Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Saturday, May 30, 2015

Catatan Nonton #Mei’15

Setelah di bulan April kemarin sempat membuat edisi khusus/spesial untuk aktris kesukaan saya, Kristen Stewart, format ‘Catatan Nonton’ kembali seperti semula di bulan Mei ini. Kembali menghadirkan kumpulan review-review pendek dari film yang telah saya tonton secara random selama sebulan ini. Edisi ke-18 dari ‘Catatan Nonton’ kali ini menganugerahkan Movie of the month kepada film thriller cyber-crime asal Jerman, ‘Who am I – No System is Safe’. Salah satu film cyber-crime terbaik sejauh ini. Hollywood pun dikabarkan akan segera membuat versi remake-nya. Dan berikut kumpulan short review film dalam edisi ‘Catatan Nonton’ kali ini.
P.S. Untuk ‘Still Alice’, saya menontonnya dibulan April, tapi untuk short review-nya saya masukkan disini.

Still Alice (2014) (27/04/15)
Short review:
Julianne Moore meraih berbagai penghargaan atas perannya disini. Performanya begitu mempesona sebagai perempuan paruh baya pengidap alzheimer. Bersanding bersama si cantik Kristen Stewart sebagai anak bungsunya. Hal menyenangkan dari 'Still Alice' adalah bahwa ia tidak terjebak dalam stereotype drama yang memakai penyakit sebagai tema utama (baca: cengeng). Kehangatanlah yang justru begitu menonjol ketika 'Still Alice' dengan premisnya tidak dibuat duo Richard Glatzer dan Wash Westmoreland menjadi sebuah formula tearjaker. Dan berhasil menebar nuansa depresifnya tanpa harus mengeksploitasi sisi drama melankolis yang berlebihan. Penonton bersimpati bukan karena dia menderita karena penyakitnya tapi perjuangannya (dan orang disekitarnya). Seperti yang Alice bilang dalam pidatonya, "I am not suffering. I am Struggling".
Skor: 3,75/5

Who Am I (2014) (01/05/15)
Short review:
Ketika aksi, drama, thriller, kriminal, teknologi dan psikologis dalam sebuah dunia retas meretas menjadi tontonan yang segar, menyenangkan, menegangkan dan bercita rasa tinggi. Maka itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan film thriller cyber-crime asal Jerman, ‘Who am I – No System is Safe’. Gaya penceritaannya yang cool, flow-nya yang asyik, naskahnya yang cerdas serta sisi teknisnya yang ok, bersatu padu membuat sebuah pola dengan lapisan twist yang mencengangkan. Seperti melihat Edward Norton di ‘Primal Fear’ dan ‘Fight Club’ secara bersamaan ketika melihat Benjamin yang diperankan Tom Schilling. Tontonan wajib buat penikmat genre serupa. P.S. visualisasi darknet disini keren banget!
Skor: 4,25/5

Snowpiercer (2013) (03/05/15)
Short review:
Sebuah hasil manis yang diperoleh Bong Joon-ho didebut internasionalnya. Sebuah film post apocalypse yang menggugah. Kisah pergerakan revolusioner akibat perbedaan dan ketidakadilan dalam strata sosial memang bukan tema yang baru yang diangkat dalam medium film. Tapi dengan hanya berada dalam satu set yakni kereta api, Bong Joon-ho berhasil membawa premis tersebut menjadi begitu kompleks dan intim. 'Snowpiercer' sendiri berjalan dengan cara yang keras dan brutal. Sarat akan kritik sosial yang kental disana-sini. Aksi pemberontakan Curtis seperti sebuah petualangan video game, dan setiap gerbong yang dilalui adalah setiap level yang menghadirkan tantangannya masing-masing. Seru, keren, asyik!
Skor: 4/5

The Avengers: Age of Ultron (2015) (06/05/15)
Short review:
Bahkan seorang Christopher Nolan pun tak sanggup menjawab ekspektasi fans yang begitu besar tatkala menanggung tugas berat bernama sekuel superhero terbaik sepanjang masa, 'The Dark Knight'. Setali tiga uang dengan Nolan, Joss Whedon pun memiliki nasib yang kurang lebih sama dengan Nolan saat ditugasi Marvel menahkodai sekuel 'The Avengers' yang bertajuk 'Age of Ultron'. 'Age of Ultron' adalah pengulangan-pengulangan yang sesungguhnya pernah kita lihat di ‘The Avengers’. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor: 3,25/5

Fast & Furious 7 (2015) (13/05/15)
Short review:
Sudah jelas rasanya jika kita harus menghiraukan nalar dan logika ketika menonton salah satu franchise action terbesar saat ini, ‘Fast & Furious’. Karena memang bukan itu jualannya. Tak peduli jika naskahnya sangat medioker, ‘Fast & Furious’ akan tetap digemari ketika dia berhasil memanjakan penonton dengan beragam aksi gila, kebut-kebutan sampai parade mobil-mobil keren. James Wan yang notabene berlatar belakang film horor berhasil mengemban tugas menukangi seri ketujuhnya ini. Meski sempat berduka setelah kepergian Paul Walker, namun justru hal itulah yang membuat ‘Furious 7’ menjadi lebih spesial dibanding seri lainnya. Sebuah moment bercampur haru di lima menit terakhirnya. Sebuah penghormatan yang layak untuk seorang Paul Walker yang telah hadir sejak seri pertamanya.
Skor: 3,75/5
It’s been a long day without you my friend. 
And I’ll tell you all about it when I see you again.
We’ve come along way from where we began. 
I’ll tell you all about it when I see you again.


