Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Tuesday, June 30, 2015

Catatan Nonton #Juni’15

Bisa dibilang, tahun ini animo menonton film saya sudah sedikit meluntur. Berbeda dengan tahun lalu dimana setiap bulannya saya bisa menonton sampai 20-an judul film (bahkan lebih) dan membuat short ataupun full review-nya disini. Tak seperti dulu, film yang bisa saya tonton setiap bulannya bisa dihitung jari. Seperti bulan ini, hanya ada empat film yang masuk post ‘Catatan Nonton’ kali ini. Edisi ke-19 dari ‘Catatan Nonton’ ini menobatkan ‘Mad Max: Fury Road’ yang dibintangi Tom Hardy dan Charlize Theron sebagai Movie Of The Month.

Cinderella (2015) (19/06/15)


Short review:
Keputusan Disney untuk tetap mempertahankan pakem cerita 'Cinderella' tetap pada koridornya adalah pilihan yang tepat. Dan ini jauh lebih baik ketimbang saat mereka mengacak-ngacak dongeng 'Sleeping Beauty' di 'Maleficent'. Beberapa detail tambahan berhasil membuat 'Cinderella' tampil lebih manusiawi tanpa harus mengorbankan esensi cerita. Ditangan Kenneth Branagh (dan tim), dongeng upik abu ini tetap memikat meski ceritanya sudah terlampau sering kita dengar. Lily James adalah alasan kenapa 'Cinderella' begitu mempesona. Wajah cantiknya seolah gambaran tepat akan sosok 'Cinderella' yang "berani" dan "baik". 'Cinderella' juga menjadi alasan kenapa diantara kita menyukai kisah fantasi happy ending. Salah satu film yang akan memberi perasaan senang sehabis menontonnya.
Skor: 4/5

Mad Max: Fury Road (2015) (23/06/15)


Short review:
Salah satu film action terbaik 2015 sejauh ini. Mengalahkan pasukan superhero Marvel yang terasa begitu biasa. Berlipat-lipat lebih hebat dari aksi kejar-kejaran Dominic Toretto dkk. Franchise yang tertidur selama kurang lebih 30 tahun ini berhasil dihidupkan kembali oleh sang empunya, George Miller. Berada ditangan yang tepat, 'Mad Max: Fury Road' kembali hadir dengan dunia dystopian post-apocalyptic yang gersang, gila dan kejam. Baik adegan aksi maupun set dunia 'Mad Max' yang dibangun tampil begitu gahar dengan polesan CGI yang tepat akurat. Sekuen aksi dan ketegangannya tetap terjaga dan semakin meningkat. Dan dimana lagi kita bisa melihat nenek-nenek bertempur dengan sangat bad-ass. Atau melihat gitaris rock gila yang terjun di medan pertempuran sambil tetap main gitar. Hanya disini!
Skor: 4,25/5

The Impossible (2012) (25/06/15)


Short review:
Sebuah drama memilukan dari bencana paling memilukan tahun 2004. Tsunami yang mengguyur pesisir Asia Tenggara. Kisah nyata yang divisualisasikan J.A. Bayona dari salah satu keluarga korban selamat dari tragedi maut tersebut. Dimainkan begitu apik oleh para pemerannya, terutama Naomi Watts. Dramatisasi tak berlebihan namun efektif sukses mengiris iba penonton. Detik demi detik kejadian tsunami berlangsung begitu mengerikan dan menguras emosi siapapun yang melihatnya.
Skor: 4/5

Speak (2004)


Short review:
Pilihan peran yang cukup berani untuk seorang Kristen Stewart, mengingat umurnya yang masih 13 tahun tapi harus memerankan peran yang sedikit lebih dewasa dari umurnya. Namun Kristen Stewart sukses memerankan karakter Melinda Sordino yang menjadi pendiam ketika kejadian tak mengenakkan di suatu malam membuatnya trauma berkepanjangan. Ekspresi serta raut wajahnya cukup mengguratkan perasaan sedih yang dialaminya pasca kejadian. Sisi coming of age-nya berhasil dituangkan disini.
Skor: 3,75/5

Thursday, June 25, 2015

Tentang Album Gigi – Mohon Ampun (2015)


Gigi is back! Ya, di bulan ramadhan kali ini mereka kembali menelurkan album religi yang memang sudah mereka lakukan sejak 2004. Album yang bertajuk “Mohon Ampun” ini memiliki 10 (sepuluh) amunisi yang siap diperdengarkan kepada seluruh khalayak khususnya buat ‘Gigi Kita’ dalam rangka menyambut bulan suci ramadhan. Dalam album ini, mereka tidak membuat lagu-lagu religi karya mereka seperti yang pernah dilakukan di “Jalan Kebenaran” dan setelahnya. Tidak pula meng-arransemen ulang lagu-lagu religi musisi lain seperti yang dilakukannya di “Raihlah Kemenangan” ataupun “Pintu Surga”. “Mohon Ampun” menawarkan satu lagu baru, dimana sisanya adalah arransemen ulang dari lagu-lagu religi sebelumnya. Jadi, mereka meng-arransemen kembali lagu-lagu yang sudah pernah mereka arransemen sebelumnya. Lantas apa yang ingin ditawarkan “Mohon Ampun’’ ini?
Dilihat sepintas dari tracklist, mungkin kita tidak akan terlalu antusias melihat album ‘‘Mohon Ampun’’. Bukan karena apa, sembilan dari sepuluh track yang ada adalah track lama yang sudah pernah mereka keluarkan. Praktis, fokus utama kita akan terpaku pada satu lagu baru berjudul ‘Mohon Ampun’ yang juga jadi singel pertama di album ini. ‘Mohon Ampun’ sendiri sebenarnya bukanlah lagu yang benar-benar baru. ‘Mohon Ampun’ adalah lagu lawas milik Vina Panduwinata yang sempat populer di era ’80-an. Dari judulnya, rasanya sudah jelas arah lagu ini akan kemana. Bercerita tentang permohonan ampun seseorang kepada Tuhan-nya atas semua masa kelam dalam hidupnya. Salah satu tema stereotype lagu religi di Indonesia.
Mohon Ampun memulai membuka album dengan riff gitar yang mengingatkan saya sama Angels & Airwaves, tanpa sound experimental tentunya. Riff gitar seperti ini memang terbilang jarang digunakan Gigi pada lagu-lagunya. Tidak hanya menambah kesan religi pada lagu tersebut, arransemen mereka kali ini juga memberi kesegaran buat musik Gigi sendiri. Ketidakhadiran Dewa Budjana dalam penggarapan album kali ini, tidak terlalu berpengaruh terhadap konsep musik Gigi secara utuh. Album yang dikerjakan selama kurang lebih tiga minggu ini tetap berada dalam jalur pop rock ala Gigi.
Perasaan kurang antusias di awal rasanya akan terpatahkan ketika mulai mengikuti semua track yang ada. Meskipun secara struktur lagu tidak berubah siginifikan dan kita pun pernah mendengarkan lagu-lagu religi yang di-arransemen Gigi sebelumnya, di album ‘‘Mohon Ampun’’, lagu-lagu tersebut tetap bernuansa baru, segar dan layak dinikmati. Seolah mendengar Gigi di awal karir religi mereka lagi.
‘Pintu Sorga’ dan ‘Perdamaian’ menurunkan sedikit unsur hard dalam sound-nya, tetapi tetap berada di jalur rock. ‘Keagungan Tuhan’ dan ‘Damai Bersamamu’ tidak berbeda jauh tetapi masih nyaman didengarkan. ‘Kota Santri’ dan ‘Ada Anak Bertanya Pada Bapanya’ masih tetap dengan unsur rock-nya. ‘Ada Anak Bertanya Pada Bapanya’ malah terasa semakin catchy dengan sound gitar ala ‘Toxicity’ (System of a Down) dibagian verse. ‘Ketika Tangan dan Kaki Berkata’ menjadi lebih intim dengan nuansa mellow gloomy-nya. ‘Kusadari (Akhirnya)’ menghilangkan unsur akustik yang sangat kental di album sebelumnya tanpa sedikitpun kehilangan sisi magis lagu ‘Akhirnya’. ‘Amnesia’ yang notabene adalah ciptaan mereka sendiri mungkin menjadi lain daripada yang lain. Karena nuansanya 1800 berbeda dengan versi sebelumnya.
Kesan membandingkan dengan versi sebelumnya rasanya tidak dapat terelakkan. Biarpun begitu, mau dibanding-bandingkanpun rasanya tidak terlalu berpengaruh. Baik versi lama maupun versi baru, semuanya memiliki kesenangannya masing-masing. Dengan kata lain, meski sama, masing-masing lagu tetap bisa berdiri sendiri. Terima kasih untuk vokal Armand Maulana yang masih tetap terjaga dan konsisten sampai saat ini.
Entah motivasi apa yang ingin dicapai Gigi pada album religinya kali ini. Dimana mereka hanya meng-arransemen ulang lagu-lagu religi lawas yang sesungguhnya sudah mereka arransemen. Buat saya, ‘‘Mohon Ampun’’ seperti semacam album remake dari Gigi sebagai grup band trendsetter lagu religi. Album ini seolah mengembalikan jati diri mereka seperti sebelumnya. Dimana jauh sebelum merilis ‘‘Raihlah Kemenangan’’, Gigi mempunyai cita-cita membuat album yang memuat lagu-lagu religi hits dimasa lalu. Karena menurut mereka, setelah Bimbo tidak ada lagi yang pernah melakukannya.
Idealisme dari cita-cita mereka sempat memudar setelah Gigi menciptakan lagu-lagu religi versi mereka sendiri yang bisa dibilang kurang memiliki kesan yang dalam. Maka dari itu, selain menjaring pendengar-pendengar muda yang baru, ‘‘Mohon Ampun’’ juga menjadi jalan untuk meneruskan cita-cita mereka sebelumnya. Dan menjadi pemanasan untuk kembali menelurkan album religi seperti halnya ‘‘Raihlah Kemenangan’’ atau ‘‘Pintu Surga’’.

