita memang akan merasakannya. Biarpun begitu, itu tidak lantas menjadikan film yang disutradarai Angelina Jolie ini menjadi sebuah tontonan jelek. Apalagi sisi teknisnya mampu tampil apik. Tapi memasang nafas inspiratif saja belum cukup untuk membuat film ini menjadi luar biasa. Dilihat dari sudut lain, Angelina Jolie cukup berbakat sebagai sutradara. Sebagai seorang perempuan, dia mampu menunjukkan sisi maskulin dalam filmnya. Keras dan menghentak. Karya besarnya mungkin akan dijumpai dimasa depan. Semoga!
Skor: 3,25/5

Into the Woods (2014) (14/03/15)

Short review:
Dan tak pernah saya sadari bahwa sebuah hutan bisa jadi jalan pertemuan tokoh-tokoh dongeng legendaris seperti Cinderella, Rapunzel, Jack sampai gadis berkerudung merah dalam satu jalinan cerita. 'Into the Woods' yang merupakan adaptasi pementasan broadway itu memulai semuanya dengan menyenangkan. 'I wish', sebuah kalimat yang diucapkan masing-masing tokoh menjadi daya tarik tatkala dinyanyikan bersama latar hidup mereka. Ketika alur semakin berjalan maju, tak bisa dipungkiri jika 'Into the Woods' mempunyai beberapa kelemahan terutama dari segi cerita. Namun masih sanggup ditutupi performa cast yang tampil tidak mengecewakan, terutama buat Meryl Streep. Anna Kendrick ok juga jadi Cinderella, hehe. Namun ada rasa tanggung yang saya rasakan disini, 'Into the Woods' mempunyai nuansa dark yang kental namun tidak maksimal. Ini juga tontonan ringan tapi terkesan kurang family oriented.
Skor: 3/5

Saturday, March 28, 2015

Anime Review: Death Parade (2015)


First impression! Satu lagi anime yang hanya dengan melihat judulnya saja sudah membuat saya tertarik. Dan semakin tak tahan untuk menontonnya setelah melihat genre ‘Death Parade’ adalah drama, mystery, psychological, thriller. Saya tidak mempedulikan lagi anime ini akan bercerita tentang apa, karena elemen tontonan yang saya suka sudah ada disana.
Anime Jepang memang terkenal suka menampilkan cerita-cerita aneh dan terkesan terlalu tinggi untuk dilampaui otak manusia. Dan dalam anime terbaru produksi Madhouse ini, mereka bermain dalam ranah alam perantara antara dunia saat ini dan dunia selanjutnya. Atau lebih simple disebut sebagai alam kubur. Dalam versi ‘Death Parade’, alam ini merupakan sebuah bar yang digawangi seorang bartender. Setiap waktunya dua orang tak saling kenal memasuki bar tersebut. Kemudian tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi mereka harus memainkan sebuah permainan mematikan.
Anime berjumlah 12 episode yang mulai mengudara sejak tanggal 9 Januari 2015 ini menawarkan begitu banyak kejutan. Sedari awal, opening song-nya sudah menipu. Flyers yang dibawakan Bradio membawa musik ingar bingar bersama para karakter yang menari dan menyanyi dengan riang gembira. Seolah menjadi kamuflase buat plot 'Death Parade' yang kelam. Lift membawa dua orang anak manusia pada sebuah bar bernama Quindecim dan mempertemukannya dengan seorang bartender berwajah dingin. Saya yang awalnya belum mengetahui premis ‘Death Parade’, tak bisa menebak dan tak tahu arah cerita ini akan kemana. Sebelum akhirnya tirai pertunjukkan ditutup NoisyCell lewat Last Theater.
Episode demi episode yang bergulir membuat semuanya menjadi jelas. Bahkan ‘Death Parade’ tidak hanya menyuguhkan permainan mematikan semata. Ada konflik yang terasa benar ketika para bartender yang menentukan kelanjutan hidup manusia dipertanyakan statusnya sebagai juri/hakim. Mengeluarkan sisi paling gelap dan terdalam pada diri manusia untuk menentukan kelanjutan hidupnya kelak (reinkarnasi atau kehampaan). Apakah yang dilakukan para juri/hakim itu adalah cara paling tepat untuk menentukan kehidupan manusia pasca kematian?


Kesan dark sangat terasa disini. Mulai dari set, musik, atmosfer sampai mood yang dibangun turut mendukung kesan dark yang begitu kental. Menyajikan ketegangan sarat emosi ketika permainan demi permainan mulai dipertandingkan. Permainan-permainan simple macam papan dart, bowling, arcade game, twister, billiard sampai hockey, turut memberi definisi kentara akan apa yang dimaksud permainan mematikan itu. Permainan kartu adalah satu-satunya game yang bisa dibilang paling nyaman untuk diikuti. Selebihnya adalah parade kematian yang mematikan. Permainan hockey yang mempertemukan dua orang pembunuh adalah yang paling emosional dan berdarah menurut saya.
Dan tidak hanya mempertontokan permainan mematikan semata, ada moment-moment emosional yang mengalun bersama cipratan darah yang mempermainkan sisi psikologis penonton. Moment-moment tersebut terus bergulir silihberganti pada setiap karakter. Menjelaskan setiap background masing-masing mereka. Meski pada beberapa bagian, emosi saya sendiri kurang begitu terkoneksi dengan apa yang ditampilkan. Atau mungkin itu hanya perasaan saya saja. Tapi tak dipungkiri jika detik-detik dimana manusia menuju kehampaan adalah moment yang begitu mengiris iba.
Setiap karakter yang ada disini juga memunculkan misterinya masing-masing. Ditengah game berbeda namun berkonsep sama, yang kadang terasa membosankan, karena selalu ada pada setiap episode. ‘Death Parade’ memberi sempilan misteri yang menarik untuk diikuti. Apalagi ketika melihat Decim yang notabene adalah juri/hakim yang sedikit berbeda dengan juri/hakim lainnya. Kemunculan karakter manusia bernama Chiyuki dalam agenda penjurian/penghakiman Decim juga menyisakan misteri. Karakter dan semua elemen yang ada dalam ‘Death Parade’ adalah sebuah misteri yang lambat laun mulai menemukan titik terangnya. Rahasia mulai terungkap secara perlahan. Namun masih saja kabut misteri menyelimuti. Sorotan tajam nan datar mata Decim (mungkin) adalah deskripsi nyata ‘Death Parade’ sebenarnya.
         Skor: 8.6/10

