Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Thursday, August 27, 2015

Catatan Nonton #Agustus’15 (Spesial Film Indonesia)

Siapa bilang film Indonesia itu gak layak tonton, jelek atau apalah. Siapa bilang Indonesia ‘gak punya film bagus?
Walaupun memang (dan gak bisa bohong) masih ada film Indonesia yang jeleknya ‘gak ketulungan’ (bahkan kita pernah mengalami masa suram ini, film-film yang berhasil membunuh, merusak, menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap film-film Indonesia, dan anehnya ntu film bisa tayang di bioskop tanah air, lebih anehnya lagi koq ada yang nonton ya?). Beberapa diantaranya juga masih ada yang berasa FTV yang setiap hari nongol di TV. Tapi makin kesini (kelihatannya) kadar kejelekan yang pernah dialami di masa suram itu mulai berkurang (walaupun masih ada, tapi setidaknya berkurang kan?).
Ok cukup, jadi post ‘Catatan Nonton’ edisi kali ini sedikit berbeda dengan biasanya. Edisi yang saya sebut sebagai edisi spesial. Asik! Sebelumnya saya juga pernah membuat edisi spesial yang saya dedikasikan untuk Kristen StewartTssahh! Dan kali ini, bukan untuk Kristen Stewart atau aktris yang saya suka lainnya, kali ini saya mau ngobrolin film Indonesia. Saya tahu hari film nasional jatuh pada tanggal 30 Maret namun tidak ada salahnya jika di bulan kemerdekaan RI ini kita juga mulai semangat baru untuk mencintai film-film nasional.
Seperti yang saya singgung di awal, siapa bilang Indonesia nggak punya film bagus. Kalau kita jeli dan mau berusaha nyari jarum dalam tumpukan jerami, sebenarnya banyak koq film-film Indonesia yang masuk kategori bagus. Hanya saja, kadang kita sendiri sering tutup mata, hati dan telinga akan film-film Indonesia. Sehingga film-film Indonesia yang bagus hanya nongol selewat saja. Kita ambil contoh beberapa waktu lalu, ‘Mencari Hilal’ yang bisa dibilang paling bagus secara kualitas kalah dari film-film yang rilis berbarengan dengannya (tanpa mendeskreditkan film lainnya, tentunya). Bahkan jatah tayangnya paling sebentar, penontonnya sudah pasti, paling sedikit. Selain juga karena kalah pamor dari film-film luar, apalagi kemarin ada ‘Ant-Man’.
Fenomena yang terjadi pada ‘Mencari Hilal’ memang bukan barang baru. Beberapa tahun ke belakang kasus seperti ini sering dialami film yang masuk kategori bagus di Indonesia. Ambil contoh, Minggu Pagi di Victoria Park (2010) atau Sang Penari (2011) yang ternyata tidak mendapat apresiasi positif dari para penonton (dengan jumlah penonton yang sedikit), dan kalah dari film-film horor yang tidak berperikehantuan. Beberapa pengalaman teman nonton ‘Minggu Pagi di Victoria Park’ malah lebih parah, satu studio hanya diisi 5 orang saja. Dalam kasus ‘Mencari Hilal’, saya tidak menyalahkan film yang rilis berbarengan dengannya, toh ‘Comic 8: Casino Kings Part 1’ masih menghibur. ‘Surga Yang Tak Dirindukan’, film drama dengan embel-embel religi stereotype ini tetap layak ditonton. Hanya saja, film-film macam ‘Mencari Hilal’ seharusnya juga mendapat respon yang lebih dari masyarakat Indonesia. Katanya ingin tontonan bagus, giliran dikasih malah dibiarkan lewat saja.
Hasrat menonton film Indonesia yang kurang memang bukan tanpa alasan. Saya yakin salah satunya adalah karena masa suram yang pernah kita alami, dimana pelaku industri film yang tak bertanggungjawab dengan sekarep dewek mengeksploitasi hantu-hantu Indonesia,  membawa aktris p****o populer dari luar, menyajikan komedi *esek-esek* yang sudah tidak ada lucunya selain kebodohan-kebodohan yang membodohi para penontonnya. Tapi anehnya ketika saya cari jumlah penontonnya, ternyata lumayan juga. Lah?
