Monday, November 26, 2012

Cerpen: Aku, Kamu dan Hujan


Senja tertutupi kabut hitam kelam yang beriringan membentuk gumpalan gelap menyelimuti hamparan biru yang terang. Burung-burung bertebaran tanpa arah. Semua seperti berubah. Kilatan berwarna keemasan mewarnai gelapnya gumpalan itu. Hingga tak berapa lama berselang jutaan tetes air tumpah membasahi tanah yang kering ini. Hujan! Itulah yang terjadi. Sudah lama sekali hal itu tak terjadi ditempat ini. Dan sepertinya euforia musim hujan telah tiba.
“Hujan lagi? Disaat seperti ini?”, pikirku. Saat itu aku memang harus cepat-cepat menuju suatu tempat untuk sebuah hal. Dan karena hujan, langkahkupun terhenti. Aku berlari, bergegas mencari tempat yang bisa menaungiku dari hujan, hingga aku berhenti di suatu tempat.
Detik terus bergulir. Cukup lama aku berdiri terdiam menunggu hujan berhenti. Hingga tak sadar bahwa aku telah melupakan sesuatu. Dan tampaknya tak berarti lagi hal itu untukku. “Ya sudahlah! Lain kali juga bisa”, gumamku dalam hati dengan sedikit menyesal.
Dalam keheninganku, aku melihat justru diluar sana terlihat begitu ramai. Suara hujan yang damai, menebarkan aroma kesejukan sempurna disambut elemen-elemen alam yang bahagia karena kehadirannya. Tetes-tetes air memanjakan tanah yang sudah lama kehausan, menyejukkan makhluk-makhluk hijau yang telah lama merindukan hadirnya. Angin kebahagiaan membawa hawa baru bagi kehidupan. Semua menyatu, menari dan menyanyi menyuarakan kebahagiaan dan kedamaian. Butiran-butiran bening menghampiriku seakan menyapa dengan santun dan mengajak tubuh ini untuk turut dalam euforia itu. Hingga akupun larut dan terhanyut bersama alam dalam tarian dan nyanyian, menyenandungkan semua hal tentang alam dan hujan.
Euforia berakhir. Semua tertawa bahagia. Burung-burung bernyanyi dengan merdunya, kupu-kupu bertebaran kesana kemari, bunga-bunga bermekaran penuh warna. Seakan menyambut hidup baru dari kelamnya kehidupan lama. Awan hitam perlahan-lahan menepi dan menjauh, memberi kesempatan pada hangatnya cahaya mentari khas senja yang ingin segera menyapa dunia. Diselimuti selaput warna-warni mengelilingi untaian sinar yang menghampiri. Mereka tersenyum, berseri penuh rona kebahagiaan yang tak mampu dijelaskan lagi. Akupun makin larut dalam suasana dan fenomena elok ini. Belum juga hal itu berlalu, ternyata ada satu hal menakjubkan lagi melebihi apa yang telah terjadi tadi, dan itu adalah....kamu. Ya kamu. Walaupun aku belum tahu siapa kamu.
Aku tertegun melihat sesosok hawa yang berjalan dari arah sebuah belokan beberapa meter didepanku. Ia kemudian berhenti dan menunduk untuk merapikan tali sepatunya yang terlepas. Ia kemudian berdiri, terdiam sejenak lalu menoleh kehadapanku. Menutupi kehangatan cahaya mentari, sosok sang hawa itu ternyata lebih menakjubkan dari apapun. Mentaripun tersipu malu karena kalah eloknya oleh sosok tersebut. Takjub! Itu yang kurasakan. Karena belum pernah aku melihat karya surga dari sosok seorang hawa seperti yang aku lihat saat ini. Saat aku melihatnya aku tak percaya bahwa aku telah melihat hal terindah yang tak pernah aku bisa lukiskan keindahannya. Aku seperti berada dalam ruang dan waktu dalam dimensi yang berbeda dari dunia ini. Hingga aku melihatnya seperti tersenyum, akupun semakin terpesona, terdiam,  terpana tanpa bisa berkata-kata. Membuat dunia ini seakan berhenti berputar, waktupun tak lagi berdetak. Semua terhenti, hening dan sunyi. Memandangi aku yang takjub dengan kehadirannya. Sampai dia berlalu bersama terbenamnya mentari diufuk barat.
