[...] Sebelum masuk ke
tulisan utama, saya baru sadar ternyata tulisan ini, tulisan lama dan
udah dari tahun 2012 lalu nyempil di draft dan nggak pernah saya publish.
Berbicara
mengenai ‘on time’ tentu tak akan pernah lepas dari lawan katanya yaitu
terlambat. Dan berbicara soal keterlambatan, beberapa waktu lalu saya pernah
lewat depan SD dan saya melihat ada beberapa anak yang menunggu diluar dengan
wajah begitu murung seakan penuh penyesalan karena gerbang sekolah ditutup dan
mereka tak bisa masuk. Saya berpikir bahwa anak-anak tersebut terlambat datang
sehingga mereka tidak langsung dimasukkan gurunya saat siswa lain tengah
berbaris di lapangan upacara. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada saya
saat itu yang juga datang terlambat ke kampus. Tapi berbeda dengan anak SD
tadi, seperti tak ada perasaan menyesal, saya berjalan dengan santainya tanpa
merasa bahwa sebenarnya saya sudah terlambat. Alasannya sederhana saja, karena
kebiasaan dosen yang datang terlambat makanya sayapun berbuat demikian dengan
keyakinan bahwa dosen tsb tidak akan lebih ‘on time’ dari saya.
Keterlambatan
bukan hal aneh bagi saya, mungkin juga buat orang lain yang ada didunia ini.
Pada awalnya, rasa keterlambatan saya mulai ada pas saya masih duduk di bangku
sekolah dasar. Dulu setiap saya berangkat ke sekolah, saya selalu melihat
anak-anak SMA yang nongkrong dengan santainya (padahal jelas-jelas mereka sudah terlambat ke sekolah), ngobrol,
tertawa, bercanda, bersenda gura dan itu terlihat keren menurut saya. Sehingga
pernah terlintas di pikiran bahwa kalau sudah SMA maka saya akan seperti itu.
Dan akhirnya, pas saya SMA semua itu terbukti.
Sejak
SMA mulailah rasa keterlambatan itu muncul. Sebelum benar-benar berangkat ke sekolah saya selalu nongkrong, ngumpul
sama teman-teman dan ketika waktu menunjukkan keterlambatan barulah saya
berangkat. Dan akhirnya, hal-hal seperti berdiri didepan sekolah, diceramahi
guru, dihukum, dapat catatan merah absensi, tidak masuk kelas jam pertama atau
lari keliling lapangan sudah menjadi hal yang lumrah. Bahkan yang paling
ekstrem adalah disuruh pindah sekolah gara-gara keseringan datang terlambat.
Sebenarnya
saya bukanlah termasuk orang yang parah dalam urusan keterlambatan, masih
banyak orang yang lebih parah dalam urusan keterlambatan dibandingkan saya.
Tapi pada dasarnya mau kita terlambat sedetik, semenit, sejam atau seharianpun,
terlambat ya terlambat dan tak ada alasan untuk itu. Walaupun kadang ada alasan
yang sangat logis untuk terlambat, tapi kadang hal itu tidak begitu berarti.
Banyak
faktor sebenarnya yang membuat orang mengalami keterlambatan. Latar belakang
sosial, lingkungan, pola pikir, kebiasaan dan keadaan hidup orang saat itu bisa
membuat orang mengalami keterlambatan. Dan semua itu berujung pada satu kata,
alasan. Alasan tentu ada yang memang benar-benar logis dan bisa
dipertanggungjawabkan, ada pula yang dibuat-buat demi menutupi kesalah diri.
Yang menyedihkan adalah orang menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, karena mau
buat alasan macam apapun, alasannya tetap tidak akan diterima siapapun.
Dan
hari dimana saya lewat depan SD tadi itulah yang saat ini merubah pandangan
saya. Saya yang dulu merasa bahwa keterlambatan itu adalah hal yang biasa dan
cenderung menganggap hal itu keren (terutama
pas SMA) sedikit demi sedikit saya rubah.
‘On
Time’ itu ternyata jauh lebih baik daripada kita terlambat. Dengan ‘On Time’
kita bisa jauh lebih menghargai waktu bahkan kita bisa sangat menghargai diri
kita sebagai seorang individu. On Time dalam hal apapun bisa menjadikan diri
kita disiplin, bertanggung jawab dan penuh ketaatan terhadap suatu aturan yang
mengikat kita dimanapun kita berada, kitapun tak akan merasa terbebani dengan
apapun yang akan mengikat kita nanti.
Ketika
kita memilih ‘on time’ untuk setiap hal maka itu adalah pilihan yang benar. Walaupun
pada kenyataannya ketika kita berkomitmen untuk ‘on time’, lingkungan tempat
dimana harus ‘on time’-pun kadang tidak seperti yang diharapkan. Seperti saya
datang terlambat kuliah karena dosen yang sering terlambat pula. Dengan alasan,
“buat apa saya datang tepat waktu, kalau dosennya selalu datang terlambat?”.
Kadang hal-hal seperti itulah yang menyurutkan komitmen kita untuk selalu ‘on
time’. Tapi satu hal yang saya garisbawahi adalah bahwa ketika kita memilih
sesuatu pilihan tentu akan ada hal yang selalu menghalangi kita memilih hal
tersebut, apalagi kalau hal itu baik.
‘On
time’ adalah sebuah tekad, komitmen diri tanpa perlu men-judge orang lain yang tidak berlaku sama. Karena kalau kita selalu
men-judge orang maka hanya akan ada
kekesalan dan kekecewaan saja yang akan kita dapatkan. Kita ‘on time’ untuk
diri sendiri, ‘on time’ karena ini adalah tanggung jawab individu kepada
individu lain dalam sebuah aturan tertulis maupun tidak tertulis. Dan kita tak
perlu mengharapkan apapun dari ‘on time’-nya kita, karena hal itu tidak berguna
sama sekali. Hal itu tidak perlulah diharapkan atau dinantikan, karena hal
itulah yang akan mendatangi kita dengan sendirinya.
Tentunya
sebagai manusia kitapun tak bisa melakukan sesuatu secara utuh dan sempurna.
Begitupun dengan ‘on time’. Karena suatu saat pasti akan ada hal yang membuat
kita untuk tidak ‘on time’ (termasuk yang
nulis). Tapi setelah itu, justru kita harus semakin berusaha untuk ‘on
time’. Ya, minimal ketika kita terlambat ada raut kekecewaan atau penyesalan
yang menyelimuti diri ketika kita terlambat. Walaupun ada istilah “lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali”, maka hal itu jangan dijadikan kebiasaan atau
alasan untuk kita selalu melakukan keterlambatan dalam setiap hal. Karena ada
hal yang jauh lebih baik, lebih keren daripada keterlambatan. Dan hal itu
adalah ‘ON TIME’.
0 comments
Post a Comment