“Kembalilah, Sanji!
Tanpamu, AKU TAKKAN PERNAH BISA JADI RAJA BAJAK LAUT!!!”
- Luffy -
Seperti
yang diperkirakan sebelumnya, pertarungan Luffy dan Sanji benar-benar terjadi. Ini
menambah daftar panjang anggota SHP yang bertarung dengan sang kapten.
Sebelumnya, sudah ada Zoro, Usopp dan Franky. Meski begitu, pertarungan Luffy
dan Sanji kali ini berbeda dengan yang lainnya. Alasannya berbeda. Jalannya
pertarungan pun berbeda. Skenario terburuk tentang kekalahan Luffy pun
benar-benar terjadi. Tapi dalam pertarungan ini, menang dan kalah tak berarti
apa-apa. Duel ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah. Bukan tentang siapa
yang paling banyak terluka karena saling serang. Duel ini tentang begitu
kuatnya ikatan sebuah persahabatan. Kuatnya ikatan yang terjalin setelah sekian
lama berpetualang bersama. Sebuah ikatan kepercayaan.
Di
satu pihak, Sanji sudah tak tahu lagi bagaimana caranya menyelamatkan
orang-orang yang ia sayangi. Ya, salah satu anggota paling tenang ini tengah jatuh
dalam jurang keputusasaan. Di lain pihak, Luffy tahu bahwa apa yang dilakukan
Sanji bukan benar-benar berasal dari hatinya. Baik kata maupun tendangan yang
ia lancarkan, semata-mata bukan karena kehendak lubuk hatinya. Luffy mungkin
menderita luka fisik yang cukup akibat pertarungan, bahkan giginya patah. Tapi
Sanji, menderita luka hati yang begitu dalam karenanya. Pertarungan ini amatlah
bias. Yang dibutuhkan mereka saat ini hanya saling bicara. Luffy butuh Sanji berkata jujur
sejujur-jujurnya. Tapi mustahil pula bagi Sanji. Sulit bagi Sanji untuk meminta
tolong agar diselamatkan seperti halnya Nami. Sulit pula berkata ingin kembali mengarungi
lautan bersama-sama lagi seperti halnya Robin. Keduanya saling memahami, hanya
sedang tak berada dalam kondisi tepat untuk berbicara jujur satu sama
lain.
Di
chapter 843 minggu lalu, saya sempat berujar bahwa Nami cukup mengerti dengan situasi dan
kondisi Sanji saat ini. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, Luffy lah yang
paling paham dan mengerti situasi dan kondisi saat ini. Luffy memang bodoh,
tapi pada situasi tertentu, ia bisa menjadi orang yang paling paham akar sebuah
permasalahan. Beruntung kali ini, ia menunjukkan kedewasaannya sebagai seorang kapten,
sebagai seorang teman yang mempercayai sahabatnya. Sedangkan Nami, ya, selayaknya
wanita, Nami terbawa suasana dan tak sanggup menahan kekecewaan mendalam atas
apa yang dilakukan Sanji. Cukup masuk akal, mengingat Sanji begitu brutal
menghajar Luffy tanpa sedikitpun belas dan ragu. Seolah apa yang telah terjadi
selama ini hanyalah semilir angin yang berlalu. Siapapun tak akan rela, kapten
nya dihajar habis-habisan seperti itu. Belum lagi kata-kata kasar nan merendahkan
yang dilontarkan sebelumnya. Sanji telah membuat hati seorang wanita terluka. Tamparan selamat tinggal sudah cukup
mengejawantahkan perasaan Nami. Hati Nami sudah tertutup untuk Sanji. Lihat! Bahkan
Sanji tak kuasa menatap mata Nami. Artinya, Sanji paham bahwa Nami benar-benar
serius melakukannya. Jika bukan karena Luffy yang bersikeras, mungkin Nami benar-benar
sudah tak mau Sanji ada di kru lagi.
Dan seperti
yang kita lihat, Sanji melanjutkan perjalanannya menuju istana, berusaha
menghiraukan sahabatnya di belakang. Sementara Luffy bersikukuh
tetap menunggu Sanji kembali. Nami hanya bisa meratap sedih, tak bisa berbuat apa-apa atas semua yang terjadi. Ini memang
menyakitkan. Tapi setidaknya kita tahu, bahwa Sanji masihlah Sanji. Hatinya masih
tersentuh mendengar semua kata-kata Luffy. Dengan kata lain, tak sedikitpun Sanji
menghilangkan mereka dari hatinya. Sekasar-kasarnya sikap Sanji, tak sepatah katapun ia ucapkan tentang meninggalkan kru. Ingatan-ingatan tentang mereka masih hinggap
di kepala Sanji. Bahkan Sanji meneteskan air mata saat pergi meninggalkan Luffy
dan Nami.
Sejatinya,
tak banyak yang bisa dibahas dari chapter ini, karena secara umum memang tidak
menyajikan banyak informasi yang berbuah teori atau spekulasi bagi fans. Meski begitu, chapter
ini sukses membuat speechless. Sukses
membuat beberapa kali menahan nafas. Terdiam. Rasanya semua emosi bercampur
aduk jadi satu. Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dan rasa itu masih terjaga, bahkan setelah
selesai membaca. Saya tak mau memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Saya
masih mau menikmati setiap moment emosional di chapter ini.
Touching!
0 comments
Post a Comment