Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Thursday, July 30, 2015

Catatan Nonton #Juli’15

Edisi ke-20 dari Catatan Nonton di bulan Juli ini. Daftar filmnya masih bisa dihitung jari, tapi bertambah sedikit daripada bulan lalu. Movie of the month kali ini adalah ‘The Guest’ yang dibintangi Dan Stevens. Memang, masih ada yang lebih bagus dibanding ‘The Guest’, namun pesona Dan Stevens seperti masih membekas, mengingatkan saya akan Ryan Gosling di ‘Drive’. Selain karena ‘The Guest’ menghibur tentunya.

It Follows (2014) (03/07/15)
Short review:
Opening mencekam sekaligus penuh misteri telah sukses membuat penonton untuk tetap terjaga menyaksikan bagaimana sosok “It” yang mem-“Follows”. Seolah “It” itu ikut-ikutan mengikuti kita dan membawa kita masuk pada dunianya. Membangun suasana horor lewat atmosfernya memang terasa lebih mengerikan dibanding jump scare berlebihan yang banyak ditemui di film-film horor lain. Dan Robert Mitchells tahu benar akan hal ini. Seiring alur yang terus melaju, ‘It Follows’ tak henti-hentinya menebarkan aura creepy bersama sisi teknisnya yang apik. Premisnya mungkin terkesan bodoh dan menggernyitkan dahi, namun bila ditarik perspektif lain, ada sebuah kritik sosial yang coba disampaikan Robert Mitchells terkait kehidupan seks bebas di zaman sekarang ini.
Skor: 3,75/5

The Guest (2014) (03/07/15)
Short review:
Nuansa ’80-an begitu mewarnai film garapan Adam Wingard ini. Semuanya terasa begitu menyenangkan bersama kehadiran sesosok pria kharismatik yang menjadi “tamu” misterius. Selayaknya sosok David (Dan Stevens) yang langsung mempesona keluarga Peterson di perjumpaan pertamanya, seperti itu pulalah pesona ‘The Guest’ yang langsung menghipnotis kita untuk terus mengikuti alurnya. Moment-moment santai, tegang, sadis, lucu sampai romantis dihadirkan silih berganti namun tanpa sedikitpun mengurangi tensi yang ada. Hingga tiba pada sebuah klimaks di sebuah set pesta dansa dengan gemerlap lampu berwarna-warni lengkap dengan iringan lagu eighties-nya yang tetap keren di tangan Wingard. Dan, Dan Stevens, memang dialah alasan utamanya.
Skor: 3,75/5

Deliver Us From Evil (2014) (04/07/15)
Short review:
‘Deliver Us From Evil’ mungkin akan menjadi berbeda dengan horor kebanyakan, ketika sebuah dunia kriminal dihubungkan dengan dunia supranatural. Seolah kekuatan gelap dunia supranatural tidak bisa dipisahkan dari kejahatan dalam kehidupan sehari-hari. Diilhami kisah nyata, dari seorang mantan polisi Ralph Sarchie yang harus berhadapan dengan kasus yang tak pernah ditemukan sebelumnya. Scott Derrickson meramu kisahnya dengan tema pengusiran setan yang sudah sering diangkat dari film horor. Namun tidak seperti yang dilakukannya di ‘The Exorcism of Emily Rose’,  Scott Derrickson memperlakukan ‘Deliver Us From Evil’ dengan sangat ngepop alias terlalu pasaran. Memang ciri khasnya masih bisa dirasakan, namun tidak terlampau berkesan seperti ‘Sinister’ yang dulu mencuri perhatian saya.
Skor: 3/5

Locke (2013) (05/07/15)
Short review:
Mungkin tidak semua orang akan senang melihat seorang Tom Hardy yang menyetir mobil dimalam hari dari Birmingham ke London dan hanya berbicara via telepon dengan orang-orang yang berurusan dengannnya. Perjalanannya pun bisa dibilang normal-normal saja, tidak ada hal-hal mengejutkan yang berpotensi membuat ‘Locke’ menjadi dramatis. Ya, sepanjang durasinya, kita memang hanya akan melihat sosok Ivan Locke dalam wujud Tom Hardy ditemaramnya malam. Yang terus berbicara via telepon dan sesekali mengumpat. Tak ada orang lain, hanya dirinya seorang. Bukan drama berlebihan memang yang ditawarkan Steven Knight, kita hanya diajak untuk melihat bagaimana seorang pria dengan dilema hatinya harus membuat keputusan penting dalam hidupnya meskipun ia harus kehilangan segalanya. Ada dosa yang ingin ditebus. Ada keinginan yang kuat untuk tidak menjadi apa yang dia benci. Dialog-dialog Ivan Locke di telepon juga bukan tanpa arti, sisi humanisnya terasa related dengan kehidupan.
Skor: 4/5

