Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Monday, February 29, 2016

Catatan Nonton #Februari’16

Sebelum memasuki menu utama Catatan Nonton kali ini, beberapa jam yang lalu telah dihelat ajang bergengsi bagi insan perfilman dunia yakni pagelaran Oscar ke-88 yang mungkin menjadi gelaran Oscar paling istimewa bagi seorang Leonardo di Caprio. Karena akhirnya, setelah sekian lama, Leo dapat Oscar juga! Hahaha. Hal yang paling mengejutkan dalam Oscar kali ini adalah kemenangan ‘Spotlight’ pada kategori Best Picture mengalahkan favorit pemirsa, ‘The Revenant’. Dicap sebagai kuda hitam paling kuat, ‘Spotlight’ sukses memberi kejutan di kategori ini, walaupun saya sangat berharap bahwa ‘Room’ yang akan menang. Tapi biarpun begitu saya masih senang karena Alicia Vikander menang sebagai aktris pendukung terbaik lewat film ‘The Danish Girl’. She's my favorite. Beberapa kategori juga memunculkan pemenang yang sesuai prediksi seperti Best Actress: Brie Larson (Room), Best Animated Feature: Inside Out dan Best Director: Alejandro G. Inarritu (The Revenant) yang menandai 2 (dua) kemenangan berturut-turut Inarritu di kategori ini. Selamat buat ‘Mad Max: Fury Road’ yang menang banyak dengan meraih 6 (enam) piala. Dan untuk lebih jelasnya, berikut daftar lengkap peraih piala Oscar ke-88 tahun 2016.  

Best Picture: Spotlight
Best Director: Alejandro G. Inarritu (The Revenant)
Best Actor: Leonardo DiCaprio (The Revenant)
Best Actress: Brie Larson (Room)
Best Supporting Actor: Mark Rylance (Bridge of Spies)
Best Supporting Actress: Alicia Vikander (The Danish Girl)
Best Adapted Screenplay: The Big Short
Best Original Screenplay: Spotlight
Best Cinematography: The Revenant
Best Costume Design: Mad Max: Fury Road
Best Film Editing: Mad Max: Fury Road
Best Makeup and Hairstyling: Mad Max: Fury Road
Best Original Score: The Hateful Eight
Best Original Song: Writings on the Wall – Sam Smith (Spectre)
Best Production Design: Mad Max: Fury Road
Best Sound Editing: Mad Max: Fury Road
Best Sound Mixing: Mad Max: Fury Road
Best Visual Effects: Ex Machina: Fury Road
Best Animated Feature Film: Inside Out
Best Foreign Language Film: Son of Saul
Best Documentary Feature: Amy
Best Documentary Short Subject: A Girl in the River: The Price of Forgiveness
Best Animated Short Film: Bear Story
Best Live Action Short Film: Stutterer

Dan berikut menu utama Catatan Nonton edisi ke-26, berisi kumpulan review pendek dari film yang saya tonton selama sebulan yang menobatkan ‘Room’ sebagai Movie of the Month kali ini. So, check this out!

The Good Dinosaur (2015) (06/02/16)

Short review:
Untuk pertama kalinya Pixar merilis dua filmnya dalam satu tahun. Meski begitu, prestasi kedua filmnya tidak sama satu sama lain. Jika film pertamanya yang bercerita tentang lima emosi manusia, ‘Inside Out’ banyak menuai pujian dan perolehan box office yang besar. Hal berbeda justru dialami sang adik ‘The Good Dinosaur’. Melihat judulnya, premis besarnya sudah bisa ditebak akan ke arah mana. Dan ketika mulai menggulirkan kisahnya, ‘The Good Dinosaur’ seperti terlalu sederhana dan klise. Garis besarnya, bisa dibilang perpaduan antara ‘The Lion King’ dan ‘Finding Nemo’. Tidak hanya itu, karena kenyataan bahwa ‘The Good Dinosaur’ dirilis setelah ‘Inside Out’ membawa dampak yang kurang baik juga. Walau begitu, ‘The Good Dinosaur’ masih menyisakan apresiasi lebih lewat kualitas animasinya yang harus diakui menjadi salah satu yang terbaik di genrenya.
Skor: 3/5

The Gift (2015) (11/02/16)

