Senja
tertutupi kabut hitam kelam yang beriringan membentuk gumpalan gelap
menyelimuti hamparan biru yang terang. Burung-burung bertebaran tanpa arah. Semua
seperti berubah. Kilatan berwarna keemasan mewarnai gelapnya gumpalan itu. Hingga
tak berapa lama berselang jutaan tetes air tumpah membasahi tanah yang kering
ini. Hujan! Itulah yang terjadi. Sudah lama sekali hal itu tak terjadi ditempat
ini. Dan sepertinya euforia musim hujan telah tiba.
“Hujan
lagi? Disaat seperti ini?”, pikirku. Saat itu aku memang harus cepat-cepat
menuju suatu tempat untuk sebuah hal. Dan karena hujan, langkahkupun terhenti.
Aku berlari, bergegas mencari tempat yang bisa menaungiku dari hujan, hingga
aku berhenti di suatu tempat.
Detik
terus bergulir. Cukup lama aku berdiri terdiam menunggu hujan berhenti. Hingga
tak sadar bahwa aku telah melupakan sesuatu. Dan tampaknya tak berarti lagi hal
itu untukku. “Ya sudahlah! Lain kali juga bisa”, gumamku dalam hati dengan
sedikit menyesal.
Dalam
keheninganku, aku melihat justru diluar sana terlihat begitu ramai. Suara hujan
yang damai, menebarkan aroma kesejukan sempurna disambut elemen-elemen alam
yang bahagia karena kehadirannya. Tetes-tetes air memanjakan tanah yang sudah
lama kehausan, menyejukkan makhluk-makhluk hijau yang telah lama merindukan
hadirnya. Angin kebahagiaan membawa hawa baru bagi kehidupan. Semua menyatu,
menari dan menyanyi menyuarakan kebahagiaan dan kedamaian. Butiran-butiran
bening menghampiriku seakan menyapa dengan santun dan mengajak tubuh ini untuk
turut dalam euforia itu. Hingga akupun larut dan terhanyut bersama alam dalam tarian
dan nyanyian, menyenandungkan semua hal tentang alam dan hujan.
Euforia
berakhir. Semua tertawa bahagia. Burung-burung bernyanyi dengan merdunya,
kupu-kupu bertebaran kesana kemari, bunga-bunga bermekaran penuh warna. Seakan
menyambut hidup baru dari kelamnya kehidupan lama. Awan hitam perlahan-lahan
menepi dan menjauh, memberi kesempatan pada hangatnya cahaya mentari khas senja
yang ingin segera menyapa dunia. Diselimuti selaput warna-warni mengelilingi
untaian sinar yang menghampiri. Mereka tersenyum, berseri penuh rona
kebahagiaan yang tak mampu dijelaskan lagi. Akupun makin larut dalam suasana
dan fenomena elok ini. Belum juga hal itu berlalu, ternyata ada satu hal
menakjubkan lagi melebihi apa yang telah terjadi tadi, dan itu adalah....kamu.
Ya kamu. Walaupun aku belum tahu siapa kamu.
Aku
tertegun melihat sesosok hawa yang berjalan dari arah sebuah belokan beberapa
meter didepanku. Ia kemudian berhenti dan menunduk untuk merapikan tali
sepatunya yang terlepas. Ia kemudian berdiri, terdiam sejenak lalu menoleh
kehadapanku. Menutupi kehangatan cahaya mentari, sosok sang hawa itu ternyata
lebih menakjubkan dari apapun. Mentaripun tersipu malu karena kalah eloknya
oleh sosok tersebut. Takjub! Itu yang kurasakan. Karena belum pernah aku melihat
karya surga dari sosok seorang hawa seperti yang aku lihat saat ini. Saat aku
melihatnya aku tak percaya bahwa aku telah melihat hal terindah yang tak pernah
aku bisa lukiskan keindahannya. Aku seperti berada dalam ruang dan waktu dalam
dimensi yang berbeda dari dunia ini. Hingga aku melihatnya seperti tersenyum,
akupun semakin terpesona, terdiam,
terpana tanpa bisa berkata-kata. Membuat dunia ini seakan berhenti
berputar, waktupun tak lagi berdetak. Semua terhenti, hening dan sunyi. Memandangi
aku yang takjub dengan kehadirannya. Sampai dia berlalu bersama terbenamnya
mentari diufuk barat.