You’re Next (2011) (18/07/15)
Short review:
‘You’re Next’ telah menandai Adam Wingard bersama kompatriotnya Simon Barret sebagai kreator horor/thriller yang patut diperhitungkan kehadirannya saat ini. Kesenangannya menghadirkan tontonan gore/slasher terlihat begitu jelas disini. Mengusung tema home invasion, ‘You’re Next’ hadir dengan segala element gore yang layak dinikmati. Tidak terlampau sadis sampai terasa disturbing namun tidak pula tampil murahan. Tidak hanya menampilkan kesadisan dan ketegangan, Adam Wingard juga menyajikan beberapa kejutan yang cukup potensial untuk menghentak penontonnya. Tapi lebih dari itu semua, kesenangan sesungguhnya hadir pada sosok cantik Erin Harson (Sharni Vinson) sebagai heroine kuat yang tak kalah brutalnya. Dari tangannya lah, peralatan rumah tangga bertransformasi menjadi alat membunuh yang mengerikan.
Skor: 3,75/5

Shutter Island (2010) (21/07/15)
Short review:
Seperti melihat film klasik dalam balutan modern melihat karya Martin Scorsese yang menandai kerja sama keempat kalinya bersama Leonardo Di Caprio. Mulai dari gambar, pergerakan kamera, dialog-dialog antar karakter sampai scoring nyaring yang menghantui. Semuanya terasa begitu klasik, mengingatkan saya akan film-film thriller zaman dulu yang memang memiliki ciri seperti yang saya sebutkan. Bermain dalam ranah psikologis, Scorsese seperti enggan to the point, ia lebih memilih menebarkan kepingan puzzle misterinya dengan tempo yang begitu lambat. Pulau misterius yang berisi karakter yang tak kalah misteriusnya ini seolah mengajak kita untuk menguak apa yang sebenarnya terjadi di pulau tersebut. Twist ending pun telah disiapkan Scorsese guna mengungkap semua yang terjadi. Mungkin tidak sampai mengejutkan tapi cukup efektif untuk menjawabnya.
Skor: 4/5

The Strangers (2008) (22/07/15)
Short review:
Sejumlah orang tak dikenal menyatroni sebuah rumah. Meneror penghuninya tanpa motif yang jelas, selain memberi ketakutan kepada para korbannya, sebelum membunuhnya tentunya. Terdengar familiar untuk sebuah premis home invasion thriller, tapi memang begitulah adanya. Dan ‘The Strangers’ yang katanya terinspirasi dari kisah nyata ini adalah bagaimana sebuah film home invasion thriller bekerja. Ya, semua kenikmatan genre ini bisa dirasakan dari ‘The Strangers’. Meskipun tidak menawarkan sesuatu yang baru, tapi ‘The Strangers’ tetap menyajikan kegeriannya sendiri. Dibuka dengan pelan bersama dua sejoli yang sedang galau, namun tidak sampai terlalu melankolis karena setelah suara ketukan pintu terdengar, ‘The Strangers’ pun mulai menunjukkan gelagatnya.
Skor: 3,5/5