Resensi Buku: Catatan Akhir Kuliah


Periode mengerjakan skripsi mungkin menjadi periode paling horor bagi para mahasiswa. Dan kadar horor menjadi semakin bertambah ketika teman-teman sejawat sudah lulus terlebih dahulu. Meninggalkan kita sendiri yang masih sibuk ngumpulin mood mengerjakan revisi. Meninggalkan kita sendiri yang masih sibuk ngumpulin keberanian menghadapi dosen pembimbing yang sudah lama tak dijumpai. Pengalaman seperti ini yang ingin dibagi Sam Maulana (@skripsit) dalam bukunya ‘Catatan Akhir Kuliah’ sebagai mahasiswa telat lulus yang skripsinya tak kunjung usai. Hampir sama lah sama saya. - saat ini -
‘Catatan Akhir Kuliah’ (yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan ‘Catatan Akhir Sekolah’) menceritakan tentang pengalaman seseorang yang minta dipanggil Sam Maulana. Menyoroti lika-liku kehidupan kuliahnya, mulai dari awal bisa masuk kuliah sampai akhirnya lulus (ya, akhirnya ia lulus juga, begitupun kita kawan, iy-yy-aa kan?). Membagi cerita tentang masa-masa galau ketika duduk di bangku kuliah. Ketika ternyata pilihan jurusannya salah, skripsinya tak selesai-selesai dan kisah cintanya yang tak pernah berakhir dengan status pacaran.
Dalam buku setebal 234 halaman ini, penulis menyajikannya dengan bahasa yang santai. Malah teramat sangat santai. Adalah hal wajar bila penulis menggunakan bahasa yang sangat santai, selain supaya lebih dekat dengan anak-anak zaman sekarang. Penggunaan bahasa ini juga untuk menghindari kesan kaku agar penulis lebih mudah mengungkapkan isi pikirannya. Maklum, skripsi itu sudah terlalu ribet dengan bahasa formalnya, maka tak perlulah buku ini menjadi kaku dan formal seperti skripsi.
Membaca ‘Catatan Akhir Kuliah’ seperti sedang berkaca pada diri sendiri. Karena bagi mayoritas mahasiswa (apalagi mahasiswa lama yang tengah mengerjakan skripsi), problematika hidupnya pasti tidak akan jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh penulis. Tak jarang pembaca pun mengiyakan dan mengangguk setuju tentang apa yang diungkap penulis disini. Baik saat menertawakan diri sendiri dalam kegalauan maupun saat beropini tentang kondisi perkuliahan dan pendidikan saat ini. Semuanya dikemas dengan ringan bersama selipan humor sekarep dewek penulis. Dominasi humornya pun tidak menutup unsur serius yang kadang dihadirkan lewat sisi yang lumayan intelek (maklum penulis sudah sarjana).
Selain sebagai sebuah lucu-lucuan, buku inipun tak lupa menyelipkan pesan motivasi yang bisa diambil dalam setiap babnya. Terutama buat para mahasiswa telat lulus agar sesegera mungkin menyelesaikan skripsinya.
‘Catatan Akhir Kuliah’ sendiri bisa dibilang sebagai kumpulan catatan harian atau memoar penulis selama ia kuliah. Pengalaman-pengalaman random-nya semasa kuliah diceritakan dengan random pula. Maka tak heran bila ‘Catatan Akhir Kuliah’ memiliki kesan tak konsisten dalam alur penceritaan (baca: loncat sini-sana). Tapi itu tidak bermasalah karena pada dasarnya buku ini memang ringan. Selama masih bisa dimengerti, itu tidak terlalu berarti.
Satu hal yang disayangkan dari ‘Catatan Akhir Kuliah’ adalah kisah cinta penulis yang coba dihadirkan disini. Sebenarnya sah-sah saja jika penulis ingin membagi kisah cintanya kepada para pembaca selama itu hanya bersifat mendukung isi cerita saja. Yang menjadi masalah adalah kisah cinta tersebut hampir merampok isi buku yang berjudul ‘Catatan Akhir Kuliah’ ini. Belum lagi saya  sudah teramat lelah dengan kisah cinta dari penulis Indonesia. Akibatnya adalah perasaan aneh dan rancu ketika di bagian akhir yang berjudul Catatan Akhir Kuliah penulis tiba-tiba menjadi motivator yang menerapkan kiat-kiat menyelesaikan skripsi. Tiba-tiba menjadi guru kehidupan yang menyampaikan petuah-petuah bijak. Hal yang sangat jauh berbeda ketika penulis membuka tulisannya pertama kali. Dengan kata lain, ada kesan tidak konsisten dalam cerita bila mengingat premis dan judulnya.
So, ‘Catatan Akhir Kuliah’ adalah buku santai dan ringan yang bisa dibaca siapapun, terutama mahasiswa telat lulus yang sedang berjuang mengerjakan skripsinya. Sebuah alternatif bacaan ketika bosan melihat BAB I PENDAHULUAN, BAB II KAJIAN PUSTAKA, BAB III METODOLOGI PENELITIAN, BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN dan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Oh ya, buku ini juga sudah diadaptasi dalam film dengan judul yang sama. Filmnya akan rilis dalam waktu dekat ini.

Tuesday, June 23, 2015

Anime Review: Assasination Classroom (2015)