Efek dari masa suram itu tentunya membuat otak kita tereksploitasi karena skeptis terhadap film nasional. Ujung-ujungnya adalah dengan tanpa alasan yang jelas kita sudah men-judge dari awal bahwa film Indonesia itu jelek tanpa pernah kita riset dahulu. Kita juga menjadi takut dikecewakan sama film Indonesia. Jadi buat apa nonton film Indonesia bila tidak memuaskan, mending nonton film luar yang setidaknya bisa menghibur dari sisi visual, toh bayarnya juga sama. Lagipula jika kita ingin nonton film Indonesia tinggal menunggu slot tayangnya di TV yang nggak nyampe setahun dari perilisannya di bioskop.
 Permasalahan film Indonesia yang sepi penonton memang sudah menjadi bahasan di industri ini. Dari data yang ada, jumlah penonton Indonesia juga semakin berkurang setiap tahunnya. Satu-satunya prestasi penonton paling banyak adalah tahun 2008 yang menobatkan ‘Laskar Pelangi’ sebagai film terlaris Indonesia dengan 4.63.841 penonton. Diapit ‘Ayat-ayat Cinta’ dengan 3.581.947 penonton. Dari situs filmindonesia.or.id tercatat film yang mampu menembus angka 3 juta penonton hanya ada 4 buah. Termasuk yang dua tadi, sisanya adalah Habibi & Ainun (2012) dengan 4.488.889 penonton dan Ketika Cinta Bertasbih (2009) dengan 3.100.906 penonton. Ada satu hal yang didapat dari keempat film ini yakni tema. Ya mungkin tema seperti keempat film tersebut masih menjadi favorit penonton Indonesia. Tak heran bila ‘Surga Yang Tak Dirindukan’ menjadi yang terlaris tahun 2015 sejauh ini.
Permasalahan penonton yang sepi di Indonesia juga bukan lah perkara sederhana. Kalau dibilang jaringan bioskop Indonesia yang diskriminatif terhadap film Indonesia tidak bisa dibilang salah juga. Bioskop itu bisnis. Dimana-mana bisnis inginnya untung, tentu mereka harus bisa untung dengan menayangkan film-film yang diminanti penonton. Mereka juga kan harus membayar para karyawan, membayar listrik, merawat studio, dsb. Maka dari itu, akan menjadi logis ketika film yang sepi penonton akan segera tutup layar. Walaupun ya film-film bagus juga yang harus jadi korbannya???
Lebih lanjut, banyak para penonton film yang tidak bisa menyaksikan film di bioskop karena bioskopnya memang tak ada. Seperti daerah saya. Sebelum saya kuliah di Bandung, saya jarang sekali nonton film di bioskop. Saya masih ingat waktu SMA harus bela-belain ke luar kota hanya untuk nonton film, itupun harus masa libur sekolah. Lebih jauh lagi, permasalahan kenapa masyarakat Indonesia tidak mau nonton film Indonesia adalah faktor ekonomi. Ya, masyarakat kita belum sejahtera. Jangankan untuk nonton film, buat makan saja susah. Menonton film itu bayar dan bayarnya lumayan mahal, minimal Rp 25.000,00. Itupun masih terbilang jarang bioskop yang memasang tarif demikian.
 Cerita ngalor-ngidul tentang film Indonesia dan permasalahannya memang sangatlah kompleks dan tak akan ada habisnya. Apalagi dari kacamata awam seperti saya yang tak punya kualifikasi sama sekali soal ini. Namun biarpun begitu, saya mau mendedikasikan ‘Catatan Nonton’ kali ini untuk ngobrolin film Indonesia. Bukan untuk apa, saya hanya ingin mengajak para penonton untuk membuka matanya sama film Indonesia. Sayapun dulu demikian, skeptis sama film Indonesia. Namun setelah dicari, banyak juga ternyata film bagus di Indonesia, hanya saja gaungnya yang tidak terlalu terdengar buat masyarakat kebanyakan. Di edisi 21 ‘Catatan Nonton’ kali ini, saya merangkum film-film yang menurut saya masuk kategori bagus dalam film Indonesia di era 2000-an. Jadi sudah jelas ini adalah versi saya (selera saya). Siapa tahu jika film-film yang saya sebut dibawah ini bisa memberi wawasan buat para penonton dan membentuk selera menonton itu sendiri. Sehingga nantinya bisa selektif dalam memilih film dan bisa apresiatif terhadap film-film Indonesia yang memang bagus dan berkualitas. Jadinya tidak terulang lagi film macam ‘Mencari Hilal’ buru-buru tutup layar.
Dan berikut daftarnya.