Thursday, July 9, 2015

Mereka yang Membawa Al Qur’an

Waktu saya masih praktik industri disebuah perusahaan kontraktor, saya satu kelompok dengan seorang teman perempuan. Bisa dibilang dia termasuk golongan yang saya sebut dengan ‘akhwat’. Tak perlu lah saya jelaskan definisi ‘akhwat’ itu sendiri. Tapi yang pasti, menurut saya, mereka itu hebat-hebat. Satu hal yang saya kagumi dari mereka adalah kemana-mana mereka suka membawa Al Qur’an dan membacanya dimanapun mereka berada.
Kembali lagi ke masa praktik industri saya dulu. Waktu itu memang kita sedang menunggu (entah menunggu apa, saya lupa) di kantor kontraktor tersebut. Awalnya saya terkejut melihat dia tiba-tiba mengeluarkan Al Qur’an yang ada terjemahannya yang dilanjutkan dengan membacanya. Saya terkejut bukan tanpa alasan, karena memang jarang saya temui orang yang membawa Al Qur’an kemana-mana bahkan membacanya ditempat umum seperti ini. Bahkan teman saya yang ngakunya hobi membaca Al Qur’an pun tak pernah saya lihat dia membawa Al Qur’an kemana-mana dan membacanya seperti teman ‘akhwat’ satu ini.
Orang memang cenderung terkejut akan hal yang jarang dilakukan olehnya. Tak terkecuali buat saya. Entah darimana asalnya, tapi saya punya stigma bahwa membaca Al Qur’an itu harus dibaca di mesjid atau musholla. Paling tidak di rumah atau di kamar sendiri. Namun setelah melihat teman ‘akhwat’ tadi, saya mulai tersadar, bahwa pandangan saya soal ini ternyata masih sangat sempit sekali. Al Qur’an memang bisa dibaca dimana saja. Bisa dipelajari dimana saja. Bahkan di tempat umum yang penuh sesak dengan keramaian sekalipun.
Al Qur’an itu pedoman. Al Qur’an itu pengingat. Al Qur’an itu obat. Al Qur’an itu pembeda. Al Qur’an itu ilmu. Al Qur’an itu segalanya yang dibutuhkan manusia. Semuanya ada disana. Tinggal kita saja manusia bagaimana harus memperlakukannya. Dan saya pikir apa yang dilakukan oleh teman ‘akhwat’ itu tepat. Lebih tepat dan lebih baik dari saya yang kemana-mana malah membawa novel terjemahan. Hehe.
Sebagai seorang muslim, tentu harus dekat dengan pedomannya. Dan karena itulah Al Qur’an ada. Namun tak jarang diantara kita menjadikan Al Qur’an sebagai hiasan tanda bahwa kita orang Islam saja. Saya yakin bahwa semua orang mempunyai Al Qur’an nya masing-masing, namun tak jarang Al Qur’an hanyalah sekedar tumpukan kertas semata. Seolah tak berbeda dengan tumpukan-tumpukan kertas lainnya. Lantas, seberapa seringkah kita menyentuhnya? Seberapa seringkah kita membacanya? Seberapa seringkah kita mempelajari dan memahaminya? Seberapa seringkah kita mencoba dekat dengannya?
Tak berhenti sampai disitu, karena tak jarang pula ada orang yang ‘nyinyir’ jika ada orang yang membawa dan membaca Al Qur’an ditempat umum (seperti teman ‘akhwat’ tadi). Mereka itu kadang dianggap sok suci lah. Sok religius lah. Sok agamis lah. Lebih parah lagi jika yang ‘nyinyir’ itu sama-sama muslim. Padahal Al Qur’an memang bisa dibawa dan dibaca dimana saja. Sesederhana itu. Setidaknya, daripada kita ‘nyinyir’, mending kita renungkan kembali atas apa yang kita lakukan.
Jika orang muslim sendiri saja sudah ‘nyinyir’ sama saudaranya yang lain yang membawa dan membaca Al Qur’an di tempat umum, kalau sudah begitu, lalu bagaimana?

Wednesday, July 8, 2015

Rindu

Mungkin (atau memang sebenarnya) sedang rindu. Rindu masa dimana masih belajar ngaji seperti waktu kecil dulu. Belajar pelajaran agama di MD dan MTs. Dari Aqidah Akhlaq, Fiqih, Tarikh sampai Bahasa Arab. Belajar Al Qur’an dan kitab-kitab kuning “gundul” di tempat pengajian sehabis maghrib. Dan sekarang, semua seolah terhapus waktu.
Mungkin (atau memang sebenarnya) sedang rindu. Rindu masa dimana terdapat banyak ketakutan ketika meninggalkan shalat. Rindu masa dimana terdapat begitu banyak penyesalan ketika tidak melaksanakan shalat. Dan sekarang, semua terasa seperti menjauh.
Mungkin (atau memang sebenarnya) sedang rindu. Rindu masa dimana diri terasa lebih baik daripada diri yang sekarang. Rindu masa dimana diri masih seperti yang dulu. Dan sekarang, sepertinya... Bukan! Seharusnya. memang sudah seharusnya untuk berusaha kembali.
Maka ingatkanlah kawan! Agar kelak tidak menjadi gelap dan hitam.