Derap langkahnya masih terasa sampai itu benar-benar
menghilang. Dan akhirnya kumandang adzan maghrib menyadarkanku dari hal yang
menghipnotisku itu. Semuanyapun kembali seperti sedia kala. Dunia kembali
berputar, waktupun kembali bergulir. Dan aku? Aku tak tahu apa yang harus aku
lakukan, karena keindahan itu masih terus menyelimutiku. Mungkin itulah
anugerah, anugerah yang sangat indah, yang pernah tak pernah aku temui
dimanapun.
Sejak
saat itu, aku bertekad bahwa aku harus bertemu dengannya lagi. Dimana saja,
kapan saja, entah bagaimanapun caranya. Karena aku tak tahan kalau aku tak bisa
bertemu lagi dengannya. Mengenalnya hingga bisa tertawa bersama, itulah
harapanku. Dan terima kasih hujan, karena disini, ditempat ini, melalui
takdir-Nya, hujan telah mempertemukan aku dengan dia meskipun itu hanya
sekejap.
Hari
semakin gelap, akupun bergegas pulang. Dalam perjalanan, sampai aku tiba,
hingga aku terlelap melepas kelelahan hari ini. Pikiranku selalu melayang
mengawang-ngawang, terganggu karena ia selalu menghantui pikiranku. Dan anehnya
aku malah merasa bahagia, karena saat memikirkannya aku tak merasa sendiri, aku
tak kesepian lagi. Memikirkannya saja sudah seperti ini apalagi kalau dia
benar-benar berada disampingku. Sungguh tak bisa dibayangkan.
***
Sang
fajar mulai menyingsing diiringi merdunya suara adzan yang menyambut sebuah
hari yang cerah dalam pagi yang menakjubkan ini. Menyapa seluruh jiwa yang
terlelap dalam belaian bunga mimpi. Butiran-butiran cahayapun mulai mendekat
pada setiap hati yang masih terdiam. Rangkaian-rangkaian warna membentangkan
sebuah harapan besar untuk hari ini. Membangkitkan serpihan-serpihan semangat
hidup yang dulu pudar dan kini telah kembali lagi. Dan aku berdoa untuk hari
ini, semoga aku dapat bertemu dengannya. Akupun mulai melangkah menyambut
indahnya hari ini. Menjalani hari-hariku sebagaimana biasa dengan semangat
baru, semangat yang kudapatkan sejak aku melihatnya.
Waktu
terus berlalu. Terasa lama kurasa karena sejak pagi pikiran ini sudah tak
menentu, terusik oleh sosok dirinya. Hingga saat yang ditunggupun tiba. Dan beberapa
jam sebelum hari benar-benar gelap. Aku harus bergegas ke sebuah tempat. Tempat
yang mungkin bisa mempertemukan aku dengannya.
Sesampainya
disana, aku langsung berkeliling disekitar tempat tersebut sambil membawa harapan
besar yang sesungguhnya masih sangat abstrak. Dan setelah kesana-kemari aku
baru sadar ternyata tempat tersebut adalah sebuah taman. Taman itu terletak
diatas dari tempat kemarin aku berteduh. Indah sekali. Karena bisa-bisanya ada
taman seelok itu ditempat seperti ini.
Setelah
cukup lelah berjalan, langkahku terhenti disebuah pohon besar. Aku terduduk
mengistirahatkan tubuh yang penat ini. Cukup lama aku terduduk dan ternyata hal
yang aku tunggu-tunggu tidak datang juga. Aku jadi sangat kecewa dibuatnya. Akupun
berencana untuk pulang dan melupakan saja mimpi itu. Tapi baru saja aku
berdiri, tanpa pesan sebelumnya, hujan datang. Akupun mengurungkan niatku untuk
pulang.
Hujan
terus berderai semakin deras, aku masih terdiam. Lalu mataku tertuju pada satu
sudut dimana aku melihat seseorang dengan menutupi wajahnya berlari karena
kehujanan dan mencari tempat berteduh. Lalu berlarilah dia ke arahku. Aku
begitu terkejut karena ternyata dialah yang aku tunggu-tunggu. Dialah orang
yang aku lihat kemarin. Itulah kamu. Sepertinya ini memang jalan Tuhan
mempertemukan kita lagi lewat perantaraan hujan.