Kelas 3-E adalah mimpi buruk bagi para siswa SMP Kunugigaoka. Kelas yang notabene diisi para siswa “yang terbuang” ini harus terpisah dari kemegahan sekolah. Aura depresif tergambar begitu jelas dari para siswa penghuni kelas 3-E yang bermasalah. Namun semua perlahan berubah ketika satu mahkluk berwarna kuning berwujud gurita yang entah darimana datangnya menjadi guru mereka. Makhluk yang belakangan dipanggil Koro-Sensei tersebut punya rencana ekstrim akan menghancurkan bumi dalam jangka waktu setahun ke depan. Sebelumnya ia telah sukses menghilangkan 70% bentuk bulan. Kelas 3-E mengemban misi berat untuk membunuh makhluk tersebut sebelum aksinya dapat terealisasi. Dibawah arahan guru sekaligus mentor mereka, Karashuma, mereka pun belajar menjadi pembunuh. Tentu itu semua tidak mudah, karena Koro-Sensei bukanlah makhluk biasa.
Unik. Mungkin salah satu kata yang tepat untuk mendefinisikan anime yang memulai masa penayangannya sejak 9 Januari 2015  ini. ‘Assasination Classroom’ atau dalam bahasa Jepang disebut Ansatsu Kyoushitsu memang sudah terlihat unik dari luarnya. Berlatar kehidupan sekolah, ‘Assasination Classroom’ memang tidak seperti school anime pada umumnya. Membawa setnya pada satu kelas terasing di sebuah sekolah yang diisi oleh sekumpulan siswa-siswa bermasalah mulai dari akademik, prestasi sampai sikap mereka sehari-hari. ‘Assasination Classroom’ jelas sesuai judulnya. Satu kelas yang terletak jauh didalam hutan itu dicetak menjadi kelas pembunuh. Pembunuh untuk gurunya sendiri. Guru yang dimaksud disini jelas bukan guru biasa. Ia adalah sesosok makhluk nyentrik berwarna kuning super cepat yang mesum. Yang mendedikasikan dirinya untuk mengabdi dikelas 3-E sebagai guru sebelum menuntaskan misinya menghancurkan bumi.
Koro-Sensei yang punya tawa khas ini memang menjadi tajuk utama. Sosoknya yang kelewat unik adalah faktor utamanya. Sebagai seorang guru, dia berada dalam taraf ideal sebagai seorang guru. Tidak hanya pengetahuannya yang luas, metode mengajarnya pun mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Cara mengajarnya juga sangat efektif untuk memunculkan potensi yang dimiliki masing-masing anak didiknya. Hal ini sangat terlihat dari cara ia berkomunikasi dengan siswa, mendekati siswa dan memotivasi mereka. Artificial intelligence macam Ritsu pun kena cipratan tangan dingin Koro-Sensei selaku guru. Disisi lain, Koro-Sensei sendiri hampir seperti badut dimata para muridnya. Gerak-geriknya seringkali memunculkan kebodohan-kebodohan yang tak pernah kita duga. Disitulah letak keunikannya.


Seperti halnya Koro-Sensei yang penuh warna berdasarkan emosi didalamnya, ‘Assasinantion Classroom’ pun hadir dengan berbagai ledakan setiap episodenya. Semua jenis hiburan dalam tontonan ada disini. Kita bisa melihat adegan aksi, kita bisa merasakan ketegangan, kita bisa merasakan drama penuh emosi, kita juga bisa merasakan humor yang begitu menggelitik. Tak ketinggalan pula sempilan kritik sosial yang kental terasa. Setiap episode yang memulai judul dengan “Waktunya...” ini sukses menghadirkan senyuman, ketegangan, haru, kehangatan, gregetan, bahan pemikiran sampai sajian humor penuh tawa.
Sebagai anime yang menghadirkan pelatihan membunuh sebagai premisnya, ‘Assasination Classroom’ cukup lugas dalam menghadirkan sisi tersebut. Berbagai metode tentang cara membunuh pun telah banyak diungkap. Strategi, persiapan, perencanaan, proses, antisipasi sampai memunculkan naluri serta insting membunuh dari dalam diri masing-masing. Pelatihan pembunuhan inipun perlahan tapi pasti membawa mereka pada fase pengembangan kemampuan diri. Pelatihan pembunuhan ini sendiri tidak berbeda jauh dengan pembelajaran sekolah seperti biasanya. Malah jika dilihat lebih dalam, ada visi yang mengarahkannya kesitu. Namun disamping berbicara tentang pembunuhan, sesungguhnya ada isu besar yang cukup berat yang coba diangkat disini. Isu yang terasa sangat familiar yang mungkin saja terjadi juga disekitar kita terutama terkait dengan pendidikan. Meskipun porsinya tidak terlampau besar tapi sedikit banyak hal itu membawa perenungan dan pemikiran tersendiri. Pendidikan adalah hak paling dasar yang dimiliki semua orang, tapi bagaimana jika pendidikan itu sendiri dibuat untuk melemahkan para peserta didiknya? Bagaimana jika sistem yang dianutpun turut memberi kontribusi untuk itu?
Diskriminasi menjadi isu kentara ketika kita melihat sebuah kelas yang harus terisolasi dari sekolahnya sendiri. Isu diskriminasi ini menjadi semakin pelik ketika dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pihak yang maunya menang sendiri. Kepentingan-kepentingan tertentu merekalah yang akhirnya melahirkan konspirasi besar guna mewujudkan misi membunuh harapan para siswa dengan melemahkan sikap mental mereka dari segala aspek. Sehingga dimasa depan mereka hanya akan menjadi kumpulan manusia lemah yang tak memiliki harapan. Lebih parahnya lagi, seluruh siswa SMP Kunugigaoka selain kelas 3-E di doktrin untuk membenci siswa-siswa kelas 3-E yang dianggapnya sebagai kumpulan para pecundang. Dan menjadi aib paling kotor apabila mereka harus terlempar ke kelas 3-E. Sistem pendidikan yang seperti inipun hanya akan melahirkan manusia-manusia korup yang tak bertanggung jawab dimasa depan. Profesi guru pun tak lepas dari objek satirikal-nya. Ya, pada faktanya memang masih banyak oknum guru yang kadang tak sesuai dengan keagungan profesi mereka. Pahlawan tanpa tanda jasa.


Sedikit beralih pada karakter, ada begitu banyak karakter disini yang berpotensi menghasilkan karakter kosong. Dan dalam perjalananannya, meski tidak sampai seluruhnya terekspos tetapi cukup banyak karakter yang muncul dan menciptakan moment-nya sendiri. Dengan kata lain, meski kapasitasnya berbeda-beda tapi masih ada kesan loveable dan memorable lewat kehadiran mereka. Mungkin perkembangannya tidak sampai yang taraf maksimal tetapi sudah cukup menghindarkannya dari kesan kosong tersebut. Khusus untuk Nagisa, dia memiliki peran yang cukup sentral ditengah keambiguannya.
‘Assasination Classroom’ masih memiliki banyak waktu untuk memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya di season kedua nanti. Beberapa hal yang masih sebatas sub-plot di season pertama sangat bisa dimunculkan guna memperkaya konflik dan menjawab sisi misterinya. Seperti motif Koro-Sensei yang sampai saat ini masih menjadi misteri walaupun kilatan-kilatan masa lalunya sudah sempat kita saksikan. Dan sejauh ini, ‘Assasination Classroom’ hadir sebagai salah satu dari anime paling memuaskan di tahun ini. Anime paket komplit yang tidak hanya menyajikan hiburan maksimal tapi juga memberi sentuhan emosional dan perenungan.
Skor: 8/10

Monday, June 22, 2015

Anime Review: Barakamon (2014)


“Mampu bekerja keras adalah bakat terbaik”
– Hiroshi –

Handa Seisshu boleh saja merasa dirinya berbakat dan terlahir sebagai seorang kaligrafer tulen. Namun seorang pria tua bertongkat memiliki pandangan lain tentang dirinya. Pada acara penganugerahan Eika Awards, si pria tua melontarkan kritik tajamnya kepada Handa. Menyebut kaligrafi Handa terlampau sederhana, tak berkarakter dan membosankan, membuat telinga Handa memanas. Tak terima dengan ucapan si pria tua, jiwa muda nan labil Handa meradang. Pukulan telak pun dialamatkan di wajah si pria tua yang tak berdaya. Insiden pemukulan tersebut mengharuskan Handa tinggal sementara di pulau terpencil atas perintah ayahnya.
Ada premis menarik yang ditawarkan anime yang disebut-sebut sebagai salah satu anime musim panas terbaik tahun 2014 ini. Lewat premisnya, sudah cukup jelas sekiranya mengenai tujuan apa yang ingin dicapai dan disampaikan kepada penonton. Sebagai anime bergenre Slice of Life, ‘Barakamon’ akan dipenuhi muatan-muatan moral bernilai dan inspiratif. Dalam perjalanannya, ‘Barakamon’ tidak menjadi guru penceramah yang terus menerus menjejali pelajaran-pelajaran hidup bagi penontonnya. ‘Barakamon’ justru hadir dengan unsur komedi pemancing tawa yang dihadirkan para karakternya.
Gaya hidup orang kota dan desa memang berbeda. Sedikit banyak, hal ini turut mempengaruhi karakter masyarakat kota dan desa yang juga saling bertolak belakang. Cara bersikap, berbicara dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan penduduk kota dan desa juga berbeda. Tak jarang bila seseorang melakukan urbanisasi ke kota, ia akan mewarisi karakter masyarakat kota dimana ia tinggal. Dan ketika ia kembali ke desa, ia akan dicap berbeda dan berubah oleh masyarakat desa. Begitupun sebaliknya.
Kesan individualistis erat dengan image masyarakat kota. Sementara masyarakat desa lekat dengan kebersamaan, gotong royong dan hidup bermasyarakat. Kesan mewah dan modern sangat erat di masyarakat kota. Sementara masyarakat desa sangat dekat dengan kesederhanaan dan kebersahajaan. Sikap yang berlebihan pada seorang pria tua bertongkat dianggap kurang pantas dilakukan oleh seorang anak muda seperti Handa. Maka menjadi beralasan ketika sang ayah menghijrahkannya untuk tinggal sementara di desa di pulau terpencil bernama Goto tersebut. Selain mengasah kemampuannya menulis kaligrafi, hal penting lainnya adalah merubah pribadi Handa menjadi lebih baik lewat pengalaman hidup yang didapatnya di desa. Seperti yang pernah dilakukannya waktu muda dulu.