Tuesday, July 7, 2015

Kapalan

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah maka gemetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal”(Q.S. Al-Anfal: 8: 2)
Kapalan (cullus – istilah kedokteran) adalah kondisi dimana terjadi penebalan dan pengerasan pada kulit (telapak tangan, telapak kaki, dsb). Kapalan terjadi karena proses terus menerus yang diterima kulit baik berupa gesekan maupun tekanan yang berulang-ulang. Contoh. Tangan petani akan menjadi kapalan karena intensitas petani yang memegang dan menggunakan cangkul setiap hari. Kapalan sendiri merupakan respon alami tubuh sebagai akibat tekanan atau gesekan untuk menghindari luka.
Kapalan memang tidak berbahaya namun kapalan membuat struktur kulit menjadi lebih keras dan menjadikannya mati rasa. Bagian tubuh yang mengalami kapalan akan secara otomatis mengeras dan kehilangan rasa dan peka. Karena hilangnya rasa dan peka, bagian kulit yang kapalan sudah tidak bisa lagi membedakan bahkan tidak bisa lagi merasakan panas, dingin, sakit, geli, lembut, keras, dsb. Bagian fisik yang mengalami kapalan mayoritas terjadi pada bagian yang tidak terlalu penting sehingga seringkali kita tak mempedulikannya. Namun masihkah kita tidak peduli jika yang terkena kapalan adalah hati nurani kita? Rohani kita? Qalbu kita?
Manusia menjalani kehidupan yang hampir sama setiap harinya. Dari mulai bangun pagi sampai tertidur kembali. Semuanya seperti pengulangan aktivitas yang rutin dilakukan setiap hari. Aktivitas rutin ‘hampir sama’ tersebut terus dilakukan berulang-ulang setiap harinya tanpa tahu kapan akan berhenti. Tak jarang aktivitas rutin tersebut menjadi tameng yang disembunyikan dibalik alasan bernama kesibukan. Lantas apakah kita pernah menyadari jika aktivitas rutin tersebut tidak memiliki nilai tambah pada kualitas rohani kita? Atau justru malah semakin mengurangi kualitas rohani kita? Atau tanpa kita sadari rutinitas tersebut membuat rohani kita menjadi kapalan?
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kapalan terjadi akibat proses yang terus menerus. Kita bisa sebut itu sebagai kebiasaan. Dan sebelum semua terjadi dan membentuk pola kebiasaan, ada hal yang sesungghnya sering kita lakukan, yaitu mengabaikan. Pada awalnya kita akan merasa bersalah ketika melakukan kesalahan. Namun kita mengabaikannya. Kemudian kita melakukan hal yang sama, masih ada sedikit rasa bersalah disitu, namun juga kita abaikan. Sampai teramat seringnya diabaikan, kita sudah tidak merasa bersalah lagi ketika melakukan kesalahan.
Mungkin pada awalnya kita hanya sekali mengabaikan suara adzan dengan alasan kesibukan. Hingga suara adzan berikutnya, kita pun mengabaikannya. Suara adzan berikutnya demikian. Begitu seterusnya. Sampai lama kelamaan kita menjadi terbiasa mengabaikan suara adzan. Dengan kata lain, kita terbiasa menunda shalat setiap waktu. Atau justru malah terbiasa meninggalkannya.
Tulisan ini dibuka dengan ayat Al Qur’an surat Al Anfal ayat 2. Disebutkan dari ayat tersebut bahwa orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah maka gemetar hatinya. Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya. Lalu apakah kita pun demikian? Bergetarkah qalbu kita ketika disebutkan nama-Nya? Bertambah kuatkah keimanan kita ketika dibacakan ayat-ayat-Nya? Atau sesungguhnya kita sudah tidak merasa lagi? Atau mungkin selama ini qalbu kita sudah kapalan? Atau mungkin saking membatunya, qalbu kita sudah tak bisa bisa lagi merasakan kehadiran-Nya?

Monday, July 6, 2015

Sok Tahu

“Apa Rosyid sudah paham bener agama Rosyid? Tuhan Rosyid?”
“Jangankan Rosyid, Ami yang sudah seumuran begini, belum berani jawab sih. Ami terus mencari. Belajar memperbaiki diri. Karena masya Allah syid, kita belum ada seujung kuku pun ngejalanin perintah agama kita ini dengan bener.”
“Maksud Ami syid, kalau Rosyid belum paham benar, jangan dulu sok pintar, sok tahu atau buat kesimpulan sendiri tentang agama kita.”
Sepenggal dialog Abu Hanif kepada Rosyid di film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta

Sunday, July 5, 2015

Surat dari Kekasih

Untukmu yang selalu Kucintai,

Saat kau bangun di pagi hari, Aku memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepada Ku
Bercerita, meminta pendapat Ku, mengucapkan sesuatu untuk Ku walaupun hanya sepatah kata
Atau berterima kasih kepada Ku atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu pada tadi malam, kemarin, atau waktu yang lalu
Tetapi Aku melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja
Tak sedikitpun kau menyedari Aku di dekat mu

Aku kembali menanti saat engkau sedang bersiap
Aku tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapa Ku
Tetapi engkau terlalu sibuk
Di satu tempat, engkau duduk tanpa melakukan apapun
Kemudian Aku melihat engkau menggerakkan kakimu
Aku berpikir engkau akan datang kepada Ku, tetapi engkau berlari ke telepon dan menelepon seorang teman untuk sekadar berbual-bual
Aku melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan Aku menanti dengan sabar sepanjang hari
Namun dengan semua kegiatanmu, Aku berpikir engkau terlalu sibuk untuk mengucapkan sesuatu kepada Ku