 Derap langkahnya masih terasa sampai itu benar-benar menghilang. Dan akhirnya kumandang adzan maghrib menyadarkanku dari hal yang menghipnotisku itu. Semuanyapun kembali seperti sedia kala. Dunia kembali berputar, waktupun kembali bergulir. Dan aku? Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, karena keindahan itu masih terus menyelimutiku. Mungkin itulah anugerah, anugerah yang sangat indah, yang pernah tak pernah aku temui dimanapun.
Sejak saat itu, aku bertekad bahwa aku harus bertemu dengannya lagi. Dimana saja, kapan saja, entah bagaimanapun caranya. Karena aku tak tahan kalau aku tak bisa bertemu lagi dengannya. Mengenalnya hingga bisa tertawa bersama, itulah harapanku. Dan terima kasih hujan, karena disini, ditempat ini, melalui takdir-Nya, hujan telah mempertemukan aku dengan dia meskipun itu hanya sekejap.
Hari semakin gelap, akupun bergegas pulang. Dalam perjalanan, sampai aku tiba, hingga aku terlelap melepas kelelahan hari ini. Pikiranku selalu melayang mengawang-ngawang, terganggu karena ia selalu menghantui pikiranku. Dan anehnya aku malah merasa bahagia, karena saat memikirkannya aku tak merasa sendiri, aku tak kesepian lagi. Memikirkannya saja sudah seperti ini apalagi kalau dia benar-benar berada disampingku. Sungguh tak bisa dibayangkan.
***
Sang fajar mulai menyingsing diiringi merdunya suara adzan yang menyambut sebuah hari yang cerah dalam pagi yang menakjubkan ini. Menyapa seluruh jiwa yang terlelap dalam belaian bunga mimpi. Butiran-butiran cahayapun mulai mendekat pada setiap hati yang masih terdiam. Rangkaian-rangkaian warna membentangkan sebuah harapan besar untuk hari ini. Membangkitkan serpihan-serpihan semangat hidup yang dulu pudar dan kini telah kembali lagi. Dan aku berdoa untuk hari ini, semoga aku dapat bertemu dengannya. Akupun mulai melangkah menyambut indahnya hari ini. Menjalani hari-hariku sebagaimana biasa dengan semangat baru, semangat yang kudapatkan sejak aku melihatnya.
Waktu terus berlalu. Terasa lama kurasa karena sejak pagi pikiran ini sudah tak menentu, terusik oleh sosok dirinya. Hingga saat yang ditunggupun tiba. Dan beberapa jam sebelum hari benar-benar gelap. Aku harus bergegas ke sebuah tempat. Tempat yang mungkin bisa mempertemukan aku dengannya.
Sesampainya disana, aku langsung berkeliling disekitar tempat tersebut sambil membawa harapan besar yang sesungguhnya masih sangat abstrak. Dan setelah kesana-kemari aku baru sadar ternyata tempat tersebut adalah sebuah taman. Taman itu terletak diatas dari tempat kemarin aku berteduh. Indah sekali. Karena bisa-bisanya ada taman seelok itu ditempat seperti ini.
Setelah cukup lelah berjalan, langkahku terhenti disebuah pohon besar. Aku terduduk mengistirahatkan tubuh yang penat ini. Cukup lama aku terduduk dan ternyata hal yang aku tunggu-tunggu tidak datang juga. Aku jadi sangat kecewa dibuatnya. Akupun berencana untuk pulang dan melupakan saja mimpi itu. Tapi baru saja aku berdiri, tanpa pesan sebelumnya, hujan datang. Akupun mengurungkan niatku untuk pulang.
Hujan terus berderai semakin deras, aku masih terdiam. Lalu mataku tertuju pada satu sudut dimana aku melihat seseorang dengan menutupi wajahnya berlari karena kehujanan dan mencari tempat berteduh. Lalu berlarilah dia ke arahku. Aku begitu terkejut karena ternyata dialah yang aku tunggu-tunggu. Dialah orang yang aku lihat kemarin. Itulah kamu. Sepertinya ini memang jalan Tuhan mempertemukan kita lagi lewat perantaraan hujan.
