Entah
kenapa saya seperti ingin bernostalgia di bulan ini. Dan entah kenapa pula
ide-ide nulis di blog untuk bulan ini pun hampir sebagian besar bertema
nostalgia. Jadi, buat yang suka mengikuti blog saya (kalau ada) bersiaplah
untuk membaca cerita-cerita tidak penting ke depan tentang diri saya (yang juga
sama tidak pentingnya).
Berbicara
tentang nostalgia, kali ini saya ingin sejenak bernostalgia dengan masa-masa
sekolah dulu. Lebih spesifiknya saya ingin bercerita tentang
kenakalan-kenakalan khas anak sekolah yang pernah saya lakukan. FYI, saya adalah siswa baik-baik yang suka
menabung. Tipikal siswa biasa-biasa saja, nggak neko-neko. Saya juga tidak
nakal, hanya ingin melanggar peraturan saja.
Karena
saya tidak mengalami yang namanya TK apalagi PAUD, maka cerita saya langsung
saja mulai dari SD. Untuk yang tidak mau membaca silakan di-close tab browser-nya. Maklum saya
bukanlah pencerita yang baik. Lagipula ceritanya juga tidak seru-seru amat.
Tapi untuk yang masih mau rela menghabiskan waktu membaca post ini, saya sangat
menghargainya. SUNGGUH! Oh ya,
selain sekolah di SD saya juga sekolah di MD (istilahnya sekolah agama). Jadi
paginya sekolah SD, siangnya sekolah MD dari jam 14.00-16.00 WIB.
– SD –
Seperti
yang saya bilang diatas bahwa sebenarnya saya adalah siswa baik-baik, makanya
ketika hari pertama kali masuk SD ada dua anak yang berkelahi, sayapun
melerainya. Dan bukan akhir perkelahian yang didapat, justru makin
menjadi-jadi. Saya yang tadinya ingin melerai, malah ikut-ikutan. Bahkan saya
yang jadi korban. Ngenes.
Bolos
sekolah pernah saya lakukan waktu kelas I. Pertama kali, saya berangkat dari
rumah, namun tidak datang ke sekolah. Kedua kalinya, saya bilang ke orang tua
saya bahwa hari itu sekolah libur, orang tua percaya-percaya saja dan akhirnya
saya tidak sekolah, bolos, ujung-ujungnya main. Besoknya pas di sekolah, saya
dipanggil wali kelas dan diceramahi. Setelah diceramahi (entah berapa SKS)
sayapun akhirnya tersadarkan. Semenjak saat itu, saya bertekad tidak akan bolos
lagi selain karena alasan yang syar’i (sakit atau izin, Katakan Tidak Pada
Tanpa Keterangan!). Dan memang benar, saya tidak pernah bolos lagi. Kecuali
kabur dari sekolah.
Pengalaman
kabur dari sekolah adalah waktu kelas II dan itu adalah satu-satunya pengalaman
saya minggat dari sekolah. Ceritanya berawal dari gosip ketidakhadiran guru dikelas,
bersama komplotan anak-anak (baca: ‘nakal’), sayapun merencanakan kabur dari
sekolah. Setelah melalui rapat dan penyusunan rencana yang alot, kamipun melancarkan
aksi kabur dari sekolah. Dan yeah, kami berhasil! Semuanya terasa baik-baik
saja buat saya sampai akhirnya dijalan, saya berpapasan dengan ibu saya. Benar,
itu ibu saya yang mau berangkat ke pasar. Sontak saya langsung mengambil jurus
langkah seribu. Sementara ibu saya menggumam, “Awas ya nanti di rumah!”
