“We’re bad guys, it’s
what We do.”
– Harley Quinn –
Rasanya
semua setuju jika ‘Suicide Squad’ adalah film yang paling dinantikan
kehadirannya semenjak teaser trailer-nya
mulai diperkenalkan ke publik pada ajang comic-con. Selepas itu, berturut-turut
trailer keren yang diiringi lagu klasik dari Bee Gees dan Queen yang seakan
membuncahkan antusiasme itu. Tak ketinggalan sosok Joker versi Jared Leto yang
ditengarai mampu melanjutkan estafet pemeran Joker berikutnya setelah Heath
Ledger. Harapan dan ekspektasi tinggi membumbung tinggi disematkan pada Suicide
Squad agar menjadi titik balik DCEU yang dianggap kurang berhasil dalam
membangun universe-nya.
Awalnya,
semua terlihat baik-baik saja. Sampai akhirnya ‘Batman v Superman: Dawn of Justice’
yang dianggap tidak berhasil menggoyahkan idealisme mereka. Pihak studio kalang
kabut melihat respon masyarakat pada ‘BvS’. Mereka menjadi tidak percaya diri
dengan apa yang mereka buat dan rencanakan pada DCEU sebelumnya. ‘Suicide Squad’
pun jadi tumbalnya. Proses syuting ulang dilakukan untuk menambahkan
adegan-adegan yang dianggap mampu menjaring animo masyarakat lebih banyak.
Rating R pun dirubah menjadi PG-13 agar semakin memperluas jangkauan pasarnya. Hasilnya?
Bertubi-tubi
kritikan menghujam film arahan David Ayer ini. Saking gerahnya, para fans
fanatik sampai tak terima dan sempat membuat petisi untuk menutup situs
rottentomatoes yang dikenal tanpa ampun melempar tomat busuk untuk film yang
tak disukainya. Banyak desas-desus tentang permasalahan yang mengiringi proses
produksi ‘Suicide Squad’. Seperti deadline
script yang terlalu mepet dengan proses syuting, test screening, editing
dsb. Gosipnya, setidaknya ada 6 (enam) versi cut dari Suicide Squad. Pada saat test screening, pihak studio menguji dua versi Suicide Squad (versi
dark dan versi fun). Daripada memilih salah satu versi, pihak studio malah
menyatukan dua versi tersebut secara paksa dengan proses editing yang terburu-buru. Entah berita ini benar atau tidak, tapi editing yang sedikit kacau cukup terasa
saat filmnya sudah rilis. Bahkan tak sedikit yang menyebut bila editing trailer-nya jauh lebih baik
daripada editing versi bioskopnya.
Ditengah
tempaan kritik yang menghujam, perolehan boxoffice
‘Suicide Squad’ justru cukup menjanjikan. Selama dua minggu berturut-turut
tangga boxoffice pertama masih diduduki
oleh ‘Suicide Squad’. Apakah ini yang diinginkan pihak studio? Mungkin saja. Bila
dilihat sekilas, memang ‘Suicide Squad’ punya kans besar untuk menjaring
penonton lebih banyak. Filmnya sendiri ringan dan fun. Tipikal film hiburan seru-seruan yang tak perlu pusing
berpikir mengenai hukum sebab akibat atau logika. Cukup lihat bagaimana para penjahat
yang menjadi jagoan melawan ancaman yang mengancam bumi. Tapi sebaliknya, bila
dilihat lebih dalam, kritikan yang disematkan pada ‘Suicide Squad’ sepertinya
bukan tanpa alasan.
Secara
konsep, ‘Suicide Squad’ punya keunikan yang tak dimiliki film sejenis. Membuatnya
menjadi antitesis dari film-film bertema superhero yang sudah jamak kita saksikan.
Ke-nyelenehan-nya dalam menjadikan para supervillain
DC menjadi pasukan yang akan menyelamatkan dunia dari ancaman sangat dinanti. Menjanjikan.
Namun konsep hanyak tinggal konsep jika tak mampu mengolah atau
mengembangkannya dengan benar. Dan inilah yang terjadi dengan ‘Suicide Squad’. David
Ayer selaku nahkoda utama seolah kebingungan meramu racikan yang tepat dalam
memperlakukan Task Force X secara
layak. Yang terasa adalah kelabilan yang begitu terasa disemua aspek. Agak disayangkan
sebenarnya, mengingat Ayer pernah menyajikan film perang keren sekelas ‘Fury’
tahun lalu.