Short review:
Debut Joel Edgerton yang ini memang layak diberi pujian. Bagaimana tidak, ‘The Gift’ sukses menjadi sajian drama thriller yang menegangkan dan membuat tak nyaman tanpa harus melibatkan darah. ‘The Gift’ bergerak sebagaimana sebuah film yang mengambil tema home invasion, dan di tangan Edgerton, ‘The Gift’ menjadi kisah home invasion yang tak seperti biasanya. Seorang teman lama hadir ditengah-tengah biduk rumah tangga Simon dan Robyn, mengusik ketenangan pasangan tersebut. Ada misteri besar yang menyelimuti ketiga karakter tersebut. Dan Edgerton sanggup mempermainkan emosi dan psikis penonton tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dan lebih dari itu, kita sadar bahwa bullying apapun bentuknya (fisik, verbal, dsb), apapun alasannya (becanda, iseng, dsb) bukanlah suatu hal yang pantas untuk dibenarkan.
Skor: 3,75/5

The Lobster (2015) (14/02/16)

Short review:
‘The Lobster’ itu aneh. Semua aspek di film ini aneh. Mulai dari tema, plot, latar, karakter, sampai cara para karakter mengucapkan dialognya pun terasa aneh. Melihat segala keanehannya, mungkin film ini bukanlah film yang bisa dinikmati semua orang. Tapi justru saya sangat menyukai dan menikmatinya. Teramat sangat malah. Keanehan yang ada disini merupakan efek penyutradaraan Yorgos Lanthimos yang memang agak nyentrik. ‘The Lobster’ menyoroti kisah tentang para kaum jomblo yang mencoba mencari pasangan. Mungkin juga kehadiran ‘The Lobster’ ini akan menjadi semacam momok bagi kaum jomblo. Namun bila ditarik garis besarnya, lebih dari itu, ada observasi mendalam tentang cinta dan pencarian tentang cinta itu sendiri. Hanya perspektifnya saja yang diambil sedikit berbeda oleh Yorgos. Hadir pula selipan komedi hitam yang terasa begitu satir dan mengundang tawa kenyinyiran.
Skor: 4,25/5

Spotlight (2015) (14/02/16)

Short review:
Kegelapan yang berhasil ditutup-tutupi dibawah payung agama selama kurang lebih tiga puluh tahun berhasil diungkap oleh tim wartawan khusus The Boston Globe, Spotlight. Peristiwa ini merupakan peristiwa besar yang menggemparkan dunia dan dianggap sebagai sebuah kejahatan tingkat tinggi yang pernah terjadi. Ya, bagaimana tidak, sebuah skandal keji pelecehan seksual yang melibatkan anak-anak oleh para aparatur keagamaan tidak terendus sama sekali. Dan bagaimana pihak gereja lewat pengaruhnya menutupi segala kebobrokan topengnya. ‘Spotlight’ menghadirkan sebuah studi investigasi jurnalistik yang bagus di penyutradaraan, narasi dan penampilan cast-nya. Yang akan membuat kita marah dan kesal dengan apa yang terjadi. Bisa-bisanya hal sekeji itu ditutup-tutupi begitu lama oleh semua orang. Sebobrok itukah para manusia?
Skor: 4,25/5

Creed (2015) (15/02/16)

Short review:
Olahraga tinju seperti mendapat tempat terhormat di ranah film. Karena entah sudah berapa banyak film yang mengangkat tinju sebagai penggerak alurnya. Saking banyaknya, timbullah sebuah kesan lewat formula yang hampir pasti jadi menunya. Menang dramatis atau kalah terhormat. Sudah begitu kental dengan nuansa olahraga. Lalu apa lagi yang akan ditawarkan Ryan Coggler lewat ‘Creed’? Tampilan luar ‘Creed’ memang tak berbeda dengan film-film sejenis. Namun dengan narasi yang melibatkan salah satu franchise tinju paling terkenal, ‘Rocky’, ‘Creed’ terasa punya keistimewaan tersendiri. Karena ‘Creed’ seolah meneruskan estafet ‘Rocky’ yang sempat dikira tak akan hidup kembali. Relasi kedua karakter lintas generasinya menjadi poin penting yang membuat ‘Creed’ memiliki emosi lain dibanding film sejenis. Belum lagi, Coggler sukses menyuntikkan adegan final fight beroktan tinggi, seolah kita benar-benar menyaksikan pertarungan tinju yang sebenarnya secara langsung.
Skor: 4/5

Room (2015) (18/02/16)