Jupiter Ascending (2015) (13/05/15)
Short review:
Pemandangan yang memanjakan mata ketika menyaksikan karya terbaru The Wachowskis, ‘Jupiter Ascending’. Visualnya sangat keren. Set dunia yang dibangun, desain kostum sampai karakter-karakter unik berhasil tersaji dengan ciamik. Terima kasih untuk orang-orang yang bekerja dengan keras untuk aspek yang satu ini. Namun sisi teknis yang bekerja maksimal, tidak sejalan dengan plot yang dihadirkan. Penceritaannya kacau, naskah yang dihadirkan pun tidak terlalu baik. Bahkan chemistry antara Mila Kunis dan Channing Tatum tidak tergarap dengan baik pula. Padahal dua karakter ini adalah pondasi utama untuk keseluruhan cerita ‘Jupiter Ascending’. Sepertinya memang agak berat buat The Wachowskis mengulang kesuksesan yang sama dengan ‘The Matrix’ di film ini.
Skor: 2,75/5

Super (2010) (18/05/15)
Short review:
Rilis ditahun yang sama. Punya konsep cerita yang sama. Membuat ‘Super’ selalu dibanding-bandingkan dengan ‘Kick-Ass’. Bahkan James Gunn sendiri sempat dituding mendompleng kesuksesan ‘Kick-Ass’ yang lebih dahulu rilis. Memang sulit juga buat kita untuk tidak membandingkan ‘Super’ dan ‘Kick-Ass’. Namun terlepas dari itu semua, ‘Super’ sendiri bukan berarti tanpa kekuatan. Meski punya konsep yang mirip, ‘Super’ mampu berjalan dengan caranya sendiri. Malah ada beberapa keunggulan yang tak dipunyai ‘Kick-Ass’ dibeberapa sisi. Dibandingkan ‘Kick-Ass’ yang kental nuansa remajanya, ‘Super’ memang lebih dewasa dan memiliki unsur realitas yang lebih kuat. Adegannya juga lebih sadis dan berdarah. Karakter utamanya lebih fokus, berbeda dengan ‘Kick-Ass’ yang teralihkan fokusnya setelah kemunculan Hit Girl.
Skor: 3,25/5

Kingsman: The Secret Service (2014) (23/05/15)
Short review:
Sempat merasa bosan diawal-awal karena ceritanya yang sangat sederhana. Namun style Matthew Vaughn membuat ‘Kingsman: The Secret Service’ masih terlalu sayang untuk dilewatkan. Layaknya ‘Kick-Ass’ dan ‘X-Men: First Class’ yang menyenangkan, ‘Kingsman’-pun melakukan hal yang sama. Adegan aksi brutal, berdarah dan sadis tersaji bersama koreografi ciamik dan efek slowmotion yang stylish. Dan puncaknya adalah babak akhir yang menjadi klimaksnya. Sebuah sajian yang sangat menghibur. Penuh warna. Spektakuler. Karakter-karakter yang muncul disinipun sangat memorable. Memang tak salah jika Mark Millar kembali bekerja sama dengan Vaughn dalam memvisualkan komiknya.   
Skor: 4/5

Ex Machina (2015) (25/05/15)
Short review:
Saya lumayan menyukai presentasi Alex Garland di debut penyutradaraannya. Tone-nya tenang namun menyimpan misteri yang ditaburi rasa abu-abu didalamnya. Premis tentang kecerdasan buatan memang sudah sering diangkat dalam medium film. Namun itu tidak berarti bahwa ‘Ex Machina’ adalah sci-fi thriller yang membosankan. Malah dengan set yang hanya disatu tempat saja, membuat ‘Ex Machina’ mempunyai kesan intim yang kuat tapi tetap intimidatif. Isu yang diangkat disini juga berhasil memberi ruang eksplorasi buat penontonnya, yang kemudian membekas setelah filmnya berakhir. Dua tokoh wanita disini (Alicia Vikander dan Sonoya Mizuno) juga sukses mencuri perhatian saya lewat penampilan mereka.
Skor: 3,75/5