Friday, March 27, 2015

Anime Review: Parasyte - The Maxim (2014)


Suatu malam, seorang pelajar SMA 17 tahun bernama Izumi Shinichi didatangi makhluk asing yang ingin menginfeksi otaknya. Namun karena satu dan lain hal, makhluk yang belakangan disebut sebagai parasit ini gagal mencapai otak dan hanya merenggut tangan kanan Shinichi saja. Kejadian aneh yang menimpa remaja biasa itu mengharuskannya berpartner dengan parasit yang kemudian menamai dirinya Migi. Akan tetapi, Migi bukanlah satu-satunya parasit yang ingin menginvasi bumi. Terlebih lagi, parasit-parasit lain diluar sana malah memangsa manusia sebagai makanan mereka.
‘Parasyte: The Maxim’ yang mempunyai judul original Kiseijuu: Sei no Kakuritsu merupakan anime yang diadaptasi dari manga klasik karangan Iwaaki Hotoshi terbitan tahun 1988-1995. Anime yang dibagi kedalam dua cour itu telah tayang sebanyak 24 episode sejak 8 Oktober 2014 dan berakhir 25 Maret lalu. Meski diadaptasi dari manga jadul, set anime ini tetap menggunakan set masa kini dengan pendekatan modern tanpa merubah inti cerita.
Awal ketertarikan saya menonton ‘Parasyte - The Maxim’ adalah karena versi live action ‘Parasyte’ yang tayang di Indonesia beberapa bulan lalu. Dan melihat premisnya yang menarik digabung bersama genre horor yang menawarkan suguhan gory, tanpa pikir panjang saya merasa harus menontonnya. Walaupun memang, premis cerita tentang mahkluk yang menginvasi manusia bukan barang baru karena beberapa film juga pernah memakai ide seperti ini.
Seperti yang ditawarkan sebelumnya, ‘Parasyte’ memang menyajikan suguhan darah implisit dengan kuantitas yang tidak sedikit. Seperti tak ragu bila para karakter terbunuh secara brutal dan sadis. Meski pada dasarnya hanya berupa gambar animasi, tapi tetap saja terdapat beberapa adegan yang lumayan disturbing. Beruntung untuk yang tidak menyukai tipikal tontonan seperti ini, karena darah bukanlah menu utama disini.
Karena biarpun cipratan darah berlumuran dimana-mana. ‘Parasyte’ juga sanggup menunjukkan sisi komedi dengan caranya sendiri. Kehadiran karakter pembawa tawa juga turut dihadirkan demi meredam ketegangan-ketegangan yang ada. Bahkan melihat Migi, si tangan kanan Shinichipun sudah mengundang kelucuan dilihat dari segi fisik (dalam keadaan normal) yang memang sudah masuk kategori lucu. Karakter Migi disini juga jadi scene stealer. Cara berpikir dan pola analisis logis mengesampingkan emosi manusia yang selalu ia terapkan kala menghadapi berbagai permasalahan menjadi daya tarik yang tak terelakkan.


Namun sesungguhnya, ‘Parasyte’ bukanlah tentang darah, pembunuhan, alien atau semacamnya. Buat saya ini adalah sebuah drama dilematis yang mempertanyakan sisi humanity manusia sebagai manusia. Kenapa parasit bisa datang ke bumi? Apakah parasit yang muncul dibumi dihadirkan sebagai penyeimbang ekosistem alam ditengah keserakahan manusia? Apakah sesungguhnya manusia sudah kehilangan kemanusiannya sebagai manusia? Apakah sesungguhnya manusia sendiri adalah parasit bagi lingkungannya? Atau justru manusia dapat hidup berdampingan dengan parasit dibumi? Pertanyaan-pertanyaan tadi (dan masih banyak pertanyaan lainnya) terus menjadi misteri ditengah plot yang terus bergulir. Bersanding bersama hakikat keberadaan para parasit itu.
Perkembangan karakter yang terjalin dalam ‘Parasyte’ juga berjalan cukup baik. Terutama untuk karakter utama, Izumi Shinichi. Izumi Shinichi memang jadi tokoh sentral yang kental sekali transformasi karakternya. Tidak hanya perubahan signifikan yang terjadi pada fisik dan psikis saja. Mental dan pola pikir Shinichi pun terus mengalami perkembangan di setiap episodenya. Ini yang mungkin membuat Shinichi menjadi lebih dewasa dibanding pelajar SMA seusianya. Memang untuk urusan ini, tidak semua tokoh mendapat jatah pengembangan karakter seperti Shinichi. Bahkan Ayah Shinichi menghilang begitu saja dipertengahan. Namun itu tidak terlalu menjadi masalah, karena diantara mereka masih bisa (sedikitnya) memberi kesan. Tamura Reiko salah satunya.
Konflik terus bergulir setiap episodenya dan semakin meningkat intensitas ketegangannya. Namun sayang ‘Parasyte’ harus mengakhiri kisahnya dengan pola cerita anime kebanyakan. Tak perlu saya bahas karena bisa jadi spoiler. Bukan berarti jelek, hanya saja buat saya pribadi, cara ‘Parasyte’ mengakhiri kisahnya itu sudah sedikit usang. Atau mungkin saya harus memakluminya karena ‘Parasyte’ adalah adaptasi manga 90-an? Hehe. Monolog Shinichi di akhir adalah sebuah konklusi tentang perspektifnya pada apa yang terjadi dan telah menimpanya.
Overall, ‘Parasyte’ adalah anime yang layak tonton. Ceritanya sendiri memang sudah seru diawal. Apalagi temanya yang cukup thought-provoking. Musik yang melatari setiap plotnya juga turut menambah instensitas ketegangan yang ada. Menghadirkan banyak kejutan. Berkesan sangat dewasa meski menghadirkan kehidupan seorang pelajar SMA.
          Skor: 8.2/10

