Tentang ‘RADIOHEAD’

Radiohead Bukan Hanya Sekedar Band. Karena perlu lebih dari sekedar mendengarkan lagunya untuk bisa memahami musiknya.

Review Album Noah “Seperti Seharusnya”

Album “Seperti Seharusnya” ini seakan menjawab semua pertanyaan yang ada selama masa hiatus mereka dari industri musik Indonesia. Sekaligus sebagai hadiah bagi semua sahabat yang telah lama menantikan karya-karya mereka.

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan

"Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa"

Lagu yang Berkesan Selama 2012

Lagu pada dasarnya bukan hanya untuk sekedar didengarkan. Kadang ada lagu yang berkesan dalam kehidupan saat ada moment-moment tersendiri dalam hidup kita.

Tentang Film Animasi di Tahun 2012

Dibalik kesederhanaan cerita, tema atau apapun, film animasi ternyata menyajikan banyak pesan tersirat, sarat akan makna dan banyak hal yang bisa kita ambil dari apa yang disampaikan dari kesederhanaan yang diungkap dalam film animasi.

Sunday, January 31, 2016

Catatan Nonton #Januari’16

Selang sebulan setelah tahun baru 2016 dimulai, masih cukup awal, tapi masih banyak hal yang akan terjadi di bulan-bulan ke depan. Menjelang akhir bulan, ‘Catatan Nonton’ pun kembali hadir menutup episode akhir bulan Januari ini. Dalam edisi ke-25 ini hanya empat 4 (empat) judul yang masuk ‘Catatan Nonton’. Terbilang sedikit, tapi setidaknya masih ada film yang sempat saya tonton dan diberi short review dalam sebulan ini. Movie of the month kali ini jatuh pada pemenang Golden Globe Awards 2016, ‘The Revenant’ karya Alejandro Gonzalez Inarritu. Dan berikut daftar film yang masuk edisi Catatan Nonton bulan Januari 2016. Check it out!
Gambar dari sini.

Everest (2015) (01/01/16)


Short review:
‘Everest’ adalah contoh bahwa pekerjaan menaklukan alam itu bukanlah yang mudah. ‘Everest’ berhasil memvisualkan keganasan alam yang indah pula menyimpan kengerian. Bisa dibilang, Baltasar Kormakur berhasil mereka ulang kejadian naas pendakian puncak Everest pada tahun 1996 silam dengan setia pada sumbernya. Namun ada satu hal yang kurang dari ‘Everest’, yaitu emosi. Mungkin Baltasar Kormakur bermaksud membuat acara pendakian puncak tertinggi dunia bersama tragedinya ini terlihat lebih realistis dibenak penonton. Namun karena itu pula, ‘Everest’ menjadi minim emosi. Ya, terkadang dramatisasi dalam sebuah tontonan juga penting untuk memberi dampak emosional bagi penonton.
Skor: 3/5

The Revenant (2015) (13/01/16)


Short review:
‘The Revenant’ adalah bagaimana sebuah kisah drama survival mencengkram emosi lewat kebrutalan alamnya. Kebrutalan alam liar yang begitu menusuk sedingin tone-nya. Sekali lagi, duet Alejandro Gonzalez Inarritu dan Emanuel Lubezki menunjukkan tajinya setelah sebelumnya sukses lewat ‘Birdman’ lewat gambar-gambar dingin, sunyi, kelam nan mencekam namun menyimpan keindahan dibaliknya. Dan performa terbaik Leonardo DiCaprio sebagai Hugh Glass yang sukses membawa penonton seolah ikut merasakan apa yang dialami Hugh Glass. Mungkin sudah saatnya sang Leo menggenggam piala Oscar.
Skor: 4,25/5

Goosebumps (2015) (20/01/16)


Short review:
‘Goosebumps’ berhasil memunculkan makhluk-makhluk menyeramkan nan ikonik rekaan R. L. Stein yang sangat banyak tersebut dalam satu frame. Namun jika menganggap bahwa ‘Goosebumps’ akan memberikan sajian horor lewat serangkaian teror mencekam, mungkin anggapan tersebut harus segera dihapuskan. Pasalnya, ‘Goosebumps’ memilih jalan yang ringan lewat ranah komedi dalam balutan drama remaja. Tidak sampai terlalu spesial tapi masih menyenangkan dan menghibur. Seperti menonton ‘Jumanji’ versi makhluk seram. Terlebih buat para penonton yang terlebih dulu akrab dengan novelnya akan dibawa bernostalgia dengan karya-karya Stein yang sudah terjual lebih dari 350 juta kopi diseluruh dunia tersebut.  
Skor: 3/5

