“I
don't want to be just one thing. I can't be.
I want to be brave, and I want to
be selfless, intelligent, and honest and kind.
Well, I'm still working on kind”
- Four -
Pada
dasarnya buku dan film adalah dua media yang sangat berbeda. Dan mengadaptasi
cerita dalam sebuah buku menjadi bentuk visual memang gampang, gampang, susah.
Tentunya tidak akan mudah menerjemahkan tiap lembar halaman buku menjadi sajian
visual dengan durasi yg terbatas. Maka dari itu, film akan melakukan modifikasi
disana-sini dan berusaha memaksimalkan durasinya yang sempit tanpa harus
menghilangkan esensi dari buku itu sendiri. Nah bagaimana dengan adaptasi novel
‘Divergent’ karangan Veronica Roth
ini?
Inti
cerita dari ‘Divergent’ sendiri adalah tentang dunia (dalam bentuk kota Chicago) di masa depan dimana umat
manusia dibagi menjadi 5 (lima) faksi berdasarkan sifat alamiahnya yaitu Dauntless (The Brave), Amity (The
Peacefull), Candor (The Honest), Erudith (The Intelligent) dan Abnegation (The Selfless). Namun tidak
semua orang cocok dengan ke-5 faksi tersebut, ada orang-orang tertentu yang
punya sifat lebih dari satu faksi. Mereka dinamakan Divergent. Masalahnya Divergent
itu dianggap mengancam, berbahaya dan harus dimusnahkan. Dan ketika proses tes pemilihan
faksi dilakukan, Beatrice Prior
(Shailene Woodley) menemukan dirinya adalah seorang Divergent.
Adaptasi novel menjadi film memang semakin
marak di kancah perfilman hollywood.
Setiap tahun selalu ada film yg memang diadaptasi dari sebuh novel apalagi yg
bertema young adult. Tapi entah mana
yang lebih nikmat, baca novelnya dulu baru nonton filmnya atau sebaliknya. Untuk
‘Divergent’ ini, saya membaca novelnya terlebih dulu. Mungkin itu alasan terkuat
kenapa saya mau nonton film ini. Tak dapat dipungkiri memang ketika menonton
film yg diadaptasi dari sebuah buku sementara bukunya telah kita baca, kesan
membanding-bandingkan pasti melekat di benak kita. Tapi pada kasus ini saya beruntung
karena telah membaca novelnya terlebih dahulu. Kenapa?
Ya,
karena bagi para penonton yg tidak membaca novelnya siap-siap untuk diajak
berbingung ria. Ini terbukti dari 1-2 penonton disebelah saya yg sepertinya
kebingungan mengenai arah film ini. Pertanyaan kenapa ini begini, awalnya
gimana, maksudnya apa dsb tercetus dari mulut mereka. Hal ini cukup beralasan
karena sepertinya Neil Burger (The Illusionist & Limitless) bersama penulis naskahnya Evan Daugherty & Vanessa Taylor seperti kurang cermat
meramu bagian-bagian dari novel yang potensial sebagai aspek pembangun atensi
penonton di paruh pertamanya. Temponya juga naik turun. Ketika temponya
melambat Neil Burger terkesan
melama-lamakan setiap scene yang
justru tidak begitu penting dan bisa dipercepat. Namun disaat temponya mulai
naik, justru banyak moment-moment esensial yang terlewatkan sehingga semuanya
seperti berlalu begitu saja.
Masalah
lainnya yang cukup mengganggu buat saya adalah film ini terlalu berfokus pada Beatrice ‘Tris’ Prior dalam perspektif
yang sangat sederhana dan sempit. Hubungan keluarga, persahabatan, asmara (yang ini saya tidak peduli) &
karakter2 disekitar Tris kurang
begitu digali, Peter contohnya.
Padahal hal itu merupakan element-element penting yang membangun kisah dari
film pertama ‘Trilogi Divergent’ ini.
