“I
just wanted everybody to see Me”
- Max
Dillon -
Awalnya
cukup banyak yang menyayangkan keputusan Sony
untuk me-reboot kisah si manusia
laba-laba ini. Alasannya sudah cukup jelas. Pertama, karena trilogy Spidey-nya Sam Raimi sudah sangat memuaskan. Kedua, jarak antara
filmya memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 5 tahun. But this is business. Sadar bahwa lisensi Spider-Man masih milik Sony
dan tentunya karena Spider-Man adalah
salah satu superhero ikonik dan punya
fanbase cukup besar, kesempatan untuk
meraup pundi-pundi dolarpun masih sangat terbuka. Dan terbukti, ‘The Amazing
Spider-Man’ yg dirilis 2012 lalu sukses besar dari segi finansial. Tak heran
sekuelnya segera digarap dan langsung dibuat jadi sebuah quadrilogy. Tidak hanya itu, karena franchise Spider-Man telah memasuki skala yang lebih besar dan
ambisius. Proyek spin-off ‘Venom’ dan
‘Sinister Six’ sebagai pengembangan dari franchise
ini juga bukan bualan belaka.
Tak dipungkiri sosok Marc Webb dibalik franchise baru Spider-Man adalah alasan kenapa reboot-nya
sukses. Entah dari dari segi finansial maupun kisah filmnya sendiri. Memang
masih banyak yang bilang bahwa versinya Sam Raimi masih yang terbaik tetapi
Marc Webb juga sudah tahu cara meraih fans baru untuk superhero satu ini. Siapa sih yang tidak tahu romcom manis ditahun
2009 yang digarap Marc Webb ‘(500) Days of Summer’? Boleh saya bilang latar
belakang itu jadi salah satu alasan kenapa ‘The Amazing Spider-Man’ menjadi
punya kesan berbeda dari versinya Sam Raimi, selain karena ‘The Amazing
Spider-Man’ lebih setia pada komiknya. Ya, karena Webb tidak hanya menjual
adegan aksi seorang superhero melawan
musuh-musuhnya namun ada aspek relationship
yg memang dieksplor lebih disini. Terlebih lagi karena saya lebih menyukai
Andrew Garfield daripada Toby Maguire yg lebih nerd sebagai Peter Parker dan saya lebih menyukai lagi Emma Stone
daripada Kirsten Dunst sebagai pasangan Peter Parker.
Peter
Parker (Andrew Garfield) memang tidak bisa mendustai hatinya yang mencintai
Gwen Stacy (Emma Stone), pada akhirnya janji kepada ayah Gwen telah
dilanggarnya. Hal itu membuat Peter jadi ‘galau’ dan diliputi perasaan
bersalah. Disisi lain, pertemuannya dengan sahabat lamanya, Harry Osborn (Dane
DeHaan) juga membuatnya malah tambah ‘galau’, belum lagi rasa penasaran
memuncak Peter pada orang tuanya. Selain itu, masih ada lagi seorang ‘‘Pria Tak
Dianggap’’, Max Dillon (Jamie Foxx) yang seketika berubah jadi makhluk
berkekuatan listrik, Electro yang
berniat menghancurkan Spider-Man.
Penulisan
ulang script James Vanderbillt oleh
Alex Kurtzman dan Roberto Oci (yg sempat akan
menghadirkan sosok Mary Jane disini, bahkan pengambilan gambarnya sudah pernah
dilakukan bareng Shailene Woodley) dengan tujuan ingin menekankan sisi love-story Peter-Gwen lebih jauh lagi
sepertinya adalah keputusan yang tepat. Bisa dibilang ini adalah aspek yang
punya nilai lebih bagi ‘The Amazing Spider-Man 2’. Chemistry yang terjalin semakin baik antara Garfield & Stone
sudah cukup membuat kita larut dalam kisah complicated
relationship mereka. Bahkan saya menemukan quote-quote manis dari dialog-dialog yang mereka lontarkan. Dan bersiap-siap
dibuat jadi melankolis oleh superhero satu ini. Dramatisasi juga semakin
menguat karena beberapa sub-plot menghadirkan kisah relationship Peter yang lain meski tidak terlalu maksimal.
Bicara
film superhero tentu tak lengkap kalau
tidak bicara adegan aksi yang memang sudah jadi ingredient wajib buat film-film blockbuster.
