Friday, December 25, 2015

Negeri Van Oranje (2015): Narsisme Si Negeri Kincir Angin


"Cukup satu kejadian. Cukup satu"
- Wicak -

Cukup satu kejadian kata untuk mengungkapkan kekuatan terbesar dari buku berjudul ‘Negeri van Oranje’. Menyenangkan. Itulah kata tepatnya. Buku bersampul orange yang ditulis oleh empat orang sekaligus ini memang mempunyai semua hal untuk bisa menjadi bacaan menyenangkan. Resensi bukunya pernah saya posting disini. Lalu bagaimana jika buku setebal 565 halaman ini diadaptasi menjadi sebuah gambar bergerak berdurasi 100 menit? Samakah sensasi menyenangkannya?
Buku dan film adalah dua elemen yang berbeda. Tentu keduanya tidak bisa dibandingkan satu dengan yang lainnya. Baik buku maupun film, dimata pembaca dan penonton keduanya mempunyai sisi menariknya masing-masing. Maka menjadi kurang fair ketika sebuah film yang diadaptasi dari sebuah buku selalu dibandingkan dengan sumber aslinya. Hal yang acap kali terjadi dan seringkali menimbulkan pertanyaan di benak orang. Koq beda sama yang di buku? Koq di film begini? Koq di film begitu?
Pada dasarnya, film membutuhkan beberapa perubahan yang harus dilakukan guna menyesuaikan dengan medium film itu sendiri. Maka perbedaan sudah pasti akan terjadi. Jadi tidak terlalu menjadi masalah jika menemukan beberapa perbedaan antara buku dan film. Selama garis besar ceritanya tidak melenceng jauh, maka itu adalah hal yang wajar.
Seperti yang kita tahu, premis dasar ‘Negeri van Oranje’ adalah persahabatan. Berfokus pada 5 (lima) orang mahasiswa Indonesia (Banjar, Wicak, Daus, Geri dan Lintang) yang kuliah di Belanda. Persahabatan yang terjalin tanpa kesengajaan hanya karena kesamaan nasib. Terjebak badai di Amersfoort dan sama-sama berasal dari  Indonesia. Persahabatan tanpa rencana inipun menjadi salah satu bagian penting dari hidup mereka berlima. Hingga seiring berjalannya waktu timbullah benih-benih cinta diantara tali pertemanan.
Daripada membuat kisah tentang hangatnya sebuah persahabatan di negeri orang sampai akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta dalamnya, Endri Pelita selaku sutradara ternyata lebih memfokuskan kisahnya pada siapa yang kelak akan menjadi pasangan Lintang. Seperti bermain tebak-tebakan dengan penonton. Hal ini tercium semenjak ‘Negeri van Oranje’ membuka narasinya, dimana kita melihat seorang Lintang (Tatjana Saphira) yang tengah mempersiapkan pesta pernikahannya. Setelah itu, penonton pun mulai digiring dalam permainan Endri yang mulai mengenalkan satu persatu dari keempat pria sang calon suami berikut interaksinya bersama Lintang.
Kendati sedari awal fokusnya sudah seperti itu, narasinya pun hanya berkutat dengan permainan tebak-tebakan siapa yang akan menjadi pasangan Lintang. Yang terasa adalah kisah persahabatannya sendiri menjadi kurang tergali secara dalam. Memang kisah persahabatan AAGABAN terlihat cukup menyenangkan, tapi naskahnya sendiri tidak memberikan cukup banyak ruang untuk membawa sentuhan emosional yang sejatinya akan berdampak pada emosi penonton. Dengan kata lain, naskahnya terlalu bersifat ringan kalau tidak mau dibilang lemah. Ini pula yang membuat proses yang harusnya menjadi fokus utama menjadi terasa setengah matang. Belum ditambah kisah perjuangan mereka sebagai mahasiswa rantau dinegeri orang yang hampir tak tersentuh sama sekali.
 ‘Negeri van Oranje’ mengambil lokasi syuting di lima kota di Belanda + Praha (Rep. Ceko). Sejak film ini dibuka (baik Praha maupun Belanda) sudah saling pamer keelokan Eropa. Eksploitasi keindahan sudut-sudut kota berhasil ditangkap dengan baik lewat sinematografi Yoyok Budi Santoso (walaupun sedikit over di lens flare). Jika ‘Negeri van Oranje’ dimaksudkan untuk memancing hasrat penonton untuk pergi kesana maka itu sudah sangat berhasil. Ya, siapapun pasti akan dibuat ngiler melihat keelokan Belanda dan Praha. Namun karena terlampau over pamer keindahan “luar negeri”, ‘Negeri van Oranje’ pun menjadi lupa bahwa mereka pun harus bercerita. Seperti tercipta sebuah kesan bahwa syuting diluar negeri harus selalu memaksimalkan potensi lansekapnya. Tidak salah, tapi lebih seringnya justru meminimalkan aspek cerita yang lebih penting. Dan inilah yang terjadi pada ‘Negeri van Oranje’.
Beruntung ‘Negeri van Oranje’ punya ensemble cast yang menjanjikan. Walaupun eksplorasi karakter masing-masing kurang berkembang. Tapi nama-nama macam Tatjana Saphira, Ciccho Jerikho, Arifin Putra, Abimana Aryasatya sampai Ge Pamungkas, jelas menjadi daya tarik terbesar ‘Negeri van Oranje’. Merekapun cukup berhasil membawakan setiap karakter dengan kekuatannya masing-masing. Tatjana Saphira sebagai Lintang sudah cantik, pantas bila diperebutkan. Ciccho Jerikho sudah sangat tepat memerankan karakter Geri yang perfect, yang menurukan pasaran standar ganteng orang Indonesia. Abimana Aryasatya mampu menampilkan sisi misterius Wicak yang pendiam namun meneduhkan. Arifin Putra pun bisa meninggalkan sisi cool-nya ketika berperan sebagai pria bar-bar tukang nyablak dalam diri Banjar, yang sukses berduet dengan Daus (Ge Pamungkas ) yang konyol.
Sedari awal memutuskan menonton ‘Negeri van Oranje’, saya memang tidak memasang ekspektasi tinggi untuk film ini. Saya hanya ingin menontonnya bareng teman-teman. Mencari hiburan. Senang-senang. Sudah. Kalau dibilang ‘Negeri van Oranje’ menghibur, ya menghibur. Kita bisa tertawa karena Banjar dan Daus. Penonton perempuan bisa sangat dimanjakan lewat perhatian Geri. Bisa dibuat melting lewat sosok Wicak. Penonton laki-laki, ah sudah cukup dengan melihat nama Tatjana Saphira saja. Gambar-gambar yang tersaji dilayar pun nyaman untuk ditonton. Namun satu bagian esensial film ini yang mengatasnamakan persahabatan menjadi kurang sentimentil dibenak saya. Karena ‘Negeri van Oranje’ terlalu bernarsis-narsis ria dengan set-nya, sementara narasi yang juga harus tampil sama baiknya harus menjadi korban. Naskahnya yang terlalu ringan, tidak berkembang dan terlalu bermain aman sehingga eksplorasi konfliknya terasa dangkal. Overall, masih bisa menyenangkan dan cukup layak dinikmati.

0 comments