Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Tuesday, March 29, 2016

Batman v Superman: Dawn of Justice (2016): Korban Movie Universe yang Terburu-buru


We know better now, don’t we?
Devils don’t come hell beneath us. They come from the sky.
– Lex Luthor –

Ada rasa senang bercampur khawatir ketika DC memutuskan membuat proyek universe untuk film superhero mereka (seperti halnya Marvel membuat MCU). Proyek yang kemudian dikenal sebagai DC’s Extended Universe (DCEU) ini jelas bukan proyek abal-abal. Tak main-main, DC dan Warner Bros. sudah merencanakan proyek besarnya hingga 2020 mendatang. Film-film apa saja yang akan muncul pun kita sudah mengetahuinya. ‘BvS: Dawn of Justice’ secara resmi membuka DCEU lewat pertarungan dua superhero ikonik DC yakni Batman dan Superman. Satu hal yang langsung disambut gembira oleh hampir seluruh fans diseluruh dunia semenjak pertama kali diumumkan Zack Snyder.
Kekhawatiran saya bukan tanpa alasan. Jika menilik jadwal film DCEU, ‘Justice League’ yang merupakan gong DCEU terlalu berdekatan dengan ‘BvS: Dawn of Justice’. Hanya diselang ‘Suicide Squad’ dan ‘Wonder Woman’. ‘Suicide Squad’ pun bisa dibilang tidak terhubung secara langsung dengan ‘Justice League’ (IMO). Lalu bagaimana akhirnya line-up Justice League bisa berkumpul? Karena dua film bukan waktu yang ideal untuk memberi perkenalan serta latar belakang yang pasti dalam rangka mengumpulkan 6 (enam) karakter besar dalam satu frame (IMO). Bandingkan dengan Marvel yang setidaknya butuh 5 (lima) film sampai akhirnya ‘The Avengers’ hadir ditengah-tengah kita. Lalu bagaimanakah peran ‘BvS: Dawn of Justice’ dalam membuka DCEU?
Berbicara mengenai universe film yang memang sedang trend dewasa ini, saya jadi teringat dengan kasus yang dialami ‘The Amazing Spider-Man 2’. Tentu kita masih ingat bagaimana Sony sesumbar akan memperluas dunia Spider-Man lewat pembangunan universe-nya sendiri yang dimulai dengan ‘The Amazing Spider-Man 2’ tahun 2014 lalu. Namun apa yang terjadi, sebelum benar-benar terwujud, proyek universe Spider-Man pun berhenti ditengah jalan. ‘The Amazing Spider-Man 2’ pun flop dipasaran. Permasalahan paling mendasar terletak pada perencanaan yang bisa dibilang kurang matang. Membuat sebuah semesta film yang saling berhubungan satu sama lain jelas bukan perkara mudah. Butuh rencana yang matang untuk menjalankan visi serta orang yang benar-benar tepat untuk menanganinya.
Kasus yang menimpa ‘The Amazing Spider-Man 2’ adalah karena konsep universe tersebut terlalu membebani buat ‘The Amazing Spider-Man 2’. Idealnya, sebuah film hanya menceritakan isi filmnya sendiri secara mandiri. Namun dalam kasus universe, sebuah film punya tugas dan tanggung jawab yang lebih yakni menjadi jembatan untuk fim-film lain dimasa depan yang nantinya akan terhubung dalam universe tersebut. Dengan kata lain, ‘The Amazing Spider-Man 2’ harus menceritakan isi filmnya secara mandiri. Ditambah harus menjadi jembatan untuk film lainnya atau setidaknya memberi petunjuk untuk film-film yang akan datang. Belum lagi, film tersebut akan mempunyai sekuel yang sedikit banyak juga harus disinggung dalam cerita. Pengalaman sebelumnya dari 'Spiderman 3' yang gagal dikarenakan (salah satunya) karena memiliki villain lebih dari satu. Dan ini dialami juga oleh ‘The Amazing Spider-Man 2’.
Secara umum, apa yang dialami ‘BvS: Dawn of Justice’ hampir tak berbeda dengan yang dialami ‘The Amazing Spider-Man 2’. Setidaknya setelah saya menontonnya, saya jadi mengerti kenapa banyak sekali komentar-komentar dunia maya bernada kekecewaan yang mengiringi perilisan ‘BvS: Dawn of Justice’. Isu mengenai sulitnya membuat sebuah universe film tanpa rencana yang matang serta visi yang jelas (seperti yang saya singgung sebelumnya), memang cukup terasa pada ‘BvS: Dawn of Justice’. Hasilnya, sebagai pembuka DCEU, ‘BvS: Dawn of Justice’ pun menderita banyak dari segi cerita. Plotnya diisi dengan begitu banyak subplot yang begitu ambisius namun terasa kurang berisi dan tumpang tindih. Beberapa malah terasa dipaksakan, salah satu contohnya easter egg yang memperkenalkan line-up Justice League. Karakternya tidak diberikan kesempatan yang banyak untuk dieksplorasi. Motif Lex Luthor sebagai villain pun terasa setengah matang jika tak mau dibilang gak jelas. Konfrontasi dua superhero yang digadang-gadang menjadi sajian duel superhero terbesar pun kurang begitu mengena karena plotnya tidak benar-benar sampai memfokuskan kesana. Atau lebih tepatnya plotnya melompat-lompat. Meski masih menyajikan sekuen aksi yang seru dan menegangkan.  