Perasaan
berkecamuk dalam pikiranku. Bingung, tak tahu harus melakukan apa, namun ada
perasaan bahagia yang tak terkira disini. Aku berpikir bahwa ini adalah saat
yang ditunggu-tunggu, bodoh sekali kalau aku biarkan ini berlalu begitu saja.
Akupun mulai mendekati dan menyapanya. Dia hanya tersenyum tanpa berkata karena
kedinginan, tanpa pikir panjang kulepaskan jaketku dan kupakaikan padanya. Dan
dari sanalah kami mulai saling mengenal.
Sejak
saat itu, kami menjadi semakin dekat. Intesitas pertemuan kami menjadi semakin
sering. Kami jadi lebih saling mengenal, cerita ini, cerita itu. Hujanpun
selalu menjadi alasan kenapa kami selalu bertemu tanpa disengaja. Kami menjadi
sangat terbiasa berteduh dibawah pohon ditaman itu. Hingga kami menamai taman
tersebut dengan taman hujan. Taman itu memang indah. Terlebih lagi saat hujan. Karena
taman ini kami bertemu dan ditaman ini pulalah kami mulai merangkai hari
bersama.
Semua
itu terjadi begitu singkat tapi waktu-waktu yang telah dilalui, membuat dia jadi
sangat berarti bagiku, membuat cerita ini tak lagi sama seperti waktu yang
sudah-sudah. Karena dia sungguh indah bagiku. Sosoknya berbeda dengan hawa-hawa
lain yang pernah aku temui sebelumnya dalam hidupku. Aku ingin selalu berada
disampingnya, menjaganya, melindunginya dari semua hal yang bisa mengusik
ketentraman hidupnya. Karenanyalah hidupku kembali berwarna. Karenanyalah aku
mengerti arti kata sempurna. Karenanyalah aku semakin mensyukuri hidup.
***
Di
sabtu pagi yang begitu istimewa, hujan turun. Tapi justru itu menyenangkan
bagiku. Karena kalau hujan turun berarti alam mengizinkan kami untuk bersama.
Ya, hari itu memang hari dimana kami berdua berencana untuk menghabiskan waktu
bersama. Tanpa beban aku mulai melangkah, karena hujan akupun memakai payung
untuk dapat kesana. Akupun tiba disana, ditaman hujan, taman bersejarah dan
sarat akan makna. Berdiri dibawah pohon tempat biasa kami bertemu. Beberapa
saat berselang, yang dinantipun tiba. Aku kembali terperanjat tak berdaya
melihatnya berdiri dihadapanku, laksana bidadari turun dari surga berlindung
dibawah payungnya yang anggun. Menghentikan semua butiran-butiran hujan yang
jatuh, menyejukkan alam yang terdiam karena kehadirannya. Desir angin membelai
rambutnya yang seakan menari mengartikan kedatangannya. Dia sungguh cantik hari
ini. Dan...??? Ya, dan tak pernah secantik.., secantik hari ini.
“Hai!
Udah lama nunggu?”, sapanya.
“Nggak!
Baru koq”, jawabku. “Udah siap?”, tanyaku.
Dia
hanya tersenyum tersipu. Kubalas pula dengan senyuman. Lalu dia mengahampiriku
lebih dekat. Dan beberapa detik kemudian.
“Oh iya, sebelum kita berangkat, bagaimana
kalau kita ukir nama kita dipohon ini?”, tanyanya.
“Boleh.
Boleh banget. Lagian pohon inikan punya cerita buat kita”, jawabku.
“Iya
gitu?”, tanyanya seakan tak yakin.
“Oh,
nggak yah. Ya udah kata-katanya diralat. Pohon inikan punya cerita sendiri buat
aku”.
“Becanda
koq. Kebiasaan kamu mah ahh! Makanya jangan terlalu .... dong!”, guraunya.
“Emang bener, seperti kamu bilang pohon ini memang punya cerita buat kita. Buat
aku, kamu, taman ini dan hujan tentunya”, sambil tersenyum.
“Setuju!”,
kataku semangat.
Kamipun
mulai mengukir nama kami dipohon tersebut. Sepertinya hari ini akan menjadi hari
yang indah. Hujan mulai reda, kami berlari ketengah-tengah taman dengan wajah
berseri-seri. Kemudian melemparkan payung secara besamaan seperti wisudawan-wisudawati
melemparkan topi wisudanya.