‘Barakamon’ adalah tentang Handa Seisshu. Maka tak heran bila sepanjang 12 (dua belas) episode bergulir, karakter Handa terlihat begitu vokal dalam hal karakterisasi. Hal ini memang disengaja, karena memang itulah tujuannya. Bagaimana perubahan karakter Handa sebelum dan setelah tinggal di pulau tersebut. Biarpun begitu, dominasi karakterisasi Handa disini tidak lantas menutup peran karakter-karakter pendukungnya. Bahkan keberadaan mereka mempunyai peranan penting dalam terciptanya perkembangan karakter pada diri Handa.
Pulau Goto berhasil membawa perubahan karakter pada diri Handa. Hal-hal yang tak pernah ia sadari, yang tak pernah ia pedulikan atau yang tak pernah ia khawatirkan sewaktu hidup di Tokyo. Menjadi berarti ketika ia menjalaninya di desa. Orang-orang seperti Naru, Miwa, Hiroshi dan tokoh-tokoh unik lainnya menjadi pembeda bagi hidup Handa yang terlalu nyaman di Tokyo. Pengalaman hidup dan kejadian yang dialaminya di desa tidak hanya menjadikannya dewasa dan matang secara karakter tapi menjadikannya dewasa dalam berkarya.


Sebagai penonton, kita seolah diajak bercermin dan melihat diri masing-masing ketika melihat Handa menjalani hidup dengan segala problematikanya. Kesan inspiratif pun muncul disini. Cukup terasa juga pesan moral yang ingin disampaikan lebih mengena tanpa harus menggurui penontonnya. Berbicara komedinya, ‘Barakamon’ memang berhasil menyajikan unsur komedi yang bisa membuat tertawa. Walaupun begitu, tak jarang selipan komedinya (yang kadang terlalu over) malah terlalu bodoh dan annoying dimata saya. Ya, mungkin ini hanya masalah selera saja.
Pada setiap episodenya kita akan menemukan pola penceritaan yang sama. Bergantian kita diajak melihat hidup dari sisi yang serius kemudian dibuat tertawa lagi disisi yang hampir bersamaan. Seterusnya begitu, membuat pola penceritaan ‘Barakamon’ menjadi mudah tertebak. Karena akan ada saatnya moment insipiratif atau haru muncul. Lalu pada saat yang hampir bersamaan kita dibuat tertawa lagi oleh tingkah polah karakternya. Beruntung pengemasan cerita per episodenya cukup berbeda. Sehingga secara keseluruhan, semuanya baik-baik saja. Episode pertama adalah episode favorit saya.
Jauh sebelum episode penutup, sebenarnya kita sudah tahu dan bisa menebak apa yang akan terjadi pada diri Handa Seisshu dibagian akhir. Tapi tentu itu tidak menjadi kekurangan ‘Barakamon’ ketika kita bisa melakukannya. Karena pada dasarnya, ‘Barakamon’ memang lebih menekankan proses daripada hasil. Dan proses itu berhasil dihadirkan dengan cukup menyenangkan oleh ‘Barakamon’.
Skor: 7.5/10

Thursday, June 18, 2015

#EdisiRamadhan

Marhaban Ya Ramadhan....
Iklan sirup sudah mengudara. Shalat tarawih sudah mulai ditegakkan. Sahur sudah mulai dilaksanakan. Dan puasa sudah mulai dijalankan. Itu artinya, kita sudah memasuki bulan penuh berkah, bulan penuh ampunan, bulan paling istimewa, Bulan Ramadhan.
Sebagaimana spesial dan istimewanya bulan ini, ‘One Story, About...’ pun akan menghadirkan sesuatu yang sedikit berbeda (bisa dibilang spesial juga). Jadi, selama bulan ramadhan ini akan ada beberapa post ke depan yang saya tulis berlabel edisi ramadhan. Temanya tidak saklek cerita soal agama, hanya berupa opini-opini kecil (DAN SEPERTI BIASA: NGALOR-NGIDUL). Hanya saja, kali ini temanya agak sedikit menyentuh ranah religi (namun lebih universal). Bukan untuk apa-apa, hanya sebagai bahan refleksi dan introspeksi untuk diri yang masih awam soal agama. Sambil belajar juga. Hehe. Just for sharing.
Dan buat yang suka mengikuti blog saya (kalau ada), maka akan bertemu dengan kategori baru, bernama edisi ramadhan. Isinya? Ya, seperti yang saya bilang diatas. Just for sharing.
Oh iya, satu lagi, hampir lupa.
Selamat menunaikan ibadah puasa untuk siapapun yang menjalankannya. Semoga puasanya bisa berjalan lancar, diterima dan berpahala, sampai pada saatnya hari kemenangan tiba.
Amin.