Ketika
jam pulang sekolah sudah tiba, sayapun kembali ke rumah seolah baru pulang
sekolah. Dijalan saya bertemu dengan teman sekelas yang baik karena tidak kabur
seperti saya. Basa-basi sedikit, ternyata dia membawa kabar buruk. Jadi
katanya, waktu disekolah, guru kelas memang tidak masuk tapi kepala sekolah
masuk kelas. Dan di kolong meja, kepala sekolah menemukan kartu SPP saya (yang
memang telat dikasih dari wali kelas ke saya, pantas saja waktu itu dicari
tidak ada). Sontak saja beliau langsung memanggil nama saya. Ternyata saya
tidak ada, lantas beliau bertanya, “kemanakah
gerangan anak ini?” Tak ada yang menjawab sampai satu orang mengacungkan
tangannya dan berkata, “KABUR, PAK!” Mendengar
cerita itu saya mengguman, “Sial nih
anak-anak! Padahal dari awal sudah di briefing jangan bilang kalau kita kabur. Eh,
bilang juga. Emang nggak solider mereka.” Belum selesai sampai disitu
karena teman saya juga bilang bahwa yang ketahuan kabur cuma saya. Jadi,
diantara beberapa siswa yang kabur cuma saya yang ketahuan kepala sekolah. Sial.
Koq bisa? Ngenes lagi.
Rupanya,
saya memang ditakdirkan untuk jadi anak baik-baik saja. Buktinya, pertama kali
saya kabur dari sekolah langsung ketahuan. Tidak tanggung-tanggung, ketahuannya
sama ibu sendiri dan sama kepala sekolah langsung. Semenjak itu, entah kenapa
suasana rumah dan sekolah menjadi begitu horor bagi saya. Untungnya itu tidak
berlangsung lama. Dan setelah peristiwa itu terjadi, saya jadi trauma kabur
dari sekolah. Dan benar saya tidak pernah melakukannya lagi (kecuali karena
terpaksa).
Ada
satu hari dimana saya terlalu cepat datang ke sekolah. Karena bingung mau
ngapain, saya melancarkan ide iseng saya. Saya berangkat ke toilet untuk
menuntaskan aksi. Ceritanya, saya menyimpan gayung yang sudah diisi air penuh diatas
daun pintu. Pintu saya tutup tapi tidak sampai rapat karena ada gayung
diatasnya. Pokoknya ada sebuah space
yang mengharuskan orang yang ingin ke toilet itu untuk membuka pintu dulu. Dan
otomatis ketika ada orang yang masuk dan mendorong pintu toilet itu, gayung
yang sudah diisi dengan air tadi akan jatuh, airnya tumpah dan membasahi orang
yang membuka pintu tersebut. Aksi saya berhasil dan menelan korban. Saya memang
lumayan sering melakukan aksi ini. Namun biasanya teman-teman yang jadi korban,
sekarang bukan. Kebetulan atau tidak yang jadi korban keisengan saya adalah
kepala sekolah. Sejak tahu itu kepala sekolah, saya juga bertekad tidak akan
melakukan aksi itu lagi. Memang saya tidak ketahuan dan untungnya tidak
ketahuan. Maaf ya Pak atas kelakukan anak
didikmu ini!
Oh
ya, ada yang pernah ingat kalau waktu SD suka nulis nama Si A (laki-laki) terus
dibawahnya gambar hati dibawahnya lagi ditulis nama si B (perempuan) (baca: A
LOVE B). Pasti pernah kan? Saya juga
mengalaminya. Namun sepertinya keisengan saya lebih ekstrim. Jadi saya menulis
A LOVE B itu di potongan-potongan kertas yang banyak. Setelah dirasa cukup
banyak, sayapun menyuruh seorang agen untuk mengamburkannya di kelas si B.
Maklum si A dan si B beda kelas. Misipun berhasil, kelas si B pun jadi kotor
dan dipenuhi kertas bertuliskan A LOVE B. Saya kemudian lari. Seketika itu langsung
jadi DPO (daftar pencarian orang).