Short review:
Yang terbaik dari ‘Room’ adalah.... SEMUANYA! OF COURSE! YOU MUST WATCH! BEFORE YOU DIE! Sebuah ruangan sempit yang sanggup memberi pengalaman menonton luar biasa. Begitu banyak film dengan konsep dan plot yang unik, tapi ‘Room’ tetap akan menjelma menjadi sebuah film yang hinggap lama dihati. Tak akan pernah mudah untuk dilupakan. Memang tak ada satu hal pun yang sempurna, begitu pula dengan ‘Room’. Namun biar bagaimanapun, saya suka dan cinta sekali dengan film ini. Jadi salah satu favorit juga. Terima kasih Lenny Abrahamson, untuk penyutradaraannya. Terima kasih Emma Donoghue, untuk ceritanya. Dan pastinya, duet Brie Larsson – Jacob Tremblay yang paling juara.
Skor: 5/5

The Danish Girl (2015) (19/02/16)

Short review:
Serius! Kalau bukan karena Alicia Vikander, saya nggak bakalan nonton film ini. Tema LGBT memang (mungkin) menjadi alasannya. Bukan apa, akhir-akhir ini, LGBT dan segala tektek bengeknya yang semakin booming ini seringkali membuat saya resah. Oleh karena itu, sempat agak ragu juga untuk menonton ‘The Danish Girl’. Tapi karena ada Alicia Vikander, saya pun membuat pengecualian. Dengan kata lain, saya menonton ‘The Danish Girl’ hanya untuk melihat Alicia Vikander doang. Beruntung, dia masih tetap terlihat cantik. Mainnya juga bagus. Keren. Tapi sialan nih si Eddie Redmayne, bisa-bisanya membuat Alicia Vikander menangis. Nggak tega lihatnya. Haha. Dan entah kenapa, saya nggak rela Alicia Vikander melakukan adegan telanjang disini. Damn you! Tom Hooper! Saya suka paruh pertama ‘The Danish Girl’ yang menyoroti kisah manis-romantis pasangan suami istri Einar-Gerda. Tentunya sebelum kehadiran si Lili itu. Berasa pengen jadi suami Gerda. Wkwkwk.
Skor: 3,5/5