Vertigo (1958) (27/05/15)
Short review:
Selain ‘Psycho’, ‘Vertigo’ juga disebut-sebut sebagai salah satu karya terbaik seorang Alfred Hitchcock’. Bahkan beberapa diantaranya menyebut lebih baik dibanding ‘Psycho’. Masih menawarkan psychological-thriller dengan kadar suspense khas Hitchcock + sedikit dibumbui sisi mistis dan romansa. Ya, romansa. Bahkan sisi yang satu ini begitu mendominasi di sepertiga bagian akhir. Terdengar agak klise tapi cukup efektif untuk membuatnya menjadi lebih berbeda. Bahkan sisi romansa turut berkontribusi dalam menggulirkan cerita. Meskipun sempat menurunkan sedikit tensi dan atmosfernya, tapi Hitchcock memang paling tahu bagaimana caranya element suspense bekerja dalam film. Begitulah yang terjadi pada ‘Vertigo’. Predikat The Master of Suspense memang tak salah jika dialamatkan padanya.
Skor: 4/5

Chappie (2015) (30/05/15)
Short review:
'Chappie jelas beda dengan 'District 9' yang dipuja-puja. Bahkan dengan 'Elysium' sekalipun yang tak lepas dari kritik. 'Chappie' teramat sangat ringan bila dibandingkan dengan keduanya. Isu-isu sosial yang sudah jadi ciri khas film-film Neill Blomkamp memang masih ada. Namun tidak sesatir dan selugas sebelumnya. Membawa premis yang sudah bolak-balik dipakai dalam film, tentang kelancangan manusia yang bermain-main sebagai Tuhan, Blomkamp sanggup memberi tontonan menghibur. Banyak cita rasa yang dihidangkan lewat kekhasan Neill disini. Ya, menghibur bila kita mau memaafkan kekurangan-kekurangan yang ada. Itu belum ditambah hal-hal yang (sebenarnya) tidak terlalu saya sukai, seperti para anggota gangster atau lagu-lagu yang diperdengarkan disini. Bahkan tokoh Chappie pun tak luput dari kesan annoying ditengah rasa simpati kita padanya. Saya juga kurang suka dengan ending-nya. Selain terkesan terlalu dipaksakan, ending-nya juga cukup menggernyitkan dahi. But overall, 'Chappie' adalah sajian sci-fi yang nyaman untuk ditonton.
Skor: 3,25/5

Gambar dari sini.

Monday, May 18, 2015

My Favorite Anime of All Time

Anime memang tidak bisa begitu saja dipisahkan dalam hidup saya. Walau saya bukan seorang geek (pake banget) sama anime + saya juga tidak terlalu sering baca manga (hanya beberapa judul saja). Tapi anime tetap tak bisa dilepaskan dari hidup saya hingga saat ini. Animelah yang menemani dan membuat masa-masa kecil saya menjadi lebih berwarna. Dengan anime, masa kecil saya terasa lebih lengkap. Karena lewat anime masa kecil itu menjadi penuh imajinasi, mimpi dan khayalan tanpa batas.
Saya masih ingat, saat masih tergila-gila sama tamiya gara-gara ‘Let’s & Go’ dan berharap tamiyanya bisa terbang seperti Cyclone Magnum. Berharap beyblade-nya yang bisa memunculkan naga biru seperti yang dimiliki Takao. Atau jadi sering main sepak bola dan berharap suatu saat bisa jadi pemain bola hebat setelah menonton ‘Captain Tsubasa’. Atau berharap punya satu saja dari sekian banyak alat yang dikeluarkan ‘Doraemon’. Dan masih banyak lagi moment lainnya. Satu hal yang sama adalah, semuanya indah.
Kisah dalam anime sendiri tidak selalu tentang hiburan semata. Ada pesan moral baik tersirat maupun tersurat dalam cerita anime. Mulai dari gambaran tokoh karakternya atau dari dialog-dialog yang dilontarkan antar karakter. Anime selalu mengajarkan tentang semangat, pantang menyerah, terus berusaha, setia kawan, membela kebenaran dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk yang satu ini layak ditiru.
Semakin kesini, saya baru menyadari bahwa anime semakin dewasa. Entah terjadi pergeseran atau bukan tapi itu yang saya rasakan. Cerita anime menjadi lebih berat dan rasanya tidak layak ditonton untuk anak kecil. Atau mungkin maksud pergeseran dari anak-anak menjadi dewasa bukan kata yang tepat, karena di Jepang anime memang punya pangsa penonton sendiri. Adapun kalau anime di televisi kita punya kesan anak-anak yang kental, itu karena anime-anime bertema dewasa tidak bisa tayang di layar kaca, karena pasti tidak akan lulus sensor. Meskipun ditayangkan juga, banyak sekali adegan-adegan yang harus di-cut. Jadi, kalau dibilang anime adalah tontonan anak kecil maka itu adalah ungkapan yang kurang tepat. Anime adalah tontonan dewasa (setidaknya remaja).
Saya sempat tidak menonton anime semasa SMP. Namun balik lagi nonton anime pas SMA semenjak nonton ‘Bleach’. Kemudian pas awal-awal kuliah juga sempat tidak menonton anime. Sampai pada tahun-tahun terakhir kuliah balik lagi nonton anime gara-gara ‘Psycho-Pass’. Dan sampai sekarang, saya masih menyempatkan menonton beberapa judul anime, baik keluaran terbaru maupun keluaran lama yang dulu belum sempat ditonton.
Entah berapa judul anime yang sudah ada. Entah berapa judul yang pernah ditonton. Pasti ada diantara anime tersebut yang masuk dalam kategori favorit. Definisi favorit disini tentu akan berbeda setiap orang, dan memang banyak faktor yang mempengaruhinya. Jadi, jangan tanya kenapa tidak ada 'Dragon Ball', 'Detective Conan' atau ‘Naruto’ dalam daftar saya. Seperti halnya saya membuat daftar film terfavorit sepanjang masa dulu, kali ini sayapun melakukan hal yang sama dalam anime. Dan berikut daftarnya.
     Honorable Mentions: Assasination Classroom, Kuroko no Basuke, Attack on Titan, Durarara!!, Code Geass: Lelouch of the Rebellion.