Sunday, June 14, 2015

Resensi Buku: Dilan - Dia Adalah Dilanku Tahun 1990


Cinta dan SMA. Dua hal yang berbeda secara sifat, wujud dan rupa. Tapi jika dipersatukan akan melebur menjadi spektrum rasa bagi siapapun yang mengalaminya. Menjadikan dunia yang masih terasa abu menjadi lebih berwarna. Manis, asam dan pahit ‘cinta’ berpadu bersama gejolak muda putih-abu. Selalu mengguratkan kisah penuh memory yang tak akan habis untuk dikenang. Cinta dan SMA, siapapun berhak memilikinya. Milea, siswi asal Jakarta, baru hijrah ke Bandung. Semula, semua terasa biasa sampai seorang siswa tak dikenal menyapanya di sekolah. Berawal dari ramalan si siswa tak dikenal, hari-hari Milea menjadi tak sama lagi tanpa pernah ia duga sebelumnya.
‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’, judul yang mengawali perkenalan saya dengan buku karya Pidi Baiq (1972-2098). Pidi Baiq merupakan sosok dibalik band asal Bandung ThePanasDalam atau ia sering menyebutnya Imam Besar ThePanasDalam. Pidi Baiq sendiri sudah beberapa kali menelurkan buku dengan yang bisa dibilang ‘agak’ nyeleneh. Namun di karya yang rilis tahun 2014 lalu ini, seorang Pidi Baiq mengulik kisah cinta SMA dalam plotnya. Cukup menggelitik untuk dibaca.
Plot ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ amatlah ringan dan sederhana. Hanya berkutat soal muda-mudi yang sedang dimabuk asmara. Muda-mudi yang sedang mengagumi satu sama lain. Setting yang dihadirkan pun hanya disitu-situ saja, sekolah, rumah, kantin, jalanan, dsb. Namun bukan Pidi Baiq namanya jika tidak menyulap sesuatu sederhana menjadi berkesan. Adalah Dilan, figur yang menjadi ruh disini.
Keunggulan ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ jelas ada pada karakter Dilan itu sendiri. Dengan segala keunikan karakternya, ia berhasil menghipnotis para pembaca untuk terus mengikuti alur ceritanya. Berharap ada kenyelenehan apa lagi yang akan ia lakukan atau ia ucapkan. Pola pikirnya yang selalu out of the box mungkin jadi dambaan para lelaki untuk meraih hati wanita. Mungkin juga para pembaca perempuan juga dibuat senang atau merasa sangat digombali oleh tingkah laku Dilan yang beda dari yang lain. Mengingat ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ juga mengambil sudut pandang Milea, yang notabene ia adalah seorang perempuan.
Sosok Dilan memang sangat menarik, saking menariknya bahkan mungkin ada pembaca yang ingin menjadi seperti Dilan. Tidak salah memang, tapi apa yang saya tangkap disini adalah bahwa Dilan tidak mengajarkan pembaca untuk menjadi Dilan. Justru Dilan mengajak pembaca untuk menjadi diri sendiri. Seperti yang ia bilang dalam sebuah dialog bersama Milea, bahwasanya setiap orang itu berbeda-beda. Ada yang begini. Ada yang begitu. Tak bisa sama atau disama-samakan. Digambarkan pula bila sosok Dilan selalu seperti itu, apa adanya. Dengan kata lain, Dilan tetap jadi dirinya sendiri dimanapun ia berada. Dengan siapapun ia berbicara.
Sebenarnya, tipikal karakter seperti Dilan bukanlah karakter yang baru. Karakter yang unik, berbeda, berkesan ‘nakal’, namun cerdas dan penuh kejutan, sudah cukup sering diangkat dalam medium cerita. Entah itu di buku, film atau medium cerita lainnya. Tapi biarpun begitu, Dilan tetap punya identitas sendiri. Itu bisa dilihat dari cara ia berbicara, menelepon, memberi kado ulang tahun, membuat puisi dan berbagai hal unik lainnya (yang sudah baca pasti tahu). Dan itu semua adalah buah dari signature khas seorang Pidi Baiq.
‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ menggulirkan ceritanya dengan bahasa sehari-hari yang ringan. Paragraf demi paragraf dirangkai dengan sederhana tapi tidak menye-menye dan lebay. Membuatnya lebih mudah dicerna dan diikuti. Set waktu ’90-an juga turut membawa cerita menjadi terasa lebih nyaman. Setidaknya kita bisa membayangkan Bandung era ‘90-an yang tidak seperti Bandung sekarang. Paris van Java yang romantis.
Buat para penggemar Pidi Baiq, rasanya tidak ada alasan untuk tidak membacanya. Buat para pembaca biasa, buku ini cukup recommended (sekali baca sudah cukup). Meskipun tidak sampai bagus sekali seperti kata orang-orang (setidaknya buat saya). Ini cheesy dan cliche, tapi ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ tetap akan membawamu menyusuri kisah cinta SMA ala ‘90-an di Bandung yang sederhana tapi berbeda dengan caranya. Terlebih ‘Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990’ membawa kisah romansa pada fase yang disebut orang sebagai fase ‘pedekate’. Fase yang katanya (sesungguhnya) lebih indah bila dibanding fase ‘jadian’ atau resmi ‘pacaran’. Dan seperti yang pernah diisyaratkan Milea di suatu malam, kisah romansanya dengan Dilan akan berlanjut dibuku kedua.

Saturday, June 13, 2015

Cerita Kenakalan Zaman Sekolah

Entah kenapa saya seperti ingin bernostalgia di bulan ini. Dan entah kenapa pula ide-ide nulis di blog untuk bulan ini pun hampir sebagian besar bertema nostalgia. Jadi, buat yang suka mengikuti blog saya (kalau ada) bersiaplah untuk membaca cerita-cerita tidak penting ke depan tentang diri saya (yang juga sama tidak pentingnya).
Berbicara tentang nostalgia, kali ini saya ingin sejenak bernostalgia dengan masa-masa sekolah dulu. Lebih spesifiknya saya ingin bercerita tentang kenakalan-kenakalan khas anak sekolah yang pernah saya lakukan. FYI, saya adalah siswa baik-baik yang suka menabung. Tipikal siswa biasa-biasa saja, nggak neko-neko. Saya juga tidak nakal, hanya ingin melanggar peraturan saja.
Karena saya tidak mengalami yang namanya TK apalagi PAUD, maka cerita saya langsung saja mulai dari SD. Untuk yang tidak mau membaca silakan di-close tab browser-nya. Maklum saya bukanlah pencerita yang baik. Lagipula ceritanya juga tidak seru-seru amat. Tapi untuk yang masih mau rela menghabiskan waktu membaca post ini, saya sangat menghargainya. SUNGGUH! Oh ya, selain sekolah di SD saya juga sekolah di MD (istilahnya sekolah agama). Jadi paginya sekolah SD, siangnya sekolah MD dari jam 14.00-16.00 WIB.