Untuk yang satu ini, saya merasa ‘The Amazing Spider-Man 2’ lebih menyenangkan
dan lebih baik daripada ‘The Amazing Spider-Man’. Cinematography dan pace-editing-nya
mampu menghadirkan visual-visual cantik dari setiap moment yang terjadi disini. Peningkatan yang cukup signifikan bila
dibandingkan dengan installment
pertamanya. Ditambah penggunaan efek slow
motion yang membuatnya semakin terlihat cantik. Entah kenapa saya jadi merasa
seperti berada di wahana ‘Kora-kora D*f*n’ waktu Spider-Man bergelantungan dari gedung-gedung tinggi New York. Apalagi
lagi ada scoring sang maestro, Hans
Zimmer yang memang sudah tak diragukan lagi membuat musik latar untuk film-film
superhero seperti ini.
Namun
disisi lain, ada beberapa ketidaknyamanan yang saya rasakan dengan ‘The Amazing
Spider-Man 2’. Terutama karena kisahnya yang melebar kemana-mana. Sub-plot yang
dihadirkan terasa setengah-setengah dan konflik yang terkesan kebanyakan juga
tanpa motivasi kuat untuk mengeksekusinya. Tapi hal ini sejatinya masih bisa bisa
ditolelir. Roman-roman filmnya yang sudah terasa sangat ambisius berpotensi membuatnya
menjadi demikian. Sehingga ‘The Amazing Spider-Man 2’ terasa sebagai sebuah
jembatan penghubung menuju cakupan dunia Spider-Man yang lebih massive dimasa
depan. Indikasi kehadiran ‘Sinister Six’ dan sosok Felicia (Felicity Jones)
sudah cukup memberi clue bahwa dunia
Spider-Man kali ini sudah memasuki
babak baru.
Satu
hal lagi adalah (entah cuma punya
perasaan saya saja) bahwa musuh dalam sekuel kali ini tidak punya latar
belakang yang cukup kuat kenapa mereka harus menjadi musuh Spider-Man. Karakter Electro
yang dipakai sebagai sub-judul sekuel ini tidak terasa besar seperti judulnya ‘Rise
of Electro’. Malah ketika Jamie Foxx hadir dalam wujud CGI birunya itu, justru terasa
sangat aneh dan annoying daripada
hadir sebagai sosok villain berbahaya
yang menakutkan. Mungkin agak sedikit miss-cast
juga atas peran Electro ini. Yang
terasa cukup potensial malah ada dalam diri Dane DeHaan. Buat saya, Dane cukup
mencuri perhatian atas perannya sebagai Harry Osborn baru yang lain daripada
apa yang telah James Franco lakukan di Spiderman
sebelumnya.
Actually, film ini berada dalam taraf yang
sedikit kacau tapi disatu sisi juga tak sulit untuk disukai. Seperti sebuah
nilai minus yang ditambah sama plus maka hasilnya adalah impas. Jadi, semua
hal-hal yang disebut kekurangan itu terobati disaat yang bersamaan oleh hal-hal
yang disebut kelebihan. Dan khusus untuk ‘The Amazing Spider-Man’, selalu ada scene di part akhir yang selalu memorable
buat saya. Kalau di ‘The Amazing Spider-Man’, ada memorable scene saat Peter
berujar bahwa ia tak bisa lagi bersama Gwen, kemudian Gwen pergi ditengah
hujan. Dan untuk ‘The Amazing Spider-Man 2’, memorable scene itu ada
saat Peter yang berdiri tertegun melewati musim yang berganti dengan musik
manis dibelakangnya.
Overall, ‘The Amazing Spider-Man 2’ adalah salah satu
pembuka musim blockbuster yang
menyenangkan. Sebuah kisah superhero
melankolis yang mengalami peningkatan dari prekuelnya. Sebuah bentuk penegasan dari
seorang Marc Webb bahwa reboot-nya
ini adalah bukan hanya diperuntukkan untuk mendulang pundi-pundi dolar saja
tapi kisah manusia laba-laba miliknya ini punya identitas dan kekuatan sendiri.
Sepertinya fans Spiderman-nya Sam
Raimi akan mulai membuka hati untuk suka sama Spider-Man-nya Marc Webb. Dan bersiaplah, karena babak baru Spider-Man telah dimulai. His Greatest Battle Begins!
P.S. Bagi penonton non-IMAX
dan fans X-Men, jangan dulu beranjak karena ada mid-credit scene dari ‘X-Men:
Days of Future Past’.
0 comments
Post a Comment