#10 Death Note



Sulit untuk tidak menyukai anime ini. Pesona karakter utamanya begitu kuat. Konfrontasi Light dan L akan selalu dikenang sebagai salah konfrontasi pikiran paling keren dalam anime. Bukti bahwa adaptasi manganya telah dipakai dalam berbagai medium menjadi bukti bahwa Death Note menjadi salah satu daftar anime yang wajib ditonton (selama kita hidup).

#9 Digimon Adventure



Anime yang satu ini memang tak ada matinya. Anak-anak yang lahir di era 90-an pasti hafal kisah petualangan anak-anak terpilih yang terjebak didunia digital untuk membasmi kejahatan ini. Serinya sudah dibuat dalam 7 (tujuh) judul berbeda. Tahun 2015 ini, ‘Digimon Adventure’ akan memulai petualangan baru dimana Taichi dkk sudah bukan anak-anak lagi.

#8 Tokyo Ghoul


Drama dua mahkluk hidup dalam mempertahankan eksistensinya. Bersaing menjadi yang teratas dalam rantai makanan. Saling berperang demi mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing. Sentuhan horor gore dan aksi yang tak kalah nikmat untuk dilahap. Konfrontasi dua kubu yang tak mudah berdampingan.

#7 Another



Dua belas episode yang sanggup merangkai teror dan misteri bertensi tinggi. Saya tidak pernah menyangka jika sebuah set sekolah dalam anime bisa sehoror ini (walaupun tidak menyajikan kisah tentang hantu). Saya selalu menyebut ‘Another’ sebagai sebuah kombinasi antara ‘Final Destination’ dengan ‘Battle Royale’.

#6 One Outs




Berbeda dengan anime sport kebanyakan, 'One Outs' tidak memasang premis olahraga selayaknya kisah from zero to hero dengan sentuhan formula standar: Menang dramatis atau kalah terhormat. Permainan baseball 'One Outs' menjadi berbeda ketika plotnya mempermainkan sisi psikologis karakter yang turut mempengaruhi penontonnya. Adiktif.

#5 Steins;Gate



Unsur time travel memang selalu menarik untuk jadi ide cerita. Apapun kemasannya, apapun medianya, unsur itu memang selalu menarik ketika menjadi sebuah tontonan. Tak terkecuali untuk anime yang satu ini. Dalam perjalanannya, ‘Steins;Gate’ menebar misteri rumit untuk digabung setiap kepingan puzzle-nya dengan utuh. Untuk yang tidak terbiasa, episode-episode awalnya mungkin akan sedikit membosankan.

#4 Monster



Tak banyak anime yang mengambil set negara Eropa sebagai latar penceritaan. Pendekatannya realistis. Tidak terlalu banyak bumbu fantasi yang diusung. ‘Monster’ menjalin pola penceritaannya dengan dewasa, berat, gelap dan penuh filosofi. Tentu ini bukan tontonan semua orang, apalagi anak kecil. Butuh mood yang baik untuk menonton setiap episodenya. ‘Monster’ yang dipakai judul disini tidak berarti denotatif, ‘Monster’ disini merujuk kepada sisi gelap manusia.

#3 Psycho-Pass



Anime yang menandai euforia menonton anime setelah saya sempat vakum menonton anime di awal-awal kuliah. ‘Psycho-Pass’ adalah bagaimana sebuah drama kriminal berlatar dunia masa depan mampu menjadi tontonan yang segar. Sadis dan menegangkan. Dengan dialog-dialog berat bermuatan filosofis, ‘Psycho-Pass’ membangun kekuatannya dari segi cerita. Dua karakternya (Kougami Shinya dan Makishima Shougo) selalu saya kagumi kehadirannya.

#2 Bleach



Salah satu anime yang cukup personal buat saya. Semenjak pertama kali melihat Ichigo Kurosaki, saya sudah langsung jatuh cinta dengan ‘Bleach’. Terlepas dari episode filler yang begitu banyak (kadang sedikit menyebalkan), tidak lantas melunturkan kecintaan saya sama anime karangan Tite Kubo ini. Meski sangat disayangkan ketika ‘Bleach’ harus berakhir di episode 366. Saya sendiri masih berharap animenya bisa dilanjutkan. Karena manganya juga masih berjalan hingga saat ini.