– SD –
Seperti yang saya bilang diatas bahwa sebenarnya saya adalah siswa baik-baik, makanya ketika hari pertama kali masuk SD ada dua anak yang berkelahi, sayapun melerainya. Dan bukan akhir perkelahian yang didapat, justru makin menjadi-jadi. Saya yang tadinya ingin melerai, malah ikut-ikutan. Bahkan saya yang jadi korban. Ngenes.
Bolos sekolah pernah saya lakukan waktu kelas I. Pertama kali, saya berangkat dari rumah, namun tidak datang ke sekolah. Kedua kalinya, saya bilang ke orang tua saya bahwa hari itu sekolah libur, orang tua percaya-percaya saja dan akhirnya saya tidak sekolah, bolos, ujung-ujungnya main. Besoknya pas di sekolah, saya dipanggil wali kelas dan diceramahi. Setelah diceramahi (entah berapa SKS) sayapun akhirnya tersadarkan. Semenjak saat itu, saya bertekad tidak akan bolos lagi selain karena alasan yang syar’i (sakit atau izin, Katakan Tidak Pada Tanpa Keterangan!). Dan memang benar, saya tidak pernah bolos lagi. Kecuali kabur dari sekolah.
Pengalaman kabur dari sekolah adalah waktu kelas II dan itu adalah satu-satunya pengalaman saya minggat dari sekolah. Ceritanya berawal dari gosip ketidakhadiran guru dikelas, bersama komplotan anak-anak (baca: ‘nakal’), sayapun merencanakan kabur dari sekolah. Setelah melalui rapat dan penyusunan rencana yang alot, kamipun melancarkan aksi kabur dari sekolah. Dan yeah, kami berhasil! Semuanya terasa baik-baik saja buat saya sampai akhirnya dijalan, saya berpapasan dengan ibu saya. Benar, itu ibu saya yang mau berangkat ke pasar. Sontak saya langsung mengambil jurus langkah seribu. Sementara ibu saya menggumam, “Awas ya nanti di rumah!”
Ketika jam pulang sekolah sudah tiba, sayapun kembali ke rumah seolah baru pulang sekolah. Dijalan saya bertemu dengan teman sekelas yang baik karena tidak kabur seperti saya. Basa-basi sedikit, ternyata dia membawa kabar buruk. Jadi katanya, waktu disekolah, guru kelas memang tidak masuk tapi kepala sekolah masuk kelas. Dan di kolong meja, kepala sekolah menemukan kartu SPP saya (yang memang telat dikasih dari wali kelas ke saya, pantas saja waktu itu dicari tidak ada). Sontak saja beliau langsung memanggil nama saya. Ternyata saya tidak ada, lantas beliau bertanya, “kemanakah gerangan anak ini?” Tak ada yang menjawab sampai satu orang mengacungkan tangannya dan berkata, “KABUR, PAK!” Mendengar cerita itu saya mengguman, “Sial nih anak-anak! Padahal dari awal sudah di briefing jangan bilang kalau kita kabur. Eh, bilang juga. Emang nggak solider mereka.” Belum selesai sampai disitu karena teman saya juga bilang bahwa yang ketahuan kabur cuma saya. Jadi, diantara beberapa siswa yang kabur cuma saya yang ketahuan kepala sekolah. Sial. Koq bisa? Ngenes lagi.
Rupanya, saya memang ditakdirkan untuk jadi anak baik-baik saja. Buktinya, pertama kali saya kabur dari sekolah langsung ketahuan. Tidak tanggung-tanggung, ketahuannya sama ibu sendiri dan sama kepala sekolah langsung. Semenjak itu, entah kenapa suasana rumah dan sekolah menjadi begitu horor bagi saya. Untungnya itu tidak berlangsung lama. Dan setelah peristiwa itu terjadi, saya jadi trauma kabur dari sekolah. Dan benar saya tidak pernah melakukannya lagi (kecuali karena terpaksa).
Ada satu hari dimana saya terlalu cepat datang ke sekolah. Karena bingung mau ngapain, saya melancarkan ide iseng saya. Saya berangkat ke toilet untuk menuntaskan aksi. Ceritanya, saya menyimpan gayung yang sudah diisi air penuh diatas daun pintu. Pintu saya tutup tapi tidak sampai rapat karena ada gayung diatasnya. Pokoknya ada sebuah space yang mengharuskan orang yang ingin ke toilet itu untuk membuka pintu dulu. Dan otomatis ketika ada orang yang masuk dan mendorong pintu toilet itu, gayung yang sudah diisi dengan air tadi akan jatuh, airnya tumpah dan membasahi orang yang membuka pintu tersebut. Aksi saya berhasil dan menelan korban. Saya memang lumayan sering melakukan aksi ini. Namun biasanya teman-teman yang jadi korban, sekarang bukan. Kebetulan atau tidak yang jadi korban keisengan saya adalah kepala sekolah. Sejak tahu itu kepala sekolah, saya juga bertekad tidak akan melakukan aksi itu lagi. Memang saya tidak ketahuan dan untungnya tidak ketahuan. Maaf ya Pak atas kelakukan anak didikmu ini!
Oh ya, ada yang pernah ingat kalau waktu SD suka nulis nama Si A (laki-laki) terus dibawahnya gambar hati dibawahnya lagi ditulis nama si B (perempuan) (baca: A LOVE B). Pasti pernah kan? Saya  juga mengalaminya. Namun sepertinya keisengan saya lebih ekstrim. Jadi saya menulis A LOVE B itu di potongan-potongan kertas yang banyak. Setelah dirasa cukup banyak, sayapun menyuruh seorang agen untuk mengamburkannya di kelas si B. Maklum si A dan si B beda kelas. Misipun berhasil, kelas si B pun jadi kotor dan dipenuhi kertas bertuliskan A LOVE B. Saya kemudian lari. Seketika itu langsung jadi DPO (daftar pencarian orang).
Waktu kelas V, saya pernah membawa teman-teman saya bolos jam pelajaran. Sehabis pelajaran olahraga, kami memutuskan untuk main ke tempat pemandian alam, kami menamainya “Ciherang” (Ci=Cai=Air, Herang=Bening). Karena saya menjabat ketua kelas, hampir semua anak-anak ikut agenda hari itu (sampai anak-anak perempuan pun ikutan). Ya, mempengaruhi anak-anak SD memang mudah, cukup dengan bilang, “Ah, elo banci kalau kagak ikut!” atau “Kalau elo gak ikut, elo akan dijauhi seanak kelas!”
Akhirnya, yang tertinggal di kelas hanya dua siswa (laki-laki dan perempuan) yang kuat imannya. Sisanya, kami bersenang-senang di alam. Ketika jam sudah mulai siang, sekitar jam 11 kami kembali. Dan wali kelas sudah menanti untuk meluapkan emosinya. Kami semua dimarahi. Dan yang paling dimarahi adalah saya karena ketua kelas. Semenjak itu pula saya bertekad untuk tidak mau lagi menjadi ketua apapun.
Bicara kenakalan zaman SD memang banyak hal yang dilakukan, mulai dari membuat kesal guru, memecahkan jendela kelas karena main bola, merusak peta dunia yang baru dibeli, coret-coret meja, kursi, tembok, dan masih banyak lagi. Saya bahkan pernah dipukul pakai gasper sampai berdarah, karena mungkin saya terlalu ribut saat itu. Tak senang dengan kelakuan saya, ketua seksi keamanan yang adalah anak perempuan langsung memukul saya tak ampun tanpa saya sadari. Dan hasilnya kepala saya berdarah. Ngenes kesekian kalinya.
Kehidupan sekolah rasanya memang kurang seru kalau kita lurus-lurus saja. Di SD pula (tepatnya kelas III) saya iseng coba-coba isep rokok. Tapi buat ade-ade yang masih SD perbuatan-perbuatan diatas sebaiknya jangan ditiru. Mending belajar yang rajin biar pintar.
Biarpun begitu, sesungguhnya (saya merasa) apa yang saya lakukan saat itu tidak nakal-nakal amat. Masih wajarlah untuk ukuran anak SD (mungkin). Di sekolah, saya juga termasuk anak yang lumayan prestasinya. Setiap tahun selalu masuk ranking 10 besar (dari bawah). Selain itu, saya juga terkenal sebagai pujangga yang suka dapat orderan nulis surat cinta dari teman-teman. Jadi, buat anak-anak perempuan yang pernah dapat surat cinta dari anak-anak laki-laki kelas saya waktu SD dulu, itu saya lho yang nulis. FYI aja, hehe.
Zaman SD memang seru. Banyak cerita yang tak terhitung jumlahnya. Takkan cukup bila ditulis semua disini. Saat dimana semua baru belajar mengenal sebagian kecil dari dunia ini. Saat dimana semua tak tahu apa-apa, maka wajar bila terlalu cepat marah. Pernah saling bermusuhan. Pernah saling marah-marahan tapi entah kenapa selalu menemukan cara untuk bersatu kembali. Kenakalan-kenakalan zaman dulu biarlah jadi kisah klasik untuk masa depan. Seperti yang pernah saya nyanyikan didepan kelas dulu.

– SMP –
Selepas lulus SD, saya melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, SMP. FYI, saya sesungguhnya tidak bersekolah di SMP melainkan di MTs, tapi itu tidak akan terlalu menjadi masalah karena toh keduanya ada dalam tingkatan yang sama.
Di tingkatan SMP, saya tidak seperti SD lagi. Tidak terlalu banyak kenakalan yang saya lakukan. Karena memang pada dasarnya saya adalah baik-baik. Pendiam dan rajin menabung. Ngarep. Meskipun waktu di kelas VII masih suka teriak-teriak di kelas. Pernah nampar teman sekelas juga. Tapi selebihnya ya normal-normal saja. Ya adapun semacam terlambat datang ke sekolah, lupa pakai atribut sekolah, atau kena razia rambut, itu bukan terlalu menjadi masalah. Lagipula saya tidak terlalu sering melakukannya. Saat itu.
Alasan saya tidak seperti waktu SD lagi karena disini saya mulai mengenal namanya organisasi. Saya cukup aktif waktu itu. Dan sering ikut dengan kegiatan-kegiatan yang ada disekolah. Namun menjelang kelas VIII akhir, saya jadi lebih sering memberontak di organisasi. Dan jadi penentang para pembina di kegiatan ekskul sekolah. Saya bersama satu teman saya adalah provokatornya. Otak dibalik pemberontakan tadi. Hasilnya adalah di kelas IX, saya dan teman saya tadi dinonaktifkan dan seolah tidak dianggap sama ekskul-ekskul yang ada. Mungkin pembinanya dendam sama saya. Hehe. Maaf ya kakak!
Di umur SMP ini, saya juga kenal namanya gitar dan ngeband. Saya sering main keduanya. Bahkan saking addict-nya sama ngeband, saya pernah dimarahi oleh wakil kepala sekolah dan guru matematika. Ceritanya, waktu malam takbiran (entah lebaran kapan) didaerah saya ada kumpulan pemuda yang ngadain acara band-band-an. Saya dan teman saya tadi tanpa pikir panjang lagi langsung ikut tampil disitu. Maklum dulu masih gila tampil. Setelah perform, muncul masalah dan ketua RT setempat meminta untuk mengakhiri pertunjukkan. Karena kegiatan ngeband tersebut dianggap tidak menghormati suasana malam takbiran. Iya juga sih. Emang bener.
Setelahnya, semua baik-baik saja. Sampai akhirnya waktu masuk sekolah tiba sehabis libur lebaran. Dan disitulah, hari itu pula, saya dan teman saya tadi langsung dipanggil oleh wakil kepala sekolah, dimarahi, diberi peringatan, diceramahi, entah satu atau dua jam pelajaran penuh. Kami berdua pun minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Saya pikir saat itu penghukuman sudah selesai. Hingga tiba pelajaran matematika.
Guru matematika saya waktu kelas IX memang cukup blak-blakan dalam bicara. Dan ternyata diapun mendengar kabar bahwa saya dan teman saya malah asyik-asyik ngeband pada saat malam takbiran. Sontak hari itu pula, hari pertama setelah libur lebaran, hari dimana masih ada suasana halal bihalal disekolah. Tapi tidak buat kami berdua. Kalimat pertama yang terlontar dari mulut guru matematika itu bukanlah membahas tentang libur lebaran, halal bihalal atau apapun. Melainkan, dengan nada keras, dia berkata, “ada dua anak dikelas ini yang telah membuat malu sekolah”. Guru tersebut tidak menyebut nama tapi kami berdua sadar benar bahwa yang dimaksud adalah saya dan teman saya yang kebetulan satu meja. Dan satu jam pelajaran tersebut digunakan guru matematika tadi untuk menyindir kami dan kelakuan kami waktu malam takbiran. Dan sindiran bernada amarah tadi memang lumayan membuat panas telinga kami sampai seisi kelas terdiam. Kami benar-benar dibuat malu oleh guru tersebut. Sampai saya tertunduk, dengan lantang dan marah dia bilang, “TUNGKUL SIA, LAH!” (bahasa sunda).