“Selamat
pagi dunia!”, teriaknya semangat. “Sambut kami dunia! Sambutlah kami dunia!”
teriaknya makin keras.
“Dan
bersiaplah dunia, karena kami akan menggenggammu hari ini!”, teriakku juga.
Seperti
yang aku duga hari itu adalah hari yang benar-benar menyenangkan bagi kami
berdua. Kami benar-benar menikmati kebersamaan ini. Merangkai hari dengan tawa.
Menjajaki setiap jengkal dunia dengan senyuman. Melingkari setiap helaan nafas
dengan canda. Melintasi langit luas yang membentangkan semua harapan. Meluluhkan
setiap keluh dunia yang selalu menghinggapi kehidupan. Menghapuskan semua
serpihan-serpihan perih yang selalu datang tanpa diundang. Hingga tak sadar
bahwa hari akan gelap. Kitapun langsung kembali ke taman hujan untuk
merencanakan hari esok.
Setelah
ditaman hujan kami langsung duduk dibawah pohon seperti biasa. Melepas letih
setelah seharian bersenang-senang. Saling terdiam satu sama lain. Lalu tertawa
bersama-sama.
“Indah
ya hari ini?”, tanyaku.
“Hmmm!”,
jawabnya sambil mengangguk. Lalu dia bertanya, “Bolehkah aku bersandar dipundakmu?
Sebentaar aja?”.
Aku
terdiam dan merenung. “Jangankan pundak! Apapun akan kuserahkan untukmu, bahkan
kalau perlu seluruh raga ini untukmu”, akuku dalam hati.
“Boleh
nggak?”, tanyanya agak keras.
“Oh,
boleh, boleh. Tentu. Apa sih yang nggak buat kamu?”, candaku.
Kemudian
dia menyandarkan kepalanya dipundakku. Lalu berucap, “Makasih ya untuk hari
ini. Aku seneng banget. Tak pernah aku sesenang ini sebelumnya. Sekali lagi
makasih ya!”
“Sama-sama!”,
jawabku simple.
Gerimis
mulai menyapa. Setiap tetesnya menghinggapi diri kami yang letih. Tenang dan
menenangkan. Tak ada yang indah saat itu selain moment tersebut.
Hujan
mulai reda dan sesaat sebelum hari benar-benar gelap.
“Oh
iya. Aku boleh minta sesuatu nggak sama kamu?”, tanyanya antusias.
“Minta
apa?”, aku balik bertanya.
“Nggak.
Jadi, gini bagaimana kalau kita menuliskan pengalaman kita selama ini, pokoknya
kita ungkapin apapun yang ingin kita ungkapin sejujurnya lewat surat? Gimana?
Setuju nggak?”, tanyanya makin antusias.
“Boleh!
Ide bagus tuh. Tapi ntar suratnya kita apain?”
“Suratnya
kita masukin dalam botol itu tuh! Liat! Ntar kita kubur dibawah pohon ini. Aku
kubur disini, kamu kubur dibelakangnya. Oh iya, pas nulisnyapun kita saling
membelakangi ya jadi kita tidak tahu satu sama lain. Lalu kita biarkan, jangan
dibongkar dulu. Kita biarin 30 hari terkubur, kalau udah 30 hari, kita kembali
kesini dan membongkarnya bersama-sama. Aku buka punya kamu, kamu buka punya
aku. Ok?”
“Ok!”
“Nih
kertas sama pulpennya!” (sambil mengeluarkan kertas dan pulpen dari tasnya). “Sekarang?
Ayo kita lakukan!”
Akupun
menerima pemberiannya, lalu bergegas ke belakang dan mulai kutulis semua hal yang
ingin aku ungkapkan. Diapun demikian.
Beberapa
saat setelahnya.
“Aku
udah selesai! Kamu udah belum?”, tanyanya.
“Bentar
lagi”, jawabku. Setelah membereskan sisa tanah yang masih tersisa, “Ok, aku
udah! Aku kesana ya!”
Hari
sudah gelap. Haripun telah berganti menjadi malam. Sinar mentari diganti dengan
sinar bulan sabit yang sedikit-sedikit tertutupi awan hitam. Hanya
bintang-bintang bertaburan yang menaungi malam. Kami masih duduk dibawah pohon
tersebut. Suasana menjadi hening saat itu. Ada suasana yang berbeda sepertinya.