Monday, March 23, 2015

Hasil Seminar Bersama Budi Faisal

Tulisan ini merupakan hasil corat-coret saya waktu masih di semester 3 (tiga). Sudah lama sekali sebenarnya (yakni tahun 2011), namun tak apalah. Itung-itung nambah jumlah postingan. Diambil waktu saya mengikuti seminar di kampus yang menghadirkan Budi Faisal sebagai pemateri. Budi Faisal sendiri merupakan seorang arsitek sekaligus dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Tema yang dibahas waktu itu adalah tentang Green Architecture yang difokuskan pada bambu sebagai material bangunan. Aplikasinya dicontohkan pada rumah pribadi Budi Faisal sendiri.
Dan berikut coretan-coretan kecil saya waktu seminar dulu. Oh ya, gambar diambil dari sini ya!

Sekilas tentang Green Architecture
Seiring terus berkembangnya isu lingkungan, bidang arsitekturpun terus mencari cara untuk (setidaknya) mencegah dampak negatif bagi lingkungan yang diakibatkan oleh adanya pembangunan. Salah satu upaya dalam bidang arsitektur untuk mengurangi dampak negatif tersebut adalah dengan sebuah konsep yang dinamakan dengan green architecture.
Green architecture sendiri (dikutip dari buku Arsitektur & Lingkungan oleh Dr. Sri Handayani, M.Pd.) adalah sebuah konsep arsitektur yang berusaha meminimalkan pengaruh buruk terhadap lingkungan alam maupun manusia dan menghasilkan tempat hidup yang lebih sehat, yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber energi dan sumber daya secara optimal dan efisien. Green Architecture merupakan perwujudan dari arsitektur berkelanjutan yang menjadi jawaban atas eksistensi ekosistem dimuka bumi ini. Dengan kata lain, penerapan konsep Green Architecture memberi peluang besar terhadap keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem lainnya secara berkelanjutan. Aplikasi dari konsep ini akan menciptakan suatu bentuk arsistektur yang berkelanjutan.
Ada berbagai macam cara untuk mewujudkan konsep Green Architecture pada sebuah bangunan. Salah satunya adalah material. Dan bambu merupakan salah satu material yang masuk kategori dalam konsep Green Architecture. Seiring bertambahnya zaman dan berkembangnya ilmu pengetahuan, bambu kini sudah bukan menjadi barang aneh untuk dijadikan material bangunan.

Bambu
Bambu merupakan sejenis rumput yang tumbuh ditempat yang beriklim tropis seperti Indonesia.  Bambu mempunyai karakteristik yang unik sebagai bahan bangunan, diantaranya:
1)      Sustainable
Bambu merupakan tumbuhan yang mudah tumbuh, kalaupun bambu ditebang selama akarnya masih ada bambu akan tetap bisa tumbuh. Berbeda dengan pohon yang menghasilkan kayu, pohon-pohon tersebut memerlukan waktu yang relatif lama untuk tumbuh dibanding bambu.
2)      Kuat
Bambu sebagai bahan material bangunan juga punya keungulan yang lebih dibanding material lain, seperti baja misalnya. Karena ternyata bambu mempunyai kuat tekan yang lebih kuat dibanding baja.


 Selain memiliki karakter yang unik, bambu juga punya kelebihan yang tidak dimiliki material lain, antara lain:
-    Meresap air sampai 240%. Artinya hutan bambu ternyata mampu menyerap air 240% lebih banyak dibanding hutan pinus. Ini bisa dijadikan alternatif buat hutan-hutan Indonesia yang perlahan-lahan semakin hilang.
-    Menjaga erosi dan kelembapan tanah. Hutan bambu juga bisa menjadi pencegah terjadinya pengikisan tanah oleh air dan menjaga kelembababan tanah sehingga tanah tetap stabil.
-    Menyerap Co2 4x lebih baik. Hutan bambu juga mempu menyerap karbon dioksida 4x lebih baik dibanding hutan-hutan lainnya, ini sangat berguna ditengah maraknya isu global warming yang menjadi perbicangan dunia saat ini.
-     Menghasilkan O2 35% lebih baik. Selain mampu menyerap karbondioksida yang baik, hutan bambu juga mampu menghasilkan oksigen yang baik, bahkan 35% lebih baik dibanding hutan lainnya.
      Dan diantara kelebihannya, ternyata bambu juga punya kelemahan. Maka dari itu, maintenance merupakan aspek yang harus diperhatikan ketika menjadikan bambu sebagai material bangunan, baik sebelum maupun sesudah digunakan. Beberapa kelemahan dari bambu tersebut yaitu:
-   Rentan terhadap jamur, bubuk bambu dan serangga
-   Tidak mudah kering
-   Mudah pecah

Budi Faisal’s House
Budi Faisal’s house adalah tempat tinggal arsitek Budi Faisal hasil rancangannya yang memiliki konsep green architecture dengan bambu sebagai komponen utama material bangunan tersebut.
Menurut Budi Faisal tempat tinggalnya ini memiliki 3 konsep yang ramah lingkungan, yaitu:
1)       Menghormati alam
Karena lahan yang akan dibuat rumah terdapat banyak pohon, maka agar pohon tersebut tetap ada tanpa harus ditebang, Budi Faisal membagi bangunan rumahnya menjadi dua bagian, ini dimaksudkan untuk menjaga pohon-pohon yang sudah ada sebelum rumah ini dibangun.
Menghormati alam juga bisa dilakukan dengan memaksimalkan view bangunan tersebut. Hal ini sangat diperhatikan oleh Budi Faisal, sehingga rumahnya mempunyai view yang sangat terlihat eksotis.