Perasaan berkecamuk dalam pikiranku. Bingung, tak tahu harus melakukan apa, namun ada perasaan bahagia yang tak terkira disini. Aku berpikir bahwa ini adalah saat yang ditunggu-tunggu, bodoh sekali kalau aku biarkan ini berlalu begitu saja. Akupun mulai mendekati dan menyapanya. Dia hanya tersenyum tanpa berkata karena kedinginan, tanpa pikir panjang kulepaskan jaketku dan kupakaikan padanya. Dan dari sanalah kami mulai saling mengenal.
Sejak saat itu, kami menjadi semakin dekat. Intesitas pertemuan kami menjadi semakin sering. Kami jadi lebih saling mengenal, cerita ini, cerita itu. Hujanpun selalu menjadi alasan kenapa kami selalu bertemu tanpa disengaja. Kami menjadi sangat terbiasa berteduh dibawah pohon ditaman itu. Hingga kami menamai taman tersebut dengan taman hujan. Taman itu memang indah. Terlebih lagi saat hujan. Karena taman ini kami bertemu dan ditaman ini pulalah kami mulai merangkai hari bersama.
Semua itu terjadi begitu singkat tapi waktu-waktu yang telah dilalui, membuat dia jadi sangat berarti bagiku, membuat cerita ini tak lagi sama seperti waktu yang sudah-sudah. Karena dia sungguh indah bagiku. Sosoknya berbeda dengan hawa-hawa lain yang pernah aku temui sebelumnya dalam hidupku. Aku ingin selalu berada disampingnya, menjaganya, melindunginya dari semua hal yang bisa mengusik ketentraman hidupnya. Karenanyalah hidupku kembali berwarna. Karenanyalah aku mengerti arti kata sempurna. Karenanyalah aku semakin mensyukuri hidup.
***
Di sabtu pagi yang begitu istimewa, hujan turun. Tapi justru itu menyenangkan bagiku. Karena kalau hujan turun berarti alam mengizinkan kami untuk bersama. Ya, hari itu memang hari dimana kami berdua berencana untuk menghabiskan waktu bersama. Tanpa beban aku mulai melangkah, karena hujan akupun memakai payung untuk dapat kesana. Akupun tiba disana, ditaman hujan, taman bersejarah dan sarat akan makna. Berdiri dibawah pohon tempat biasa kami bertemu. Beberapa saat berselang, yang dinantipun tiba. Aku kembali terperanjat tak berdaya melihatnya berdiri dihadapanku, laksana bidadari turun dari surga berlindung dibawah payungnya yang anggun. Menghentikan semua butiran-butiran hujan yang jatuh, menyejukkan alam yang terdiam karena kehadirannya. Desir angin membelai rambutnya yang seakan menari mengartikan kedatangannya. Dia sungguh cantik hari ini. Dan...??? Ya, dan tak pernah secantik.., secantik hari ini. 
“Hai! Udah lama nunggu?”, sapanya.
“Nggak! Baru koq”, jawabku. “Udah siap?”, tanyaku.
Dia hanya tersenyum tersipu. Kubalas pula dengan senyuman. Lalu dia mengahampiriku lebih dekat. Dan beberapa detik kemudian.
 “Oh iya, sebelum kita berangkat, bagaimana kalau kita ukir nama kita dipohon ini?”, tanyanya.
“Boleh. Boleh banget. Lagian pohon inikan punya cerita buat kita”, jawabku.
“Iya gitu?”, tanyanya seakan tak yakin.
“Oh, nggak yah. Ya udah kata-katanya diralat. Pohon inikan punya cerita sendiri buat aku”.
“Becanda koq. Kebiasaan kamu mah ahh! Makanya jangan terlalu .... dong!”, guraunya. “Emang bener, seperti kamu bilang pohon ini memang punya cerita buat kita. Buat aku, kamu, taman ini dan hujan tentunya”, sambil tersenyum.
“Setuju!”, kataku semangat.
Kamipun mulai mengukir nama kami dipohon tersebut. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang indah. Hujan mulai reda, kami berlari ketengah-tengah taman dengan wajah berseri-seri. Kemudian melemparkan payung secara besamaan seperti wisudawan-wisudawati melemparkan topi wisudanya.