Thursday, February 18, 2016

Anime Review: Shiki


‘Shiki’ yang rilis tahun 2010 ini merupakan seri anime bergenre horor berjumlah 22 episode yang diadaptasi dari grafik novel karya Fuyumi Ono. ‘Shiki’ atau dalam versi Inggris disebut juga ‘Corpse Demon’ bercerita tentang sebuah desa kecil yang tenang dan damai namun perlahan berubah menjadi desa penuh kematian semenjak kedatangan penduduk baru yang misterius. Kematian demi kematian terus menghampiri para warga tanpa pandang bulu. Tua, muda, orang tua, anak-anak, semuanya tak luput jadi korban. Fenomena besar dan tak biasa ini membuat para warga resah namun tak banyak yang menyadari keanehan dari apa yang terjadi. Sampai diantara mereka mulai mencium bau tak biasa dari fenomena tersebut.
‘Shiki’ menggulirkan kisahnya dengan pace yang amat lambat. Bagi yang tidak terbiasa, mungkin akan terasa sedikit membosankan. Malah kalau dilihat kulit luarnya, ‘Shiki’ hanya berputar-putar disekitar situ saja. Meski begitu, tanpa disadari misteri ‘Shiki’ sesungguhnya sudah mencengkram sejak awal. Pace-nya yang lambat tak mengurungkan wajah muram desa Sotoba yang penuh aroma kematian. Atmosfer horornya sudah nampak kentara lewat tone-nya yang dingin. Sedingin tubuh mereka yang telah mati. Atmosfer seperti ini berhasil dijaga disetiap episodenya dengan tetap memberi clue dan misteri baru sampai ‘Shiki’ menemui babak pamungkasnya.
Daripada membuka tabir misteri yang terburu-buru, ‘Shiki’ memang lebih banyak mengenalkan para karakter dengan segala konflik didalamnya. ‘Shiki’ mungkin menjadi terasa sesak dengan penuhnya karakter yang hadir sampai saya tak bisa mengingat namanya satu persatu. Bukan tanpa alasan, kehadiran banyak karakter inilah yang justru berperan penting terhadap plot ‘Shiki’ secara utuh. Beruntung tim penulisnya mampu memperlakukan para karakter tersebut dengan porsi yang berimbang. Sehingga masing-masing karakter punya jatah untuk memberi kedalaman emosi tersendiri dibenak penonton. Meski karakternya relatif banyak, tapi kita tahu bahwa bagian sentralnya ada pada diri Seishin Muroi sebagai biksu muda, Toshio Ozaki sebagai dokter dan Yuuki Natsuno seorang remaja pindahan dari kota. Ketiganya lah yang menghubungkan setiap benang terputus tentang fenomena aneh desa Sotoba. Tentang makhluk mitos yang disebut Okiagari.
Dan seiring episode yang terus bergulir, ‘Shiki’ pun mulai menunjukkan titik terangnya. Tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tentang penyebab kematian yang terus menerus tanpa henti. Yang menarik adalah misteri yang sedari awal disimpan rapat-rapat tersebut menjadi cukup berkesan berkat investigasi para karakter lewat masing-masing perspektifnya. ‘Shiki’ pun tak lagi menjadi arena tebak-tebakan lagi. Tapi menjadi arena eksekusi bagaimana menyelesaikan permasalahan ini. Dan disinilah peran ketiga karakter sentral mulai terasa.
Toshio Ozaki dengan segala pemikiran logisnya sebagai dokter tentu tak pernah terpikir akan berurusan dengan mahkluk yang ia yakini hanya ada dalam mitos dan film. Sampai akhirnya ia mulai mengerti dan membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Keputusan tersebut tidaklah serta merta dan tak mudah untuk diambil. Bagaimana ia melewati fase kelam yang membuatnya frustasi sampai puncaknya ia menjadikan istrinya sendiri sebagai sebuah objek percobaan. Salah satu moment memilukan disini. Seishin Muroi dengan segala keyakinannya sebagai biksu muda ternyata tak mudah untuk mempercayai apa yang ia yakini. Bahwa membunuh, apapun alasannya, siapapun korbannya, bukanlah suatu hal yang harus dibenarkan. Keyakinannya pun menjadi bersebrangan dengan sahabatnya Toshio saat ia tahu bahwa didepan matanya Toshio telah membunuh istrinya. Dan Yuuki Natsuno dengan segala kegundahannya menjadi orang yang berada diantara dua sisi, manusia dan shiki itu sendiri. Dan pada akhirnya, semuanya telah memutuskan apa yang dipilihnya. Toh memang begitu seharusnya. Memilih pada apa yang diyakini.
Perspektif ketiga karakter tersebut memunculkan tanda tanya besar tentang dilema moral dalam kapasitas manusia sebagai makhluk manusiawi. Disatu sisi, manusia perlu mempertahankan hidup dan menghindari kematian-kematian yang tidak perlu. Menjadi logis ketika akhirnya para warga setuju dengan usul Toshio untuk membasmi para shiki. Namun para manusia akhirnya menjadi gila dengan apa yang ditakutinya. Menjadi brutal dan tak terkendali. Ada saat dimana mereka membunuh manusia lain yang terkena gigitan shiki tanpa ampun. Pada moment ini (entah kenapa) saya menjadi sedikit bersimpati pada kaum shiki. Mungkin itu salah satu alasan kenapa scene yang melibatkan pembunuhan Megumi Shimizu menjadi begitu menggetarkan.
Disisi lainnya, kaum shiki pun ingin bertahan hidup dan tak ada pilihan lain selain membunuh manusia. Ini sudah banyak diungkap Sunako Kirishiki mengenai bagaimana eksistensinya didunia. Kenapa ia menjadi shiki padahal ia tak pernah memilih untuk menjadi makhluk tersebut. Kenapa akhirnya ia membunuh banyak orang adalah karena hasrat tak tertahankan agar ia tetap bertahan hidup. Mungkin itulah alasan kenapa Muroi membantu Sunako. Mencoba memahami sudut pandang yang berbeda. Mencoba memahami apa yang ia tulis. Meski sampai saat terakhir pun ia belum menemukan jawaban pastinya tapi ia sadar akan keputusan yang telah diambilnya. Tema besar ‘Shiki’ pun menjadi terasa relatif ketika disandingkan. Yang mana yang benar masih terasa kabur walaupun ada satu sisi yang (mungkin) lebih baik untuk diambil. Tapi kita semua sudah tahu bahwa dua mahkluk yang saling memusnahkan satu sama lain tak akan pernah bisa hidup berdampingan. Begitu pula manusia dan shiki.
Secara keseluruhan, ‘Shiki’ cukup berhasil menjadi sajian horor penuh misteri yang tidak hanya menawarkan atmosfer horor didalamnya. Ada campur aduk emosi yang berhasil disuntikkan dibalik tone-nya yang kelam dan dingin. Tempo pelan yang dipilih sedari awal menjadi gundukan ketegangan yang cukup mengena ketika pergerakan plotnya mulai terlihat jelas. Punya warna berbeda dengan anime dalam genre sejenis. Ending-nya mungkin tidak akan memuaskan banyak orang yang berharap semuanya berakhir dengan mudah. Tapi bukankah setiap misteri selalu menyimpan misteri lainnya? Bukankah setiap jawaban selalu menimbulkan pertanyaan lainnya?