#1 One Piece


Tak salah jika menyebut One Piece sebagai anime terfavorit. Salah satu anime yang menemani saya tumbuh di waktu kecil. Salah satu alasan kenapa saya merasa beruntung pernah merasakan keseruan tv di hari minggu. Kisah petualangan bajak laut ini memang selalu menarik untuk disimak karena selalu menyajikan banyak keseruan setiap episodenya. Dan sampai saat ini, 'One Piece' belum sedikitpun menunjukkan gelagat akan mengakhiri kisahnya. Sampai kapankah, Oda?

Manglayang: Cerita Pertama Mendaki

“Perjalanan mendaki gunung bukanlah untuk mencari puncak,
tapi perjalanan untuk menemukan kembali jalan pulang”
– Someone says –

Semua orang memiliki cerita pertamanya sendiri-sendiri. Meski cerita pertama tidak pasti menjadi yang terbaik. Namun cerita pertama selalu punya cara untuk diingat. Selalu punya alasan untuk dikenang. Tak peduli cerita itu berakhir manis atau pahit. Berakhir suka atau duka. Apapun kisahnya, hal pertama akan selalu memberi guratan yang berbekas.
Gunung. Salah satu mahakarya Tuhan yang menyimpan berjuta cerita. Meyimpan misteri disetiap jengkal tanahnya. Menyimpan tanya dibalik rimbunnya pepohonan. Menyimpan kehangatan ditengah dingin hawanya. Menyimpan keindahan dibalik setiap puncaknya. Menyimpan pelajaran hidup dibalik kemegahannya. Tak heran bila gunung adalah destinasi para manusia untuk menyepi, menyegarkan pikiran, mencari kembali tujuan hidup, menempa mental dan spiritual dan belajar hal-hal baru tentang hidup. Perjalanan mendaki gunung bukan hanya perjalanan jasmani (fisik). Perjalanan mendaki gunung adalah perjalanan rohani (spiritual).
Jean Henry Dunant, sang bapak palang merah sedunia, pernah berkata, “sebuah bangsa/negara tidak akan kekurangan sosok pemimpin jika generasi mudanya sering berpetualang di hutan, gunung dan lautan”. Bukan tanpa alasan, karena alam adalah guru yang tidak akan pernah ditemui di instansi pendidikan manapun. Pendidikan alam adalah pelajaran yang tidak akan pernah diajari pengajar manapun. Manusia bisa seperti sekarang ini, karena mereka belajar dari alam.
“Jika anda ingin mengetahui sifat asli seseorang,
maka ajaklah ia pergi mendaki gunung”
– Someone says –

Gunung Manglayang terletak diantara Bandung dan Sumedang. Terletak persis dibelakang kampus Unpad, Jatinangor. Gunung Manglayang merupakan puncak terendah diantara kwartet gunung dalam legenda sangkuriang (Burangrang – Tangkuban Perahu – Bukit Tunggul – Manglayang) dengan tinggi 1.818 mdpl. Meski tidak terlalu tinggi, namun jangan sekalipun meremehkan Gunung Manglayang. Persiapan layaknya mendaki gunung pada umumnya tetap harus dilakukan guna mengantisipasi keadaan yang tidak terduga.
Mengambil rute dari Baru Beureum, perjalanan saya dan teman-teman dimulai tepat pukul 12.00 WIB malam. Sinar rembulan sepotong menemani sepanjang perjalanan menuju puncak. Sinarnya yang terang menjadi teman untuk setiap langkah yang dilalui. Menjadi penerang digelapnya malam. Memberi kehangatan ditengah dinginnya malam.
Jalur pendakian Mangalayang cukup sulit dilewati karena tingkat kemiringannya yang curam dan merupakan jalur air. Tanjakan berbatu dan tanah liat yang licin silih berganti menyapa. Beruntung saat itu cuaca sedang bagus dan tidak habis hujan. Dan meskipun cukup menguras tenaga, semua akhirnya bisa dilewati.
Kurang lebih tiga jam, puncak bayangan Manglayang akhirnya bisa dijamah. Mayoritas dari kita adalah pendaki pemula, sehingga waktu tersebut terasa wajar buat kami. Di puncak bayangan inilah, keindahan kota Bandung malam hari bisa dirasakan. Gemerlap lampu kota menjadi obat untuk kaki yang terasa lelah melangkah. Penawar untuk nafas yang terengah-engah. Pengganti cairan tubuh untuk peluh yang terus mengalir. Bersama tenda-tenda yang sudah didirikan para pendaki sebelumnya, dua tenda kami ada diantaranya.


Pagi hari. Datang sebagaimana pagi biasanya. Namun sayang seribu sayang, matahari seperti enggan tampil sesuai harapan. Langit pagi dan matahari terbit yang jadi salah satu destinasi para pendaki untuk merasakan kebesaran-Nya tidak terlalu bersahabat. Kabut-kabut tebal membuat mentari malu untuk memberi cahaya khasnya kala itu. Namun itu semua bukanlah tujuan utama, itu adalah hadiah jika kita beruntung. Canda tawa dan kehangatan antar kita lah yang terpenting.
Puncak sesungguhnya dari Manglayang masih harus ditempuh dari puncak bayangan dengan trek yang tak kalah seru. Kalau cepat, tiga puluh menit bisa sampai dipuncak. Namun dipuncak, kita tidak akan bisa menyaksikan pemandangan, karena seluruh sisi tertutup rimbunnya pepohonan. Tapi tanahnya yang lumayan lapang, cukup luas untuk menampung orang-orang berkumpul. Disana juga terdapat sebuah makam yang biasa diziarahi para penziarah atau para pendaki.