Sesaat kami saling terdiam tanpa suara, hanya suara jangkrik yang sesekali
memecah keheningan. Sesungguhnya aku heran melihat dia yang tadinya ceria
tiba-tiba menjadi pendiam dan seakan menyembunyikan sesuatu yang sepertinya
berat sekali untuk diungkapkan. Rasa-rasanya ada aura kesedihan berat yang ia
tanggung sendiri. Tapi aku berpura-pura untuk tidak tahu hal itu dan membiarkannya
tetap nyaman dalam pundakku. Hingga akhirnya dia beranjak sampai begitu
mengejutkanku, lalu menggenggam tanganku dan menatapku. Lama. Dalam dan penuh
makna. Aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari sorot matanya
menyiratkan kesedihan yang begitu dalam. Berat sekali tatapannya seperti ingin berkata
“Kamu bisa gak merasakan apa yang kuderita, lewat genggaman tanganku ini?”. Genggamannya
kian erat kemudian setetes air mata jatuh dari kedua matanya. Aku menjadi
semakin tak mengerti tentang apa gerangan yang terjadi. Maaf dan terima kasih
itulah kata yang ia ucapkan. Aku jadi semakin bertanya-tanya.
“Kamu
kenapa? Ada apa?”, tanyaku penasaran.
“Nggak.
Nggak ada apa-apa koq. Hanya saja....” (sambil memalingkan muka).
“Hanya
apa? Kamu kenapa? Ada apa?”
“Hanya....?,
nggak deh. Nggak ada apa-apa. Hanya menangis bahagia mungkin. Udah malam nih.
Udahan yuk. Aku kayaknya mau pulang!”
Sesungguhnya
aku tak percaya itu tapi aku lebih
memilih diam dan membiarkannya seperti itu saja.
“Jangan
bengong!”, katanya sambil mengusap wajahku. “Udah ya, aku mau pulang. Nggak
usah dianter koq. Kasian kamunya nanti capek. Aku juga bisa pulang sendiri. Oh
ya, satu lagi jangan sedih ya! Daahhhhhh!”
Baru
tiga langkah dia beranjak, diapun kembali dan tanpa diduga mendaratkan bibirnya
dipipiku. Kemudian berlalu dari hadapanku. Dari kejauhan lalu menoleh dan melambaikan
tangan sambil tersenyum. Hingga bayangnya sudah tak berbekas hilang ditelan
angin malam. Aku? Aku masih terdiam merenung dengan sejuta tanya tanpa ujung
yang mengganggu pikiranku. Kejadian tadi mengisyaratkan kalau sepertinya ini
adalah hari terakhir kita bertemu. Terlintas dibenakku dua kata (selamat
tinggal) dari setiap gerak-gerik yang kubaca dari bahasa tubuhnya.
***
Seperti
yang aku takutkan, esoknya aku tak bisa melihatnya lagi. Hari berikutnyapun
demikian. Dan begitu seterusnya. Aku mencari ke berbagai tempat tapi tak berhasil
bahkan ke tempat biasa kami bertemu, taman hujan. Hasilnya sama. Hujanpun tak
lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu.
Hari-hari begitu kelam terasa. Membuatku gelisah tak menentu. Hatiku hampa. Aku
tak tahu apa yang harus aku lakukan. Dirinya seakan hilang ditelan bumi.
Tawanya sirna ditangkap sang langit. Senyumnyapun musnah terhapus sang angin. Semua
menghilang menjauh dari kehidupanku. Membuatku tak berdaya karena aku belum
sanggup bila harus kehilangan dia sekarang.
Begitulah
hari-hari berjalan sampai tak terasa bahwa ini sudah hari ke-30 sejak hari itu.
Akupun teringat dengan surat yang pernah dikubur dulu dan aku yakin bahwa aku
bisa menemukan jawabannya disana. Sejak pagi aku sudah berangkat menuju taman
hujan. Aku langsung menghampiri pohon tempat biasa aku menunggu, mengharapkannya
akan datang. Sepanjang hari aku menunggu ternyata dia tak terlihat juga.