Introducing awal ‘Suicide Squad’ pada dasarnya
sangat menarik. Masalah muncul justru setelahnya. Kelabilan memang menjadi akar
permasalahan dari ‘Suicide Squad’. Entah itu pada tone cerita, editing
sampai karakterisasi para karakternya. Nomor-nomor lagu klasik nan populer hanya
sekedar nyanyian yang hanya terlihat keren semata, tapi tidak memiliki esensi
dengan adegan dan cerita secara utuh. Adegan-adegan yang pernah ditampilkan di
trailer banyak dibuang. Joker yang paling dinantikan kehadirannya tak lebih
dari sekedar pengganggu yang annoying.
Bahkan apa yang diperihatkan Jared Leto pada kita sejatinya bukanlah Joker
musuh bebuyutan Batman. Joker disini hanya seorang penjahat gila dan menakutkan
saja tapi tidak pernah menjadi Joker yang sebenarnya. Dan ya, screen-time Leto sebagai Joker banyak
yang dibuang karena satu dan lain hal. Tapi itu bukan alasannya.
Membawa
banyak karakter dalam satu frame membuatnya
terlihat gemuk. Dan sudah lumrah bila semua individu harus berbagi satu sama
lain dan menonjolkan beberapa diantaranya. Hal ini yang juga coba ditampilkan
disini. Ada karakter yang diekspos lebih seperti Harley Quinn dan Deadshot. Sementara
sisanya tampil sebagai pelengkap. Pada dasarnya, bukan masalah seberapa besar
porsi karakter yang banyak itu berperan, melainkan tingkat keberkesanan mereka.
Dan inilah yang tidak didapat karakter lain selain Harley Quinn dan Deadshot. Terlepas
dari sedikit atau tidaknya peran mereka, karakter mereka benar-benar tidak
memberi kesan yang dalam. Bahkan ada yang kehadirannya tidak terlalu
berguna sama sekali. Untuk ukuran film yang memasang karakter yang sudah
memiliki karakteristik unik sedari awal, ‘Suicide Squad’ amat mengecewakan.
Barisan
Task Force X sendiri tampil cukup melankolis
untuk ukuran supervillain. Padahal mereka
adalah penjahat-penjahat kelas kakap yang bahkan harus ditangani superhero seperti Batman dan The Flash
untuk memenjarakannya. Dan lebih menggelikan lagi, perubahan karakter mereka yang
terlalu berubah drastis. Bahkan mereka terlihat seperti hero yang bersahabat daripada supervillain
yang jahat. Padahal dalam komiknya, mereka tetaplah villain badass yang tak kehilangan jati dirinya sebagai penjahat. Ucapan
para karakternya bahwa mereka adalah “bad
guys” hanya bentuk penegasan yang kosong agar kita sebagai penonton tidak
salah paham. Tapi ujung-ujungnya, kita seolah dibuat harus memihak mereka
sebagai pahlawan. Terlepas bahwa sebenarnya mereka adalah penjahat.
Adalah
kelabilan yang sedang dialami DCEU ditangan Warner Bros dan DC saat ini. DCEU terlalu
ambisius untuk segera menyusul MCU. Terlalu ambisius agar filmnya disukai semua
orang. ‘Suicide Squad’ adalah korban dari kelabilan mereka sendiri. Beruntung mereka memiliki ensemble cast yang tampil teramat baik. Yang mampu menolong kualitas 'Suicide Squad' secara keseluruhan. Tanpa mereka, entah akan seperti apa hasilnya. Padahal, apa salahnya membangun
DCEU sedikit demi sedikit? Setahap demi setahap? Apa salahnya tetap berpegang
pada niat awal untuk membuat DCEU yang berbeda dengan MCU? Apa salahnya jika
film-film DCEU lebih kelam dan dewasa? Sejujurnya, saya sangat ingin menyukai
DCEU melebihi MCU. Saya sangat ingin menyukai ‘Suicide Squad’ melebihi film lain
yang rilis tahun ini. Tapi melihat keadaan bertolak belakang seperti ini. Apa
mau dikata. Semoga ‘Wonder Woman’ dan ‘Justice League’ tahun depan tak berakhir
sama seperti ini. Dan ‘Suicide Squad’ bukanlah misi bunuh diri DC dan Warner Bros.
0 comments
Post a Comment