Honorable Mentions:
Puisi Tak Terkuburkan (2001), Ca-Bau-Kan (2002), Eliana, Eliana (2002), Gie (2005), Belahan Jiwa (2005), Ruang (2006), Kamulah Satu-Satunya (2007), Kuntilanak 2 (2007), 3 Doa 3 Cinta (2008), Claudia/Jasmin (2008), Laskar Pelangi (2008), Cin(T)a (2009), Identitas (2009), Jamilah dan Sang Presiden (2009), Perempuan Berkalung Sorban (2009), Ruma Maida (2009), Alangkah Lucunya Negeri Ini (2010), Hari Untuk Amanda (2010), 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (2011), ? (2011), Batas (2011), The Mirror Never Lies (2011), Modus Anomali (2012), Tanah Surga, Katanya (2012), Soegija (2012), 9 Summers 10 Autumns (2013), Belenggu (2013), Sokola Rimba (2013), Tampan Tailor (2013), Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014), Mari Lari (2014), Killers (2014), The Raid 2: Berandal (2014), Hijab (2015), Kapan Kawin (2015), Toba Dreams (2015).

#1 Petualangan Sherina (2000) – Riri Riza


Masa dimana Lembang begitu asri. Masa dimana Bosscha menjadi tempat yang ingin dituju. Masa dimana masa kecil begitu menyenangkan. Petualangan seru berpadu bersama iringan musik yang menyenangkan.

#2 Pasir Berbisik (2001) – Nan Achnas


Kegetiran dibalik personifikasi indah dalam balutan visual tak kalah indah. Dian Sastro mempersembahkan penampilan terbaiknya yang penuh pesona.

#3 Jelangkung (2001) – Rizal Mantovani


Ritual etnik asli Indonesia yang mampu menjadi sajian paling horor dimasanya. Ikut ambil bagian dalam generasi kebangkitan film nasional.

#4 Ada Apa dengan Cinta? (2002) – Rudi Soedjarwo


Seberapa seringnya menonton AADC, rasanya tak pernah sekalipun rasa bosan melanda, melihat geng cinta dan Rangga dengan puisinya. Film romantis terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.

#5 Arisan! (2003) – Nia Dinata


Saya sebenarnya hampir muntah melihat Tora Sudiro dan Surya Saputra beradegan .... (ehhm), ah sudahlah. Tapi bukan itu point-nya, karena Nia Dinata ingin bernyinyir-nyinyir ria pada kehidupan sosialita kota besar yang terlihat bahagia diluar namun menyimpan kepahitan didalamnya. Dan berhasil. Well done!

#6 Janji Joni (2005) – Joko Anwar


Film memang dunianya Joko Anwar. ‘Janji Joni’ seolah menjadi bukti kecintaannya pada film. Membawa cerita film dari sisi yang tak terpikirkan. Film menyenangkan dengan kumpulan cameo-nya yang bejibun.

#7 Catatan Akhir Sekolah (2005) – Hanung Bramantyo


Film tentang film yang sangat menyenangkan. Seru dan sangat menghibur. Trio Agni, Alde & Arian akan selalu terkenang sebagai trio putih-abu paling “kongkrit” sepanjang masa.

#8 Realita, Cinta & Rock ‘n Roll (2006) – Upi Avianto


“Ngeband itu bukan hobi tapi cita-cita!” Ah, saya masih ingat saja kalimat itu sampai saat ini. Satu sisi dimana warna putih-abu masih begitu bergolak menyuarakan teriakannya. Let’s Rock!

#9 Berbagi Suami (2006) – Nia Dinata


Omnibus tentang isu yang mungkin sangat dibenci mayoritas kaum hawa, poligami. Namun disini Nia Dinata bukan untuk meneriakkan ketidaksetujuan pada poligami, tapi lebih mengajak kita untuk melihat lebih dalam lagi tentang poligami itu sendiri. Satirikal.

#10 Opera Jawa (2006) – Garin Nugroho


Sebuah kasus langka dalam dunia perfilman tanah air. Teatrikal eksotis menyoroti kebudayaan masyarakat Jawa. Cantik.

#11 Jomblo (2006) – Hanung Bramantyo


Di awal karirnya, Hanung Bramantyo banyak menghadirkan film-film ringan menghibur namun tetap memiliki kesan tak terlupakan. Salah satunya ini. Yang  jomblo mana suaranya???

#12 3 Hari untuk Selamanya (2007) – Riri Riza


Perjalanan sederhana 3 hari Jakarta-Jogja bersama dua anak muda baru gede yang mengasyikan. Obrolan ngalor-ngidul yang jujur dan begitu dekat dengan keseharian, membuat kitapun ikut berpikir.

#13 Naga Bonar Jadi 2 (2007) – Deddy Mizwar


Tanpa harus berceramah soal nasionalisme, ‘Naga Bonar Jadi 2’ sudah bisa menyentuh sisi nasionalisme itu sendiri dimata penonton. Inspiratif. Dan tak hilang unsur hiburannya.

#14 Kala (2007) – Joko Anwar


Sebuah kemasan neo-noir di antah berantah dengan balutan mitologi lokal. Drama kriminal yang begitu menarik hati.

#15 The Photograph (2007) – Garin Nugroho


Potret-potret emosionil balada dua anak manusia kesepian berbeda latar. Touching!

#16 Quickie Express (2007) – Dimas Djayadiningrat


Film komedi dewasa yang vulgar tapi tidak vulgar (nah lho?!). Konyol tapi tetap elit dengan naskahnya. Sangat menghibur. Btw, Sandra Dewi cantik banget disini!

#17 Mereka Bilang, Saya Monyet! (2007) – Djenar Maesa Ayu


Penuh simbolisme dan metafor. Dan Titi Sjuman.., ternyata tidak hanya pandai membuat musik, dia juga bisa menunjukkan performa akting yang prima.

#18 Fiksi. (2008) – Mouly Surya


Eksplorasi sisi tergelap dan terdalam manusia. Begitu dingin, begitu sepi, begitu suram, begitu menghantui.