Waktu
kelas V, saya pernah membawa teman-teman saya bolos jam pelajaran. Sehabis
pelajaran olahraga, kami memutuskan untuk main ke tempat pemandian alam, kami
menamainya “Ciherang” (Ci=Cai=Air, Herang=Bening). Karena saya menjabat ketua kelas,
hampir semua anak-anak ikut agenda hari itu (sampai anak-anak perempuan pun
ikutan). Ya, mempengaruhi anak-anak SD memang mudah, cukup dengan bilang, “Ah, elo banci kalau kagak ikut!” atau “Kalau elo gak ikut, elo akan dijauhi seanak
kelas!”
Akhirnya,
yang tertinggal di kelas hanya dua siswa (laki-laki dan perempuan) yang kuat
imannya. Sisanya, kami bersenang-senang di alam. Ketika jam sudah mulai siang,
sekitar jam 11 kami kembali. Dan wali kelas sudah menanti untuk meluapkan
emosinya. Kami semua dimarahi. Dan yang paling dimarahi adalah saya karena
ketua kelas. Semenjak itu pula saya bertekad untuk tidak mau lagi menjadi ketua
apapun.
Bicara
kenakalan zaman SD memang banyak hal yang dilakukan, mulai dari membuat kesal
guru, memecahkan jendela kelas karena main bola, merusak peta dunia yang baru
dibeli, coret-coret meja, kursi, tembok, dan masih banyak lagi. Saya bahkan
pernah dipukul pakai gasper sampai berdarah, karena mungkin saya terlalu ribut
saat itu. Tak senang dengan kelakuan saya, ketua seksi keamanan yang adalah anak
perempuan langsung memukul saya tak ampun tanpa saya sadari. Dan hasilnya
kepala saya berdarah. Ngenes kesekian
kalinya.
Kehidupan
sekolah rasanya memang kurang seru kalau kita lurus-lurus saja. Di SD pula
(tepatnya kelas III) saya iseng coba-coba isep rokok. Tapi buat ade-ade yang
masih SD perbuatan-perbuatan diatas sebaiknya jangan ditiru. Mending belajar
yang rajin biar pintar.
Biarpun
begitu, sesungguhnya (saya merasa) apa yang saya lakukan saat itu tidak
nakal-nakal amat. Masih wajarlah untuk ukuran anak SD (mungkin). Di sekolah,
saya juga termasuk anak yang lumayan prestasinya. Setiap tahun selalu masuk
ranking 10 besar (dari bawah). Selain itu, saya juga terkenal sebagai
pujangga yang suka dapat orderan nulis surat cinta dari teman-teman. Jadi, buat
anak-anak perempuan yang pernah dapat surat cinta dari anak-anak laki-laki
kelas saya waktu SD dulu, itu saya lho yang nulis. FYI aja, hehe.
Zaman
SD memang seru. Banyak cerita yang tak terhitung jumlahnya. Takkan cukup bila
ditulis semua disini. Saat dimana semua baru belajar mengenal sebagian kecil
dari dunia ini. Saat dimana semua tak tahu apa-apa, maka wajar bila terlalu
cepat marah. Pernah saling bermusuhan. Pernah saling marah-marahan tapi entah
kenapa selalu menemukan cara untuk bersatu kembali. Kenakalan-kenakalan zaman
dulu biarlah jadi kisah klasik untuk masa depan. Seperti yang pernah saya
nyanyikan didepan kelas dulu.
– SMP –
Selepas
lulus SD, saya melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, SMP. FYI, saya
sesungguhnya tidak bersekolah di SMP melainkan di MTs, tapi itu tidak akan
terlalu menjadi masalah karena toh keduanya ada dalam tingkatan yang sama.
Di
tingkatan SMP, saya tidak seperti SD lagi. Tidak terlalu banyak kenakalan yang
saya lakukan. Karena memang pada dasarnya saya adalah baik-baik. Pendiam dan
rajin menabung. Ngarep. Meskipun
waktu di kelas VII masih suka teriak-teriak di kelas. Pernah nampar teman
sekelas juga. Tapi selebihnya ya normal-normal saja. Ya adapun semacam
terlambat datang ke sekolah, lupa pakai atribut sekolah, atau kena razia
rambut, itu bukan terlalu menjadi masalah. Lagipula saya tidak terlalu sering
melakukannya. Saat itu.