2)      Mengeksplorasi bambu
Ada dua eksplorasi yang dilakukan Budi Faisal pada material bambu. Yaitu sebagai struktur dan sebagai ornament. Sebagai struktur, Budi Faisal menjadikan bambu sebagai komponen struktur utama rumah. Hal ini didasarkan pada keunggulan bambu yang kuat terhadap gaya tarik.
Sebagai ornament, Budi Faisal sangat memperhatikan segala keunikan bambu dan sanggup memanfaatkan keunikan tersebut. Hasilnya, Budi Faisal menyulap bambu menjadi ornament rumah yang tidak kalah indah dibanding ornament yang biasa digunakan pada rumah. Bahkan punya nilai estetika yang lebih dan kesan natural yang kental.


3)      Daur ulang barang bekas
Budi Faisal memanfaaatkan material bekas sebagai penunjang kebutuhan rumahnya. Dimana Budi Fasial menggunakan kayu bekas robohan bangunan Belanda, menggunakan kaca bekas dan sebagainya untuk melengkapi kebutuhan rumahnya. Ini juga sangat bermanfaat terutama untuk pengeluaran karena dengan barang bekas tidak perlu mengeluarkan pengeluaran yang terlalu besar.


Saturday, March 21, 2015

Apatis

Menurut KBBI versinya kamusbahasaindonesia.org, apatis berarti acuh tak acuh, masa bodoh atau tidak peduli. Menurut wikipedia, apatis (apati) diartikan sebagai kurangnya emosi, motivasi atau entusiasme. Sebuah istilah psikologis untuk keadaan cuek atau acuh tak acuh, dimana seseorang tidak tanggap terhadap aspek emosional, sosial atau kehidupan fisik. Wikipedia menggunakan kata apati (bukan apatis) untuk menunjukkan sikap acuh tak acuh ini. Ini ada benarnya, karena kata apatis bisa merujuk pada sebuah subjek bukan sifat. Seperti halnya marhaenis atau borjuis yang juga menunjukkan subjek, bukan kata sifat. Saya memaknai kata ini sendiri dengan level yang sedikit lebih tinggi daripada hanya sekedar cuek, masa bodoh, acuh tak acuh atau tidak peduli.
Beberapa waktu lalu, dalam post bertajuk 'Nyinyir', saya banyak bercerita tentang hal-hal yang mengundang kenyinyiran dari sekitar saya. Yang berujung pada sebuah kesimpulan, bahwa saya harus belajar untuk tidak langsung nyinyir terhadap hal-hal disekitar. Walaupun terkadang terlihat tidak menarik tetapi harus bisa mengerti bahwa cara orang berbahagia dengan kehidupannya masing-masing itu berbeda-beda. Dan hampir mirip dengan post berjudul ‘Nyinyir’ kemarin, kali ini saya kembali bercerita ngalor-ngidul, ngelantur tentang hal-hal yang kadang membuat saya menjadi ‘Apatis’ akhir-akhir ini. Terutama ketika berbicara soal pemerintahan periode sekarang ini.
Semenjak dulu, dalam urusan yang berbau politik, saya memang agak kurang memiliki awareness. Saya malah cenderung awam mengenai persoalan seperti ini. Hingga pada tahun 2014 lalu, ketika negara ini menggelar sebuah pesta rakyat bertajuk pilpres, yang diluar dugaan sanggup mencuri perhatian saya. Hegemoni yang begitu besar di masyarakat membuat saya menjadi lebih care terhadap hal ini. Seakan terbawa euforia yang besar saat itu, saya yang tadinya biasa-biasa aja dan terkesan cuek lantas menjadi rajin mengikuti update dan perkembangan terbaru tentang apa yang terjadi. Dan semakin antusias ketika teman-teman sejawat menjadikannya sebagai bahan obrolan. Hingga seiring waktu berjalan, antusiasme saya perlahan memudar.
Rasa antusias yang perlahan mulai luntur bukan tanpa alasan. Melihat media (terutama TV) yang seharusnya menjadi bahan informasi, edukasi dan referensi bagi masyarakat, justru menjadi begitu memuakkan bagi saya. Alih-alih bersikap netral, secara tersirat dan tersurat mereka malah saling memojokkan satu sama lain. Seperti saling melempar kotoran antar satu dengan yang lainnya. Sikut sana, sikut sini. Sindir sana, sindir sini. Seakan menanamkan doktrin bahwa anda harus memilih A karena B bla, bla, bla. Begitu pula sebaliknya. Dan media-media tersebut begitu cerewet mengumbar pemberitaan yang selalu menimbulkan spekulasi liar bagi pemirsanya. Mungkin beginilah jadinya jika media dikuasai politisi. Kepentingan-kepentingan pihak tertentu telah merenggut apa yang seharusnya diperlihatkan pada khalayak.
Belum selesainya kemuakan saya sama kelakuan media, muncul lagi bibit-bibit yang akan membuat saya menjadi apatis. Adalah perilaku orang-orang di socmed yang membuat gerah. Entah datang angin darimana, beberapa pengguna socmed tiba-tiba menjadi politisi, pengamat dan juru kampanye dadakan. Saya sebenarnya fine-fine saja ketika melihat hal itu, malah justru senang karena anak-anak muda zaman sekarang sudah aware sama perpolitikan negara. Hanya saja yang jadi masalah adalah perilaku mereka-mereka di socmed yang terkesan menjengkelkan. Sama halnya dengan media-media yang cerewet, mereka-mereka di socmed juga sama cerewetnya mengagung-agungkan pilihan mereka dan menjelek-jelekan yang lainnya. Mulai dari update status sampai muncul meme-meme yang isinya kadang membuat saya muak. Padahal kalau memang sudah punya pilihan, ya sudah. Tinggal tunaikan pilihan tersebut pada waktunya. Tak perlu menjelek-jelekan calon yang bukan pilihannya. Politisi bukan. Pengamat politik bukan. Juru kampanye juga bukan. Memangnya dibayar berapa sih?
Contoh diatas mungkin hanya berupa efek dari media saja. Di dunia real-nya, juga ada hal yang membuat saya jengkel. Seperti para juru kampanye yang dengan “sekarep-dewek” nempelin-nempelin stiker, poster, dsb dirumah-rumah tanpa seizin yang punya rumah. Masalahnya adalah apa yang ditempel bukan menambah estetika rumah melainkan membuat kaca jendela kotor, cat tembok rusak, dsb. Kalau sudah mendapat izin pemilik rumah, itu tidak masalah. Nah seringnya, oknum-oknum tersebut berbuat seenaknya tanpa sepengetahuan yang punya rumah.