Sebelum makan siang Aku melihatmu memandang ke sekeliling
Mungkin engkau merasa malu untuk berbicara kepada Ku, itulah sebabnya mengapa engkau tidak sedikitpun menyapa Ku
Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut nama Ku dengan lembut sebelum menjamah makanan yang Kuberikan, tetapi engkau tidak melakukannya
Ya, tidak mengapa, masih ada waktu yang tersisa dan Aku masih berharap engkau akan datang kepadaKu, meskipun saat engkau pulang ke rumah kelihatannya seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan
Setelah tugasmu selesai, engkau menghidupkan TV, Aku tidak tahu apakah kau suka menonton TV atau tidak, hanya engkau selalu ke sana dan menghabiskan banyak waktu setiap hari di depannya, tanpa memikirkan apapun dan hanya menikmati siaran yang ditampilkan, hingga waktu-waktu untuk Ku dilupakan

Kembali Aku menanti dengan sabar saat engkau menikmati makananmu tetapi kembali engkau lupa menyebut nama Ku dan berterima kasih atas makanan yang telah Kuberikan
Saat tidur Kupikir kau merasa terlalu lelah
Setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu, kau melompat ke tempat tidurmu dan tertidur tanpa sepatahpun namaKu kau sebut
Tidak mengapa karena mungkin engkau masih belum menyadari bahwa Aku selalu hadir untukmu
Aku telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari.
Aku bahkan ingin mengajarkan bagaimana bersabar terhadap orang lain
Aku sangat menyayangimu, setiap hari Aku menantikan sepatah kata darimu, ungkapan isi hatimu, namun tak kunjung tiba

Baiklah... engkau bangun kembali
Dan kembali Aku menanti dengan penuh kasih bahwa hari ini kau akan memberi Ku sedikit waktu untuk menyapa Ku
Tapi yang Kutunggu, ah tak juga kau menyapa Ku
Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya
Subuh lagi kau masih tidak mempedulikan Aku
Tak ada sepatah kata, tak ada seucap doa, tak ada pula harapan dan keinginan untuk sujud kepada Ku
Apakah salah Ku padamu?
Rezeki yang Kulimpahkan, kesehatan yang Kuberikan, Harta yang Kurelakan, makanan yang Kuhidangkan, Keselamatan yang Kukaruniakan, kebahagiaan yang Kuanugerahkan, apakah hal itu tidak membuatmu ingat kepada Ku?
Percayalah, Aku selalu mengasihimu,
Dan Aku tetap berharap suatu saat engkau akan menyapa Ku, memohon perlindungan Ku, bersujud menghadap Ku
Kembali kepada Ku

Yang selalu bersamamu setiap saat,
Tuhanmu


Sebuah sajak karya Kahlil Gibran

Saturday, July 4, 2015

Cinta?

Saya ingat waktu SMA, ada seseorang yang mengirim sms. Isi pesannya kira-kira seperti ini, “Love means to give, not to take”. Artinya, cinta berarti memberi bukan menerima. Saya juga ingat saat Remi mengucapkan kata-kata terakhir menjelang perpisahannya dengan Kugi di film ‘Perahu Kertas 2’ dengan kalimat seperti ini, “Cari orang yang bisa ngasih kamu segala-galanya, apapun itu, tanpa harus kamu minta!”
Ada satu benang merah yang bisa saya tarik tentang cinta dari dua kutipan diatas. Yakni cinta itu tentang memberi. Masalahnya adalah jika cinta itu memberi maka berapa banyak didunia ini yang harus kita berikan cinta. Belum lagi kita juga dituntut untuk memberi cinta sepenuh hati alias tidak setengah-setengah. Cinta yang full 100%.
Sudah jelas bahwa kita harus mencintai Allah. Disamping itu kita juga harus mencintai Rasul-Nya. Mencintai agama. Mencintai negara. Mencintai keluarga. Mencintai pasangan. Mencintai teman. Mencintai sesama. Mencintai lingkungan. Mencintai pekerjaan. Mencintai makhluk lainnya. Dan mencintai semua hal yang harus kita cintai. Terasa begitu rumit ketika terlalu banyak yang harus dicintai, sementara yang dicintai juga harus dicintai sepenuh hati dengan kadar 100%. Kalau sudah begitu, bagaimana cara kita memberi cinta pada semua yang harus dicintai itu?
Cinta pada dasarnya bersifat abstrak. Sesuatu yang abstrak tentu berbeda dengan sesuatu yang konkrit. Memberi dan membagi cinta tidak akan sama dengan membagi sepotong roti yang bagiannya akan semakin mengecil ketika semakin banyak orang yang harus diberi. Lantas bagaimana agar semua mendapat jatah cinta yang sama?
Mengenai hal ini, saya jadi teringat ucapan seorang anak kecil bernama Delisa dalam film ‘Hafalan Surat Delisa’. Dengan polos namun tulus ia berkata kepada ibunya, “Delisa cinta umi karena Allah!” Ucapan sederhana tadi seolah memberi sedikit persepsi akan hakikat memberi dan berbagi cinta.
Pada akhirnya, semua berujung pada Pencipta cinta itu sendiri. Ketika kita mencintai Sang Pencipta yakni Allah swt, maka dengan sendirinya, cinta kita kepada pihak lain akan mengalir tanpa harus memusingkan pembagian cinta seperti tadi. Dengan kata lain, kita mencintai pihak lain yang harus dicintai, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memenuhi rasa cinta kita kepada Allah semata. Kita mencintai itu semua karena Allah. Memberi cinta yang tulus kepada Allah laksana anugerah yang semakin bertambah. Mencintai sepenuh hati kepada Allah, turut membawa cinta bagi yang lainnya. Ini terdengar lebih ringan dari sebelumnya.
 Jadi, sudah seberapa besarkah rasa cinta kita kepada Allah? Sudah sejauh manakah rasa cinta kita kepada Allah?