#19 Under the Tree (2008) – Garin Nugroho


Giliran magisnya Bali yang menjadi perhatian Garin Nugroho untuk menunjukkan sisi metafornya. Pesan tersirat pada sebuah ‘pohon’. Filosofis.

#20 Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) – Edwin


Film yang menyentil isu diskriminasi agama dan ras dengan begitu satir. Menelanjangi bobroknya sebuah moralitas.

#21 Pintu Terlarang (2009) – Joko Anwar


Saya tidak bisa berbicara apapun tentang ‘Pintu Terlarang’ selain film ini “GW BANGET!!!” Salah satu film favorit saya.

#22 Jermal (2009) – Ravi Bharwani, Rayya Makarim, Utawa Tresno


‘Jermal’ menerjemahkan hubungan ayah-anak yang membumi dalam balutan nuansa lokal yang kentara. Mengharukan dengan segala hal didalamnya.

#23 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010) – Benni Setiawan


Isu yang cukup sensitif tidak menjadikannya menjadi tontonan berat. Meski konfliknya kurang begitu dalam, namun sanggup membawa sedikit renungan ketika menontonnya.
P.S. film ini rilis waktu saya masih SMA dan saat itu saya sedang senang-senangnya sama Laura Basuki, aktris utama film ini. Tak ada hubungannya juga sih sebenarnya. Haha.

#24 Minggu Pagi di Victoria Park (2010) – Lola Amaria


Tema yang jarang diangkat para sineas tanah air. Dibalik cerita drama kakak-adiknya yang menawan, ada pesan besar yang ingin disampaikan Lola Amaria kepada semua orang dari para pahlawan devisa dinegeri orang.

#25 Sang Penari (2011) – Ifa Isfansyah


Seperti halnya tari ronggeng itu sendiri, ‘Sang Penari’ menyajikan liukan gemulai penuh keindahan, namun menyimpan kepedihan dibaliknya. Kisah pahit dua insan yang tak bersatu.

#26 The Raid (2012) – Gareth Evans


Keterbatasan yang dipunyai film ini justru sanggup memaksimalkan aspek lainnya. Premis boleh sederhana, tapi sebelum ini, kita tak pernah menonton film action Indonesia segahar ini. Film action Indonesia telah naik level dengan ini.

#27 What They Don’t Talk About When They Talk About Love (2013) – Mouly Surya


Sebuah drama romansa pahit-manis para penyandang disabilitas. Karenanya kita menjadi semakin sadar bahwa cinta memang milik semua orang.

#28 Tabula Rasa (2014) – Adriyanto Dewo


Sederhana tapi manis. Begitulah adanya. Film yang sanggup menggoyang lidah. Gulai kepala ikan kakap.., rasanya pernah tak berhenti menggugah selera.

#29 Filosofi Kopi (2015) – Angga Dwimas Sasongko


Adaptasi karya Dewi Lestari paling mumpuni, dalam racikan tangan dingin barista Angga Dwimas Sasongko. Seperti menikmati sensasi secangkir kopi tiwus Pak Seno yang dibuat dengan penuh cinta. Perfecto!

#30 Mencari Hilal (2015) – Ismail Basbeth


Seolah masih terhipnotis oleh pesonanya ketika layar mulai menghitam. Perjalanan spiritual yang emosional. Begitu mengesankan.

