Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Thursday, December 31, 2015

Catatan Nonton #Desember’15

FINALLY! Genap sudah dua tahun post Catatan Nonton di blog saya ini. Tak terasa ternyata post bulanan ini sudah memasuki edisi ke-24 semenjak saya memulai merangkum kumpulan review pendek dari film yang saya tonton selama satu bulan dalam post berlabel Catatan Nonton ini. Telah banyak judul-judul film yang masuk daftar ini semenjak memulainya pertama kali. Tak mudah sebenarnya untuk konsisten menulis post bulanan seperti ini (apalagi saya pemalas). Belum lagi mood nonton yang mulai fluktuatif di tahun kedua ini. Hal yang sesungguhnya berbeda di tahun pertama dimana hasrat saya menonton film sangat menggebu-gebu. Tapi untungnya itu tidak menyurutkan niat untuk bisa mem-posting Catatan Nonton di setiap akhir bulan. Meski kuantitasnya cenderung menurun beberapa waktu belakangan ini.
Dan... besok sudah mulai memasuki tahun baru, saya pun masih berharap untuk terus bisa membuat post ini lagi sampai... entah tidak tahu sampai kapan. Tapi yang pasti, demi menutup berakhirnya tahun 2015 sekaligus tanda menggenapkannya Catatan Nonton dalam kurun waktu dua tahun ini, berikut kumpulan short review film yang masuk edisi Catatan Nonton bulan Desember ini. Here it is! 
And Happy New Year!!!

Pan (2015) (22/12/15)


Short review:
Kisah Peter Pan versi Warner Bros. ini memang tak seperti yang kita dengar. Tapi itu tidak menjadi masalah jika filmnya menyenangkan. Sedikit harapan memang layak disandangkan pada seorang Joe Wright. Wright memang berhasil memberi nyawa pada ‘Pan’ lewat desain produksinya yang ok, baik dari set, kostum, karakter dan visualnya yang ciamik. Namun ‘Pan’ sendiri seolah terjangkit virus yang sama di hollywood, dimana ‘Pan’ hendak menjadi sebuah film blockbuster yang megah dan penuh kehebohan disana-sini. Namun pada akhirnya melewatkan aspek narasi yang juga harus digarap dengan baik.
Skor: 3/5

Negeri van Oranje (2015) (23/12/15)


Short review:
Review filmnya bisa dilihat disini.
Sementara review bukunya bisa dilihat disini.
Skor: 3/5

The Walk (2015) (24/12/15)


Short review:
Dalam beberapa kasus, ada film yang memang tidak difokuskan pada hasil akhir melainkan pada prosesnya. Dan ‘The Walk’ adalah salah satu diantaranya. Mungkin hampir sebagian orang didunia mengenal seorang Philippe Petit, seorang artis akrobatik Perancis spesialis berjalan diatas kawat. Petit pernah menghentak dunia saat ia melakukan hal gila, menyeberangi gedung WTC dengan seutas kawat. Apakah dia berhasil? Ya, tentu saja. Tapi seperti yang saya singgung di awal, bahwa ‘The Walk’ memang tidak berfokus pada hasil akhirnya melainkan pada prosesnya. Dan Robert Zemeckis berhasil mengemas proses itu dengan sangat apik walaupun sempat tersendat di awal-awal. Perjalanan menyeberangi gedung tertinggi saat itupun menjadi tidak mudah karena banyak faktor yang juga turut mempengaruhinya. Dan inilah bagian menariknya. Sebelum akhirnya sebuah klimaks menghantarkan kita pada sensasi mendebarkan penuh ketegangan.
Skor: 3,75/5

Hotel Transylvania 2 (2015) (26/12/15)


Short review:
Semenjak film pertamanya dirilis 2012 lalu, ‘Hotel Transylvania’ cukup berhasil memberikan sarana hiburan keluarga yang ringan. Walaupun kualitasnya tidak bisa dibandingkan dengan film seangkatannya macam ‘Wreck-It Ralph’ atau ‘Frankenweenie’, tapi perolehan box-office sudah jadi alasan kenapa sekuelnya muncul tahun ini. Kembali ditangani orang yang sama yakni Genndy Tartakovski, ‘Hotel Transylvania 2’ masih memiliki tone yang sama seperti predesesornya. Tidak ada yang banyak berubah di semua lininya. Premisnya sebenarnya bisa dibuat kaya akan konflik jika melihat sosok dilematis Dennis yang notabene merupakan seorang anak hasil perkawinan dua makhluk berbeda. Meski masih memunculkan sisi itu tapi apa yang dilakukan Genndy Tartakovski masih terlalu aman. Biarpun begitu ‘Hotel Transylvania 2’ tetap bisa menjalankan tugasnya sebagai sarana hiburan keluarga yang ringan di waktu senggang.
Skor: 3/5