Tidak hanya itu, spekulasi-spekulasi akan adanya bentuk kampanye terselubung bertajuk ‘black campaign’ juga sering menyeruak ke permukaan. Permainan-permainan beralas materi didalamnya bisa saja terjadi. Tapi tenang, yang ini hanya spekulasi saja karena kita tidak tahu apa yang benar-benar terjadi saat itu, dimana dan bagaimana. Walaupun berbagai kemungkinan bisa terjadi. Namun harapannya, secara de facto itu semua tidak terjadi.
Sepintas, mengingat hal-hal diatas membuat saya muak. Sebagai orang awam, saya masih tidak mengerti. Ketika berbagai cara ditempuh untuk meraih tujuan yang ingin dicapai, tak peduli hitam atau putih. Sehingga warna hitam tak nampak hitam. Begitu pula putih yang tak nampak putih. Terasa abu. Semua menjadi bias karenanya. Atau mungkin harus saya sadari bahwa memang cara-cara seperti itulah yang harus ditempuh ketika harus bersaing dalam ranah politik. Sebuah rule of game tak tertulis tapi harus diikuti semua pesertanya. Saya jadi teringat omongan guru PKn saya waktu SMA yang bilang bahwa politik itu kotor. Ketika kepentingan sudah memihak, tak peduli aral apa yang melintang, semua diterjang. Kawan jadi lawan. Lawan jadi kawan.
Apa yang dilihat bercampur dengan spekulasi-spekulasi random tak berkesudahan, membuat saya lelah dan merasa menjadi ‘Apatis’ dibuatnya. Hingga hari H tiba, antusiasme tak seperti saat pesta demokrasi mulai dibuka. Menjelang pengumuman resmi, masih ada terdengar bisik-bisik senyap seperti yang saya sebutkan diatas. Walaupun sesungguhnya peraturan sudah menyuruhnya diam. Ditengah keheningan yang tak benar-benar hening, satu moment lucu dan mengundang kenyinyiran menguap. Jujur, saya nyinyir sekali melihat dengan bangganya para calon pasangan mengklaim kemenangan masing-masing. Di TV masing-masing. LOL.
Singkat cerita, pemenang pilpres telah resmi diketahui. Walaupun masih terdengar kontroversi mengiringi kemenangan pemenang sampai meja hijaupun harus ikut turun tangan. Namun keputusan tetaplah keputusan. Tanggal 20 Oktober 2014, Republik Indonesia mempunyai presiden dan wakil presiden baru. Rakyat Indonesia bergembira menatap hari baru dimasa depan.
Walaupun saya bukanlah pemilih presiden yang sekarang tapi saya cukup senang karena kita punya presiden baru. Saya punya harapan besar pada sosok presiden yang baru ini. Bahkan majalah ‘Time’ pun memberi headline tentang presiden baru ini dengan tajuk ‘A New Hope’ seperti judul Star Wars Episode IV. Ya, seperti yang kita tahu sosok presiden kita ini telah membuat figur yang baik dimata masyarakat. Sosok yang sederhana, bersahaja dan dekat dengan rakyat seperti telah melekat dalam dirinya. Citra dan image yang telah dibangunnya selama ini telah memenangkan hati rakyat. Membuat ekspektasi yang tinggi buat masyarakat. Motto bekerja dan bekerja untuk masyarakat telah disematkan dalam dirinya. Dan kini telah menjadi orang nomor 1 di negara ini. Memiliki kuasa penuh atas negara ini.
Awalnya semua berjalan baik dengan diiringi nada yang cukup positif. Ketika presiden melakukan seleksi ketat terhadap proses pemilihan menteri dengan melibatkan KPK dan PPATK. Ini jelas sebuah terobosan konkrit ketika presiden dengan tegas akan membentuk sebuah sistem pemerintahan yang bersih. Walaupun masih terdengar selentingan-selentingan abcd terhadap hal ini, tapi masih bisa diterima. Dan pidato internasional presiden di KTT APEC yang menuai banyak pujian dan respon positif. Semakin menambah daftar panjang nada positif pada sosok satu ini. Sampai para pembuat filmpun telah siap memanfaatkan momentum untuk mempromosikan film baru tentang sosoknya. Berjudul sama seperti tagline-nya waktu kampanye dulu.
Waktu terus berjalan sampai sebuah keputusan kontroversial yang paling dibenci rakyat ditetapkan (Kenaikan BBM) merubah persepsi masyarakat. Belum genap seratus hari masa pemerintahan, presiden telah membuat sesuatu yang sedikit merusak citranya sendiri. Bukan apa-apa, isu kenaikan BBM adalah isu paling sensitif di negeri ini. Mungkin akan lain ceritanya jika bukan kenaikan BBM yang diputuskan. Namun kenaikan BBM, sekecil apapun itu, tetap saja bukanlah hal yang disukai rakyat. Sebagian rakyat merasa terluka dibuatnya. Apalagi kenaikan harga yang ditetapkan relatif besar. Hal ini semakin diperparah dengan dengan fakta bahwa tren minyak dunia sedang turun. Ironis memang.
Saat itu saya masih tidak apa-apa sebelum akhirnya saya merasakan sendiri dampaknya. Terutama ketika sering naik transportasi umum. Itu benar-benar terasa sekali beratnya buat saya. Dan ketika saya pulang kampung, tak sedikit orang-orang terutama ibu-ibu disana (termasuk ibu saya sendiri) yang mengeluhkan kenaikan BBM berikut dampaknya. Karena kenaikan BBM, langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kenaikan harga yang lainnya. Yang paling terasa saat itu adalah harga gas elpiji 12 kg yang juga begitu drastis kenaikannya. Saya menjadi marah karena hal itu. Namun saya bisa apa??? Sadar dan tak bisa apa-apa.
Pada akhirnya, memang BBM telah diturunkan namun itu tidak terlalu mempunyai pengaruh yang apa-apa (bahkan ada wacana akan naik lagi). Sekarang-sekarang, harga beras naik, bahan-bahan pokok lainnya juga ikutan naik. Yang tak kalah hebat adalah kurs dolar yang semakin melambung tak terbendung. Dan film yang telah direncanakan tayang untuk merayakan momentum kemenangan hanya bertahan satu hari dan langsung ditarik peredarannya di semua bioskop. Saya berharap semoga film itu tidak akan pernah tayang dinegeri ini.
