Tuesday, May 6, 2014

Tentang Film The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro (2014)



“I just wanted everybody to see Me”
- Max Dillon -
 
Awalnya cukup banyak yang menyayangkan keputusan Sony untuk me-reboot kisah si manusia laba-laba ini. Alasannya sudah cukup jelas. Pertama, karena trilogy Spidey-nya Sam Raimi sudah sangat memuaskan. Kedua, jarak antara filmya memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 5 tahun. But this is business. Sadar bahwa lisensi Spider-Man masih milik Sony dan tentunya karena Spider-Man adalah salah satu superhero ikonik dan punya fanbase cukup besar, kesempatan untuk meraup pundi-pundi dolarpun masih sangat terbuka. Dan terbukti, ‘The Amazing Spider-Man’ yg dirilis 2012 lalu sukses besar dari segi finansial. Tak heran sekuelnya segera digarap dan langsung dibuat jadi sebuah quadrilogy. Tidak hanya itu, karena franchise Spider-Man telah memasuki skala yang lebih besar dan ambisius. Proyek spin-off ‘Venom’ dan ‘Sinister Six’ sebagai pengembangan dari franchise ini juga bukan bualan belaka.
 Tak dipungkiri sosok Marc Webb dibalik franchise baru Spider-Man adalah alasan kenapa reboot-nya sukses. Entah dari dari segi finansial maupun kisah filmnya sendiri. Memang masih banyak yang bilang bahwa versinya Sam Raimi masih yang terbaik tetapi Marc Webb juga sudah tahu cara meraih fans baru untuk superhero satu ini. Siapa sih yang tidak tahu romcom manis ditahun 2009 yang digarap Marc Webb ‘(500) Days of Summer’? Boleh saya bilang latar belakang itu jadi salah satu alasan kenapa ‘The Amazing Spider-Man’ menjadi punya kesan berbeda dari versinya Sam Raimi, selain karena ‘The Amazing Spider-Man’ lebih setia pada komiknya. Ya, karena Webb tidak hanya menjual adegan aksi seorang superhero melawan musuh-musuhnya namun ada aspek relationship yg memang dieksplor lebih disini. Terlebih lagi karena saya lebih menyukai Andrew Garfield daripada Toby Maguire yg lebih nerd sebagai Peter Parker dan saya lebih menyukai lagi Emma Stone daripada Kirsten Dunst sebagai pasangan Peter Parker.


Peter Parker (Andrew Garfield) memang tidak bisa mendustai hatinya yang mencintai Gwen Stacy (Emma Stone), pada akhirnya janji kepada ayah Gwen telah dilanggarnya. Hal itu membuat Peter jadi ‘galau’ dan diliputi perasaan bersalah. Disisi lain, pertemuannya dengan sahabat lamanya, Harry Osborn (Dane DeHaan) juga membuatnya malah tambah ‘galau’, belum lagi rasa penasaran memuncak Peter pada orang tuanya. Selain itu, masih ada lagi seorang ‘‘Pria Tak Dianggap’’, Max Dillon (Jamie Foxx) yang seketika berubah jadi makhluk berkekuatan listrik, Electro yang berniat menghancurkan Spider-Man.
Penulisan ulang script James Vanderbillt oleh Alex Kurtzman dan Roberto Oci (yg sempat akan menghadirkan sosok Mary Jane disini, bahkan pengambilan gambarnya sudah pernah dilakukan bareng Shailene Woodley) dengan tujuan ingin menekankan sisi love-story Peter-Gwen lebih jauh lagi sepertinya adalah keputusan yang tepat. Bisa dibilang ini adalah aspek yang punya nilai lebih bagi ‘The Amazing Spider-Man 2’. Chemistry yang terjalin semakin baik antara Garfield & Stone sudah cukup membuat kita larut dalam kisah complicated relationship mereka. Bahkan saya menemukan quote-quote manis dari dialog-dialog yang mereka lontarkan. Dan bersiap-siap dibuat jadi melankolis oleh superhero satu ini. Dramatisasi juga semakin menguat karena beberapa sub-plot menghadirkan kisah relationship Peter yang lain meski tidak terlalu maksimal.


