Tere
Liye bisa dibilang salah satu penulis ternama di Indonesia. Telah banyak karya
yang ia telurkan, beberapa diantaranya juga telah diadaptasi menjadi film.
Sebut saja ‘Hafalan Shalat Delisa’, ‘Bidadari-bidadari Surga’ atau ‘Moga Bunda
Disayang Allah’. Saya sendiri tidak terlalu tahu tentang karya Tere Liye, karena
tak satupun bukunya pernah saya baca. Walaupun (sebenarnya) namanya terasa familiar
di telinga. Hingga saat saya berkunjung ke toko buku (sudah cukup lama), saya menemukan karya Tere Liye yang ternyata lumayan
banyak dan cukup variatif. Saya pikir Tere Liye hanya menulis novel yang setipe
dengan judul-judul yang saya sebut sebelumnya. Tidak demikian ternyata.
Pasalnya, sebuah buku bersampul manusia berdasi yang memakai topeng berhidung
panjang cukup menarik perhatian saya waktu itu, judulnya ‘Negeri Para Bedebah’.
Sekilas, ‘Negeri Para Bedebah’ memang terlihat berbeda dengan judul diatas atau
judul macam ‘Rembulan Tenggelam di Wajahmu’, ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah
Membenci Angin’, ‘Senja Bersama Rosie’ dll. Mungkin hanya ‘Negeri di Ujung
Tanduk’ yang sedikit mirip. Walaupun ‘Negeri Para Bedebah’ terlihat menarik,
tak sekalipun saya mengambilnya walau dalam hati menginginkannya. Mungkin lain
kali saja, kata saya dalam hati.
Beberapa
waktu lalu, saya kembali ke toko buku yang sama. Saya pun kembali ke rak buku
yang biasa memajang karya Tere Liye. Beberapa judul terasa asing karena baru
pertama kali saya lihat. Seperti buku berwarna hijau dengan cover matahari terbit dalam kertas
tersobek yang terpampang memenuhi separuh isi rak. Sebuah buku berjudul pendek
tersebut seolah memanggil untuk diambil, dibawa pulang, kemudian dibaca. Sebuah
karya terbaru berjudul satu kata dimana kata tersebut menurut saya memiliki muatan
filosofis yang tinggi. Sarat akan makna dan arti. Buku tersebut berjudul
‘Pulang’.
Menurut
orang-orang yang sudah akrab dengan karya Tere Liye, mayoritas judul yang
dipakai akhir-akhir ini memang pendek dengan hanya memakai satu kata saja.
Seperti ‘Bumi’ ‘Rindu’ ‘Bulan’ ‘Pulang’. Namun lewat ‘Pulang’ lah saya mencoba
berkenalan dengan Tere Liye. Kenapa ‘Pulang’? Karena seperti yang saya bilang,
kata pulang itu sendiri memiliki jutaan makna yang bisa merefleksikan hidup jiwa
manusia beserta hakikatnya. Walaupun saya tak tahu ceritanya tapi saya tak ragu
untuk mengambilnya. Karena judul ‘Pulang’ itu sendiri merupakan sebuah
panggilan. Saya pikir, mungkin sensasi
‘Pulang’ akan sama seperti ‘Life of Pi’-nya Yan Martel yang sentimentil itu. Dengan
caranya sendiri tentunya.
‘Pulang’
dibuka dengan satu hal yang sangat familiar. Berbicara tentang lima emosi dalam
diri manusia: bahagia, sedih, jijik, marah dan takut. Sangat familiar buat saya
karena itu adalah ‘Inside Out’. Sebuah film animasi Pixar rilisan tahun 2015
yang bercerita tentang lima emosi dalam diri manusia yang diwakili anak sebelas
tahun. Setelahnya, cerita melompat ke sebuah hutan yang menyoroti kisah
perburuan babi hutan. Perburuan babi hutan? Sungguh itu bukanlah yang saya
harapkan dari buku ini. Hingga sampai di bagian ketiga yang memiliki subjudul ‘Shadow
Economy’ saya mulai mengerti alur ‘Pulang’ akan kemana. Sayapun sadar bahwa
plotnya tidak sesempit hutan dengan perburuan babi didalamnya. Plot ‘Pulang’
jauh lebih besar. Jauh lebih kompleks dari itu.
Saya
senang karena Tere Liye banyak mengaitkan cerita dengan beberapa hal yang
terindikasi dengan realita. Seperti lima emosi ‘Inside Out’ tadi. Kemudian yang
tak kalah menarik adalah ketika dimunculkan sosok calon Presiden berkemeja
putih bernomor urut dua. Walaupun Tere Liye tidak pernah mengungkap secara
gamblang siapa sosok tersebut, tapi kita semua tahu itu mengarah ke siapa. Saya
senyum-senyum saja membaca bagian ini. Berasa
gimana gitu? Ckckck. Selain itu, saya juga senang ketika Tere Liye mendefinisikan
perspektifnya tentang suara adzan (adzan shubuh kalau disini). Karena nyatanya
masih banyak yang menganggap suara adzan (terutama adzan shubuh) sebagai suara
yang mengganggu. Tere Liye menepis sekaligus mematahkan anggapan itu disini. Bahwasanya
suara adzan yang dikumandangkan bukanlah untuk mengganggu manusia tapi justru memberi
panggilan pada jiwanya.