Friday, July 3, 2015

Beruntungnya Puasa di Indonesia

Saya merasa beruntung berada di Indonesia. Apalagi ketika tiba bulan ramadhan yang mewajibkan umat muslim untuk berpuasa. Berpuasa di Indonesia itu bisa dibilang ideal secara waktu. Tidak terlalu sebentar juga tidak terlalu lama. Apalagi kondisi iklim Indonesia yang ramah bagi para penduduknya. Tidak sampai terlalu dingin, tidak juga sampai terlalu panas. Sehingga puasa di Indonesia terasa begitu nyaman. Letak geografis Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa memiliki pengaruh besar terhadap hal ini.
Kenyataan berbeda tentu dirasakan oleh umat muslim di belahan dunia lain. Seperti yang kita ketahui sama-sama, bahwa hitungan waktu puasa adalah dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Masalahnya adalah waktu terbit dan terbenamnya matahari dari berbagai belahan dunia berbeda. ini dikarenakan pergerakan bumi terhadap matahari tidak lurus melainkan miring. Secara teori, pergerakan ini menyebabkan waktu-waktu tertentu (Maret – September) negara-negara dibelahan bumi utara menerima cahaya matahari lebih lama dari belahan bumi selatan. Dan di waktu yang lain (Oktober – Februari) negara-negara di belahan bumi selatan menerima cahaya matahari lebih lama dari belahan bumi utara.
Hal itu berimbas pada waktu puasa yang berbeda-beda. Ada yang pendek, ada pula yang panjang. Untuk jangka waktu puasa yang pendek mungkin tidak terlalu bermasalah. Tapi bagaimana dengan jangka waktu puasanya yang lama, yang bisa sampai 20 jam bahkan lebih. Di kutub malah tidak ada malam sama sekali. Lalu puasanya bagaimana? 24 jam? Saya jadi teringat ucapan canda guru matematika saya waktu SMA yang mempertanyakan bagaimana puasanya orang kutub.
Karena bulan ramadhan kali ini bertepatan dengan musim panas, negara-negara di Eropa paling terkena dampak akan hal ini. Hampir seluruh negara di Eropa melaksanakan puasa lebih lama dari kita di Indonesia. Apalagi negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Finlandia dan Swedia. Sedangkan Islandia masih dianggap negara yang memiliki waktu puasa paling lama sampai 22 jam. Dengan kata lain, umat muslim di Islandia hanya punya waktu kira-kira dua jam untuk sahur dan berbuka.
Selain permasalahan waktu, iklim juga bisa menjadi tantangan. Mungkin kita warga muslim Indonesia sudah nyaman dengan kondisi iklim tropisnya. Tapi bagaimana dengan belahan dunia lain yang mungkin iklimnya lebih ekstrim dari Indonesia. Bisa jadi lebih panas. Atau malah sebaliknya, lebih dingin. Tentu kondisi cuaca yang lebih panas menuntut tubuh lebih cepat dahaga. Sementara cuaca yang dingin menuntut tubuh lebih cepat lapar.
Tidak seperti di Indonesia yang ramai saat bulan puasa sampai semua hal bertema ramadhan. Lain dengan negara-negara minoritas muslim, bulan ramadhan hampir tidak berbeda dengan hari-hari biasa. Tidak ada toleransi untuk jam kerja atau jam sekolah seperti Indonesia. Rutinitas tetap berjalan seperti biasa. Puasa pun menjadi semakin menantang ketika berada di lingkungan yang tidak berpuasa. Dalam urusan makananpun saya pikir, umat muslim dinegara minoritas akan sedikit kesulitan mencari makanan untuk berbuka dan sahur. Tidak seperti di kita yang berjubel jualan makanan. Apalagi umat muslim dinegara minoritas juga harus pandai-pandai memilih makanan untuk disantap.
Disatu sisi, kita umat muslim di Indonesia mungkin merasa beruntung berpuasa di negara ini. Selain negara mayoritas muslim, letak geografis negara Indonesia turut memberi kemudahan ketika menjalankan ibadah puasa. Tapi disisi lain, tidak kah kita merasa terlalu nyaman dengan kondisi seperti ini? Mungkin sebagian dari kita sempat berpikir bahwa puasa yang kita jalani ini biasa-biasa saja. Seperti sebuah kebiasaan saja. Imbasnya mungkin pada kualitas puasa itu sendiri. Yang turut berdampak pula pada pribadi masing-masing. Berbeda dengan berpuasa di negara orang (diluar zona nyaman Indonesia), dari berbagai aspek pun sudah banyak tantangan ketika menjalankan ibadah puasa. Pada akhirnya, keimanan lah yang membuat mereka kuat menjalankan puasa.
Jadi, jika mereka yang disana dengan segala problematikanya masih bisa berpuasa, dengan segala kenyamanan di Indonesia, tanpa uzur dan alasan yang jelas, kenapa masih tak berpuasa?