Bicara film superhero tentu tak lengkap kalau tidak bicara adegan aksi yang memang sudah jadi ingredient wajib buat film-film blockbuster. Untuk yang satu ini, saya merasa ‘The Amazing Spider-Man 2’ lebih menyenangkan dan lebih baik daripada ‘The Amazing Spider-Man’. Cinematography dan pace-editing-nya mampu menghadirkan visual-visual cantik dari setiap moment yang terjadi disini. Peningkatan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan installment pertamanya. Ditambah penggunaan efek slow motion yang membuatnya semakin terlihat cantik. Entah kenapa saya jadi merasa seperti berada di wahana ‘Kora-kora D*f*n’ waktu Spider-Man bergelantungan dari gedung-gedung tinggi New York. Apalagi lagi ada scoring sang maestro, Hans Zimmer yang memang sudah tak diragukan lagi membuat musik latar untuk film-film superhero seperti ini.
Namun disisi lain, ada beberapa ketidaknyamanan yang saya rasakan dengan ‘The Amazing Spider-Man 2’. Terutama karena kisahnya yang melebar kemana-mana. Sub-plot yang dihadirkan terasa setengah-setengah dan konflik yang terkesan kebanyakan juga tanpa motivasi kuat untuk mengeksekusinya. Tapi hal ini sejatinya masih bisa bisa ditolelir. Roman-roman filmnya yang sudah terasa sangat ambisius berpotensi membuatnya menjadi demikian. Sehingga ‘The Amazing Spider-Man 2’ terasa sebagai sebuah jembatan penghubung menuju cakupan dunia Spider-Man yang lebih massive dimasa depan. Indikasi kehadiran ‘Sinister Six’ dan sosok Felicia (Felicity Jones) sudah cukup memberi clue bahwa dunia Spider-Man kali ini sudah memasuki babak baru.


Satu hal lagi adalah (entah cuma punya perasaan saya saja) bahwa musuh dalam sekuel kali ini tidak punya latar belakang yang cukup kuat kenapa mereka harus menjadi musuh Spider-Man. Karakter Electro yang dipakai sebagai sub-judul sekuel ini tidak terasa besar seperti judulnya ‘Rise of Electro’. Malah ketika Jamie Foxx hadir dalam wujud CGI birunya itu, justru terasa sangat aneh dan annoying daripada hadir sebagai sosok villain berbahaya yang menakutkan. Mungkin agak sedikit miss-cast juga atas peran Electro ini. Yang terasa cukup potensial malah ada dalam diri Dane DeHaan. Buat saya, Dane cukup mencuri perhatian atas perannya sebagai Harry Osborn baru yang lain daripada apa yang telah James Franco lakukan di Spiderman sebelumnya.


Actually, film ini berada dalam taraf yang sedikit kacau tapi disatu sisi juga tak sulit untuk disukai. Seperti sebuah nilai minus yang ditambah sama plus maka hasilnya adalah impas. Jadi, semua hal-hal yang disebut kekurangan itu terobati disaat yang bersamaan oleh hal-hal yang disebut kelebihan. Dan khusus untuk ‘The Amazing Spider-Man’, selalu ada scene di part akhir yang selalu memorable buat saya. Kalau di ‘The Amazing Spider-Man’, ada memorable scene saat Peter berujar bahwa ia tak bisa lagi bersama Gwen, kemudian Gwen pergi ditengah hujan. Dan untuk ‘The Amazing Spider-Man 2’, memorable scene itu ada saat Peter yang berdiri tertegun melewati musim yang berganti dengan musik manis dibelakangnya. 


Overall, ‘The Amazing Spider-Man 2’ adalah salah satu pembuka musim blockbuster yang menyenangkan. Sebuah kisah superhero melankolis yang mengalami peningkatan dari prekuelnya. Sebuah bentuk penegasan dari seorang Marc Webb bahwa reboot-nya ini adalah bukan hanya diperuntukkan untuk mendulang pundi-pundi dolar saja tapi kisah manusia laba-laba miliknya ini punya identitas dan kekuatan sendiri. Sepertinya fans Spiderman-nya Sam Raimi akan mulai membuka hati untuk suka sama Spider-Man-nya Marc Webb. Dan bersiaplah, karena babak baru Spider-Man telah dimulai. His Greatest Battle Begins!
P.S. Bagi penonton non-IMAX dan fans X-Men, jangan dulu beranjak karena ada mid-credit scene dari ‘X-Men: Days of Future Past’.

0 comments