Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Monday, November 30, 2015

Catatan Nonton #November’15

Catatan Nonton bulan November ini sudah memasuki edisi ke-23. Sebentar lagi, post bulanan di blog saya ini akan genap dua tahun. Tak terasa juga ternyata sudah hampir dua tahun saya membuat post berisi kumpulan review pendek dari film yang saya tonton dalam satu bulan.  Walaupun mood nonton kadang kali naik turun terutama akhir-akhir ini, tapi saya tetap mempertahankan post Catatan Nonton ini seperti biasa. Movie of the month untuk edisi ini jatuh pada ‘The Man from U.N.C.L.E.’ Dan berikut short review film yang masuk edisi Catatan Nonton bulan November 2015. Check this out!
Gambar dari sini.

Mission: Impossible – Rogue Nation (2015) (01/11/15)


Short review:
Setelah dibuat terpesona Brad Bird di ‘Ghost Protocol’, Ethan Hunt melanjutkan petualangannya ditangan Christopher McQuarrie. Memang menjadi beban tersendiri mengingat Brad Bird pernah menghentak dunia lewat adegan fenomenal Ethan Hunt memanjat gedung tertinggi dunia, Burj Khalifa ditambah pula kualitas ‘Ghost Protocol’ yang diakui. Namun bukan berarti McQuarrie tanpa amunisi. Adegan pembuka dipesawat sedikit masih kalah dengan adegan memanjat gedung, tapi ‘Rogue Nation’ punya cara tersendirinya untuk menghibur dengan berbagai adegan aksi penuh ketegangan. Semuanya dihadirkan dengan begitu intim dan efektif. Berbagai element yang sudah menjadi ciri khas ‘Mission Impossible’ sebagai salah satu franchise espionage terkenal tidak hilang. Ada pula Rebecca Ferguson yang begitu mencuri perhatian.
Skor: 4/5

The Man from U.N.C.L.E. (2015) (01/11/15)


Short review:
Tahun 2015 bisa disebut sebagai tahunnya film spionase karena begitu banyaknya film spionase yang rilis tahun ini. Salah satu diantaranya adalah ‘The Man from U.N.C.L.E.’ garapan Guy Ritchie yang merupakan serial TV populer di era 60-an. Meski tidak menawarkan formula spionase yang baru tapi ‘The Man from U.N.C.L.E.’ muncul sebagai salah satu film spionase paling menyenangkan tahun ini. Setting asli yang dipilih Ritchie sangatlah tepat. Dengannya, kita seolah dibawa rasa dejavu kenapa kita menyukai film spionase. ‘The Man from U.N.C.L.E.’ juga mempunyai cast yang mentereng, ada Henry Cavill, Armie Hammer dan Alicia Vikander (my fav). Interaksi ketiganya turut memberi sumbangsih besar yang membawa nuansa segar ‘The Man from U.N.C.L.E.’ Terlebih Napoleon Solo (Cavill) dan Illya Kuryakin (Hammer) merupakan karakter yang bertolak belakang. Ada pula Gabriella Teller (Alicia Vikander) yang manis. Lengkap lah sudah!
Skor: 4/5

Ich Seh Ich Seh / Goodnight Mommy (2014) (02/11/15)


Short review:
Film horor Austria ini begitu ramai dibicarakan dan disebut-sebut sebagai salah satu yang terseram tahun ini. ‘Ich Seh Ich Seh’ sesungguhnya tidak memunculkan satu sosok makhluk astral pun untuk menciptakan suasana horor. Bahkan sepanjang 70 % durasinya tidak ada kengerian yang nyata untuk membuat saya begidik. Suasananya begitu tenang. Namun memunculkan aura misterius yang kental bersama sesuatu yang “tidak beres” antara si ibu dan dua orang anaknya. Ketegangan dengan rasa horor yang kentara memang baru muncul disisa durasinya. Tapi pabila ditelaah lagi, rasa horor itu sendiri sudah dibangun sejak awal lewat atmosfer-nya yang creepy, dingin dan misterius itu.  Twist yang dihadirkan disini memang bukan sesuatu yang sulit ditebak. Tapi tidak lantas menjadikannya sebuah kekurangan untuk film yang juga didaftarkan pada ajang Oscar ini.
Skor: 3,75/5