Biarpun begitu, saya masih mencoba untuk tetap berpikir positif walaupun rasa empati saya turun dan mulai menyimpan kekesalan. Dan masih saja mencoba menaruh harapan pada pemerintahan baru agar bisa membawa angin segar bagi negeri ini. Bahwa keputusan yang diambil pemerintah adalah keputusan terbaik untuk rakyatnya. Bukan untuk mengkhianati rakyatnya. #husnudzon
Namun apa yang terjadi setelah itu adalah episode-episode panjang yang mempertanyakan pemerintahan saat ini. Berawal dari keputusan pencalonan tunggal KAPOLRI baru. Perang cicak vs buaya yang kembali naik ring. Dan permasalahan-permasalahan lain yang turut menyeruak bersamaan dengan hal tersebut. Sampai DKI Jakarta yang notabene pernah berada dibawah pimpinanannya juga ikut larut dalam peta permasalahan yang terjadi. Sampai rakyat dibuat geram dengan langkah presiden yang dinilai kurang tegas dan lamban menyikapi permasalahan yang ada (namun masih saja sanggup tersenyum terkekeh). Ramai trending topic dengan hashtag macam #ShameOnYou... atau #WhereAreYouMrPresident yang timbul sebagai efek dari penantian akan langkah yang akan diambil orang nomor 1 tersebut. Permasalahan-permasalahan tersebut semakin berlarut-larut. Kemudian teralihkan begitu saja dengan isu lain yang mengundang empati. Seperti kasus Illegal Logging yang menjerat nenek Asyani. Kasihan si nenek, diusia tuanya justru harus berhadapan dengan pengadilan dan penjara. Dari sanalah hadir sebuah kesangsian dan pertanyaan besar. Dimana janji pemerintah baru untuk menciptakan pemerintahan yang bersih? Pemerintahan yang tidak diintervensi pihak manapun? Pemerintahan yang bekerja untuk rakyatnya? Dimana?
Mungkin karena saya hanyalah orang awam yang tak tahu apa-apa, makanya saya merasa kesal melihat dan mendengar yang terjadi di negara ini. Merasa lelah dengan semua itu, saya kembali merasa menjadi ‘Apatis’ dibuatnya. Mungkin headline majalah ‘Time’ tempo hari adalah TYPO karena editornya lupa ngedit. Yang dimaksud mungkin bukan ‘A New Hope’ tapi ‘Hopeless’. Mungkin ya. Sekali lagi, mungkin. Biar tidak salah paham.
Dan pada suatu hari, saya mendengar selentingan kabar burung tentang adanya kelompok yang berupaya menurunkan posisi rezim saat ini. Gosip jalanan simpang siur yang tak jelas sumber dan kebenarannya. Kabar lalu yang tak jelas darimana juntrungannya. Tapi yang saya tahu, presiden saat ini memang memilki track record menjabat dalam periode yang tak selesai. Seperti saat menjabat walikota Solo di periode keduanya. Dan saat menjabat gubernur DKI Jakarta 2012 lalu. Mungkinkah track record itu akan berlanjut dimasa jabatan presiden-nya kali ini?
Rasa muak dan marah telah berubah menjadi rasa lelah. Kesal dan geram namun tidak bisa berbuat apa-apa telah berbuah kemalasan. Semua itu berujung menjadi merasa ‘Apatis’ karenanya. Mungkin sebaiknya saya harus mengembalikan diri saya yang dulu yang memang kurang memiliki awareness sama persoalan yang menyangkut negara. Namun tidak berarti menutup hati, mata dan telinga mengenai berbagai persoalan yang menimpa negeri ini. Hanya meyimpan dan menjadikannya pada tahap sekedar tahu saja. Atau penambah wawasan jikalau suatu saat obrolan waktu senggang bersama teman merambah hal-hal yang serius.
Karena permasalahan dan persoalan negara terlalu kompleks untuk dipikirkan terlalu mendalam. Apalagi untuk orang seperti saya yang tidak punya kualifikasi apa-apa (saya mah mikirin skripsi aja dululah). Masalahnya adalah mau kita marah, kesal atau apapun tetap saja tidak memberi efek apapun. Bahkan ketika harus turun ke jalanpun, seringnya tidak merubah apa-apa. Keputusan pemerintah tak bisa diganggu gugat. BBM naik, ya naik. Walaupun usaha seperti itu (kadang) juga perlu dilakukan. Tapi tentu akan lain cerita jika kejadiannya seperti ’98. Namun yang pasti adalah bahwa ketika ada diantara kita benar-benar ingin menjadi 'Agent of Change', maka terjun ke dalam peta permasalahan dan persoalan sampai akarnya adalah jawabannya. Apalagi bekal harta dan kuasa sudah dimiliki. Karena dua hal itu juga masuk hitungan. Lantas bagaimana kita yang tak berharta, tak berkuasa dan bukan siapa-siapa ini?
Satu hal yang saya yakini dari dulu adalah bahwa kita tak perlu terlalu ribet memikirkan persoalan dan permasalahan negara. Menjadi diri yang lebih baik saja itu sudah cukup. Menjalankan hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sedang kita emban saat ini juga  sudah lebih dari cukup. Atau kalau memang masih tergerak untuk melakukan perubahan, maka lakukanlah perubahan disekitar. Kalau merubah sekitar tak bisa, maka rubahlah diri sendiri ke arah yang lebih baik. Bukankah sebelum merubah orang lain, kita harus merubah diri kita dulu?
Siapa tahu perubahan-perubahan kecil yang kita lakukan setiap harinya akan menjadi perubahan besar dimasa mendatang. Lebih bagus kalau dampaknya baik untuk negara. Apa yang saya yakini dari dulu ini diperkuat dengan pernyataan seseorang waktu saya menghadiri acara sebuah forum pertemuan disebuah tempat. Bahkan dicontohkan pada sebuah profesi. Jadi misalkan, kalau anda adalah seorang guru, maka berusahalah memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya. Siapa tahu, diantara murid tersebut ada satu yang muncul membawa perubahan positif dimasa depan.
Tak ada batasan pasti tentang bagaimana seharusnya kita dalam menyikapi persoalan yang menyangkut negara. Karena memang semua orang punya sudut pandang dan caranya masing-masing. Namun jika seandainya rezim pemerintahan sudah diambang batas dalam menjalankan kuasanya, dan jika tak ada pilihan bagi rakyat selain meruntuhkan tirani pemerintahan. Kenapa tidak? Bukankah jalan yang ditempuh saat menuju reformasipun (kurang lebih) demikian.