Thursday, July 2, 2015

Tidurnya Orang Puasa

Kita mungkin sering mendengar ungkapan “Tidurnya orang berpuasa itu pahala”. Namun entah salah persepsi atau hanya sekedar bercanda (btw, perkara agama itu jangan dibawa becanda ya!), tapi tak sedikit yang menjadikan puasa sebagai alasan untuk tidur seharian atau bermalas-malasan tanpa melakukan apapun. Alasannya sederhana, karena tidur di bulan puasa bagi orang berpuasa adalah pahala. Jadi ya sudah, karena berpahala, mending tidur saja.
Tentu ungkapan itu tidak sepenuhnya salah. Tidur di bulan ramadhan boleh-boleh saja, malah disarankan, asalkan tidak berlebihan, sampai waktu seharian hanya diisi dengan tidur. Bulan ramadhan ini terlalu sayang jika dilewatkan hanya dengan tidur. Nyatanya masih banyak aktivitas lain yang lebih bermanfaat yang bisa dilakukan di bulan puasa selain tidur. Kalau saya boleh berpendapat tentang tidurnya orang berpuasa adalah pahala, maka begini, “Saking berkah dan istimewanya bulan ramadhan, tidur pun bisa menjadi pahala, apalagi jika melakukan aktivitas lain yang lebih bermanfaat”.
Selama kita berpuasa, rata-rata waktu yang dijalaninya adalah sekitar 13-14 jam. Itu waktu yang terbilang lama. Selama itu kita bisa melakukan berbagai macam aktivitas. Yang bekerja mencari nafkah tetap bekerja. Yang sekolah atau kuliah pun demikian. Waktu yang lama itu juga bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan keagamaan seperti tadarus, i’tikaf, shalat berjamaah di mesjid, atau amalan-amalan lain yang jarang atau tak pernah dilakukan sebelum puasa. Semoga itu semua bisa jadi kebiasaan di kemudian hari. Mungkin itu akan lebih berpahala daripada hanya sekedar tidur. Dan waktu selama itu juga bisa dipakai untuk mengerjakan skripsi (oh man, please!).
Ungkapan tidurnya orang puasa adalah pahala selayaknya tidak menjadi pembenaran agar kita tidur dan malas-malasan selama berpuasa. Pada intinya, sangat banyak aktivitas yang bisa dilakukan selama berpuasa selain tidur. Tentu aktivitas yang dimaksud adalah aktivitas yang positif. Baik aktivitas sehari-hari yang bersifat keduniaan maupun aktivitas sehari-hari yang bersifat keagamaan.
Jadi, tidak terlalu sayangkah bulan ramadhan yang datang satu tahun sekali ini dilewatkan dengan hanya tertidur semata?