Jika
melihat judulnya, plot ‘Pulang’ hampir tidak terduga. Karena mungkin tak ada
yang menyangka jika ‘Pulang’ akan membawa premis tentang dunia hitam. Dunia
hitam yang dimaksud disini adalah dunianya para mafia / gangster / triad /
yakuza / berandal atau sejenisnya (nih
udah kayak menu nasi goreng dekat kampus saya aja, haha) yang menguasai
tatanan ekonomi dan sosial dalam suatu negara. Sebuah pergerakan bawah tanah
yang terorganisir, rapi, besar, tak terendus dunia luar yang berpengaruh
(bahkan melebihi pemerintahan). Menjadi dalang dibalik semua peristiwa yang ada.
Penggerak para boneka suruhan mereka. Sebuah dunia penuh kamuflase dibalik
setelan rapi tuxedo dan dasi yang
justru tak segan merenggut nyawa. Sebuah dunia yang memang terasa asing di
telinga kita dan Tere Liye dengan senang hati membawa kita masuk ke dunia
tersebut. Menyusuri setiap sudut gelapnya.
Dengan
premis seperti itu, ‘Pulang’ tidak banyak membuang waktu bercerita melankolis dengan
drama mendayu-dayu. Lebih dari itu, ‘Pulang’ menghadirkan banyak kekerasan, ketegangan,
intrik, konspirasi dan adegan aksi. Tokoh utamanya adalah Bujang. Seorang pria
perfeksionis dengan kecerdasan diatas rata-rata yang mampu memaksimalkan
potensi otak dan fisik sama kuatnya. Seorang anti-hero. Dari kacamatanya, kita melihat dunia hitam yang
perjalanannya tidak selalu mudah dan mulus. Selalu ada harga tinggi yang harus
ditebus dibalik mahalnya kuasa. Selalu ada darah yang tumpah dibalik misi yang
harus diemban. Selalu ada pengorbanan besar dibalik semua perjuangan meraih
tujuan yang lebih besar. Semuanya terjalin rapi dalam satu ranah bernama ambisi
manusia yang tak berbatas.
Sekilas,
‘Pulang’ seperti sebuah parade aksi yang menampilkan berbagai pertarungan, baku
tembak dan hantam. Namun jika dilihat lebih dalam lagi, sesungguhnya ‘Pulang’
adalah tentang seorang Bujang. Seorang pria yang tengah mencari jati diri dalam
sebuah krisis identitas yang dialaminya. Seorang pria yang tengah mencari
solusi akibat konfrontasi dalam dirinya. Seorang pria yang harus berdamai
dengan masa lalunya. Karakter Bujang yang multidimensional cukup berhasil dikulik
Tere Liye. Hal ini tak lepas dari keberadaan para karakter pendukung yang turut
memberi kedalaman karakter pada seorang Bujang. Meski tidak sampai kuat sekali
tapi itu sudah lebih cukup untuk membuat Bujang berdiri di garda terdepan.
Kekuatan
terbesar sebenarnya dalam ‘Pulang’ terletak pada caranya bertutur lewat alurnya.
Dengan alur maju-mundur (campuran) yang tersusun rapi, Tere Liye berhasil mempresentasikan
plot besarnya dengan baik. Seandainya saja Tere Liye memakai alur maju yang
linear dan merunutkan semuanya secara sistematis, ‘Pulang’ pasti akan sangat
membosankan. Pasalnya, garis besar cerita ‘Pulang’ tidak sampai menawarkan
inovasi baru untuk genrenya meski masih menyajikan detail-detail menarik. Saya memang
tidak terlalu akrab dengan buku tapi saya cukup akrab dengan film. Dan premis
seperti ini tentu bukan barang baru dalam film. Maka dari itu alur yang
ditempuh ‘Pulang’ sangat berperan besar dalam membuatnya menarik untuk dibaca.
Selain juga karena gaya bahasa Tere Liye yang ramah dengan tetap menyajikan
guratan-guratan penuh makna dimana bila diresapi lebih dalam akan menjadi sebuah
bahan renungan. Tak heran ada banyak kalimat quotable yang potensial disukai dan dikutip pembaca.
Konklusi
‘Pulang’ memang dieksekusi dengan agak klise dalam ranah yang terbilang aman. Meski
bukan satu-satunya jalan tapi bisa jadi itu adalah cara yang paling tepat untuk
mengakhiri kisahnya. Setidaknya itu sudah cukup untuk mengguratkan perasaan
puas dimata pembaca. Jika ada hal yang kurang maka itu adalah kedalaman
emosinya. Sebuah epilog berjudul pulang pun masih belum cukup membawa sentuhan
emosi yang punya impact dalam buat
pembaca. Salah satu alasannya (mungkin) karena plotnya yang bercerita tentang
dunia hitam yang memang kurang personal untuk kebanyakan orang. Esensi kata pulang
pun tidak sesentimentil seperti yang terlintas dalam benak saya saat pertama
kali melihat judul buku ini. Tapi ‘Pulang’ berhasil memberi persepsi lain
tentang kata pulang itu sendiri. Bahwasanya pulang itu tidak selalu tentang kembali.
Tapi pulang bisa berarti memulai lagi. Seperti matahari yang senantiasa terbit
untuk kembali memulai hari.
0 comments
Post a Comment