Saturday, March 7, 2015

Karena ‘Rice Cooker’ Tidak Hanya Untuk Memasak Nasi Saja

Anak kosan memang mempunyai banyak keterbatasan. Keterbatasan ruang, keterbatasan uang dan berbagai keterbatasan lainnya. Tapi keterbatasan itu tidak lantas memberi ruang sempit bagi anak kosan untuk beraktivitas dan berkreativitas. Ya, buktinya dengan satu ruangan segede kamar tidur saja, kita bisa melakukan banyak hal. Dari bangun tidur sampai akhirnya tidur lagi, semuanya dilakukan di satu ruangan itu saja.
Selain ruang yang hanya segitu-gitunya, tidak banyak juga peralatan yang bisa dimiliki dan disimpan oleh anak kosan. Tak terkecuali peralatan memasak. Bagi sebagian besar anak kosan, rice cooker memang pilihan alat masak tepat yang wajib dimiliki. Selain cara pemakaiannya yang mudah, barangnya yang relatif tidak terlalu besar membuatnya tidak terlalu memakan banyak ruang.
Fungsi utama rice cooker adalah untuk memasak nasi dan menghangatkannya. Biasanya, kita-kita anak kosan memasak nasi sementara lauk pauknya dibeli dari luar. Hal itu memang lumrah, awal-awal nge-kost saya juga melakukan hal yang sama. Namun ternyata, semakin kesini saya mulai tahu bahwa rice cooker menyimpan sebuah rahasia. Konon katanya, selain memasak nasi, rice cooker juga bisa dipakai memasak yang lain. Contohnya masak air. Biar matang! LOL
Seperti yang saya bilang, bahwa anak kosan itu punya keterbatasan, namun itu bukanlah hambatan. Tak ada rotan akarpun jadi. Tak ada kompor dan peralatan masak lainnya, rice cooker pun bisa. Mungkin sudah banyak yang tahu juga bahwa rice cooker bisa digunakan untuk memasak makanan lain selain nasi. Sayapun tidak mau ketinggalan untuk mencobanya. Walaupun sejatinya saya tidak bisa memasak, tapi dengan sedikit usaha dan iseng-iseng mencoba, saya akhirnya bisa memasak makanan lain selain nasi lewat rice cooker. Walaupun hasilnya memang lebih sederhana bila dibanding makanan yang dimasak dari peralatan masak pada umumnya, tapi makanan versi rice cooker pun cukup layak untuk dinikmati.
Berikut adalah beberapa makanan yang telah saya masak lewat rice cooker. Yang belum pernah mungkin bisa mencobanya. Saya juga masih terus bereksperimen tentang makanan apa lagi yang bisa dimasak lewat rice cooker. Namun patut diingat juga, bahwasanya berkreasi boleh-boleh saja, tapi jangan terlalu over juga menggunakan rice cooker. Pada hakikatnya, fungsi rice cooker sudah jelas untuk apa. Jadi jangan gunakan rice cooker diluar batas kemampuannya. Bisa-bisa malah jadi rusak. So, this is it!