Spetre (2015) (20/01/16)


Short review:
Entahlah, tapi mungkin ekpektasi terhadap ‘Spectre’ terlalu tinggi setelah sebelumnya bertemu ‘Skyfall’. Premis ‘Spectre’ sebenarnya menarik, apalagi Mendes membuat naskah ‘Spectre’ seperti menjadi jawaban dari semua kepingan puzzle yang ditebar di 3 (tiga) film sebelumnya. Dan membawa karakter Ernst Stravo Blofeld (musuh bebuyutan Bond) sebagai villain utama sekaligus dalang dibalik semua peristiwa yang ada. Namun ketika plotnya mulai berjalan, ‘Spectre’ seperti kurang amunisi untuk membuatnya lebih emosional. Padahal Ernst Stravo Blofeld merupakan orang di masa lalu sang agen 007 yang bisa dikulik lebih dalam terkait hubungannya dengan Bond. Sebagai otak dari semua kejahatan pun, Blofeld seperti terlalu mudah untuk dikalahkan. Kecuali untuk itu, adegan aksi ‘Spectre’ cukup menggembirakan dengan sekuens yang lebih banyak dibanding ‘Skyfall’. Dan yang tak akan pernah hilang dari seri ‘James Bond’ yaitu Bond Girl pada diri Lea Seydoux yang begitu memanjakan mata. Salah satu Bond Girl terfavorit di era Daniel Craig.
Skor: 3/5