– SMA –
Waktu SMA, bisa dibilang saya jadi lebih pendiam dan insecure dibanding SMP, apalagi SD. Saya tidak merencanakan untuk itu, tapi rasanya memang seperti itu. Terkesan lebih cool (diem), cuek dan misterius dari sebelumnya. Teman-teman di Kelas X juga memanggil saya “Si Cool” (baca: co’ol, bukan: kul). Entah karena apa. Tapi tidak ada maksud meniru Rangga AADC juga, karena memang tidak ada maksud kesana. Walaupun semasa SMA saya suka bersyair sendiri, mengucapkan quote-qoute yang menurut saya keren (dan ternyata dianggap aneh dikalangan mayoritas teman), sering coret-coret dengan kata-kata yang menurut saya juga keren, sering membuat lagu, sering berfilosofi sendiri. Jelas saya berbeda dengan Rangga AADC. Bagai langit dan bumi. Rangga itu langit, saya itu bumi yang sudah masuk ke dalam-dalamnya. Jauh sekali. Ya, begitulah kira-kira.
Bicara kenakalan zaman SMA, tidak ada yang terlalu spesial, semuanya standar-standar saja. Saya sering terlambat datang ke sekolah dan dapat catatan merah karena itu. Sering juga dihukum karena itu, ya push up lah, scot-jump lah, sampai lari keliling lapangan basket. Gara-gara itu pula saya sering bolos jam pelajaran pertama. Saking seringnya datang terlambat, saya pernah disuruh pindah sekolah sama wakil kepala sekolah.
Selain terlambat, saya juga adalah salah satu anak yang sering jadi incaran waktu ada razia rambut. Sering pakai aksesoris gelang juga. Rambut saya yang agak tebal memang terkesan dan terlihat godrong dimata guru-guru. Padahal memang beneran gondrong. Tak aneh bila saya tak pernah absen untuk dipotong gratis dengan gaya rambut tak karuan ala guru-guru perazia. Saking bosannya dengan hal itu, saya pernah ngumpet diruang ganti pakaian perempuan karena tak rela rambut ini dipotong guru lagi. Saat itu cukup berhasil, walaupun pada kesempatan lainnya, akhirnya kena juga. Apes. Ngenes lagi.
Selain terlambat dan suka kena razia, saya juga cukup sering nyeker disekolah karena ‘bandel’ tidak mau pakai sepatu warna hitam. Dan sepatu warna putih saya selalu parkir diruang wakil kepala sekolah, bahkan sampai berhari-hari. Tak jarang saya pulang tanpa alas kaki, membuat ibu saya naik darah. Ampuni anakmu ini, Bu!
Bicara tentang kenakalan zaman sekolah, saya memang lebih banyak melanggar peraturan sekolah dibanding melakukan kenakalan-kenakalan yang macam-macam. Salah satu hal yang saya langgar adalah tata cara berpakaian, baju saya sering sekali tidak dimasukkan ke celana. Dan entah saya terlampu kreatif atau apa, baju seragam saya amatlah berbeda dengan seragam anak lainnya. Model seragam saya berbeda sekali dengan yang seharusnya. Desain seragamnya, kemeja casual. Atribut sekolah bisa pasang, bisa dilepas, bebas tergantung situasi dan kondisi. Untung saja untuk yang satu ini, saya pandai sekali ngeles hingga tidak terlalu menjadi masalah.
Dipenghujung SMA tepatnya kelas XII, di semester pertama saya lumayan sering bolos jam pelajaran dan nongkrong di warung. Hal yang jarang saya lakukan waktu kelas X atau XI. Di kelas XII itu pula saya sering kali melakukan hal-hal yang tidak-tidak, seperti membuat gambar yang tidak pantas, yang saya sebar ke meja teman-teman yang kemudian mengundang keributan dan mengakibatkan penghapus melayang dilempar guru sejarah. Dikelas XII saya waktu itu, ada kasus yang hubungannya dengan minuman. Untung saya tidak ikutan-ikutan, maaf biarpun sering sekali banyak peraturan sekolah saya langgar, tapi untuk urusan minum-minum begitu, saya tidak pernah. Jangankan minum, merokok pun saya tidak. Tsah!
Terlepas dari seringnya peraturan sekolah yang saya langgar. Saya teringat ternyata saya pernah jadi orang paling menyebalkan waktu SMA. Lebih tepatnya waktu saya jadi anggota baru ekskul sekolah yang ada hubungannya dengan kesehatan. Ya, saya benar-benar jadi orang paling menyebalkan disana, saat itu, entah untuk teman-teman, terlebih buat para senior. Saya juga tidak mengerti, tapi saya akui saat ini bahwa saat itu saya agak sedikit sombong menyikapi sandiwara pelantikan yang suka menghadirkan drama penuh emosi yang menurut saya saat itu tidak berguna. Di ekskul itu pula saya sering melanggar peraturan senior. Sering membuat naik pitam para senior. Suka menantang senior. Intinya saya benar-benar menyebalkan. Bahkan saya sendiri pun akan kesal melihat kelakuan orang seperti saya waktu itu. Terlebih saya selalu memasang muka innocent seakan tidak terjadi apa-apa. Senyum-senyum cengengesan pula. Parahnya lagi ada dua teman saya ketiban sial karena harus bergaul dengan orang berdunia suram seperti saya. Akhirnya mereka berdua jadi ikut terbawa dengan apa yang saya lakukan. Bahkan gara-gara kelakuan kami yang sudah tidak dapat ditolelir lagi, kami bertiga sempat disidang oleh semua anggota eskul tersebut. Kami adalah terdakwa. Dan sempat-sempatnya pula waktu disidang, dengan wajah innocent, saya senyum-senyum. Padahal seluruh anggota sudah diliputi amarah. Dalam hati, mereka mungkin bilang, “Tuh orang gak punya malu kali ya?”
Kalau boleh jujur saya sebenarnya suka merasa bersalah jikalau mengingat masa-masa itu. Tsah. Maka dari itu, saya mau minta maaf sama senior atau siapapun di ekskul yang dulu pernah dibuat kesal sama kelakuan saya. Dan saya tahu ada senior dari ekskul lain yang benar-benar kesal setengah mati sama saya. Maaf ya kakak! Buat semuanya juga, maaf. Hehe. Maklum, kesombongan di masa muda memang indah adanya.
Dan selebihnya semua biasa-biasa saja.
Berbicara kenakalan zaman sekolah, semua orang tentu punya cerita sendiri-sendiri. Entah itu SD, SMP atau SMA. Kenakalan-kenakalan yang dilakukannya pun berbeda-beda. Dan saya merasa hal-hal yang saya lakukan masih tergolong kenakalan sekolah yang wajar. Atau mungkin apa yang saya lakukan tidak masuk kategori nakal. Syukurlah #ngarep. Ya, melanggar-melanggar peraturan sekolah sedikit mah tidak terlalu masalah. Asal jangan terlalu berlebihan. Selama masih dalam batas koridor yang ditolelir. Karena kehidupan sekolah lurus-lurus aja kurang seru juga. Lagipula, seperti yang saya bilang sebelumnya, saya tidaklah nakal, hanya ingin melanggar peraturan. Itu saja. Sudah. Tak lebih.
Ah, ngomongin sekolah jadi kangen. Kangen saat-saat itu. Kangen sama semua teman-teman. (Pada kemana aja sekarang? Kapan nih ngumpul-ngumpul lagi?) Kangen sama guru-gurunya. Kangen coretan cerita yang terukir saat masih ada dalam balutan putih-merah, putih-biru dan putih-abu. Kangen masa itu.