“Selamat pagi dunia!”, teriaknya semangat. “Sambut kami dunia! Sambutlah kami dunia!” teriaknya makin keras.
“Dan bersiaplah dunia, karena kami akan menggenggammu hari ini!”, teriakku juga.
Seperti yang aku duga hari itu adalah hari yang benar-benar menyenangkan bagi kami berdua. Kami benar-benar menikmati kebersamaan ini. Merangkai hari dengan tawa. Menjajaki setiap jengkal dunia dengan senyuman. Melingkari setiap helaan nafas dengan canda. Melintasi langit luas yang membentangkan semua harapan. Meluluhkan setiap keluh dunia yang selalu menghinggapi kehidupan. Menghapuskan semua serpihan-serpihan perih yang selalu datang tanpa diundang. Hingga tak sadar bahwa hari akan gelap. Kitapun langsung kembali ke taman hujan untuk merencanakan hari esok.
Setelah ditaman hujan kami langsung duduk dibawah pohon seperti biasa. Melepas letih setelah seharian bersenang-senang. Saling terdiam satu sama lain. Lalu tertawa bersama-sama.
“Indah ya hari ini?”, tanyaku.
“Hmmm!”, jawabnya sambil mengangguk. Lalu dia bertanya, “Bolehkah aku bersandar dipundakmu? Sebentaar aja?”.
Aku terdiam dan merenung. “Jangankan pundak! Apapun akan kuserahkan untukmu, bahkan kalau perlu seluruh raga ini untukmu”, akuku dalam hati.
“Boleh nggak?”, tanyanya agak keras.
“Oh, boleh, boleh. Tentu. Apa sih yang nggak buat kamu?”, candaku.
Kemudian dia menyandarkan kepalanya dipundakku. Lalu berucap, “Makasih ya untuk hari ini. Aku seneng banget. Tak pernah aku sesenang ini sebelumnya. Sekali lagi makasih ya!”
“Sama-sama!”, jawabku simple.
Gerimis mulai menyapa. Setiap tetesnya menghinggapi diri kami yang letih. Tenang dan menenangkan. Tak ada yang indah saat itu selain moment tersebut.
Hujan mulai reda dan sesaat sebelum hari benar-benar gelap.
“Oh iya. Aku boleh minta sesuatu nggak sama kamu?”, tanyanya antusias.
“Minta apa?”, aku balik bertanya.
“Nggak. Jadi, gini bagaimana kalau kita menuliskan pengalaman kita selama ini, pokoknya kita ungkapin apapun yang ingin kita ungkapin sejujurnya lewat surat? Gimana? Setuju nggak?”, tanyanya makin antusias.
“Boleh! Ide bagus tuh. Tapi ntar suratnya kita apain?”
“Suratnya kita masukin dalam botol itu tuh! Liat! Ntar kita kubur dibawah pohon ini. Aku kubur disini, kamu kubur dibelakangnya. Oh iya, pas nulisnyapun kita saling membelakangi ya jadi kita tidak tahu satu sama lain. Lalu kita biarkan, jangan dibongkar dulu. Kita biarin 30 hari terkubur, kalau udah 30 hari, kita kembali kesini dan membongkarnya bersama-sama. Aku buka punya kamu, kamu buka punya aku. Ok?”
“Ok!”
“Nih kertas sama pulpennya!” (sambil mengeluarkan kertas dan pulpen dari tasnya). “Sekarang? Ayo kita lakukan!”
Akupun menerima pemberiannya, lalu bergegas ke belakang dan mulai kutulis semua hal yang ingin aku ungkapkan. Diapun demikian.
Beberapa saat setelahnya.
“Aku udah selesai! Kamu udah belum?”, tanyanya.
“Bentar lagi”, jawabku. Setelah membereskan sisa tanah yang masih tersisa, “Ok, aku udah! Aku kesana ya!”