Sedikit mengusir kegundahan aku berjalan disekitar taman. Disana aku melihat
bayangan dimasa lalu. Tawa, canda, senyum, suka, duka terukir ditaman ini,
taman hujan ini. Menyisakan kepiluan bagiku. Disatu sudut aku melihat burung
yang dulu pernah kami obati kakinya yang patah dan sekarang dia telah bahagia
dengan keluarganya yang baru. Disudut lain aku melihat pohon kecil setinggi
lutut yang pernah kami tanam dulu yang dibayangkan kalau pohon itu sudah besar
pohon itu akan jadi peneduh buat kami kelak.
Tanpa lelah aku masih menunggu dan menunggu
kehadirannya. Sampai mentari sudah tinggal selangkah lagi untuk terbenam. Hari
ternyata sudah senja. Hujan turun lagi disini. Tapi semua berbeda tak ada lagi
aura kebahagiaan seperti dulu. Alam berduka, semua bersedih hujanpun turun
lebih seperti air mata dari kesedihan yang dalam. Hujan menangis.
Berjuta
pertanyaan terus menyelimutiku sampai aku memutuskan untuk membongkar apa yang telah
kami kubur dulu. Kuraih botolnya, kukeluarkan suratnya kemudian aku mulai membaca
surat yang telah ia tulis dan isinya adalah:
Hai! Apa kabar? Kamu baik-baik sajakan?
Maaf ya telah membuat kamu khawatir,
maaf karena selama 30 hari ini aku gak ada disamping kamu. Aku tahu pasti kamu
mempertanyakan keberadaan aku dimana. Sekali lagi maaf ya!
Sejujurnya aku tak bisa mengungkapkan
ini secara langsung padamu makanya saat itu aku memutuskan untuk
mengungkapkannya dalam bentuk surat saja. Terlalu berat buatku untuk
mengungkapkannya secara langsung karena aku tak sanggup melakukannya. Aku takut
kamu sedih mendengarnya. Aku harap kamu ngerti ya!
Terlihat aku memang seperti orang
kebanyakan. Kamu pasti melihat aku baik-baik saja, tak ada apapun yang terjadi
padaku. Tapi sudah hampir setahun ini aku menderita kanker aneh yang tak bisa
disembuhkan sama apapun. Aku dan keluargaku telah berusaha tapi hasilnya tetap
sama. Sejak saat itu aku menjadi sangat depresi dan meyerah dalam hidup ini.
Aku menjadi sangat emosional membuat orang terdekatku menjadi khawatir dengan
keadaanku. Aku sangat menyesali keadaanku yang seperti ini. Dan beberpa hari
sebelum aku ketemu kamu. Aku divonis dokter bahwa dalam waktu 2-3 bulan kedepan
umurku sudah tidak ada lagi. Hal itu jelas-jelas sangat melukaiku. Aku tak
sanggup menanggung beban seberat ini sendiri. Tapi apa daya, aku hanya manusia
yang tak punya kekuatan apapun untuk menentang hal ini.
Aku menghabiskan waktuku dalam
kesendirian meratapi apa yang terjadi padaku. Dan ditaman inilah aku
mencurahkan semua isi hatiku karena taman ini indah namun sepi, sesepi hatiku.
Hingga hari itu aku melihat kamu. Tak tahu mengapa, tapi suara hatiku
mengisyaratkan bahwa kamu adalah orang yang akan menghilangkan kesedihanku.
Mungkin inilah jalan Tuhan yang mengingatkan aku agar tak menyesali hidup. Akupun
bisa tersenyum karena itu. Hingga kamu melihat aku. Sampai akhirnya kita seing
bersama.
Begitu banyak hal yang aku alami
denganmu walaupun itu singkat. Kamu membalutkan perih dan pedihku, menanggung
separuh bebanku dan itu membuatku bahagia. Kamu telah merubah hidupku yang
tinggal sedikit ini dengan sentuhan kehangatan yang membuatku hidup kembali.
Denganmu aku tak menyesalinya lagi, aku jadi sangat siap dengan apa yang akan
terjadi denganku nanti. Bahkan kematian sekalipun.
Kamu. Kamu sangat baik padaku. Makasih
ya untuk segalanya, untuk setiap detik yang kita jalani. Sehingga aku dapat
tertawa, tersenyum lagi walapun awalnya sangatlah berat. Dan maaf selama ini
aku telah berbohong tentang keadaanku. Tak sepantasnya aku berbohong untuk
orang seperti kamu.