Wednesday, July 1, 2015

Ngobrolin Puasa

Puasa sudah dua minggu tapi baru kali ini saya bisa memposting post khusus edisi ramadhan seperti yang pernah saya utarakan tempo hari lalu. Agak sedikit terlambat memang, tapi tak mengapa. Ya, Insya Allah ke depannya (atau lebih tepatnya di bulan Juli ini) bisa melakukan seperti apa yang saya bilang di awal. Tak perlu dijelaskan lagi kenapa post ‘One Story, About...’ jadi banting setir begini, ya, itu sudah sempat disinggung sebelumnya. Lagipula di blog ini, tidak ada batasan tema yang harus ditulis. Saya bisa menulis apapun yang saya mau. Dan untuk post pertama di #EdisiRamadhan ini saya akan berbicara santai tentang puasa.
Waktu kecil saya pikir puasa itu mudah-mudah saja. Hanya tentang menahan lapar dan haus saja, dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Kenapa saya pikir itu mudah, karena anak-anak saja bisa melakukannya. Beberapa teman saya malah bisa puasa full sejak kelas I SD. Saya sendiri baru bisa berpuasa full sebulan waktu kelas IV SD. Waktu kelas III-nya bolong sih sehari (kalau tidak salah). Hehe.
Sesudah memasuki usia aqil baligh, barulah persepsi soal puasa perlahan mulai berubah. Karena puasa ternyata tidak sesederhana menahan lapar dan haus seharian saja. Pada kenyataannya adalah jika puasa hanya berbicara soal menahan lapar dan haus (dalam arti tidak makan dan minum) siapapun bisa melakukannya. Tidak perlu beragama islam, orang beragam lainpun, dari suku atau ras manapun, selama ia sehat secara fisik, saya yakin dia bisa menahan lapar dan haus seharian. Bahkan tidak hanya manusia, hewan pun bisa melakukan puasa, bahkan lebih kuat dari kita. Ular contohnya. Ular bisa tahan tidak makan dan minum selama minimal dua hari setelah ia makan. Bahkan bisa lebih ketika ia memakan yang lebih besar.
Rasanya sudah jelas jika puasanya seorang muslim tidak hanya tentang menahan lapar dan haus saja. “Itu puasa anak SD!”, kata salah satu penceramah yang saya dengar di mesjid. Karena puasa itu tentang menahan hawa nafsu. Tentang menahan diri. Tentang menjaga semua anggota tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tentang mengendalikan bagian tubuh luar dan dalam baik fisik maupun psikis. Dari semua hal yang membatalkan puasa. Dari semua hal yang menyebabkan kita melakukan perbuatan tidak-tidak, tak berguna dan tercela.
Berbicara hal diatas, tentu tak akan jauh tentang menjaga mata dari pandangan yang tak layak dilihat. Menjaga telinga dari mendengar hal-hal buruk dan tak pantas didengarkan. Menjaga mulut dari berbohong, bergunjing, berbicara kasar, mengumpat dan sebagainya. Menjaga tangan dan kaki dari perbuatan yang merugikan dan menyakiti orang lain. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Pun dengan anggota tubuh yang lain.
Lebih lanjut ke dalam, menjaga emosi agar tidak terlalu mudah naik darah. Menjaga pikiran dari memikirkan hal yang tidak-tidak dan tidak perlu. Menjaga hati dan mejauhkannya dari segala macam penyakit hati. Karena hati menjadi bagian vital pada tubuh manusia.
Kalau sudah begitu, tentu berpuasa menjadi lebih kompleks dari apa yang sering dilakukan waktu kecil. Malah itulah bagian terberatnya. Bukan karena apa, terkadang (atau lebih tepatnya “seringnya”) kita lupa. Lupa untuk menahan diri. Ketika berkumpul bersama teman kemudian ngobrol sampai tak disadari telinga dan mulut lupa untuk dijaga. Saat sendiripun, tak jarang pikiran malah berimajinasi tak karuan. Hati apalagi. Dan hal-hal itu, sadar atau tidak disadari, baik sedang bersama orang atau sendiri, terkadang kita lupa menjaga dan mengendalikan diri.
Rasulullah saw bersabda, “Betapa banyak orang berpuasa namun tidak mendapatkan apapun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. Dari kata “betapa banyak” tadi saya berasumsi bahwa jika demikian justru lebih banyak orang berpuasa yang tidak akan mendapatkan apapun dari puasanya, selain lapar dan dahaga. Mungkinkah kita salah satu diantaranya?
Puasa itu ibarat sebuah latihan dan belajar. Latihan dan belajar untuk mengendalikan diri tadi. Untuk terus dipupuk setiap hari, setelah bulan ramadhan, bulan ramadhan berikutnya, berikutnya lagi dan seterusnya bagitu. Sehingga tujuan puasa seperti yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 183 bisa dicapai yakni menjadikan kita semua umat bertaqwa. Dalam perjalanannya memang tidak mudah semudah mengetik post ini. Yang ngetik pun demikian, masih banyak sisi buruk dan jeleknya. Sangat banyak malah. Tapi yang perlu dilakukan adalah berusaha yang terbaik, ikhlas dan tak berputus asa pada rahmat Allah.
Jadi, ketika puasa kita hanya tentang menahan lapar dan haus saja, tidak berbedakah kita dengan umat lain yang juga berpuasa? Bahkan hewan sekalipun bisa melakukan puasa lebih dari apa yang kita lakukan. Tidak berbedakah kita dengan mereka?