Tuesday, August 25, 2015

Resensi Buku: Negeri van Oranje


Percaya atau tidak, bila dalam hidup ini ada moment-moment kecil yang bisa mengubah jalan hidup dimasa mendatang. Satu moment tak sengaja yang bisa menjadi pembuka bagi jalan hidup yang lainnya. Cuaca buruk Amersfoort tanpa sengaja (atau memang sudah takdir) mempertemukan Banjar, Wicak, Daus, Geri dan Lintang, 5 (lima) mahasiswa asal Indonesia yang sedang menimba ilmu Belanda. Pertemuan ini pun membawa mereka pada sebuah hubungan persahabatan yang memberi warna lain bagi hidup mereka selanjutnya. Kelima orang Indonesia berbeda latar belakang inipun sepakat menamai diri mereka AAGABAN. AAGABAN bukanlah geng Power Rangers yang diutus untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan. Mereka adalah kumpulan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda yang kebetulan bertemu karena badai, kretek dan takdir.
‘Negeri van Oranje’ ditulis keroyokan oleh Raden Wahyuningrat, Rizki Pandu Permana, Adept Winiarsa dan Annisa Rijadi. Melihat bejibunnya penulis di buku ini, ada sedikit kekhawatiran bila empat otak yang mendasari terciptanya ‘Negeri van Oranje’ tidak membawa sentuhan berbeda pada karyanya. Setelah membacanya, ‘Negeri van Oranje’ memang punya suatu sesuatu yang sepertinya tidak dipunyai buku sejenis. Gelar ‘best seller’ memang pantas diraih buku yang pertama kali terbit pada tahun 2009 ini.
Cerita ‘Negeri van Oranje’ sebenarnya sederhana. Garis besar plot seperti inipun bukanlah hal yang baru. Telah banyak karya (film, serial TV, buku) yang memiliki premis seperti ini. Dan perlu digarisbawahi bahwa ‘Negeri van Oranje’ tidak mempunyai sesuatu yang spesial dari segi cerita (setidaknya buat saya). Kejutan-kejutan atau twist yang coba dihadirkan disinipun cukup mudah untuk diterka. Namun ini bukanlah permasalahan, karena pada dasarnya keempat penulis tidak menempatkan cerita sebagai tujuan utama penulisan buku ini. Maka sudah jelas bila plot yang hadir tidak terlalu menonjol.
Aspek cerita yang kurang menonjol memang berimbas pada karakterisasi para tokohnya yang kurang begitu tergali. Kecuali Lintang (karena dia satu-satunya perempuan), tiga AAGABAN lain (Banjar, Daus, Wicak) masih terasa kurang kuat karakternya. Jika latar belakang masing-masing tidak dijelaskan diawal, mungkin saya akan lupa yang mana Banjar, yang mana Wicak dan yang mana Daus. Karakter Geri yang mendapat porsi lebih sedikit dibanding teman-temannya justru menjadi yang paling kuat secara karakter. Sedari awal diperkenalkan, karakter Geri sudah terpatri dengan sangat jelas. Cara dia berbicara, berpenampilan, kita sudah tahu pasti bahwa dia itu Geri, bukan yang lain.
Mungkin aspek cerita dan karakternya tidak terlalu menonjol. Bahkan saya bisa bilang bahwa cerita disini hanyalah sebuah element penggerak untuk menggulirkan sesi sharing pengalaman penulis selama di Belanda. Karena memang (IMO) ‘Negeri van Orange’ ini seperti ajang curhat para penulis tentang pengalamannya membina ilmu di negeri kincir angin. Pengalaman berharga tinggal dinegeri orang sebagai mahasiswa rantau yang ingin dibagi kepada siapapun yang berkeinginan, berencana atau memang sedang kuliah di Belanda. Sayapun tak menyangkal bila banyak orang yang menyebut ‘Negeri van Orange’ sebagai buku panduan bagi mahasiswa Indonesia yang sedang atau hendak kuliah di Belanda. Karena memang begitulah adanya. Segala macam tektek bengek menjalani kehidupan sebagai mahasiswa rantau di Belanda dengan segala problematikanya dibeberkan dengan lugas disini. Mulai dari urusan administratif, akademik, transportasi, hubungan sosial, mencari tempat tinggal, mencari kerja sambilan, travelling ala backpacker, dsb, bahkan sampai kewaspadaan terhadap pencopet dan pencuri yang menjamur disana.
‘Negeri van Oranje’ sebagaimana judulnya sanggup mendeskripsikan dengan sangat gamblang tentang negara yang pada zaman dulu kita sebut sebagai kompeni ini. Berbagai detail dengan keakuratan yang kuat mampu membawa imajinasi pembaca akan negara Belanda. Para pembaca yang belum pernah merasakan tanah kompeni akan mendapat gambaran umum tentang negeri yang pernah menjajah kita ini. Bagi yang sudah pernah ke Belanda, ‘Negeri van Oranje’ akan menjadi ajang nostalgia bagi para pembacanya. Seorang Raditya Dika pun dibuat kangen sama Belanda dengan buku ini.
Keunggulan ‘Negeri van Oranje’ yang membuatnya tampil menarik adalah pengemasannya dalam bertutur. Dengan bahasa yang santai, diksi yang sederhana, mudah dimengerti, komunikatif, ringan dan berselera humor, membuat ‘Negeri van Oranje’ menjelma menjadi bacaan yang nyaman bagi siapapun. Lembar demi lembar rasanya tidak bosan untuk terus dibuka. Kita juga pasti tak akan lupa dengan tips-tips menarik yang mirip rangkuman mata pelajaran di sekolah. Atau footnote-footnote informatif penting yang juga tidak penting disebagian lainnya (namun lucu disaat bersamaan). Bahasa sehari-hari Belanda yang sederhana dan mudah dipahami juga tak lupa diselipkan sebagai pengetahuan. Karena akan sedikit aneh bila sebuah buku yang bercerita tentang Belanda tidak ada bahasa Belandanya sama sekali.
Berbagai element yang dihadirkan ‘Negeri van Oranje’ tadi menyatu menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tak lain dan tak bukan adalah kolaborasi buah pikir keempat penulisnya. Menyenangkan. Ya, mungkin itulah kunci dari ‘Negeri van Oranje’ dimata para pembaca. Hal ini senada dengan yang tertera di cover depan bertuliskan “Novel yang menyenangkan” yang merupakan kesan pribadi Andrea Hirata terhadap buku ini. Dan buat saya, ‘Negeri van Oranje’ hadir disaat yang tepat ketika saya butuh sebuah bacaan santai sesuai selera. Dan saya menemukannya disini. Buku ringan yang menyenangkan. Eskapisme tatkala bosan dari bacaan dan tontonan berat. Ajang refreshing dari segala kejenuhan itu.