Sehabis dari puncak, tengah hari menandai perjalanan menuruni Manglayang. Dibandingkan mendaki, menuruni gunung Manglayang justru terasa lebih berat. Selain fisik yang sudah mulai lemah, semangatpun sudah berbeda dengan saat pertama mendaki. Jalur turunan yang terhampar jelas dalam pandangan turut memberi efek psikologis tersendiri. Trek dengan tingkat kesusahannya terlihat begitu nampak dimata. Sedikit banyak hal itu menurunkan mental. Siang hari seolah menunjukkan trek yang harus dilalui sebenarnya. Berbeda dengan malam hari, dimana masing-masing kita merasa cuek dan tak peduli dengan trek yang akan dilewati nanti. Sesulit apapun itu. Karena dimalam hari kondisinya tidak terlihat jelas, jauh berbeda dengan siang hari. Mungkin itulah salah satu keunggulan mendaki gunung dimalam hari. Kita tidak langsung ciut nyali ketika melihat jalur pendakian yang agak berat.
Menjelang sore, semua awak telah berkumpul sambil melepas lelah. Saya agak sedikit tertinggal dari yang lainnya karena terlalu asyik mengobrol dan lama berisitirahat di perjalanan. Sehabis mengistirahatkan badan sejenak dan menuntaskan semuanya di pos pertama di Baru Beureum, kamipun kembali ke tempat dimana kami biasanya. Gunung Manglayang telah memberi pengalaman baru hari itu. Gunung Manglayang menjadi cerita pertama mendaki buat saya. Semoga bisa kesana lagi suatu saat nanti. Dan semoga bisa mendaki gunung-gunung lainnya. Berkumpul bersama kengkawan di puncak yang lain.

 Manglayang, 10 Mei 2015

Sunday, May 17, 2015

(My) Top Anime Soundtrack

Anime dan soundtracknya adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan. IMO, lagu-lagu Jepang menjadi lebih bernyawa ketika dijadikan soundtrack anime. Pun sebaliknya, kehadiran soundtrack dalam anime, baik opening maupun ending turut memberi nafas dan mempertegas cerita dalam anime itu sendiri. Emosi dalam setiap cerita menjadi lebih tergambar jelas dengan adanya soundtrack. Apalagi musik Jepang punya ciri khas-nya sendiri. Lirik-lirik yang dituliskannya pun sangat bagus dimata saya. Untuk hal yang satu itu, saya memang mengaguminya. Meski kadang (sebenarnya) saya kurang suka dengan penampilan mereka (musisinya).
Pada post kali ini, saya akan sedikit share tentang daftar lagu soundtrack anime yang menurut saya top, terbaik, favorit atau apapun namanya. Meski diurutkan berdasarkan angka-angka, namun sesungguhnya itu semua tidak terlalu berarti disini. Karena pada dasarnya, saya memang suka lagu-lagunya. Dan berikut daftarnya.

#9 Memories – Maki Otsuki [One Piece]
Seperti judulnya, lagu ini memang penuh akan kenangan. Kenangan yang mengingatkan saya akan masa kecil penuh keseruan bersama televisi. Secara, 'One Piece' merupakan salah satu anime yang menemani saya tumbuh. Mendengar lagu 'Memories' seperti mencampuraduk rindu, haru, senang, sedih dan bahagia dalam satu rasa bernama kenangan .


#8 Life Is Like A Boat – Rie Fu [Bleach]
Lagu ini selalu menyiratkan baris kesedihan dan kesunyian. Lirik pertamanya begitu dalam, Nobody knows who I really am, I never felt this empty before. Saya masih ingat waktu 'Bleach' tayang di TV nasional. Lagu ini mengalun dan menjadi penutup episode-episode awal 'Bleach' tepat pukul 11.30. Menjadi soundtrack untuk waktu dimana selalu tersirat kesedihan dan kehampaan dari langit minggu siang.


#7 Fukai Mori – Do As Infinity [Inuyasha]
Bagi sebagian orang, mungkin opening 'Inuyasha' yang berjudul 'Change the World' lebih familiar dan lebih kental kesan 'Inuyasha'-nya. Namun buat saya, 'Fukai Mori'-lah yang lebih mengena. Riff gitar di intro selalu terdengar renyah ditelinga. Membuat sebuah alasan untuk selalu mendengarkan lagunya.