Seventh Son (2014) (03/11/15)


Short review:
Salah satu film terburuk tahun ini. Entahlah tak ada satupun aspek film yang benar-benar menarik disini. Setidaknya, ‘Fantastic Four’-nya Josh Trank yang juga dianggap film gagal masih bisa saya menikmati. Berbeda dengan ‘Seventh Son’ yang dilihat dari berbagai sisipun benar-benar tak menarik sama sekali. Membosankan. Durasinya benar-benar terasa sangat melelahkan. Jikalau ada satu hal yang saya nikmati dan menjadi nilai plus buat ‘Seventh Son’ adalah kehadiran Alicia Vikander. Itupun bukan karena penampilannya. Melainkan karena sosoknya yang manis. Sebuah alasan kenapa saya mau nonton film ini.
Skor: 1,75/5

Ant-Man (2015) (07/11/15)


Short review:
‘Ant-Man’ seperti ajang perjudian berikutnya dari Marvel. Namun Marvel yang sekarang adalah Marvel yang sudah punya nama. Dengan kata lain, meski karakter yang akan dibuatkan filmnya terkesan asing tapi nama Marvel sendiri sudah menjadi jaminan bahwa filmnya akan berhasil. Setidaknya menghibur. Begitu pula yang terjadi pada ‘Ant-Man’. Bagian menarik dari ‘Ant-Man’ adalah eksplorasi dunia mikroskopis yang jarang kita temukan dalam film superhero. ‘Ant-Man’ seperti sebuah antitesis dari kebanyakan film superhero yang selalu membawa arena pertarungan pada set yang megah, tempat terbuka, tengah kota sampai luar angkasa. Lain dengan ‘Ant-Man’, kamar tidur anak kecil pun bisa jadi arena pertarungan yang seru. Namun secara keseluruhan, formula ‘Ant-Man’ masih sama dengan film-film Marvel lainnya. Bukannya apa, ada sedikit kekhawatiran jika formula yang sama ini dipakai terus-terusan, film-film Marvel dimasa depan akan berpotensi membosankan.
Skor: 3,5/5

American Ultra (2015) (10/11/15)


Short review:
Apapun filmnya, jika ada ada nama Kristen Stewart disana sudah pasti akan saya tonton. Termasuk ‘American Ultra’ yang menandai duet kedua kalinya K-Stew dengan sang Lex Luthor baru, Jesse Eisenberg, setelah sebelumnya mereka bermain bersama di ‘Adventureland’. Beruntung saya masih bisa merasakan chemistry yang kuat antara Stewart dan Eisenberg disini. Namun jika melihat plot ‘American Ultra’ secara keseluruhan, terdapat berbagai kekurangan yang terasa sangat mengganjal. Kritik orang-orang yang sempat dialamatkan pada Nima Nourizadeh selaku sutradara film ini pun sepertinya tidak salah tempat. Karena memang ada rasa seperti itu setelah menontonnya. Namun apabila mengesampingkan hal-hal mengganjal di film ini, ‘American Ultra’ sendiri sudah cukup untuk menjadi penghibur.
Skor: 3/5