Hari sudah gelap. Haripun telah berganti menjadi malam. Sinar mentari diganti dengan sinar bulan sabit yang sedikit-sedikit tertutupi awan hitam. Hanya bintang-bintang bertaburan yang menaungi malam. Kami masih duduk dibawah pohon tersebut. Suasana menjadi hening saat itu. Ada suasana yang berbeda sepertinya. Sesaat kami saling terdiam tanpa suara, hanya suara jangkrik yang sesekali memecah keheningan. Sesungguhnya aku heran melihat dia yang tadinya ceria tiba-tiba menjadi pendiam dan seakan menyembunyikan sesuatu yang sepertinya berat sekali untuk diungkapkan. Rasa-rasanya ada aura kesedihan berat yang ia tanggung sendiri. Tapi aku berpura-pura untuk tidak tahu hal itu dan membiarkannya tetap nyaman dalam pundakku. Hingga akhirnya dia beranjak sampai begitu mengejutkanku, lalu menggenggam tanganku dan menatapku. Lama. Dalam dan penuh makna. Aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari sorot matanya menyiratkan kesedihan yang begitu dalam. Berat sekali tatapannya seperti ingin berkata “Kamu bisa gak merasakan apa yang kuderita, lewat genggaman tanganku ini?”. Genggamannya kian erat kemudian setetes air mata jatuh dari kedua matanya. Aku menjadi semakin tak mengerti tentang apa gerangan yang terjadi. Maaf dan terima kasih itulah kata yang ia ucapkan. Aku jadi semakin bertanya-tanya.
“Kamu kenapa? Ada apa?”, tanyaku penasaran.
“Nggak. Nggak ada apa-apa koq. Hanya saja....” (sambil memalingkan muka).
“Hanya apa? Kamu kenapa? Ada apa?”
“Hanya....?, nggak deh. Nggak ada apa-apa. Hanya menangis bahagia mungkin. Udah malam nih. Udahan yuk. Aku kayaknya mau pulang!”
Sesungguhnya aku tak percaya itu tapi aku  lebih memilih diam dan membiarkannya seperti itu saja.
“Jangan bengong!”, katanya sambil mengusap wajahku. “Udah ya, aku mau pulang. Nggak usah dianter koq. Kasian kamunya nanti capek. Aku juga bisa pulang sendiri. Oh ya, satu lagi jangan sedih ya! Daahhhhhh!”
Baru tiga langkah dia beranjak, diapun kembali dan tanpa diduga mendaratkan bibirnya dipipiku. Kemudian berlalu dari hadapanku. Dari kejauhan lalu menoleh dan melambaikan tangan sambil tersenyum. Hingga bayangnya sudah tak berbekas hilang ditelan angin malam. Aku? Aku masih terdiam merenung dengan sejuta tanya tanpa ujung yang mengganggu pikiranku. Kejadian tadi mengisyaratkan kalau sepertinya ini adalah hari terakhir kita bertemu. Terlintas dibenakku dua kata (selamat tinggal) dari setiap gerak-gerik yang kubaca dari bahasa tubuhnya.
***
Seperti yang aku takutkan, esoknya aku tak bisa melihatnya lagi. Hari berikutnyapun demikian. Dan begitu seterusnya. Aku mencari ke berbagai tempat tapi tak berhasil bahkan ke tempat biasa kami bertemu, taman hujan. Hasilnya sama. Hujanpun tak lagi turun disini seakan tak mengizinkan kami untuk bertemu lagi seperti dulu. Hari-hari begitu kelam terasa. Membuatku gelisah tak menentu. Hatiku hampa. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Dirinya seakan hilang ditelan bumi. Tawanya sirna ditangkap sang langit. Senyumnyapun musnah terhapus sang angin. Semua menghilang menjauh dari kehidupanku. Membuatku tak berdaya karena aku belum sanggup bila harus kehilangan dia sekarang.
Begitulah hari-hari berjalan sampai tak terasa bahwa ini sudah hari ke-30 sejak hari itu. Akupun teringat dengan surat yang pernah dikubur dulu dan aku yakin bahwa aku bisa menemukan jawabannya disana. Sejak pagi aku sudah berangkat menuju taman hujan. Aku langsung menghampiri pohon tempat biasa aku menunggu, mengharapkannya akan datang. Sepanjang hari aku menunggu ternyata dia tak terlihat juga. Sedikit mengusir kegundahan aku berjalan disekitar taman. Disana aku melihat bayangan dimasa lalu. Tawa, canda, senyum, suka, duka terukir ditaman ini, taman hujan ini. Menyisakan kepiluan bagiku. Disatu sudut aku melihat burung yang dulu pernah kami obati kakinya yang patah dan sekarang dia telah bahagia dengan keluarganya yang baru. Disudut lain aku melihat pohon kecil setinggi lutut yang pernah kami tanam dulu yang dibayangkan kalau pohon itu sudah besar pohon itu akan jadi peneduh buat kami kelak.
