Nama
James Wan dan film horor menjadi kombinasi paling klop dalam satu dekade
terakhir. Diawali dengan menukangi Saw (2004), kemudian Dead Silence (2007)
sampai akhirnya menemukan kepopulerannya lewat Insidious (2011), nama James Wan
sudah jadi pertaruhan paling menjanjikan ketika berbicara film horor. The
Conjuring (2013) dan Insidious Chapter 2 (2013) adalah bukti nyata yang semakin
mengukuhkan namanya sebagai filmmaker
horor paling handal di era modern sekarang. Maka tak beralasan jika sekuel The
Conjuring yang bertajuk ‘The Enfield Poltergeist’ disambut begitu hangat oleh
khalayak.
The
Conjuring sendiri adalah sebuah fenomena dalam genre horor di era sekarang.
James Wan sukses membuat sebuah presentasi memikat dalam balutan formula horor klasik
yang khas namun tetap berkelas. Hal yang sangat jarang ditemui dalam horor
modern konvensional di zaman sekarang, dimana kualitas cerita berbanding lurus
dengan tampilan visualnya. Tidak hanya itu, karena James Wan pun piawai
memainkan rasa horor yang sanggup menakuti penontonnya lewat rangkaian jump scares yang tepat dan efektif. Tapi
lebih dari itu, bagi saya pribadi, The Conjuring adalah alasan terbesar kenapa
saya mau menengok kembali film-film horor supranatural. Sebuah genre yang
sempat saya tinggalkan karena begitu membosankannya. Ya, kalau mau jujur, film
horor supranatural konvensional (khususnya
haunted house) hanya begitu-begitu saja. Dan The Conjuring mematahkan
kebosanan itu.
Banyak
yang bilang The Conjuring itu benar-benar menakutkan tapi sejauh yang saya
ingat, saya tidak pernah benar-benar dibuat takut saat menontonnya. Well, ini hanya masalah persepsi saja,
tapi harus saya akui bahwa The Conjuring punya kualitas yang mampu memberi
pengalaman menonton film horor yang menyenangkan. Terlebih konklusi The
Conjuring begitu masuk di logika saya ketika si arwah jahat yang merasuki tubuh
manusia harus dilawan dengan jiwa dari dalam manusia itu sendiri. Hal seperti ini
relatif jarang ditemui, karena mayoritas film horor kadung melekat dengan image perilaku bodoh para karakternya.
Seperti saat ketakutan si karakter malah seringkali lari ke tempat yang lebih
sepi dan gelap. Atau yang paling mudah, lihat saja bagaimana konklusi Annabelle
(2014) yang tak kalah bodohnya.
Pada
dasarnya, definisi menakutkan atau menyeramkan dari sebuah film horor itu
sangatlah relatif dan subjektif. Kadar horor yang menakutkan atau menyeramkan
bagi setiap orang pun berbeda-beda. Mungkin satu film bisa sangat horor buat
sebagian orang, tapi kadang itu tidak berlaku buat sebagian yang lain. Alasan
saya malas nonton film horor khususnya horor supranatural adalah karena saya
tidak pernah benar-benar dibuat takut oleh film horor tersebut. Horor itu
sendiri sebenarnya lebih kompleks daripada sekedar penampakan menakutkan, teror
pembunuh sadis atau bentuk lainnya. Buat saya, horor itu lebih menitikberatkan
pada masalah psikis dimana kita merasa tidak nyaman akan sesuatu yang mengganggu
dengan sebab tertentu. Bentuknya beragam. Saya pribadi, jarang sekali merasakan
sensasi horor saat menonton film horor bahkan oleh The Conjuring sekalipun. Bukan
karena saya tak kenal takut, mungkin saya yang tidak sadar, atau mungkin saya memang
tidak peduli dengan “hantu-hantu” begitu. Meski demikian, sensasi horor pernah
benar-benar saya rasakan saat menonton We Need To Talk About Kevin (2011).
Uniknya, film tersebut bukanlah film horor melainkan sebuah drama keluarga.
Secara
umum, The Conjuring 2 masihlah sama dengan film-film horor James Wan yang kita
kenal. Disana masih ada rumah berhantu. Disana masih ada keluarga yang diteror
makhluk tak kasat mata. Disana masih bertebaran jump scares yang siap memberi kejutan. Disana masih ada penampakan-penampakan
yang siap menghantui. Disana masih ada warna-warna kelam yang membuat gerah. Dengan
kata lain, The Conjuring 2 masih sangat repetitif dengan horor James Wan yang
lain. Namun bukan berarti The Conjuring 2 ini film yang jelek. Tidak sama sekali.
