“If
you die, and I live, I'd have nothing. Nobody else that I care about” – Peeta Melark
Tahun 2012 lalu, awalnya saya tidak begitu tertarik dengan ‘The Hunger
Games’. Pasalnya film ini sering kali dibandingkan dengan ‘Twilight’, sehingga
interpretasi saya pada film ini luntur. Maklum saya kurang begitu tertarik sama
film-film bertipe seperti ‘Twilight’ begitu. Tapi setelah saya cari tahu lebih
jauh dan tahu premis ceritanya (Yes, I
Love It!). Apalagi melihat beberapa review yang positif + plus pendapatan box-office-nya yang cukup gila. Tanpa
basa basi saya menonton film ini dan hasilnya, cukup MEMUASKAN!
‘The Hunger Games: Catching Fire’ masih melanjutkan kisah pertamanya.
Dimana Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Melark (Josh Hutcherson) yang memenangkan pertandingan The Hunger Games ke-74 melakukan tur kemenenangan mereka pada semua
distrik di Panem. Sejatinya hal itu
jadi hal yang menyenangkan, tapi tidak bagi Katniss
dan Peeta. Mereka berdua mengalami
pergolakan batin yang amat sangat rumit. Kisah cinta palsu dan
kebohongan-kebohongan yang mereka buat akan membuat kehidupan di Panem menjadi lebih baik dan normal,
ternyata tidak. Pemberontakan-pemberontakan rakyat pada Capitol malah semakin menjadi. Presiden Snow (Donald Sutherland) yang sadar akan hal ini, berupaya
menyingkirkan Katniss yang ia anggap sebagai
ancaman terbesar yang akan menggulingkan kekuasannya. Dengan bantuan gamemaker baru Plutarch Heavensbee (Phillip
Seymour Hoffman), presiden Snow akhirnya
melanjutkan seri ke-75 The Hunger Games
yang bertajuk Quarter Quell. Quarter Quell ini terasa istimewa karena mengumpulkan semua pemenang-pemenang dari
seri The Hunger
Games sebelumnya dan membuat game kali ini menjadi
lebih mematikan.
Perpindahan sutradara dari Gary Ross ke tangan Francis
Lawrence (Constantine, I
Am Legend) dan penulisan naskah yang
digarap dua penulis kelas oscar Simon Beaufoy (Slumdog Millionaire, 127 Hours) dan Michael Arndt (Little Miss Sunshine, Toy Story 3) sepertinya
memberi banyak dampak signifikan pada THGCF. Dari tangan-tangan mereka THGCF
dibawa ke tingkatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. THGCF mampu tampil lebih
kuat dari pendahulunya, seakan menepis sebuah stigma bahwasanya sebuah sekuel
tidak akan lebih baik dari film pertamanya.
Di film pertamanya yang lebih menekankan pada kisah
survival-nya Katniss, THGCF memberi gaya
penceritaan yang lebih kompleks. Banyak hal yang diungkap disini. Intrik-intrik
politik dan sosial diungkap lebih dalam. Hampir separuh film berkutat disini. And I like it. Kisah cinta segitiga Katniss, Peeta dan Gale (Liam Hemsworth) mendapat porsi lebih
tapi juga tidak berlebihan (walaupun
scene kissing-nya berlebihan). Terlebih lagi karena jalinan romansa ini
bukan hanya sekedar pemanis tapi justru jadi salah satu elemen penting dan
berkesinambungan dengan cerita yang semakin membuat film tampil lebih
emosional. Adegan aksi yang berbalut sinematografi indah arahan Joe Willems juga tampil begitu memukau.
Walaupun sebagai film bunuh-bunuhan hampir tidak ada adegan yang bisa dibilang
brutal atau sadis. Tapi itu bukanlah masalah, karena THGCF jauh lebih dari itu.
Menilik pada departemen cast-nya, semua actor dan actrees bermain apik sesuai porsinya. Ditambah karakter-karakter pendukung
yang mendapat ruang lebih banyak untuk mendalami karakter yang mereka mainkan
sebelumnya. Dan ngomongin departemen casting, tentu tak bisa lepas dari bintang
utama film ini, Jennifer Lawrence.
Dan lagi-lagi Jennifer Lawrence tampil
gemilang layaknya seorang bintang. Cool.
Apalagi karakter Katniss terasa lebih
humanis dan manusiawi disini. Sosok wanita yang terkadang rapuh menghadapi
berbagai permasalahan walaupun dari luar terlihat kuat.
Overall, sebagai sebuah sekuel THGCF mampu tampil lebih
baik dari sebelumnya. Walaupun terlihat seperti pengulangan dari film
pertamanya, formula THGCF tetap tampil memikat dengan berbagai elemen dan rasa
baru yang dihadirkan disini. Lebih kaya, padat dan berisi. Francis Lawrence berhasil membuat THGCF sebagai jembatan perantara
sebelum bagian final yang tampil kuat diberbagai sisi. Lawrence juga berhasil memvisualisasikan novel Suzanne Collins ini menjadi sebuah presentasi hiburan yang
berbobot. Tampil meriah dengan joke-joke
ringan, kejutan-kejutan yang intens dan tensi ketegangan yang terjaga sepanjang
durasi film. Menyentuh penonton secara emosi. Dan tanpa sadar bahwa film
sepanjang dua jam lebih itu telah selesai.
So, see you in Mockingjay!
0 comments
Post a Comment