 Tanpa lelah aku masih menunggu dan menunggu kehadirannya. Sampai mentari sudah tinggal selangkah lagi untuk terbenam. Hari ternyata sudah senja. Hujan turun lagi disini. Tapi semua berbeda tak ada lagi aura kebahagiaan seperti dulu. Alam berduka, semua bersedih hujanpun turun lebih seperti air mata dari kesedihan yang dalam. Hujan menangis.
Berjuta pertanyaan terus menyelimutiku sampai aku memutuskan untuk membongkar apa yang telah kami kubur dulu. Kuraih botolnya, kukeluarkan suratnya kemudian aku mulai membaca surat yang telah ia tulis dan isinya adalah:

Hai! Apa kabar? Kamu baik-baik sajakan?
Maaf ya telah membuat kamu khawatir, maaf karena selama 30 hari ini aku gak ada disamping kamu. Aku tahu pasti kamu mempertanyakan keberadaan aku dimana. Sekali lagi maaf ya!
Sejujurnya aku tak bisa mengungkapkan ini secara langsung padamu makanya saat itu aku memutuskan untuk mengungkapkannya dalam bentuk surat saja. Terlalu berat buatku untuk mengungkapkannya secara langsung karena aku tak sanggup melakukannya. Aku takut kamu sedih mendengarnya. Aku harap kamu ngerti ya!
Terlihat aku memang seperti orang kebanyakan. Kamu pasti melihat aku baik-baik saja, tak ada apapun yang terjadi padaku. Tapi sudah hampir setahun ini aku menderita kanker aneh yang tak bisa disembuhkan sama apapun. Aku dan keluargaku telah berusaha tapi hasilnya tetap sama. Sejak saat itu aku menjadi sangat depresi dan meyerah dalam hidup ini. Aku menjadi sangat emosional membuat orang terdekatku menjadi khawatir dengan keadaanku. Aku sangat menyesali keadaanku yang seperti ini. Dan beberpa hari sebelum aku ketemu kamu. Aku divonis dokter bahwa dalam waktu 2-3 bulan kedepan umurku sudah tidak ada lagi. Hal itu jelas-jelas sangat melukaiku. Aku tak sanggup menanggung beban seberat ini sendiri. Tapi apa daya, aku hanya manusia yang tak punya kekuatan apapun untuk menentang hal ini.
Aku menghabiskan waktuku dalam kesendirian meratapi apa yang terjadi padaku. Dan ditaman inilah aku mencurahkan semua isi hatiku karena taman ini indah namun sepi, sesepi hatiku. Hingga hari itu aku melihat kamu. Tak tahu mengapa, tapi suara hatiku mengisyaratkan bahwa kamu adalah orang yang akan menghilangkan kesedihanku. Mungkin inilah jalan Tuhan yang mengingatkan aku agar tak menyesali hidup. Akupun bisa tersenyum karena itu. Hingga kamu melihat aku. Sampai akhirnya kita seing bersama.
Begitu banyak hal yang aku alami denganmu walaupun itu singkat. Kamu membalutkan perih dan pedihku, menanggung separuh bebanku dan itu membuatku bahagia. Kamu telah merubah hidupku yang tinggal sedikit ini dengan sentuhan kehangatan yang membuatku hidup kembali. Denganmu aku tak menyesalinya lagi, aku jadi sangat siap dengan apa yang akan terjadi denganku nanti. Bahkan kematian sekalipun.
Kamu. Kamu sangat baik padaku. Makasih ya untuk segalanya, untuk setiap detik yang kita jalani. Sehingga aku dapat tertawa, tersenyum lagi walapun awalnya sangatlah berat. Dan maaf selama ini aku telah berbohong tentang keadaanku. Tak sepantasnya aku berbohong untuk orang seperti kamu.