Telur
Dengan rice cooker kita bisa memasak berbagai varian telur seperti yang biasa kita masak. Mulai dari telur rebus, dadar, ceplok, orak-arik dsb. Teknik pembuatannya (baik rebus atau goreng) juga sederhana saja, seperti masak telur pada umumnya. Tapi biasanya, saya menggoreng telur di rice cooker tidak menggunakan minyak goreng melainkan margarin. Selain lebih sehat dan hemat, juga membuat panci rice cooker lebih mudah dibersihkan.


Mie Instan
Mie instan jadi makanan yang paling sering dimasak di rice cooker. Cara memasaknyapun sederhana dan relatif mudah. Apalagi dalam kemasan mie instan sudah ada petunjuk/cara memasaknya. Jadi, kita tinggal mengikuti petunjuk yang tertera dalam kemasan sampai akhirnya bisa disajikan. Mie rebus atau mie goreng sama saja, hanya saja disini, medium kompor diganti dengan rice cooker. Ya, daripada beli mie diluar ternyata lebih mahal dan rasanya sama saja, mending masak sendiri kan?


Jelly
Awalnya terinspirasi dari seorang teman dan setelah saya coba sendiri, membuat jelly ternyata tidak terlalu sulit. Memasak jelly di rice cooker, sama halnya seperti memasak mie instan. Kita hanya tinggal mengikuti petunjuk yang tertera dalam kemasan. Kalau sudah matang bisa langsung dimasukkan dalam cetakan atau kalau tidak ada masukkan saja pada wadah yang besar. Kalau sudah siap disantap, bisa ditambahin susu kental biar rasanya tambah seru.


Roti Bakar/Panggang
Pertama kali saya membuat roti bakar di rice cooker hanya iseng saja. Terus karena rasanya lumayan, akhirnya jadi ketagihan. Cara membuatnya juga cukup mudah. Kita tinggal menyiapkan bahan-bahannya. Roti sudah pasti, dia bahan utamanya. Bisa pakai roti tawar yang biasa atau roti sejenis lainnya. Isiannya bisa pakai cokelat, susu, keju atau apapun bahkan gula pasir saja sudah cukup. Dan jangan lupa siapkan margarin atau mentega.
Pertama-tama, olesi permukaan panci rice cooker dengan margarin. Panaskan panci dengan menekan tombol cook. Sembari menunggu, kita siapkan roti yang akan dipanggang. Olesi seluruh sisi permukaan roti dengan margarin, kemudian masukkan isian roti yang sudah disiapkan. Ketika panci rice cooker sudah panas, masukkan roti yang tadi. Tekan tombol cook lagi, jangan terlalu lama biar tidak terlalu gosong. Kemudian roti dibalik. Lakukan hal yang sama pada sisi lainnya. Tingkat kematangan sesuai selera saja. Roti bakar versi rice cooker yang sudah bisa disantap, rasanya tidak kalah koq sama yang dijual abang-abang dijalan-jalan. Bahkan lebih mantap karena yang membuatnya kita sendiri. Oh ya, selain roti bakar, pisang bakar juga bisa dibuat disini.


Kolak Pisang
Eksperimen saya pada rice cooker selanjutnya setelah roti bakar adalah kolak. Berbekal waktu KKN dulu pernah melihat teman membuat kolak untuk buka puasa (tapi bukan di rice cooker). Saya jadi punya sedikit gambaran tentang cara membuat kolak. Kolak yang saya buat pertama kali di rice cooker adalah kolak pisang. Karena bahan-bahannya memang mudah didapat. Begini cara membuatnya.
Bahan-bahan:
1.     3-5 buah pisang (atau sesuai selera), jenis pisangnya terserah.
2.     Gula merah / gula jawa.
3.     Gula pasir.
4.    Santan cair.
Cara membuat:
1.     Panaskan panci rice cooker.
2.    Masukkan air secukupnya. Tekan cook.
3.    Larutkan gula merah / gula jawa sambil sesekali diaduk.
4.   Sambil menunggu panas dan gula merah larut bersama air. Potong pisang yang telah disiapkan menjadi bagian-bagian kecil (sesuai selera).
5.   Setelah gula merah larut, masukkan gula pasir secukupnya. Aduk-aduk. Untuk yang suka dan biasa, bisa ditambah sedikit garam. Kalau saya tidak pernah.
6.  Setelah beberapa saat, masukkan potongan pisang ke dalam larutan gula tadi. Tunggu sampai warnanya agak sedikit berubah sambil sesekali diaduk.
7.    Masukkan santan cair. Aduk hingga merata.
8.    Setelah matang, matikan rice cooker.
9.    Dan kolak pisang versi rice cooker pun telah siap dihidangkan.


Pancake
Membuat pancake di rice cooker juga tidak sesulit yang dibayangkan. Kita hanya tinggal membeli adonan pancake instan di supermarket. Dan seperti makanan instan lainnya, kitapun hanya cukup mengikuti petunjuk yang tertera dalam kemasan. Tak sampai 5 (lima) menit, pancake ala rice cooker sudah bisa dihidangkan.



Nasi Goreng
Memasak nasi putih biasa di rice cooker sudah terlalu mainstream, biar sedikit berbeda, ternyata nasi goreng pun bisa dihasilkan dari sebuah rice cooker. Cara membuatnya sama saja seperti nasi goreng pada umumnya. Hanya saja (sepertinya) membuat nasi goreng dalam rice cooker jangan terlalu sering, karena nasi goreng lumayan meninggalkan bekas 'bandel' pada panci rice cooker.  



Sampai saat ini, baru 7 (tujuh) makanan diatas yang sempat saya coba buat pakai rice cooker. Sebenarnya masih ada lagi makanan-makanan yang bisa dimasak pakai rice cooker seperti sayur, sup, bubur dll. Tapi sampai post ini dibuat, saya belum mencobanya. Next time, mungkin. Nanti kalau sudah ada hasilnya, post ini saya update lagi.