#6 Ranbu No Melody – SID [Bleach]
Lagu ini berada diantara moment-moment keren dalam episode 'Bleach'. Memberi emosi yang membuatnya terasa menyatu dengan moment yang dihadirkan dalam episode-epiosde tersebut. Especially, moment mengharukan ketika Ichigo harus menggunakan teknik “Final Getsuga Tenshou” yang berujung perpisahannya dengan Zangetsu. It’s so touching!


#5 Butterfly – Kouji Wada [Digimon Adventure]
Untuk anak-anak yang besar bersama 'Digimon Adventure', rasanya tak asing dengan lagu ini. 'Digimon Adventure' memang jadi anime favorit bagi anak-anak saat itu. Lagu inipun sudah jadi ajang nostalgia sendiri ketika kita yang sudah dewasa ini ingin mengenang petualangan Taichi dkk.


#4 Alones – Aqua Timez [Bleach]
Actually, saya suka lagu-lagunya Aqua Timez. Selain musiknya, liriknya pun terasa “srek” ditelinga saya. Dan, semua itu berawal dari Kon yang bersenandung lirih, “Oreta Awai Tsubasa”. Selain 'Alones', 'Bleach' juga memakai dua lagu lain dari Aqua Timez sebagai opening-nya, 'Velonica' dan 'Mask'.


#3 Michi (To You All) – Aluto [Naruto Shippuden]
Saya lupa lagu ini ada di episode mana dalam 'Naruto Shippuden'. Tapi terlepas dari itu, lagu ini memang punya semua hal yang membuat telinga tidak akan bosan-bosan mendengarnya. Easy listening banget!


#2 All Alone With You – Egoist [Psycho-Pass]
Sebuah lagu mellow dari grup project soundtrack anime, Egoist. Bertugas menutup setengah episode akhir 'Psycho-Pass'. Pertama kali mendengarkannya, saya sudah langsung suka dengan lagunya. Dentingan pianonya menarik telinga.


#1 Unravel – Ling Tosite Sigure [Tokyo Ghoul]
Lagu seperti ini memang tipikal lagu yang pas untuk anime. Penuh semangat, berapi-api, sarat akan luapan emosi, tapi tak hilang unsur “melankolis”-nya. 'Tokyo Ghoul' beruntung memiliki lagu ini dalam daftar soundtrack-nya. 'Unravel' juga menjadi seperti gambaran dari kisah 'Tokyo Ghoul'. Beberapa kali 'Unravel' melatarbelakangi moment penting dalam kisah 'Tokyo Ghoul'.


Thursday, May 7, 2015

About Movie: Avengers: Age of Ultron (2015)


“But now I’m free. There are no strings on me!”
– Ultron –

Tak peduli seorang fans atau bukan. Pembaca komik ataupun bukan. Rasanya Marvel Cinematic Universe telah menjadi candu bagi para penikmat film dimanapun berada. Kehadirannya menjadi sebuah euforia tatkala para anggota the earth mighty heroes kembali beraksi. Especially, ketika akhirnya seluruh punggawa tampil dalam satu layar.
The Avengers (2012) yang menjadi titik awal bergabungnya para superhero Marvel dalam satu frame (setelah sebelumnya tampil solo) telah mendeskripsikan bagaimana seharusnya sebuah film crossover superhero dibuat. Dengan adanya standar tinggi yang dibuat Joss Whedon sebelumnya, tak aneh jika banyak orang yang menaruh ekspektasi tingkat tinggi ketika Whedon kembali terpilih menahkodai sekuel ‘Avengers’, Age of Ultron (2015).
Tentu bukan perkara mudah buat seorang Whedon untuk memenuhi segala macam tuntutan dan tekanan yang dibebankan kepadanya. Bahkan seorang Christopher Nolan pun tak sanggup menjawab ekspektasi fans yang begitu besar tatkala menanggung tugas berat menahkodai sekuel superhero terbaik sepanjang masa, The Dark Knight (2008). Walaupun The Dark Knight Rises (2012) bukanlah film jelek, tapi tetap saja, tak bisa dipungkiri jika ‘The Dark Knight Rises’ masih berada dibawah ‘The Dark Knight’. Setali tiga uang dengan Nolan, dalam hal ini, Whedon pun memiliki nasib yang hampir sama dengan Nolan.
Kenyataan bahwa yang dibuat Whedon masih berada dalam satu universe, mau tidak mau, itu membuat ‘Age of Ultron’ tidak bisa berdiri sendiri dalam menggulirkan kisahnya. Sebagai sebuah sekuel, ia juga harus mampu menjadi sekuel yang baik untuk film-film sebelumnya, dan menjadikan semua peristiwa dalam film terdahulu tetap berada dalam satu benang merah yang sama. ‘Age of Ultron’ juga harus memberi sinyal cerita untuk film-film yang akan datang. Karena jelas, sebuah universe harus berhubungan satu dengan lainnya. Disisi lain, dan tak kalah pentingnya, Whedon pun harus menjawab dahaga penonton yang sudah haus akan resep yang dihidangkannya kali ini. Apalagi sebelumnya, Captain America: The Winter Soldier (2014), Guardians of the Galaxy (2014) sampai serial TV Daredevil (2015) sudah memberi nafas yang sangat positif buat film Marvel. Hasilnya?
‘Age of Ultron’ masihlah layak disebut sebagaimana seharusnya film crossover superhero dibuat. Ia megah. Dahsyat. Adegan aksinya spektakuler. Visualisasinya keren. Premisnya ok. Dan jelas, ini amat sangat menghibur. Namun apa daya, semuanya pernah kita saksikan sebelumnya. ‘Age of Ultron’ seperti bentuk pengulangan dari sebelumnya, hanya saja dengan beberapa pendekatan tambahan yang tak pernah ada di predesesor-nya. Seperti pendekatan cerita yang lebih kelam, bumbu-bumbu romansa, sampai ketakutan-ketakutan para karakter yang sedikit banyak memunculkan sisi gelap masing-masing. Dan selebihnya, sama.