Friday, December 25, 2015

Resensi Buku: Pulang


Tere Liye bisa dibilang salah satu penulis ternama di Indonesia. Telah banyak karya yang ia telurkan, beberapa diantaranya juga telah diadaptasi menjadi film. Sebut saja ‘Hafalan Shalat Delisa’, ‘Bidadari-bidadari Surga’ atau ‘Moga Bunda Disayang Allah’. Saya sendiri tidak terlalu tahu tentang karya Tere Liye, karena tak satupun bukunya pernah saya baca. Walaupun (sebenarnya) namanya terasa familiar di telinga. Hingga saat saya berkunjung ke toko buku (sudah cukup lama), saya menemukan karya Tere Liye yang ternyata lumayan banyak dan cukup variatif. Saya pikir Tere Liye hanya menulis novel yang setipe dengan judul-judul yang saya sebut sebelumnya. Tidak demikian ternyata. Pasalnya, sebuah buku bersampul manusia berdasi yang memakai topeng berhidung panjang cukup menarik perhatian saya waktu itu, judulnya ‘Negeri Para Bedebah’. Sekilas, ‘Negeri Para Bedebah’ memang terlihat berbeda dengan judul diatas atau judul macam ‘Rembulan Tenggelam di Wajahmu’, ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’, ‘Senja Bersama Rosie’ dll. Mungkin hanya ‘Negeri di Ujung Tanduk’ yang sedikit mirip. Walaupun ‘Negeri Para Bedebah’ terlihat menarik, tak sekalipun saya mengambilnya walau dalam hati menginginkannya. Mungkin lain kali saja, kata saya dalam hati.
Beberapa waktu lalu, saya kembali ke toko buku yang sama. Saya pun kembali ke rak buku yang biasa memajang karya Tere Liye. Beberapa judul terasa asing karena baru pertama kali saya lihat. Seperti buku berwarna hijau dengan cover matahari terbit dalam kertas tersobek yang terpampang memenuhi separuh isi rak. Sebuah buku berjudul pendek tersebut seolah memanggil untuk diambil, dibawa pulang, kemudian dibaca. Sebuah karya terbaru berjudul satu kata dimana kata tersebut menurut saya memiliki muatan filosofis yang tinggi. Sarat akan makna dan arti. Buku tersebut berjudul ‘Pulang’.
Menurut orang-orang yang sudah akrab dengan karya Tere Liye, mayoritas judul yang dipakai akhir-akhir ini memang pendek dengan hanya memakai satu kata saja. Seperti ‘Bumi’ ‘Rindu’ ‘Bulan’ ‘Pulang’. Namun lewat ‘Pulang’ lah saya mencoba berkenalan dengan Tere Liye. Kenapa ‘Pulang’? Karena seperti yang saya bilang, kata pulang itu sendiri memiliki jutaan makna yang bisa merefleksikan hidup jiwa manusia beserta hakikatnya. Walaupun saya tak tahu ceritanya tapi saya tak ragu untuk mengambilnya. Karena judul ‘Pulang’ itu sendiri merupakan sebuah panggilan. Saya pikir, mungkin sensasi ‘Pulang’ akan sama seperti ‘Life of Pi’-nya Yan Martel yang sentimentil itu. Dengan caranya sendiri tentunya.
‘Pulang’ dibuka dengan satu hal yang sangat familiar. Berbicara tentang lima emosi dalam diri manusia: bahagia, sedih, jijik, marah dan takut. Sangat familiar buat saya karena itu adalah ‘Inside Out’. Sebuah film animasi Pixar rilisan tahun 2015 yang bercerita tentang lima emosi dalam diri manusia yang diwakili anak sebelas tahun. Setelahnya, cerita melompat ke sebuah hutan yang menyoroti kisah perburuan babi hutan. Perburuan babi hutan? Sungguh itu bukanlah yang saya harapkan dari buku ini. Hingga sampai di bagian ketiga yang memiliki subjudul ‘Shadow Economy’ saya mulai mengerti alur ‘Pulang’ akan kemana. Sayapun sadar bahwa plotnya tidak sesempit hutan dengan perburuan babi didalamnya. Plot ‘Pulang’ jauh lebih besar. Jauh lebih kompleks dari itu.
Saya senang karena Tere Liye banyak mengaitkan cerita dengan beberapa hal yang terindikasi dengan realita. Seperti lima emosi ‘Inside Out’ tadi. Kemudian yang tak kalah menarik adalah ketika dimunculkan sosok calon Presiden berkemeja putih bernomor urut dua. Walaupun Tere Liye tidak pernah mengungkap secara gamblang siapa sosok tersebut, tapi kita semua tahu itu mengarah ke siapa. Saya senyum-senyum saja membaca bagian ini. Berasa gimana gitu? Ckckck. Selain itu, saya juga senang ketika Tere Liye mendefinisikan perspektifnya tentang suara adzan (adzan shubuh kalau disini). Karena nyatanya masih banyak yang menganggap suara adzan (terutama adzan shubuh) sebagai suara yang mengganggu. Tere Liye menepis sekaligus mematahkan anggapan itu disini. Bahwasanya suara adzan yang dikumandangkan bukanlah untuk mengganggu manusia tapi justru memberi panggilan pada jiwanya.
