Monday, December 9, 2013

Tentang Film ‘The Hunger Games: Catching Fire’

 
“If you die, and I live, I'd have nothing. Nobody else that I care about” – Peeta Melark

Tahun 2012 lalu, awalnya saya tidak begitu tertarik dengan ‘The Hunger Games’. Pasalnya film ini sering kali dibandingkan dengan ‘Twilight’, sehingga interpretasi saya pada film ini luntur. Maklum saya kurang begitu tertarik sama film-film bertipe seperti ‘Twilight’ begitu. Tapi setelah saya cari tahu lebih jauh dan tahu premis ceritanya (Yes, I Love It!). Apalagi melihat beberapa review yang positif + plus pendapatan box-office-nya yang cukup gila. Tanpa basa basi saya menonton film ini dan hasilnya, cukup MEMUASKAN!
‘The Hunger Games: Catching Fire’ masih melanjutkan kisah pertamanya. Dimana Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Melark (Josh Hutcherson) yang memenangkan pertandingan The Hunger Games ke-74 melakukan tur kemenenangan mereka pada semua distrik di Panem. Sejatinya hal itu jadi hal yang menyenangkan, tapi tidak bagi Katniss dan Peeta. Mereka berdua mengalami pergolakan batin yang amat sangat rumit. Kisah cinta palsu dan kebohongan-kebohongan yang mereka buat akan membuat kehidupan di Panem menjadi lebih baik dan normal, ternyata tidak. Pemberontakan-pemberontakan rakyat pada Capitol malah semakin menjadi. Presiden Snow (Donald Sutherland) yang sadar akan hal ini, berupaya menyingkirkan Katniss yang ia anggap sebagai ancaman terbesar yang akan menggulingkan kekuasannya. Dengan bantuan gamemaker baru Plutarch Heavensbee (Phillip Seymour Hoffman), presiden Snow akhirnya melanjutkan seri ke-75 The Hunger Games yang bertajuk Quarter Quell. Quarter Quell ini terasa istimewa karena mengumpulkan semua pemenang-pemenang dari seri The Hunger Games sebelumnya dan membuat game kali ini menjadi lebih mematikan.
Perpindahan sutradara dari Gary Ross ke tangan Francis Lawrence (Constantine, I Am Legend) dan penulisan naskah yang digarap dua penulis kelas oscar Simon Beaufoy (Slumdog Millionaire, 127 Hours) dan Michael Arndt (Little Miss Sunshine, Toy Story 3) sepertinya memberi banyak dampak signifikan pada THGCF. Dari tangan-tangan mereka THGCF dibawa ke tingkatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. THGCF mampu tampil lebih kuat dari pendahulunya, seakan menepis sebuah stigma bahwasanya sebuah sekuel tidak akan lebih baik dari film pertamanya.


Di film pertamanya yang lebih menekankan pada kisah survival-nya Katniss, THGCF memberi gaya penceritaan yang lebih kompleks. Banyak hal yang diungkap disini. Intrik-intrik politik dan sosial diungkap lebih dalam. Hampir separuh film berkutat disini. And I like it. Kisah cinta segitiga Katniss, Peeta dan Gale (Liam Hemsworth) mendapat porsi lebih tapi juga tidak berlebihan (walaupun scene kissing-nya berlebihan). Terlebih lagi karena jalinan romansa ini bukan hanya sekedar pemanis tapi justru jadi salah satu elemen penting dan berkesinambungan dengan cerita yang semakin membuat film tampil lebih emosional. Adegan aksi yang berbalut sinematografi indah arahan Joe Willems juga tampil begitu memukau. Walaupun sebagai film bunuh-bunuhan hampir tidak ada adegan yang bisa dibilang brutal atau sadis. Tapi itu bukanlah masalah, karena THGCF jauh lebih dari itu.
Menilik pada departemen cast-nya, semua actor dan actrees bermain apik sesuai porsinya. Ditambah karakter-karakter pendukung yang mendapat ruang lebih banyak untuk mendalami karakter yang mereka mainkan sebelumnya. Dan ngomongin departemen casting, tentu tak bisa lepas dari bintang utama film ini, Jennifer Lawrence. Dan lagi-lagi Jennifer Lawrence tampil gemilang layaknya seorang bintang. Cool. Apalagi karakter Katniss terasa lebih humanis dan manusiawi disini. Sosok wanita yang terkadang rapuh menghadapi berbagai permasalahan walaupun dari luar terlihat kuat.
Overall, sebagai sebuah sekuel THGCF mampu tampil lebih baik dari sebelumnya. Walaupun terlihat seperti pengulangan dari film pertamanya, formula THGCF tetap tampil memikat dengan berbagai elemen dan rasa baru yang dihadirkan disini. Lebih kaya, padat dan berisi. Francis Lawrence berhasil membuat THGCF sebagai jembatan perantara sebelum bagian final yang tampil kuat diberbagai sisi. Lawrence juga berhasil memvisualisasikan novel Suzanne Collins ini menjadi sebuah presentasi hiburan yang berbobot. Tampil meriah dengan joke-joke ringan, kejutan-kejutan yang intens dan tensi ketegangan yang terjaga sepanjang durasi film. Menyentuh penonton secara emosi. Dan tanpa sadar bahwa film sepanjang dua jam lebih itu telah selesai.
So, see you in Mockingjay!

0 comments