Inside Out (2015): Melihat Isi Pikiran, Merenungkannya Kemudian

Do you ever look at someone and wonder,
“What’s going on inside their head?”

‘Inside Out’ adalah film animasi yang paling saya tunggu tahun ini (dan wajib hukumnya untuk ditonton). Tapi saya sangat kecewa ketika tahu jadwal tayang ‘Inside Out’ di Indonesia mengalami penundaan, bahkan sampai dua bulan lamanya (Oh, why?). Yang lebih mengecewakan lagi adalah ‘Minions’ yang jelas-jelas hanya mau mengambil keuntungan dari kepopuleran namanya malah mengambil jatah tayang lebih awal di Indonesia (ah, kenapa film bagus selalu kalah dari film populer?).
Pixar is BACK! Ya, studio penghasil animasi berkualitas dan inovatif ini telah kembali setelah 5 (lima) tahun lamanya. Waktu lima tahun memang bukan berarti Pixar tanpa karya, kita sudah menyaksikan Cars 2 (2011), Brave (2012) dan Monster University (2013). Namun bisa dibilang film tersebut seperti penurunan kualitas dari nama sebesar Pixar yang seperti kehabisan ide out of the box-nya. Toy Story 3 (2010) praktis jadi paling terakhir yang membuat kita benar-benar berteriak, “yeah, that’s Pixar!” Dan tahun 2015 ini, mereka kembali dengan sebuah premis segar tentang emosi manusia. Dibawah komando Pete Docter (Monster Inc., Up) dan kolega, Del Carmen kita diajak berpetualang dan menjelajahi isi pikiran manusia dari kacamata anak 11 tahun.


Manusia mengalami berbagai fase dalam hidupnya sebelum ia benar-benar membentuk identitasnya sendiri sebagai seorang manusia atau biasa disebut dewasa. Fase remaja menjadi fase paling riskan dalam hidup manusia. Fase dimana secara pola pikir sudah bukan anak-anak lagi tapi disisi lain masih belum matang secara emosi. Pergolakan-pergolakan batin terhadap berbagai hal sering terjadi pada fase ini. Pete Docter mencoba menggambarkannya dengan gamblang dalam ‘Inside Out’, meski kalau dilihat lagi ‘Inside Out’ lebih menitikberatkannya pada fase pra-puber.
Pete Docter memperoleh ide ‘Inside Out’ ketika melihat anak(baru gede)-nya mengalami perubahan drastis secara emosional. Ide yang kompleks dan rumit seperti ini terasa ambisius disaat bersamaan, maka tak heran bila Pete butuh waktu setidaknya lima tahun untuk benar-benar mematangkan idenya menjadi bentuk animasi. Butuh riset terus-menerus untuk bisa menuangkan isi pikiran manusia yang begitu rumit menjadi sesuatu yang menyenangkan tapi juga tidak terlampau absurd. Dan setelah periode panjang itu, lahirlah Joy, Sadness, Fear, Anger & Disgust yang mewakili emosi dasar dalam diri manusia.
 Sebuah pertanyaan provokatif memulai narasi ‘Inside Out’ diikuti penampakan bayi mungil nan lucu. Bayi yang kemudian diberi nama Hely Riley ini mengalami masa anak-anak yang menyenangkan. Berbagai moment telah ia lewati bersama keluarga, teman dan hal-hal yang disukainya. Dibawah kendali Joy, semua terasa indah dan baik-baik saja. Hingga di usianya yang ke-11, Ayah Riley memutuskan untuk pindah rumah. Dan sudah bisa ditebak, dari sinilah semua bermula.
Ada dua plot yang dihadirkan disini. Plot utama adalah isi pikiran Riley sedangkan subplot-nya adalah kehidupan Riley sendiri didunia nyata. Isi pikiran Riley mulai mengalami kekacauan semenjak keluarga Riley pindah rumah. Hal ini secara langsung berimbas pada tingkah laku Riley di kehidupan sehari-hari. Kelompok emosi pimpinan Joy ini mulai kebingungan ditengah keadaan yang ada, permasalahan-permasalahan mulai menghadang jiwa Riley yang masih dalam usia labil. Belum lagi Sadness mulai merasa terisolasi dari kelompoknya dan merasa kehadirannya tak berguna. Membuatnya berusaha untuk tampak berguna dan lebih berperan dimata teman-temannya. Sampai sebuah insiden membawa kita pada petualangan menjelajahi isi kepala manusia.