Thursday, November 5, 2015

Resensi Buku: Hypnotic Killer


Wahyu membeli sebuah mesin ketik kuno yang disebut-sebut sebagai peninggalan seorang penulis terkenal. Entah kenapa, dengan mesin ketik tersebut, Wahyu berhasil menyelesaikan cerpen-cerpen misteri yang luar biasa. Sementara itu, kematian demi kematian terjadi secara misterius hanya berselang satu pekan. Polisi kesulitan mengungkap identitas pelakunya karena tidak adanya sidik jari dan jejak serta saksi mata. Hanya ada satu petunjuk, yakni kesamaan kronologi kejadian pembunuhan dengan cerpen misteri yang ditulis oleh Wahyu.
Sebuah premis menarik berhasil dihadirkan Eko Hartono dari sinopsis yang dihadirkan. Ada indikasi kisah misteri kuat dibalut thriller dan suspense yang menyeruak disana. Sebuah genre yang memang saya sukai. Bagian menariknya memang terlihat ketika Eko menyandingkan karya tulisan berupa cerpen yang notabene merupakan karya fiksi dengan peristiwa dikehidupan nyata yang keduanya seolah memiliki keterkaitan satu sama lain. Berbagai pertanyaan pun bermunculan dan membuat penasaran, akan seperti apa Eko Hartono meramu kisah yang cukup potensial ini? Tagline bukunya yang berbunyi “Hati-hati dengan apa yang kau tulis...” pun cukup menggelitik. Lalu seperti apakah jadinya?
Sedari awal sudah saya akui bahwa premis ‘Hypnotic Killer’ itu menarik. Namun menurut saya ada satu kesalahan besar Eko Hartono yang ia buat di bagian Kata Pengantar. Disana, Eko seolah sangat percaya diri dengan kisah misterinya ini dengan menulis “pembaca akan menemukan kejutan demi kejutan”. Dengan kata lain, ada twist berlapis yang potensial mengejutkan dan mengecoh pembaca. Saya membayangkan Eko Hartono akan menebar kepingan-kepingan puzzle yang harus dirangkai para pembaca. Kemudian setelah dirangkai sedemikian rupa oleh pembaca, Eko menghancurkan rangkaian puzzle tersebut dengan twist cerdas dan gila yang tak pernah diduga sebelumnya. Tentunya hal seperti ini akan memberikan sensasi yang luar biasa buat para pembaca.
Sesungguhnya tidak terlalu bermasalah jika penulis sangat percaya diri dengan tulisannya dan memberi clue bahwa bukunya ini akan memberi kejutan demi kejutan. Namun bagaimana jika kejutan demi kejutan tersebut tidak mengejutkan dan terlampau mudah ditebak? Inilah yang terjadi dengan ‘Hypnotic Killer’. Twist-nya teramat mudah ditebak. Bahkan tak perlu pusing merangkai kepingan puzzle untuk menebak dalang dari segala kasus yang ada. Karena jika kita seksama, melihat judulnya + membaca bagian keempat buku ini (sesungguhnya) kita sudah dapat menerka-nerka jawabannya. Twist kedua yang berhubungan dengan tokoh perempuan disinipun juga sangat mudah ditebak. Sampai motif para karakternya pun mudah ditebak. Kalau sudah begitu, apakah kejutan masih disebut kejutan jika teramat mudahnya kejutan itu ditebak?
Memang (masih di bagian Kata Pengantar), Eko juga menulis, “Ada kejutan di akhir cerita yang tidak terduga”. Dan itu yang terjadi ketika cerita melompat ke masa sepuluh tahun dari setting sebelumnya. Jujur, untuk yang satu ini sayapun tidak bisa menerkanya. Namun kalau boleh saya bilang, bagian yang ini (yang disebut penulis sebagai sebuah kejutan tak terduga) tidaklah terlalu esensial dengan cerita. Karena ceritanya sendiri sudah berakhir. Dengan kata lain, siapapun bisa saja membuat alternatif cerita dengan kejutan atau apalah secara sekenanya ketika plot utamanya sendiri sudah berakhir. Dan buat saya itu bukanlah sebuah twist atau kejutan. Twist yang baik adalah ketika si penulis memberikan clue yang telah ditebar baik pada plot, set, tokoh, karakterisasi dan bagian intrinsik lainnnya, kemudian setelah pembaca mulai percaya diri terhadap dugaannya, penulis membelokan dugaan pembaca dengan cara yang tak pernah terduga, sampai akhirnya BOOM!!! Pembaca pun melongo. That’s twist!