Memang saya sendiri lebih menyukai The Conjuring dibanding sekuelnya. Namun
diantara jeda waktu semenjak Insidious Chapter 2 rilis sampai sekarang, hampir
tidak ada film horor supranatural konvensional yang memiliki kualitas cukup ok.
Dan The Conjuring 2 masuk mengisi kekosongan itu.
Embel-embel
kisah nyata masih melekat dengan The Conjuring 2 tatkala Wan meminjam peristiwa
supranatural terseram yang menimpa keluarga Hodgson di London. Peristiwa yang
begitu terkenal sekitar tahun 1977-1979 dan tercatat sebagai peristiwa
supranatural yang paling banyak didokumentasikan hingga saat ini. Yang
membuatnya menarik adalah bahwa rumah Hodgson sendiri bukanlah bangunan yang
terletak sendirian ditengah hutan. Tak seperti rumah keluarga Perron di seri
sebelumnya atau Amityville House yang jadi segmen pembuka, rumah Hodgson
terletak dalam lingkungan yang cukup ramai dalam sebuah komplek perumahan. Dari
sini, The Conjuring 2 sudah punya pembeda dibanding predesesornya.
The
Conjuring 2 memberi ikatan drama yang lebih emosional pada hubungan Ed dan
Lorraine sebagai pasangan suami istri. Hal yang belum sempat di-push lebih dalam dari seri sebelumnya.
Beruntung, chemistry Patrick Wilson
dan Vera Farmiga masih sangat ampuh sebagai pasangan. Dan disaat Patrick Wilson
dan Vera Farmiga mempertontonkan chemistry apik, Madison Wolfe menjelma menjadi
bintang dari The Conjuring 2. Berperan sebagai Janet yang dalam kisah aslinya menjadi
anak yang paling sering mengalami kejadian gaib, Madison Wolfe berhasil memberi
penampilan menawan dengan jangkauan dimensi yang luas. Mulai dari senang, sedih,
tertawa, menangis, takut sampai marah sukses ia tampilkan. Penampilannya
sedikit mengingatkan saya pada karakter Regan MacNeil (The Exorcist) meskipun
tidak sampai seekstrim itu. Fokus yang begitu kuat terhadap karakter Janet
sedikit banyak berpengaruh terhadap porsi dan relasi antarkarakter. Terutama ikatan
keluarga Hodgson sendiri yang masih kalah bila dibanding ikatan keluarga Perron.
Diawali dengan cukup menarik, The Conjuring 2 memilih
menurunkan tensinya di pertengahan. Durasi yang lebih panjang dari sebelumnya
terasa lama yang berujung melelahkan dan membosankan. Mungkin plotnya akan
lebih padat dan berisi jika durasinya sedikit dipangkas. Hal ini pun sedikit berimbas
terhadap klimaksnya yang terasa kurang menggigit. Terlebih karakter film horor
James Wan sudah mudah ditebak karena terasa sangat repetitif. Untungnya,
karakter hantu The Conjuring 2 itu menarik dan ikonik. Meski akhirnya Valak
malah jadi bulan-bulanan netizen dalam buaian meme-meme lucu. Haha. Satu hal yang
tak dipunyai The Conjuring adalah The Conjuring 2 memiliki lagu klasik populer
yang begitu menyenangkan setiap kali terdengar. Seolah memberi warna ceria
ditengah suasana yang suram. Sebut saja London Calling dari The Clash atau I
Started a Joke dari Bee Gees. Patrick Wilson malah sempat menyumbangkan
suaranya lewat lagu Can’t Help Fallin’ in Love with You. Salah satu moment
manis ditengah teror Bill Wilkins.
Untuk
kadar horornya saya tidak bisa berbicara banyak karena ini amatlah relatif dan
subjektif. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya lebih menyukai The
Conjuring dibanding sekuelnya ini. Seperti yang sudah-sudah, saya sendiri pun belum
benar-benar merasakan sensasi horor yang benar-benar kuat saat menonton film
ini. Mungkin ini efek menonton siang-siang di bulan ramadhan atau bagaimana,
saya kurang tahu. Mungkin akan lain ceritanya jika saya menontonnya
malam-malam. Ah, saya tidak tahu. Sensasi horornya mungkin tidak berada dalam
taraf maksimal tapi moment mengangetkannya masih cukup bekerja. Dan ditengah
sepinya horor supranatural konvensional yang mampu memberi kesenangan menonton film
horor akhir-akhir ini, The Conjuring 2 muncul ke permukaan sebagai salah satu
alternatif jawaban di garda paling depan.
0 comments
Post a Comment