Jika melihat judulnya, plot ‘Pulang’ hampir tidak terduga. Karena mungkin tak ada yang menyangka jika ‘Pulang’ akan membawa premis tentang dunia hitam. Dunia hitam yang dimaksud disini adalah dunianya para mafia / gangster / triad / yakuza / berandal atau sejenisnya (nih udah kayak menu nasi goreng dekat kampus saya aja, haha) yang menguasai tatanan ekonomi dan sosial dalam suatu negara. Sebuah pergerakan bawah tanah yang terorganisir, rapi, besar, tak terendus dunia luar yang berpengaruh (bahkan melebihi pemerintahan). Menjadi dalang dibalik semua peristiwa yang ada. Penggerak para boneka suruhan mereka. Sebuah dunia penuh kamuflase dibalik setelan rapi tuxedo dan dasi yang justru tak segan merenggut nyawa. Sebuah dunia yang memang terasa asing di telinga kita dan Tere Liye dengan senang hati membawa kita masuk ke dunia tersebut. Menyusuri setiap sudut gelapnya.
Dengan premis seperti itu, ‘Pulang’ tidak banyak membuang waktu bercerita melankolis dengan drama mendayu-dayu. Lebih dari itu, ‘Pulang’ menghadirkan banyak kekerasan, ketegangan, intrik, konspirasi dan adegan aksi. Tokoh utamanya adalah Bujang. Seorang pria perfeksionis dengan kecerdasan diatas rata-rata yang mampu memaksimalkan potensi otak dan fisik sama kuatnya. Seorang anti-hero. Dari kacamatanya, kita melihat dunia hitam yang perjalanannya tidak selalu mudah dan mulus. Selalu ada harga tinggi yang harus ditebus dibalik mahalnya kuasa. Selalu ada darah yang tumpah dibalik misi yang harus diemban. Selalu ada pengorbanan besar dibalik semua perjuangan meraih tujuan yang lebih besar. Semuanya terjalin rapi dalam satu ranah bernama ambisi manusia yang tak berbatas.
Sekilas, ‘Pulang’ seperti sebuah parade aksi yang menampilkan berbagai pertarungan, baku tembak dan hantam. Namun jika dilihat lebih dalam lagi, sesungguhnya ‘Pulang’ adalah tentang seorang Bujang. Seorang pria yang tengah mencari jati diri dalam sebuah krisis identitas yang dialaminya. Seorang pria yang tengah mencari solusi akibat konfrontasi dalam dirinya. Seorang pria yang harus berdamai dengan masa lalunya. Karakter Bujang yang multidimensional cukup berhasil dikulik Tere Liye. Hal ini tak lepas dari keberadaan para karakter pendukung yang turut memberi kedalaman karakter pada seorang Bujang. Meski tidak sampai kuat sekali tapi itu sudah lebih cukup untuk membuat Bujang berdiri di garda terdepan.
Kekuatan terbesar sebenarnya dalam ‘Pulang’ terletak pada caranya bertutur lewat alurnya. Dengan alur maju-mundur (campuran) yang tersusun rapi, Tere Liye berhasil mempresentasikan plot besarnya dengan baik. Seandainya saja Tere Liye memakai alur maju yang linear dan merunutkan semuanya secara sistematis, ‘Pulang’ pasti akan sangat membosankan. Pasalnya, garis besar cerita ‘Pulang’ tidak sampai menawarkan inovasi baru untuk genrenya meski masih menyajikan detail-detail menarik. Saya memang tidak terlalu akrab dengan buku tapi saya cukup akrab dengan film. Dan premis seperti ini tentu bukan barang baru dalam film. Maka dari itu alur yang ditempuh ‘Pulang’ sangat berperan besar dalam membuatnya menarik untuk dibaca. Selain juga karena gaya bahasa Tere Liye yang ramah dengan tetap menyajikan guratan-guratan penuh makna dimana bila diresapi lebih dalam akan menjadi sebuah bahan renungan. Tak heran ada banyak kalimat quotable yang potensial disukai dan dikutip pembaca.
Konklusi ‘Pulang’ memang dieksekusi dengan agak klise dalam ranah yang terbilang aman. Meski bukan satu-satunya jalan tapi bisa jadi itu adalah cara yang paling tepat untuk mengakhiri kisahnya. Setidaknya itu sudah cukup untuk mengguratkan perasaan puas dimata pembaca. Jika ada hal yang kurang maka itu adalah kedalaman emosinya. Sebuah epilog berjudul pulang pun masih belum cukup membawa sentuhan emosi yang punya impact dalam buat pembaca. Salah satu alasannya (mungkin) karena plotnya yang bercerita tentang dunia hitam yang memang kurang personal untuk kebanyakan orang. Esensi kata pulang pun tidak sesentimentil seperti yang terlintas dalam benak saya saat pertama kali melihat judul buku ini. Tapi ‘Pulang’ berhasil memberi persepsi lain tentang kata pulang itu sendiri. Bahwasanya pulang itu tidak selalu tentang kembali. Tapi pulang bisa berarti memulai lagi. Seperti matahari yang senantiasa terbit untuk kembali memulai hari.