Daripada menyebut akhir cerita ‘Hypnotic Killer’ sebagai sebuah kejutan yang tak terduga atau twist, saya lebih senang menyebutnya sebagai sebuah open ending. Biasanya ending seperti ini merupakan indikasi akan adanya cerita lanjutan atau sekuel. Atau hanya sekedar untuk mengumbar pertanyaan yang akan menjadi bahan diskusi buat para pembaca setelahnya. Atau hanya akal-akalan penulisnya saja untuk membuat pembacanya gregetan. Hehe.
Mungkin akan lain ceritanya jika penulis tidak pernah mengungkapkan bahwa bukunya ini akan mengejutkan pembaca. Karena jika melihat genre-nya, twist itu sendiri sudah sepaket dengan cerita (biasanya, walaupun tidak semua). Dengan begitu, twist atau kejutan itu tidak akan menjadi sebuah ekspektasi melainkan sebuah bonus bagi pembaca. Seandainya kejutan itu mudah ditebak pun tetap akan terasa menyenangkan, apalagi jika tidak mudah ditebak. Dan disini, penulis menyatakan dengan lugas bahwa bukunya ini akan menyajikan rangkaian kejutan. Tak ayal, hal ini menimbulkan ekspektasi dan imajinasi liar dari pembacanya. Tak akan jadi masalah jika twist itu benar-benar berhasil mengelabui pembaca. Masalahnya adalah twist ‘Hypnotic Killer’ itu sangat tidak berhasil dan membuat kita berujar, “Hah? Segitu doang?” Itulah kenapa diawal saya sebut Eko Hartono telah melakukan satu kesalahan besar.
Biarpun begitu, saya tetap mengapresiasi penulis yang secara implisit mengakui bahwa menulis cerita misteri seperti ini tidaklah mudah. Karena memang begitulah adanya. Ini bisa terlihat dari ucapan tokoh Wahyu tatkala bercakap-cakap dengan Mang Darman. Wahyu berujar bahwa tema misteri atau detektif dalam sebuah karya tulisan itu sulit. Tema-tema seperti ini butuh pemikiran yang cerdas dan cerdik.  Karena mayoritas tema seperti ini memiliki alur yang berliku, penuh teka-teki, berselimut rahasia tanpa meninggalkan rasio dan logika (hal. 32). Statement Wahyu kepada Mang Darman ini menurut saya merupakan manifestasi dari pikiran penulis ‘Hypnotic Killer’ sendiri yaitu Eko Hartono.
Element kejutnya yang sangat tidak berhasil berbanding terbalik dengan element suspense-nya. Tiga perempat bagian awal atau sebelum konklusi dihadirkan, saya merasakan ketegangan yang cukup kentara dan seolah masuk kedalam cerita ini. Hal ini tak lepas dari pengenalan karakter utama ‘Hypnotic Killer’ yang menurut saya cukup berhasil. Karakter Wahyu berhasil menghadirkan aura simpatik sehingga pembaca peduli dengan karakter ini. Deskripsi karakter Wahyu sendiri cukup related dengan kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahasa dan diksi yang sederhana tapi tepat sasaran menjadikan ‘Hypnotic Killer’ juga mudah diikuti.
Overall, ‘Hypnotic Killer’ gagal total memberikan aspek kejut (twist) yang sudah sangat percaya diri ditulis sang penulis di Kata Pengantar karena terlampau mudahnya ditebak. Tapi mengesampingkan hal itu, ‘Hypnotic Killer’ cukup berhasil menggulirkan kisah misterinya yang enak diikuti. Ketegangan pun cukup terasa terutama sebelum konklusinya dihadirkan. Penggambaran karakter Wahyu sebagai tokoh utama cukup menarik simpati sehingga pembaca peduli dengan karakternya. Dan sekali lagi, bagian ending sebelum tamat itu bukanlah sebuah kejutan. That’s not twist, that’s open ending.