Alasan
saya tidak seperti waktu SD lagi karena disini saya mulai mengenal namanya
organisasi. Saya cukup aktif waktu itu. Dan sering ikut dengan
kegiatan-kegiatan yang ada disekolah. Namun menjelang kelas VIII akhir, saya
jadi lebih sering memberontak di organisasi. Dan jadi penentang para pembina di
kegiatan ekskul sekolah. Saya bersama satu teman saya adalah provokatornya.
Otak dibalik pemberontakan tadi. Hasilnya adalah di kelas IX, saya dan teman
saya tadi dinonaktifkan dan seolah tidak dianggap sama ekskul-ekskul yang ada.
Mungkin pembinanya dendam sama saya. Hehe. Maaf
ya kakak!
Di
umur SMP ini, saya juga kenal namanya gitar dan ngeband. Saya sering main
keduanya. Bahkan saking addict-nya
sama ngeband, saya pernah dimarahi oleh wakil kepala sekolah dan guru
matematika. Ceritanya, waktu malam takbiran (entah lebaran kapan) didaerah saya
ada kumpulan pemuda yang ngadain acara band-band-an. Saya dan teman saya
tadi tanpa pikir panjang lagi langsung ikut tampil disitu. Maklum dulu masih
gila tampil. Setelah perform, muncul
masalah dan ketua RT setempat meminta untuk mengakhiri pertunjukkan. Karena
kegiatan ngeband tersebut dianggap tidak menghormati suasana malam takbiran. Iya juga sih. Emang bener.
Setelahnya,
semua baik-baik saja. Sampai akhirnya waktu masuk sekolah tiba sehabis libur
lebaran. Dan disitulah, hari itu pula, saya dan teman saya tadi langsung
dipanggil oleh wakil kepala sekolah, dimarahi, diberi peringatan, diceramahi,
entah satu atau dua jam pelajaran penuh. Kami berdua pun minta maaf dan
berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Saya pikir saat itu
penghukuman sudah selesai. Hingga tiba pelajaran matematika.
Guru
matematika saya waktu kelas IX memang cukup blak-blakan dalam bicara. Dan
ternyata diapun mendengar kabar bahwa saya dan teman saya malah asyik-asyik
ngeband pada saat malam takbiran. Sontak hari itu pula, hari pertama setelah
libur lebaran, hari dimana masih ada suasana halal bihalal disekolah. Tapi
tidak buat kami berdua. Kalimat pertama yang terlontar dari mulut guru
matematika itu bukanlah membahas tentang libur lebaran, halal bihalal atau
apapun. Melainkan, dengan nada keras, dia berkata, “ada dua anak dikelas ini
yang telah membuat malu sekolah”. Guru tersebut tidak menyebut nama tapi kami
berdua sadar benar bahwa yang dimaksud adalah saya dan teman saya yang
kebetulan satu meja. Dan satu jam pelajaran tersebut digunakan guru matematika
tadi untuk menyindir kami dan kelakuan kami waktu malam takbiran. Dan sindiran
bernada amarah tadi memang lumayan membuat panas telinga kami sampai seisi
kelas terdiam. Kami benar-benar dibuat malu oleh guru tersebut. Sampai saya
tertunduk, dengan lantang dan marah dia bilang, “TUNGKUL SIA, LAH!” (bahasa
sunda).