Negeri Van Oranje (2015): Narsisme Si Negeri Kincir Angin


"Cukup satu kejadian. Cukup satu"
- Wicak -

Cukup satu kejadian kata untuk mengungkapkan kekuatan terbesar dari buku berjudul ‘Negeri van Oranje’. Menyenangkan. Itulah kata tepatnya. Buku bersampul orange yang ditulis oleh empat orang sekaligus ini memang mempunyai semua hal untuk bisa menjadi bacaan menyenangkan. Resensi bukunya pernah saya posting disini. Lalu bagaimana jika buku setebal 565 halaman ini diadaptasi menjadi sebuah gambar bergerak berdurasi 100 menit? Samakah sensasi menyenangkannya?
Buku dan film adalah dua elemen yang berbeda. Tentu keduanya tidak bisa dibandingkan satu dengan yang lainnya. Baik buku maupun film, dimata pembaca dan penonton keduanya mempunyai sisi menariknya masing-masing. Maka menjadi kurang fair ketika sebuah film yang diadaptasi dari sebuah buku selalu dibandingkan dengan sumber aslinya. Hal yang acap kali terjadi dan seringkali menimbulkan pertanyaan di benak orang. Koq beda sama yang di buku? Koq di film begini? Koq di film begitu?
Pada dasarnya, film membutuhkan beberapa perubahan yang harus dilakukan guna menyesuaikan dengan medium film itu sendiri. Maka perbedaan sudah pasti akan terjadi. Jadi tidak terlalu menjadi masalah jika menemukan beberapa perbedaan antara buku dan film. Selama garis besar ceritanya tidak melenceng jauh, maka itu adalah hal yang wajar.
Seperti yang kita tahu, premis dasar ‘Negeri van Oranje’ adalah persahabatan. Berfokus pada 5 (lima) orang mahasiswa Indonesia (Banjar, Wicak, Daus, Geri dan Lintang) yang kuliah di Belanda. Persahabatan yang terjalin tanpa kesengajaan hanya karena kesamaan nasib. Terjebak badai di Amersfoort dan sama-sama berasal dari  Indonesia. Persahabatan tanpa rencana inipun menjadi salah satu bagian penting dari hidup mereka berlima. Hingga seiring berjalannya waktu timbullah benih-benih cinta diantara tali pertemanan.
Daripada membuat kisah tentang hangatnya sebuah persahabatan di negeri orang sampai akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta dalamnya, Endri Pelita selaku sutradara ternyata lebih memfokuskan kisahnya pada siapa yang kelak akan menjadi pasangan Lintang. Seperti bermain tebak-tebakan dengan penonton. Hal ini tercium semenjak ‘Negeri van Oranje’ membuka narasinya, dimana kita melihat seorang Lintang (Tatjana Saphira) yang tengah mempersiapkan pesta pernikahannya. Setelah itu, penonton pun mulai digiring dalam permainan Endri yang mulai mengenalkan satu persatu dari keempat pria sang calon suami berikut interaksinya bersama Lintang.
Kendati sedari awal fokusnya sudah seperti itu, narasinya pun hanya berkutat dengan permainan tebak-tebakan siapa yang akan menjadi pasangan Lintang. Yang terasa adalah kisah persahabatannya sendiri menjadi kurang tergali secara dalam. Memang kisah persahabatan AAGABAN terlihat cukup menyenangkan, tapi naskahnya sendiri tidak memberikan cukup banyak ruang untuk membawa sentuhan emosional yang sejatinya akan berdampak pada emosi penonton. Dengan kata lain, naskahnya terlalu bersifat ringan kalau tidak mau dibilang lemah. Ini pula yang membuat proses yang harusnya menjadi fokus utama menjadi terasa setengah matang. Belum ditambah kisah perjuangan mereka sebagai mahasiswa rantau dinegeri orang yang hampir tak tersentuh sama sekali.