Dan salam buat semua sahabat, teman, kawan, dan rekan seangkatan di:
SDN Kasturi (especially for SDN Kasturi III), kelas A MD PUI Kasturi, MTs PUI Kasturi dan SMA N I Talaga.

Friday, June 5, 2015

Pertanyaan ‘Penting Gak Penting’ yang Jadi Bahan Pikiran Waktu Kecil

Masa kecil adalah masa paling indah dalam fase kehidupan manusia. Fase dimana manusia bebas melakukan apapun yang dia mau. Fase dimana dunia memaklumi semua hal yang dilakukannya. Fase dimana setiap harinya adalah tentang kesenangan, tanpa sedikitpun terbebani pikiran tentang bagaimana hari esok kelak. Benar-benar indah. Terkadang (seringnya), saya merindukan masa-masa itu. Namun sayang, masa itu tak akan pernah kembali lagi.
Seperti telah diungkapkan diatas bahwa anak kecil itu bebas melakukan apa saja. Tanpa adanya rasa terkekang. Tentu kata bebas ini tidak menunjuk pada semua hal, melainkan pada hal-hal yang memang wajar dilakukan anak kecil saja. Salah satu dari sekian kebebasan bereskplorasi dari anak kecil adalah bertanya. Sifat anak kecil yang memang serba ingin tahu pada semua hal membuat seorang anak kecil melontarkan pertanyaan yang tiada henti bahkan beberapa malah terkesan aneh. Maklum saja, namanya juga anak-anak, baru sedikit melihat dunia.
Seperti anak-anak kecil pada umumnya, sayapun juga mempunyai pertanyaan-pertanyaan yang mungkin agak sedikit aneh. Pertanyaan-pertanyaan yang saat itu tak pernah saya temukan jawabannya. Mungkin juga sampai sekarang. Hanya saja bedanya, kalau waktu kecil saya ingin sekali mendapat jawaban yang pasti, maka untuk sekarang saya lebih memilih menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena memang ide tentang sebuah kehidupan adalah sebuah pertanyaan tanpa ujung. Dan benar adanya jika di kehidupan ini terdapat lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Sejenak mengingat memory waktu kecil dulu. Kali ini saya ingin kembali mengungkapkan beberapa pertanyaan yang dulu sempat terlintas dibenak dan menjadi bahan pikiran tersendiri. Mungkin isinya terkesan aneh dan tidak penting. Karena begitulah pola pikir anak kecil yang (hanya) sekedar ingin tahu.

Kenapa jalannya pertandingan sepak bola tak pernah sama?
Waktu kecil, saya hobi sekali main sepak bola. Dan tak seharipun terlewati untuk main sepak bola. Namun terkadang saya suka berpikir sesuatu tentang sepak bola. Bukan tentang pemain, teknik atau peraturannya. Yang saya pikirkan adalah kenapa jalannya pertandingan sepak bola tak pernah ada yang sama antara pertandingan yang satu dengan yang lainnya?
Saya berpikir bahwa begitu banyaknya pertandingan sepak bola yang terjadi dibelahan bumi ini. Entah itu pertandingan resmi ataupun bukan. Dan saking banyaknya pertandingan yang digelar, membuat jumlahnya tidak terhitung. Namun tak satupun terceritakan ada dua (saja) pertandingan yang sama (benar-benar sama). Faktanya memang demikian. Walaupun pertandingan dilakukan oleh tim yang sama, para pemainnya sama, tempatnya juga sama. Walaupun semua pertandingan memulai permainan dengan operan bola ditengah lapangan. Namun pada akhirnya, detik-detik setelah itu, laju sikulit bundar tidak pernah sama dengan pertandingan lainnya. Jalannya pertandingan memang tidak pernah sama satu dengan yang lainnya. Selalu menawarkan perbedaan.
Pertanyaan-pertanyaan ini juga berlaku buat berbagai permainan lainnya, catur misalnya. Ya, hanya dengan papan segede itu ternyata tidak ada satupun jalan permainan yang sama. Ini juga berlaku buat lagu, dengan hanya 7 + 5 nada saja tak ada satu lagupun didunia yang ini benar-benar sama.

Siapa yang membuat jalan?
Tentang pertanyaan ini, saya tidak berbicara tentang jalan raya. Tapi yang saya pikirkan adalah siapa yang membuat jalan-jalan sekunder beraspal sampai ke pelosok-pelosok, sampai ke daerah-daerah tinggi. Ditambah ternyata jalanan itu bisa nyambung dengan jalanan dari daerah lain. Saya juga sempat menanyakan pertanyaan siapa yang membuat jalan? ini pada seseorang, yang dijawab dengan enteng, Jend. W. Daendels. Memang benar pada masa penjajahan, Daendels sempat membuat jalan dari Anyer sampai Panarukan dengan menerapkan sistem kerja rodi bagi para pekerjanya yaitu kaum pribumi. Tapi bukan itu yang saya maksud Pak! Itu mah saya juga tahu!

Kenapa sepetak tanah bisa dimiliki atas nama pribadi, pemerintah dsb?
Dan ini juga yang membuat saya bingung, sepetak tanah bisa dimiliki atas nama si A, si B, dsb atau dimiliki pemerintah. Padahal yang saya pikirkan, dari mulai Nabi Adam as turun ke dunia, semua tanah ini bebas, tidak yang memilikinya. Lalu dari semenjak kapan dan siapa yang memulai mengklaim bahwa tanah ini adalah kepunyaan si A, B, pemerintah, dsb. Dan siapa pula yang pertama kali mencetuskan adanya surat tanah?

Kenapa negara kita tidak membuat uang yang banyak untuk membayar hutangnya?
Saya cukup sering mendengar slentingan tentang kondisi negara kita yang (katanya) banyak hutangnya. Yang terlintas dipikiran saya adalah bahwa Indonesia punya bank. Dan bank yang membuat uang. Lalu kenapa bank tidak membuat uang saja sebanyak-banyaknya. Lalu lunasi hutang-hutang yang ada. Beres. Sesederhana itu ternyata pikiran saya.

Kenapa bahasa bisa sangat beragam dan berbeda masing-masing tempat?
Saya tahu bahwa bahasa ini sangat banyak didunia. Jangankan didunia, di Indonesiapun sudah sangat beragam bahasa di berbagai daerah. Yang menjadi bahan pikiran adalah kenapa bisa bahasa itu ada dan dimengerti manusia. Siapa yang pertama kali mengajari bahasa bagi manusia? Kenapa bahasa itu bisa berbeda-beda di masing-masing tempat? Kenapa bahasa yang kita sebut bahasa Inggris itu seperti itu, dan kenapa bahasa yang kita sebut sebagai bahasa Indonesia seperti ini? Bagaimana jika bahasa Indonesia itu bahasa Inggris atau sebaliknya?
Tidak hanya tentang bahasanya saja, dalam setiap ‘kata’ pun saya suka berpikir. Contoh, kenapa benda yang sekarang kita sebut sebagai kursi disebut kursi? Bagaimana jika benda yang sekarang kita sebut kursi itu pada awalnya disebut meja? Apakah jika demikian pada akhirnya kita menyebut benda yang sekarang disebut kursi sebagai meja? Kalau ada yang mau jawab karena nggak enak kedengarannya, mending jangan dijawab.
Jadi begitu kira-kira yang saya pikirkan tentang bahasa. Kenapa ya benda A disebut sebagai A dan B sebagai B? Bagaimana jika itu dibalik?
***
Itulah beberapa dari sekian pertanyaan yang dulu sering sekali jadi bahan pikiran waktu kecil. Sebenarnya masih banyak pertanyaan lain yang tak kalah aneh dan tidak pentingnya. Namun kalau saya tulis semua disini, post ini akan menjadi cerewet dengan pertanyaan-pertanyaan absurd kekanakan. Dan rasanya semua orang juga pernah mengalami seperti hal yang saya alami. Melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh. Seperti dimanakah Tuhan berada? Atau bagaimana wujud Tuhan?