Friday, January 15, 2016

Anime Review: Kuroko no Basuke


SMP Teikou memiliki klub basket terkuat yang sangat ditakuti seantero Jepang dan telah menjuarai kejuaraan nasional 3 (tiga) tahun berturut-turut. SMP Teikou menjadi begitu kuat karena memiliki 5 (lima) pemain paling berbakat yang dijuluki “Kiseki no Sedai” (Generasi Keajaiban) yang hanya ditemukan 10 tahun sekali. Setelah lulus SMP, mereka memilih jalan sendiri-sendiri di SMA berbeda. Disamping Kiseki no Sedai, ternyata ada satu pemain yang tak tercatat, pemain keenam, seorang bayangan, Kuroko Tetsuya. Dan ‘Kuroko no Basuke’ akan berfokus pada kisah Kuroko dengan permainan basketnya yang khas bersama klub barunya di SMA, Seirin.
‘Kuroko no Basuke’ merupakan seri anime yang diadaptasi dari manga berjudul sama karya Tadatoshi Fujimaka keluaran tahun 2008. Seri animenya sudah menghabiskan 3 (tiga) musim yang berjumlah total 75+1 episode semenjak memulai musim pertamanya pada 7 April 2012.
Merujuk pada genre-nya yang ber-genre sport, premis ‘Kuroko no Basuke’ tentu tak akan jauh dari formula klasik khas olahraga, kisah perjuangan from zero to hero yang dibangun lewat latar “menang dramatis atau kalah terhormat”. Dan pada akhirnya memang seperti itulah kenyataannya. Bahkan dari jauh-jauh hari kita sendiri sudah bisa menebak hasil akhir atau ending-nya akan seperti apa. Namun ‘Kuroko no Basuke’ tetap menjadi sebuah anime yang menyenangkan untuk ditonton. Bahkan semenjak episode pertamanya bergulir, kesan menyenangkan sudah sangat terasa. Apa alasannya?
Dalam beberapa kasus, terkadang hasil akhir bukanlah tujuan utama, tapi proses bisa jadi segalanya. ‘Kuroko no Basuke’ membuktikan itu disini. Meski sudah bisa menebak tentang apa yang akan terjadi pada hasil akhir setiap pertandingannya, namun ‘Kuroko no Basuke’ berhasil mengemas prosesnya menjadi sebuah tontonan yang menyenangkan (setidaknya buat saya). Setiap pertandingan basket yang digelar berhasil menonjolkan keseruan yang sangat (meskipun sempat kedodoran juga). Berbagai moment pun berhasil menumpahkan perasaan emosi yang membuncah. Seolah-olah kita benar-benar menyaksikan secara langsung setiap pertandingan yang ada. Ungkapan lawan adalah kawan setelah pertandingan juga disinggung cukup kentara disini.
Mengenai karakter, saya suka bagaimana Tadatoshi Fujimaka memilih karakter utama seperti Kuroko. Ini seperti antitesis dari mayoritas karakter utama anime pada umumnya. Karena karakter seperti Kagami yang ambisius dan tak mau mengalah sebenarnya lebih umum dipakai dalam seri anime/manga. Sebagai contoh, Kurosaki Ichigo ‘Bleach’ atau Eren Jaeger ‘Attack on Titan’ punya karakteristik yang sama dengan Kagami. Tapi Fujimaka memilih karakter yang sering terlupakan oleh sekitarnya bahkan keberadaannya pun dianggap tidak ada seperti Kuroko. Ya, Kagami memang punya peranan vital tapi kendali tetap ada pada Kuroko. Terlebih Kuroko punya gaya dan visi bermain yang unik. Sebuah gaya yang jarang ditemukan dalam permainan basket, dimana seorang pemain hanya punya kemampuan mengoper bola saja. Fujimaka juga memakai konsep menarik untuk memberi penekanan pada karakter utamanya lewat simbol cahaya dan bayangan. Sebuah tagline yang berbunyi, “semakin terang cahaya, semakin gelap dan pekat bayangannya” seakan memberi gambaran sepenuhnya tentang ‘Kuroko no Basuke’.
Berbeda dengan ‘Slam Dunk’ yang memiliki kesan realistis yang cukup kental, ‘Kuroko no Basuke’ justru lebih punya unsur fantasi dan berkesan imajinatif. Sama seperti ‘Captain Tsubasa’, ‘Kuroko no Basuke’ juga banyak menampilkan kekuatan dan jurus-jurus basket yang mungkin terkesan tak logis didunia nyata. Namun dengan beberapa penjelasan yang cukup gamblang dan meyakinkan, kekuatan dan jurus-jurus yang ditampilkan para pemain tidak sampai terlalu menggernyitkan dahi dan cukup bisa diterima logika. Masalahnya, terlalu realistis juga kadang tidak seru. Jadi tak usah gusar bila para pemain sempat-sempatnya bicara panjang lebar dan bola tiba-tiba bergerak melambat sebelum masuk ring. Dramatisasi seperti ini (kadang) menjadi penting untuk menciptakan suasana yang dramatis. Karena efeknya buat penonton juga.
Selain menampilkan unsur drama dan ketegangan yang penuh emosi, ‘Kuroko no Basuke’ juga menampilkan unsur komedi yang cukup menghibur. Tidak banyak tapi beberapa justru sangat efektif memancing tawa berkat penempatan dan timing yang tepat. Karena tidak banyaknya pula membuat unsur komedinya berada dalam takaran yang pas dan tidak berlebihan. Ini bagus karena unsur komedi yang terlalu banyak dengan formula yang sama kadang menjadi kurang efektif untuk tampil lucu. Dan sebuah anime tanpa soundtrack pastinya kurang bertenaga. Beruntung ‘Kuroko no Basuke’ punya kumpulan lagu soundtrack yang asyik. Baik lagu yang terdapat di opening maupun ending, semuanya mampu membawa mood yang pas untuk menemani keseluruhan plot yang ada.
Berbekal karakter-karakter menarik dan loveable, ditambah formula klasik from zero to hero khas olahraga yang tak kalah asyik, tidak sulit rasanya bagi ‘Kuroko no Basuke’ untuk meninggalkan kesan dibenak penontonnya. Ya, rasanya sudah lama sekali tidak merasakan sensasi menonton anime sport yang membuat merinding seperti ini. Dan saya menemukannya kembali di ‘Kuroko no Basuke’.
Skor: 8/10

Wednesday, January 13, 2016

10 Film Terbaik 2015

Tahun 2015 telah berlalu, seakan dejavu, saya merasa terpanggil kembali untuk membuat daftar film terbaik tahun 2015. Seperti tahun lalu, dimana saya juga membuat daftar film terbaik tahun 2014 versi saya. Dibandingkan tahun 2014, tahun 2015 memang menjadi semacam penurunan kuantitas menonton film bagi saya. Biarpun begitu, saya masih sempat menonton beberapa judul sebelum menyelesaikan post ini. Beberapa diantaranya pun masuk daftar pada saat-saat terakhir. Kecuali untuk ‘The Big Short’, ‘Steve Jobs’, 'Spotlight', ‘Room’, ‘Carol’, ‘Joy’ dan beberapa judul lainnya belum saya tonton.
Membuat daftar seperti ini memang sifatnya sangat subjektif dan personal. Tentunya perspektif setiap orang akan berbeda satu sama lain. Dan seperti yang sudah saya tekankan pada post sama tahun lalu, bahwa “Terbaik” disini bukan berarti secara harfiah benar-benar terbaik (emang siapa saya sok-sok-an menentukan film terbaik). Sederhananya, “Terbaik” disini adalah film yang paling saya suka tahun lalu yang berhasil memberi kesan mendalam dan kepuasan tingkat tinggi selama menonton. Pun setelahnya. Oleh karena itu, saya tak akan memasukkan judul Seventh Son (Sergey Bodrov) dalam daftar ini. Karena menurut saya itu adalah film terburuk yang pernah saya tonton di tahun 2015. I’m sorry to say that, Alicia Vikander! But.., you always look so sweet in every your movie! Seriously!
Dan berikut 10 film terbaik tahun 2015 versi saya.