Menonton ‘Inside Out’ seperti sedang mengikuti satu mata kuliah psikologi yang dibawakan dosen bernama Pete Docter dan asistennya Del Carmen. Yang menjabarkan isi pikiran manusia dengan teori-teori yang imajinatif. Imajinatif karena kita tidak akan menemukan struktur otak, sel-sel syaraf, atau apapun yang tampak rumit itu. Yang ada adalah sebuah semesta penuh warna dalam kepala manusia yang tetap masuk akal dalam mengejawantahkan setiap detail prosesnya. Inti ingatan, ingatan terlupakan, khayalan, imajinasi, proses mimpi, alam bawah sadar, dsb menjadi ajang travelling yang fun untuk diikuti. Soal kualitas gambar, jelas Pixar bukanlah nama yang pantas untuk diragukan. Semakin terasa hidup dengan para pengisi suara yang berhasil menghidupkan karakter emosi yang ada. Terutama untuk Amy Poehler (Joy) dan Phyllis Smith (Sadness) yang memang punya peran lebih disini.
Mungkin premis ‘Inside Out’ akan terasa berat bagi anak-anak. Namun bukan berarti tak ramah untuk mereka. Melihat keseruan yang tersaji bersama desain karakter yang lucu rasanya sudah cukup menyenangkan bagi anak-anak. Toh para penonton dewasa juga bisa dengan mudah menjelaskan tanya dibenak para penonton cilik. Berlainan dengan hal itu, ‘Inside Out’ terasa lebih personal bagi penonton dewasa. Karena lewat ‘Inside Out’ kita tidak hanya diajak melihat isi pikiran manusia. Kita diajak memahami, menyelaminya lebih dalam dan merenungkannya kemudian. Bahwasanya ketika masih kecil imajinasi kita tak tak terbatas dan kitapun bersengan-senang dengannya. Namun seiring beranjak dewasa semua itu perlahan terlupakan. Bahwasanya pergolakan batin ketika mulai beranjak dewasa sering menghinggapi diri yang labil. Tak jarang kita menutup-nutupi perasaan dan emosi yang ada. Padahal tak ada salahnya bersedih sementara sebelum senang datang kemudian. Bahwasanya semua emosi itu adalah harmoni dalam diri manusia. Yang mana itu semua merupakan karunia Tuhan yang wajib kita syukuri.
‘Inside Out’ adalah alasan kenapa Pixar telah kembali. Karenanya, Pixar berhasil mengembalikan hakikatnya sebagai studio animasi spesialis pengaduk emosi dan perasaan, yang kaya akan pesan moral namun ramah untuk semua usia. Disinilah kita kembali merasakan pengalaman menonton yang luar biasa. Bisa tertawa dengan guyonan-guyonannya, entah bagian verbal ataupun bagian slapstick-nya. Mencintai karakter-karakternya yang colourful. Kagum dengan apa yang tersaji di layar. Dan seperti diajak naik roller coaster, kitapun diajak bermellow-mellow ria ketika layar membawa aura melankolis yang tak bisa disangkal rasa. Pixar memang selalu punya hati untuk film-filmnya. Awesome!

Sunday, August 2, 2015

Crazy Little Thing Called Love (2010): Balada Pemuja Rahasia

Saya sebenarnya sudah lama nonton film ini, bahkan lebih dari sekali (What? Are you serious?). Ya memang begitulah adanya. Secara genre maupun asal negaranya, memang bukan termasuk golongan film incaran untuk ditonton. Awalnya malah sempat tak tuntas karena ceritanya terasa begitu membosankan. Setelah menguatkan hati, akhirnya ‘Crazy Little Thing Called Love’ bisa saya selesaikan. Malah sempat saya tonton kembali tatkala bosan melanda. Makanya, saya tak tahan untuk menuliskan sesuatu tentang film ini. Terlebih ‘Crazy Little Thing Called Love’ bercerita tentang secret admirer. Tema yang #hufft banget!
Di Indonesia, film-film Thailand itu cukup digemari. Terutama film romcom dan horor. Letak geografis yang dekat menyebabkan budaya dan tradisinya tidak jauh berbeda dengan negara kita, membuat film Thailand lebih relate dengan masyarakat Indonesia. Ditambah Thailand punya cukup faktor menyenangkan dalam film-filmnya. Kecuali aksennya yang kadang bikin ilfeel. Judul-judul macam ‘SuckSeed’, ‘ATM Error’, ‘Hello Stranger’, ‘I Fine Thank You Love You’ dan ‘Crazy Little Thing Called Love’ sendiri, pasti tak asing ditelinga orang-orang. Saya sendiri baru nonton ‘SuckSeed’, ‘Crazy Little Thing Called Love’ dan ‘Timeline’ (yang harus saya bilang membosankan).