– SMA –
Waktu
SMA, bisa dibilang saya jadi lebih pendiam dan insecure dibanding SMP, apalagi SD. Saya tidak merencanakan untuk
itu, tapi rasanya memang seperti itu. Terkesan lebih cool (diem), cuek dan misterius dari sebelumnya. Teman-teman di
Kelas X juga memanggil saya “Si Cool” (baca: co’ol, bukan: kul). Entah karena
apa. Tapi tidak ada maksud meniru Rangga AADC juga, karena memang tidak ada
maksud kesana. Walaupun semasa SMA saya suka bersyair sendiri, mengucapkan quote-qoute yang menurut saya keren (dan ternyata dianggap aneh dikalangan
mayoritas teman), sering coret-coret dengan kata-kata yang menurut saya
juga keren, sering membuat lagu, sering berfilosofi sendiri. Jelas saya berbeda
dengan Rangga AADC. Bagai langit dan bumi. Rangga itu langit, saya itu bumi
yang sudah masuk ke dalam-dalamnya. Jauh sekali. Ya, begitulah kira-kira.
Bicara
kenakalan zaman SMA, tidak ada yang terlalu spesial, semuanya standar-standar
saja. Saya sering terlambat datang ke sekolah dan dapat catatan merah karena
itu. Sering juga dihukum karena itu, ya push
up lah, scot-jump lah, sampai
lari keliling lapangan basket. Gara-gara itu pula saya sering bolos jam
pelajaran pertama. Saking seringnya datang terlambat, saya pernah disuruh
pindah sekolah sama wakil kepala sekolah.
Selain
terlambat, saya juga adalah salah satu anak yang sering jadi incaran waktu ada razia
rambut. Sering pakai aksesoris gelang juga. Rambut saya yang agak tebal memang terkesan
dan terlihat godrong dimata guru-guru. Padahal memang beneran gondrong. Tak
aneh bila saya tak pernah absen untuk dipotong gratis dengan gaya rambut tak
karuan ala guru-guru perazia. Saking bosannya dengan hal itu, saya pernah
ngumpet diruang ganti pakaian perempuan karena tak rela rambut ini dipotong
guru lagi. Saat itu cukup berhasil, walaupun pada kesempatan lainnya, akhirnya
kena juga. Apes. Ngenes lagi.
Selain
terlambat dan suka kena razia, saya juga cukup sering nyeker disekolah karena
‘bandel’ tidak mau pakai sepatu warna hitam. Dan sepatu warna putih saya selalu
parkir diruang wakil kepala sekolah, bahkan sampai berhari-hari. Tak jarang
saya pulang tanpa alas kaki, membuat ibu saya naik darah. Ampuni anakmu ini, Bu!
Bicara
tentang kenakalan zaman sekolah, saya memang lebih banyak melanggar peraturan
sekolah dibanding melakukan kenakalan-kenakalan yang macam-macam. Salah satu
hal yang saya langgar adalah tata cara berpakaian, baju saya sering sekali
tidak dimasukkan ke celana. Dan entah saya terlampu kreatif atau apa, baju
seragam saya amatlah berbeda dengan seragam anak lainnya. Model seragam saya
berbeda sekali dengan yang seharusnya. Desain seragamnya, kemeja casual.
Atribut sekolah bisa pasang, bisa dilepas, bebas tergantung situasi dan
kondisi. Untung saja untuk yang satu ini, saya pandai sekali ngeles hingga
tidak terlalu menjadi masalah.
Dipenghujung
SMA tepatnya kelas XII, di semester pertama saya lumayan sering bolos jam
pelajaran dan nongkrong di warung. Hal yang jarang saya lakukan waktu kelas X
atau XI. Di kelas XII itu pula saya sering kali melakukan hal-hal yang
tidak-tidak, seperti membuat gambar yang tidak pantas, yang saya sebar ke meja
teman-teman yang kemudian mengundang keributan dan mengakibatkan penghapus
melayang dilempar guru sejarah. Dikelas XII saya waktu itu, ada kasus yang
hubungannya dengan minuman. Untung saya tidak ikutan-ikutan, maaf biarpun
sering sekali banyak peraturan sekolah saya langgar, tapi untuk urusan
minum-minum begitu, saya tidak pernah. Jangankan minum, merokok pun saya tidak.