Secara keseluruhan, pola penceritaan yang ditampilkan dalam ‘Age of Ultron’ pun hampir sama dengan ‘The Avengers’. Beberapa moment yang ada pun seperti membuat moment dejavu. Namun biarpun begitu, ‘Age of Ultron’ tetaplah sebuah hiburan khas summer blockbuster berkualitas yang sayang jika dilewatkan. Karena pada dasarnya, DNA itu memang sudah ada dalam film ini. Adapun jika ‘Age of Ultron’ disebut-sebut akan lebih kelam dari sebelumnya (bukan Marvel banget) tidak perlu dirisaukan. Karena tingkat kekelamannya tidak seperti yang dibayangkan. Tidak seperti DC yang sangat kental nuansa dark-nya. ‘Age of Ultron’ masih menawarkan kesenangan-kesenangan yang sudah jadi ciri khas Marvel. Joke-joke gokil dari dialog setiap karakternya masih ada. Bahkan dalam keadaan yang sangat serius pun kita masih bisa dibuat tertawa.
Bicara soal karakter, pastinya kurang afdol jika The Avengers masih memakai line-up yang sama. Maka karakter tambahan pun dimunculkan guna memeriahkan suasana. Ada sikembar Quicksilver dan Scarlett Witch yang lumayan mencuri perhatian. Ada juga Vision yang selama promo agak sedikit dibuat misterius. Btw, Quicksilver di Age of Ultron (rasanya) masih kalah mempesona jika di-compare sama Quicksilver di ‘X-Men: Days of Future Past’. Untuk villain-nya, ada Ultron yang ternyata tidak seseram dan seganas yang saya kira. Karakter Ultron sendiri kurang begitu tergali, sehingga aura jahatnya masih belum 100%. Sebagai villain sekelas The Avengers, Loki justru lebih berkesan.
Memang ‘Age of Ultron’ tidak banyak menawarkan sesuatu yang baru. Agak dibawah ekspektasi untuk yang mengharapkan lebih. Keramaian dan kemeriahan yang coba diangkat lewat tambahan karakter memang berhasil. Tapi itu tidak membuatnya jauh lebih hebat dari versi sebelumnya. Buat saya, adegan aksi dan pertempuran di ‘The Avengers’ justru lebih membuat merinding dibandingkan ‘Age of Ultron’.
‘Age of Ultron’ sendiri menjadi semacam jembatan untuk installment selanjutnya (khususnya Infinity War). Bumbu-bumbu ‘Civil War’ juga sedikit banyak telah diumbar disini. Hal-hal lain yang tak kalah menarik untuk ditelusuri adalah misteri tentang batu yang sering jadi objek permasalahan di universe ini. Batu-batu ajaib yang dinamai Infinity Stones ini memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Jumlahnya ada enam buah, yang konon katanya, huruf pertama dari masing-masing nama batu tersebut kalau digabung akan membentuk kata T-H-A-N-O-S. Sampai saat ini, Infinity Stones yang telah terungkap adalah Tesseract (T), Aether (A), Orb (O) dan Scepter (S).
Kita lihat aja nanti, kemunculan sisa batu lainnya yang diduga akan memiliki nama dengan awalan huruf H dan N. Untuk ke depan, sepertinya Thanos sendiri yang akan turun tangan (seperti yang di bilang disini). Hegemoni Marvel Cinematic Universe rasa-rasanya tidak akan berakhir dalam waktu dekat ini. Setelah ‘Ant-Man’ yang akan rilis Juli nanti, bersiaplah menyambut fase ke-3 MCU yang akan segera dihelat 2016 nanti, yang dibuka terlebih dulu oleh ‘Captain America: Civil War’. Rumornya, Spider-Man akan menandai kemunculan perdananya di MCU disini.

Saturday, May 2, 2015

Aneh

Yang pernah saling mengenal
Ternyata jadi saling mencampakkan
Yang pernah saling mendekat
Ternyata jadi saling menjauh
Yang pernah saling memuji
Ternyata jadi saling mencaci
Yang pernah saling menyayangi
Ternyata jadi saling membenci
Yang pernah saling merindukan
Ternyata jadi saling melupakan
Yang pernah saling membahagiakan
Ternyata jadi saling menghilangkan
Aneh