Kapan pertama kalinya jatuh cinta? Kapan pertama kali dada mulai terasa sesak karena orang lain yang menarik hati? Kapan mulai tidak bisa tidur karena memikirkan seseorang? (walaupun pada akhirnya tidur juga, haha). Kapan persisnya mulai melakukan berbagai macam cara untuk menarik perhatian orang yang diperhatikan? Jatuh cinta itu lucu, apalagi untuk yang pertama. Namun tidak semua cinta pertama itu bak gayung bersambut. Ada kalanya cinta itu tak terbalas. Ada kalanya cinta itu cuma jadi milik diri seorang. Karena hanya berani mencintai dalam diam, mengagumi dari jauh, memiliki dalam angan. Nam (Pimchanok Luewisetpaiboon – ribet banget sih namanya –), mungkin paling tahu perasaan ini. Siswi kelas M-I yang mulai merasakan getar-getar rasa tak biasa yang kita sebut “C.I.N.T.A” pada kakak seniornya, Shone (Mario Maurer).
Bukan tanpa alasan bagi Nam menjadi pengagum rahasia Kak Shone. Secara fisik, Nam pasti menjadi golongan paling terakhir yang mau dilirik lawan jenisnya. Makanya ia tidak percaya diri, terlalu takut, malu dan tidak berani untuk menunjukkan perasannya. Hal-hal semacam ini memang jadi problem dan alasan kenapa orang menjadi pemuja rahasia. Permasalahan Nam juga tidak berhenti sampai disitu, karena Kak Shone punya banyak alasan yang membuat anak perempuan tertarik padanya. Atas bantuan teman satu geng-nya, Nam pun berusaha untuk membuat Shone tahu bahwa dia menyukainya. Berbekal buku panduan 9 Resep Cinta (Untuk Pelajar), Nam mulai melancarkan aksinya. Berbagai metode dari berbagai belahan negara telah ia terapkan. Tapi tetap saja Kak Shone dimatanya hanya menjadi ketidakmungkinan yang disemogakan. Hingga dua permintaan guru Inn yang mengharuskannya menjadi putri salju dan mayoret marching band sekolah yang secara perlahan menjadi titik tolak perubahan dirinya.
Sebagaimana sebuah film romcom, ‘Crazy Little Thing Called Love’ memang masih akan menghadirkan komedi dan romansa dalam satu frame. Komedinya berjalan seiring lika-liku para karakter dalam usahanya mengejar cinta. Mulai dari yang sedikit romantis seperti melukis nama orang disayang dari bintang-bintang dilangit (tsah!). Sampai yang paling bodoh dengan diam-diam nyimpan es krim di motor yang sedang diparkir. Dari Nam sendiri sampai Guru Inn dengan segala tingkah konyolnya.  
‘Crazy Little Thing Called Love’ itu cheesy, cliche & predictable. Namun biarpun begitu, kita semua masih saja mau menikmatinya dan memaafkan segala ke-cheesy-an itu. Seperti halnya kita memaafkan transformasi Nam yang begitu drastis, sementara lingkungan dan orang-orang disekitarnya tak menampakkan perubahan sama sekali. Memang tidak ada yang tidak mungkin, namun tetap saja, masih terlalu aneh rasanya bila Nam yang terlihat ‘seperti itu’ di awal tiba-tiba menjadi sangat cantik bak ratu sekolah.


Bukan romcom namanya jika tak menghadirkan moment bittersweet love. Hampir di separuh akhir kita merasakannya. Walaupun agak sedikit membosankan (untungnya si Nam jadi cantik), namun saya tak bisa memungkiri jika ending yang melibatkan sebuah buku tempel itu begitu manis. Tatkala buku berjilid hitam itu dibuka, halaman penuh tempelan gambar dan tulisan mulai membawa kita pada moment sentimentil atas semua yang terjadi. Menggiring kita menikmati prosesnya dan ikut hanyut kedalamnya. Jangan lupakan juga, konflik persahabatan yang memang tak pernah lepas dari film-film seperti ini turut membawa rasa mengharu biru.
Cinta. Memang aneh ya kedengarannya. Bagaimana sesuatu yang tak nampak ini bisa memberi sensasi yang luar biasa. Kadang gila, kadang tak butuh logika (benar kata Agnes). Memberi energi bagi yang merasakannya. Bisa positif, bisa juga negatif sih. Tergantung manusianya. Dan Nam mencoba melihat ‘sesuatu kecil yang gila itu’ dari sisi positif dan memanfaatkannya. Bagaimana ia berjuang untuk semuanya. Memperjuangkan prestasi sekolah dengan belajar sungguh-sungguh dan memperjuangkan cintanya sampai penampilannya berubah total. Namun lebih dari itu semua, sesungguhnya ada hal yang sudah dilakukannya dari dulu, yaitu bicara. Bicara bahwa dia menyukai Shone. Namun percayalah, bahwa tidak semua orang bisa dengan mudah berkata suka pada orang yang disukainya. Bagi sebagian orang itu sangat berat. Berat banget!
Seperti yang Nam bilang bahwa cinta memiliki sisi positif. Seperti itu pulalah film ini menyorotinya. Bahwa itu bukan hanya sekedar gejolak hormon semata. Bahwasanya cinta itu bisa memotivasi diri kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Mungkin ini pulalah yang disebut orang-orang sebagai proses “memantaskan diri”. Walaupun pada akhirnya dua hati tak bisa langsung menyatu. Namun falsafah orang tua bahwa jodoh tak akan kemana seyogyanya tak boleh dihiraukan begitu saja. Karena jodoh memang benar tak akan kemana, yang perlu dilakukan hanyalah memantaskan diri. Right, Nam?