Tsah!
Terlepas
dari seringnya peraturan sekolah yang saya langgar. Saya teringat ternyata saya
pernah jadi orang paling menyebalkan waktu SMA. Lebih tepatnya waktu saya jadi
anggota baru ekskul sekolah yang ada hubungannya dengan kesehatan. Ya, saya
benar-benar jadi orang paling menyebalkan disana, saat itu, entah untuk
teman-teman, terlebih buat para senior. Saya juga tidak mengerti, tapi saya
akui saat ini bahwa saat itu saya agak sedikit sombong menyikapi sandiwara
pelantikan yang suka menghadirkan drama penuh emosi yang menurut saya saat itu
tidak berguna. Di ekskul itu pula saya sering melanggar peraturan senior. Sering
membuat naik pitam para senior. Suka menantang senior. Intinya saya benar-benar
menyebalkan. Bahkan saya sendiri pun akan kesal melihat kelakuan orang seperti
saya waktu itu. Terlebih saya selalu memasang muka innocent seakan tidak terjadi apa-apa. Senyum-senyum cengengesan
pula. Parahnya lagi ada dua teman saya ketiban sial karena harus bergaul dengan
orang berdunia suram seperti saya. Akhirnya mereka berdua jadi ikut terbawa
dengan apa yang saya lakukan. Bahkan gara-gara kelakuan kami yang sudah tidak
dapat ditolelir lagi, kami bertiga sempat disidang oleh semua anggota eskul
tersebut. Kami adalah terdakwa. Dan sempat-sempatnya pula waktu disidang,
dengan wajah innocent, saya
senyum-senyum. Padahal seluruh anggota sudah diliputi amarah. Dalam hati,
mereka mungkin bilang, “Tuh orang gak
punya malu kali ya?”
Kalau
boleh jujur saya sebenarnya suka merasa bersalah jikalau mengingat masa-masa
itu. Tsah. Maka dari itu, saya mau
minta maaf sama senior atau siapapun di ekskul yang dulu pernah dibuat kesal
sama kelakuan saya. Dan saya tahu ada senior dari ekskul lain yang benar-benar
kesal setengah mati sama saya. Maaf ya
kakak! Buat semuanya juga, maaf. Hehe. Maklum, kesombongan di masa muda
memang indah adanya.
Dan
selebihnya semua biasa-biasa saja.
Berbicara
kenakalan zaman sekolah, semua orang tentu punya cerita sendiri-sendiri. Entah
itu SD, SMP atau SMA. Kenakalan-kenakalan yang dilakukannya pun berbeda-beda.
Dan saya merasa hal-hal yang saya lakukan masih tergolong kenakalan sekolah
yang wajar. Atau mungkin apa yang saya lakukan tidak masuk kategori nakal. Syukurlah #ngarep. Ya,
melanggar-melanggar peraturan sekolah sedikit mah tidak terlalu masalah. Asal
jangan terlalu berlebihan. Selama masih dalam batas koridor yang ditolelir.
Karena kehidupan sekolah lurus-lurus aja kurang seru juga. Lagipula, seperti
yang saya bilang sebelumnya, saya tidaklah nakal, hanya ingin melanggar
peraturan. Itu saja. Sudah. Tak lebih.
Ah,
ngomongin sekolah jadi kangen. Kangen saat-saat itu. Kangen sama semua
teman-teman. (Pada kemana aja sekarang?
Kapan nih ngumpul-ngumpul lagi?) Kangen sama guru-gurunya. Kangen coretan
cerita yang terukir saat masih ada dalam balutan putih-merah, putih-biru dan
putih-abu. Kangen masa itu.
Dan salam buat semua
sahabat, teman, kawan, dan rekan seangkatan di:
SDN Kasturi
(especially for SDN Kasturi III), kelas A MD PUI Kasturi, MTs PUI Kasturi dan
SMA N I Talaga.
0 comments
Post a Comment