‘BvS: Dawn of Justice’ disutradarai oleh Zack Snyder. Yang saya tahu dari Snyder bila melihat film-film yang pernah ia buat adalah bahwa dia salah satu sutradara artistik yang mampu memanfaatkan potensi CGI secara maksimal. Sehingga adegan-adegan bombastis terasa sangat tepat bila ditangani oleh Snyder. Namun ada sedikit kelemahan yang cukup kentara bila melihat filmografinya. Selain ‘Watchmen’, kita bisa merasakan kelemahan Snyder yang satu ini, yaitu ia kurang pandai dalam bertutur dan bercerita. Dan ini kembali terjadi di ‘BvS: Dawn of Justice’. Mungkin ia belum belajar banyak dari apa yang telah ia buat di ‘Man of Steel’. Patut disayangkan pula karena David S. Goyer dan Chris Terrio sebagai penulis naskah tidak bisa berbuat banyak untuk membuat alurnya lebih terkesan rapi.
Dibalik segala penderitaan cerita yang dialami, ‘BvS: Dawn of Justice’ masih memiliki banyak keunggulan ditengah setting gelapnya yang mendominasi. Kekuatan terbesar terletak pada ensemble cast-nya. Trinitas DC yang diisi Superman, Batman dan Wonder Woman berhasil ditampilkan secara apik oleh masing-masing pemerannya. Henry Cavill sukses menjadi superhero dilematis ditengah kekuatannya yang terlalu besar. Ben Affleck menjadikan kejutan sebagai Bruce Wayne dan Batman walaupun sempat diragukan banyak pihak. Ben sukses menampilkan sosok Batman yang lain dari pemeran sebelumnya. Menjadi versinya sendiri tanpa harus dibandingkan dengan Christian Bale atau Michael Keaton. Dan Gal Gadot? Tidak hanya karena ia cantik. Ia adalah scene stealer yang kehadirannya selalu dinanti. Bahkan saya sudah suka ketika fotonya sebagai Diana Prince muncul pertama kali. Hayo! Siapa yang dulu meragukan perannya sebagai ratu Amazon ini? Amy Adams sebagai Louis Lane, Jeremy Irons sebagai Alfred Pennyworth dan Jesse Eisenberg sebagai Lex Luthor juga menampilkan penampilan yang tak kalah memikat.
Klimaksnya adalah pertarungan puncak yang mempertemukan Superman, Batman & Wonder Woman melawan Doomsday. Seperti yang pernah diperlihatkan sedikit di trailernya, ketiganya bahu membahu mengalahkan mahkluk ciptaan Lex Luthor dari jasad General Zod ini. Pertarungan yang tersaji begitu besar, kehancuran yang  eksplosif, membawa keseruan yang menjadikannya salah satu part terbaik dalam ‘BvS: Dawn of Justice’. Sebelum akhirnya ending menutupnya dengan manis. Tak lupa scoring Hans Zimmer yang senantiasa menjadikan setiap moment terasa lebih hidup.
Secara keseluruhan, ‘BvS: Dawn of Justice’ tidak jatuh pada taraf buruk seperti yang banyak diperbincangkan orang. Saya menikmatinya dari awal sampai akhir. Diantara dua setengah jam durasinya, saya tak pernah benar-benar terjerumus kedalam jurang kebosanan. Meski diawal-awal tak banyak sekuen aksi yang membuat jantung berdebar. Meski tak banyak unsur komedi yang dihadirkan. Meski setting-nya tak pernah benar-benar terang alias selalu gelap. Saya cukup menikmatinya atau mungkin memang itu yang saya cari dari film ini. Dua setengah jamnya terasa pas, tidak terasa sebentar, tidak pula terasa lama. Tak seperti saat saya menonton ‘Transformers: Age of Extinction’ yang terasa sekali lamanya.
Apakah terlalu prematur menilai masa depan DCEU menilik hasil akhir ‘BvS: Dawn of Justice’, sementara disaat yang sama sang pesaing sudah melangkah jauh? Bisa iya, bisa tidak. Saya sendiri masih ingin menyaksikan bagaimana kelanjutan DCEU dimasa depan. Hanya saja, jika DC dan Warner Bros mau sedikit bersabar untuk mengizinkan universe-nya berkembang secara bertahap tanpa harus terkesan terburu-buru. Untuk memberi banyak ruang yang lebih bagi setiap karakter maupun konfliknya berkembang. Sehingga penonton pun lebih mudah terkoneksi dengan plot besarnya. Mungkin cerita ‘BvS: Dawn of Justice’ akan lain. ‘BvS: Dawn of Justice’ bisa saja menjadi pembuka universe superhero yang mengasyikkan baik dari sisi cerita maupun teknisnya.