Dan hari dimana kita saling menulis
surat aku bilang bahwa setelah 30 hari barulah kita bisa membukanya. Kenapa 30
hari? Karena begitulah kata dokter yang pernah memvonisku. Dia bilang bahwa
dalam 30 hari ini ada hari dimana umurku sudah tak ada lagi. Tapi mereka tak
tahu persisnya kapan hari itu akan tiba. Itulah alasannya. Aku takut kalau
dalam waktu tersebut kita bertemu aku akan mati dihadapanmu. Maka sebelum 30
hari ini aku memilih berpisah denganmu saja. Biar hal itu tak terjadi.
Aku
terkejut. Sangat, sangat terkejut dengan hal itu padahal surat itu sendiri belum
benar-benar selesai kubaca. Seakan tak percaya, kubaca lagi surat itu dari awal
lebih hati-hati dan perlahan, berharap aku salah membacanya. Berulang-ulang aku
lakukan tapi semua sama, tak ada yang berubah dan tak ada yang salah dari surat
itu. Sampai aku benar-benar tersadar. Tubuhku kaku dan melemah, lidahku kelu. Air
mataku tumpah. Tak kuasa hatiku menangis, hujanpun menangis semakin menjadi.
Jiwaku berteriak, petirpun berteriak semakin keras. Alampun murung
mendengarnya. Warna seakan hilang disini. Membisu dan berangsur-angsur memudar.
Tanpa adanya terang semua begitu gelap terasa. Aku terpaku menyadari semua yang
telah terjadi. Dan tak mampu merubahnya. Penyesalan dan rasa bersalah tanpa
henti itulah yang kurasakan. Tak pernah terbesit jawaban dari pertanyaanku
selama ini akan seperti itu. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Seakan tak
ada artinya lagi aku disini.
Betapa
bodohnya aku ini. Kenapa bisa aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya.
Kenapa bisa aku tak mengerti apa yang tersirat dari setiap gerak-gerik tubuhnya.
Kenapa bisa aku seperti ini. Tak guna lagi untuk protes terhadap waktu. Tak
penting lagi protes terhadap masa lalu. Hanya air mata yang mampu mengartikan
pesan dalam setiap kata demi kata yang tertulis.
Dengan
berat hati kupaksakan lagi untuk membaca sisa surat yang masih tesisa.
Dan setelah kamu membaca ini mungkin
kita tak akan dipertemukan lagi sama Tuhan, apalagi sama hujan. Karena kita
sudah ada didunia yang berbeda. Tapi mungkin aku masih bisa melihatmu. Dibalik
hujan, mungkin. Oh iya, dulu waktu kita masih sering bareng, aku pernah bilang
bahwa aku sangat suka hujan, kenapa? Karena hanya hujan yang dapat mewakili
tangis kesedihanku.
Kamu masih punya waktu untuk melakukan
yang terbaik dalam hidup kamu dan apapun yang terjadi, sekeras apapun itu, seberat
apapun itu, hidup harus tetap berjalan kan? Seperti kata kamu padaku dulu.
Jangan sedih lagi karena kamu harus tetap
kuat! Semangat!
Sekali lagi, makasih untuk semuanya! Semoga
kita bisa dipertemukan kembali! Sampai jumpa!
I’ll always miss U...
Penggalan
terakhir surat tersebut menyadarkan diriku yang sedang rapuh ini. Dia benar
bahwa apapun yang terjadi hidup harus terus berlanjut. Aku mengerti bahwa
kesedihan bukanlah hal yang ia harapkan, karena justru itu takkan membuatnya
bahagia disana. Aku tak perlu risau lagi karena aku percaya bahwa dia akan
selalu melihat dan memperhatikanku, mungkin dibalik hujan atau suatu tempat
diujung sana. Walau aku sendiri tak bisa melihatnya. Tapi setiap tetes hujan
akan selalu mengingatkan aku padanya dan akan selalu menyadarkan aku akan
kehadirannya. Satu hati dimana aku pernah membagi rasa, satu hati dimana aku
pernah berhenti. Itulah dia. Dan dia adalah KAMU,
dan akan selalu ada ‘Aku, Kamu & Hujan’ dengan segala kisahnya.
2 comments
Ka boleh di pingin film gak?izin bikin film nya
Suka cerpennya tapi sakit mata bacanya, tulisannya terlalu kecil kak
Post a Comment