 ‘Negeri van Oranje’ mengambil lokasi syuting di lima kota di Belanda + Praha (Rep. Ceko). Sejak film ini dibuka (baik Praha maupun Belanda) sudah saling pamer keelokan Eropa. Eksploitasi keindahan sudut-sudut kota berhasil ditangkap dengan baik lewat sinematografi Yoyok Budi Santoso (walaupun sedikit over di lens flare). Jika ‘Negeri van Oranje’ dimaksudkan untuk memancing hasrat penonton untuk pergi kesana maka itu sudah sangat berhasil. Ya, siapapun pasti akan dibuat ngiler melihat keelokan Belanda dan Praha. Namun karena terlampau over pamer keindahan “luar negeri”, ‘Negeri van Oranje’ pun menjadi lupa bahwa mereka pun harus bercerita. Seperti tercipta sebuah kesan bahwa syuting diluar negeri harus selalu memaksimalkan potensi lansekapnya. Tidak salah, tapi lebih seringnya justru meminimalkan aspek cerita yang lebih penting. Dan inilah yang terjadi pada ‘Negeri van Oranje’.
Beruntung ‘Negeri van Oranje’ punya ensemble cast yang menjanjikan. Walaupun eksplorasi karakter masing-masing kurang berkembang. Tapi nama-nama macam Tatjana Saphira, Ciccho Jerikho, Arifin Putra, Abimana Aryasatya sampai Ge Pamungkas, jelas menjadi daya tarik terbesar ‘Negeri van Oranje’. Merekapun cukup berhasil membawakan setiap karakter dengan kekuatannya masing-masing. Tatjana Saphira sebagai Lintang sudah cantik, pantas bila diperebutkan. Ciccho Jerikho sudah sangat tepat memerankan karakter Geri yang perfect, yang menurukan pasaran standar ganteng orang Indonesia. Abimana Aryasatya mampu menampilkan sisi misterius Wicak yang pendiam namun meneduhkan. Arifin Putra pun bisa meninggalkan sisi cool-nya ketika berperan sebagai pria bar-bar tukang nyablak dalam diri Banjar, yang sukses berduet dengan Daus (Ge Pamungkas ) yang konyol.
Sedari awal memutuskan menonton ‘Negeri van Oranje’, saya memang tidak memasang ekspektasi tinggi untuk film ini. Saya hanya ingin menontonnya bareng teman-teman. Mencari hiburan. Senang-senang. Sudah. Kalau dibilang ‘Negeri van Oranje’ menghibur, ya menghibur. Kita bisa tertawa karena Banjar dan Daus. Penonton perempuan bisa sangat dimanjakan lewat perhatian Geri. Bisa dibuat melting lewat sosok Wicak. Penonton laki-laki, ah sudah cukup dengan melihat nama Tatjana Saphira saja. Gambar-gambar yang tersaji dilayar pun nyaman untuk ditonton. Namun satu bagian esensial film ini yang mengatasnamakan persahabatan menjadi kurang sentimentil dibenak saya. Karena ‘Negeri van Oranje’ terlalu bernarsis-narsis ria dengan set-nya, sementara narasi yang juga harus tampil sama baiknya harus menjadi korban. Naskahnya yang terlalu ringan, tidak berkembang dan terlalu bermain aman sehingga eksplorasi konfliknya terasa dangkal. Overall, masih bisa menyenangkan dan cukup layak dinikmati.