Honorable Mentions:
Ex-Machina (Alex Garland), Wild Tales (Damian Szifron), Filosofi Kopi (Angga Dwimas Sasongko), Sicario (Dennis Villeneuve), Crimson Peak (Guillermo del Toro), Bridge of Spies (Steven Spielberg), The Gift (Joel Edgerton), Star Wars: The Force Awakens (J.J. Abrams), The Hateful Eight (Quentin Tarantino), Brooklyn (John Crowley).

#10 It Follows (David Robert Mitchell)


Adegan pembukanya sudah sangat mengejawantahkan kengerian. Konsep horornya mungkin terasa aneh, tapi ada pesan menarik dibalik premisnya bila mau dicermati. Terutama mengenai kehidupan bebas ala remaja dewasa ini.

#9 The Revenant (Alejandro Gonzalez Inarritu)


Puisi tragis tentang bagaimana alam menunjukkan sisi liarnya yang brutal yang juga kontradiktif disaat bersamaan. Dingin menusuk menembus tulang. Membuncahkan emosi disetiap bait kegetiran. Namun indah disela-sela keheningannya.

#8 Clouds of Sils Maria (Olivier Assayas)


Seakan mengaburkan batasan realita dan fiksi. Seorang aktris paruh baya tengah mencoba berdamai dengan diri dan masa lalunya. Menyenangkan bisa melihat performa akting terbaik salah satu aktris favorit disini.

#7 Me and Earl and the Dying Girl (Alfonso Gomez-Rejon)


Cara memperlakukan premis penyakit mematikannya terasa tak biasa. Namun begitu hangat menghantarkan drama coming of age-nya. Pada setiap sisi getir, ditanaminya benih positif. Plot kecilnya yang berbicara banyak tentang film, masih jadi bagian terfavorit. [Review]

#6 Mencari Hilal (Ismail Basbeth)


Lupakan sejenak tentang ‘Le Grand Voyage’-nya Ismael Ferroukhi. Kemudian tengoklah bagaimana Pak Mahmud dan anaknya Heli menyusuri jalanan spiritual. Menebarkan aroma introspeksi dan refleksi diri dalam nafas religi tanpa harus memaksanya menerobos relung hati. Sederhana tapi manis.

#5 Mad Max: Fury Road (George Miller)


Begitu gahar. Begitu kacau. Begitu gila. Entah apa yang ada dibenak pria tua George Miller saat mencoba menghidupkan kembali franchise lamanya. Karena kegaharan, kekacauan dan kegilaannya ini, padang pasir tandus menjadi panggung aksi dengan ketegangan tingkat tinggi.

#4 Whiplash (Demian Chazelle)


Ambisi dan kesempurnaan seolah tak berbatas bagi manusia. Besar pula harganya. Sampai titik mana itu berhenti, tidak ada yang tahu. Stick drum Andrew telah menelanjangi mindset kita tentang falsafah berjuang sampai titik darah penghabisan. Darinya, (mungkin) kita jadi (sedikit) mengerti.

#3 Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) (Alejandro Gonzalez Inarritu)


Saat parade teater menyertakan kritiknya pada panggung hiburan. Cerdas nan menggelitik. Salah satu pencapaian tinggi dalam dunia sinematik lewat aspek teknisnya. One long take yang rumit itu begitu mempesona.

#2 A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence (Roy Andersson)


Apa jadinya jika seekor burung merpati yang bertengger pada sebatang dahan pohon merenungkan kehidupan? Roy Andersson menerjemahkannya dalam sketsa kaya absurditas yang kental aroma kenyinyiran dan kejenakaan yang khas. Tentang hidup, manusia dan eksistensinya.

#1 Inside Out (Pete Docter)


Ketika ide brilian dieksekusi dengan brilian pula. Imajinatif. Namun tak hilang unsur “hati”-nya. Petualangan menyelami isi kepala manusia yang begitu menyenangkan sekaligus mengharukan. Sekali lagi, Pixar menambah deretan panjang karya terbaiknya. [Review]