Dan hari dimana kita saling menulis surat aku bilang bahwa setelah 30 hari barulah kita bisa membukanya. Kenapa 30 hari? Karena begitulah kata dokter yang pernah memvonisku. Dia bilang bahwa dalam 30 hari ini ada hari dimana umurku sudah tak ada lagi. Tapi mereka tak tahu persisnya kapan hari itu akan tiba. Itulah alasannya. Aku takut kalau dalam waktu tersebut kita bertemu aku akan mati dihadapanmu. Maka sebelum 30 hari ini aku memilih berpisah denganmu saja. Biar hal itu tak terjadi.

Aku terkejut. Sangat, sangat terkejut dengan hal itu padahal surat itu sendiri belum benar-benar selesai kubaca. Seakan tak percaya, kubaca lagi surat itu dari awal lebih hati-hati dan perlahan, berharap aku salah membacanya. Berulang-ulang aku lakukan tapi semua sama, tak ada yang berubah dan tak ada yang salah dari surat itu. Sampai aku benar-benar tersadar. Tubuhku kaku dan melemah, lidahku kelu. Air mataku tumpah. Tak kuasa hatiku menangis, hujanpun menangis semakin menjadi. Jiwaku berteriak, petirpun berteriak semakin keras. Alampun murung mendengarnya. Warna seakan hilang disini. Membisu dan berangsur-angsur memudar. Tanpa adanya terang semua begitu gelap terasa. Aku terpaku menyadari semua yang telah terjadi. Dan tak mampu merubahnya. Penyesalan dan rasa bersalah tanpa henti itulah yang kurasakan. Tak pernah terbesit jawaban dari pertanyaanku selama ini akan seperti itu. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Seakan tak ada artinya lagi aku disini.
Betapa bodohnya aku ini. Kenapa bisa aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kenapa bisa aku tak mengerti apa yang tersirat dari setiap gerak-gerik tubuhnya. Kenapa bisa aku seperti ini. Tak guna lagi untuk protes terhadap waktu. Tak penting lagi protes terhadap masa lalu. Hanya air mata yang mampu mengartikan pesan dalam setiap kata demi kata yang tertulis.
Dengan berat hati kupaksakan lagi untuk membaca sisa surat yang masih tesisa.

Dan setelah kamu membaca ini mungkin kita tak akan dipertemukan lagi sama Tuhan, apalagi sama hujan. Karena kita sudah ada didunia yang berbeda. Tapi mungkin aku masih bisa melihatmu. Dibalik hujan, mungkin. Oh iya, dulu waktu kita masih sering bareng, aku pernah bilang bahwa aku sangat suka hujan, kenapa? Karena hanya hujan yang dapat mewakili tangis kesedihanku.
Kamu masih punya waktu untuk melakukan yang terbaik dalam hidup kamu dan apapun yang terjadi, sekeras apapun itu, seberat apapun itu, hidup harus tetap berjalan kan? Seperti kata kamu padaku dulu.
 Jangan sedih lagi karena kamu harus tetap kuat! Semangat!
Sekali lagi, makasih untuk semuanya! Semoga kita bisa dipertemukan kembali! Sampai jumpa!
I’ll always miss U...

Penggalan terakhir surat tersebut menyadarkan diriku yang sedang rapuh ini. Dia benar bahwa apapun yang terjadi hidup harus terus berlanjut. Aku mengerti bahwa kesedihan bukanlah hal yang ia harapkan, karena justru itu takkan membuatnya bahagia disana. Aku tak perlu risau lagi karena aku percaya bahwa dia akan selalu melihat dan memperhatikanku, mungkin dibalik hujan atau suatu tempat diujung sana. Walau aku sendiri tak bisa melihatnya. Tapi setiap tetes hujan akan selalu mengingatkan aku padanya dan akan selalu menyadarkan aku akan kehadirannya. Satu hati dimana aku pernah membagi rasa, satu hati dimana aku pernah berhenti. Itulah dia. Dan dia adalah KAMU, dan akan selalu ada ‘Aku, Kamu & Hujan’ dengan segala kisahnya.

1 comments

desvia ambar December 22, 2017 at 5:32 PM Reply said... Reply

Ka boleh di pingin film gak?izin bikin film nya