Selain
itu, ‘Divergent’ juga jatuh pada level yang serba tanggung. Penonton tidak
diberi effort lebih untuk ikut peduli dan merasakan permasalahan yang diangkat
dalam ‘Divergent’. Aspek-aspek ketegangan yang dibangun pun sangat tanggung.
Padahal menurut saya, begitu banyak moment menegangkan dalam buku yang cukup
potensial untuk diangkat. Sayangnya, selain banyak yang dihilangkan, ketegangan
dalam ‘Divergent’ pun masih kurang menggigit. Contohnya saja, adegan-adegan
pada saat proses inisiasi Dauntless
berlangsung atau adegan bagaimana Tris dan Four mencoba kabur dan melakukan aksi
penyelundupan yang dilakukan Tris harusnya bisa sangat menegangkan. Tapi ternyata
tidak. Untungnya, scene-scene yang
berfungsi mengundang tawa penonton mampu berjalan efektif. Walaupun tidak
sampai gimana-gimana, setidaknya seisi bioskop cukup riuh dan terhibur.
Dari
segi cast-nya, memang lebih baik bila
dibandingkan kemasan ceritanya. Shailene
Woodley sebagai tokoh utama di film ini tampil cukup baik. Melihatnya
mengingatkan kita akan sosok Katniss
Everdeen di ‘The Hunger Games’. Gelagat sosok Tris ketika menjadi masih menjadi faksi Abnegation dan beralih menjadi faksi Dauntless mampu digambarkan Woodley
dengan baik. Walaupun saya merasa sisi rapuhnya masih kurang tergali dan
sosoknya malah terlihat sangat kuat. Yang cukup menarik justru Theo James yg berperan sebagai Four. Ya, di pikiran saya sosok Four itu memang seperti apa yang Theo James lakukan disini. Yang agak
mengecewakan justru datang dari Jai
Courtney dan Kate Winslet. Khusus
untuk Jai Courtney, saya sangat
mengharapkan dia menjadi sosok yang menyeramkan sebagai Eric yg terkenal dengan
tatapan mata tajamnya. Kate Winslet? Kemunculannya
memang sedikit tapi sebagai dalang utama dibalik semua kekacauan ini, saya
merasa dia masih terlalu baik. Kurang kejam. Kurang dingin.
Sebenarnya
dengan sedikit bersabar dan mencoba untuk menyatu dengan suasananya, film ini
masih cukup menyenangkan. Setidaknya ini lebih baik dibanding ‘Beautiful
Creatures’ atau ‘The Host’ yang rilis tahun lalu di periode yang sama dengan ‘Divergent’.
Buktinya ‘Divergent’ langsung meraih posisi pertama tangga boxoffice di minggu pertamanya. Disisi lain, visualisasi kondisi Chicago
dimasa depan juga lumayan, ada nuansa sendu disana. Scene-scene di detik-detik pertamanya malah tampil sangat
meyakinkan menurut saya.
Overall, film ini memang tidak jatuh pada
level yang rendah (buruk). Memang masih dibawah ekpektasi, tapi tetap Ok koq.
(Serius!) Cuma nggak luar biasa aja. Film ini hanya terjebak di bagaimana
pemilihan element-element penting dalam buku diangkat dalam film. Dan bagaimana
cara mengeksekusi cerita tanpa harus terkesan tanggung, dipaksakan dan
terburu-buru dalam durasi yang sebenarnya cukup panjang, 139 menit.
Sebagai
sebuah adaptasi novel dan pembuka sebuah trilogi, saya rasa ‘Divergent’ kurang
berhasil membawa dunia ‘Divergent’ ini menjadi sesuatu yang akan menjadi hype di seri berikutnya (setidaknya buat
saya). Ceritanya mungkin saja akan lain kalau saya langsung nonton filmnya saja
tanpa membaca bukunya terlebih dulu. Akan menjadi tugas yang cukup berat untuk
sekuelnya nanti, ‘Insurgent’. Semoga akan lebih baik.
Kita
tunggu saja!!!
0 comments
Post a Comment