"Cukup satu kejadian. Cukup satu"
- Wicak -
Cukup
satu kejadian kata untuk mengungkapkan kekuatan terbesar dari buku
berjudul ‘Negeri van Oranje’. Menyenangkan. Itulah kata tepatnya. Buku
bersampul orange yang ditulis oleh empat orang sekaligus ini memang mempunyai
semua hal untuk bisa menjadi bacaan menyenangkan. Resensi bukunya pernah saya
posting disini. Lalu bagaimana jika buku setebal 565 halaman ini diadaptasi
menjadi sebuah gambar bergerak berdurasi 100 menit? Samakah sensasi menyenangkannya?
Buku
dan film adalah dua elemen yang berbeda. Tentu keduanya tidak bisa dibandingkan
satu dengan yang lainnya. Baik buku maupun film, dimata pembaca dan penonton keduanya
mempunyai sisi menariknya masing-masing. Maka menjadi kurang fair ketika sebuah film yang diadaptasi
dari sebuah buku selalu dibandingkan dengan sumber aslinya. Hal yang acap kali
terjadi dan seringkali menimbulkan pertanyaan di benak orang. Koq beda sama
yang di buku? Koq di film begini? Koq di film begitu?
Pada
dasarnya, film membutuhkan beberapa perubahan yang harus dilakukan guna
menyesuaikan dengan medium film itu sendiri. Maka perbedaan sudah pasti akan
terjadi. Jadi tidak terlalu menjadi masalah jika menemukan beberapa perbedaan
antara buku dan film. Selama garis besar ceritanya tidak melenceng jauh, maka
itu adalah hal yang wajar.
Seperti
yang kita tahu, premis dasar ‘Negeri van Oranje’ adalah persahabatan. Berfokus
pada 5 (lima) orang mahasiswa Indonesia (Banjar, Wicak, Daus, Geri dan Lintang)
yang kuliah di Belanda. Persahabatan yang terjalin tanpa kesengajaan hanya
karena kesamaan nasib. Terjebak badai di Amersfoort dan sama-sama berasal
dari Indonesia. Persahabatan tanpa
rencana inipun menjadi salah satu bagian penting dari hidup mereka berlima.
Hingga seiring berjalannya waktu timbullah benih-benih cinta diantara tali
pertemanan.
Daripada
membuat kisah tentang hangatnya sebuah persahabatan di negeri orang sampai
akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta dalamnya, Endri Pelita selaku sutradara ternyata
lebih memfokuskan kisahnya pada siapa yang kelak akan menjadi pasangan Lintang.
Seperti bermain tebak-tebakan dengan penonton. Hal ini tercium semenjak ‘Negeri
van Oranje’ membuka narasinya, dimana kita melihat seorang Lintang (Tatjana
Saphira) yang tengah mempersiapkan pesta pernikahannya. Setelah itu, penonton
pun mulai digiring dalam permainan Endri yang mulai mengenalkan satu persatu
dari keempat pria sang calon suami berikut interaksinya bersama Lintang.
Kendati
sedari awal fokusnya sudah seperti itu, narasinya pun hanya berkutat dengan
permainan tebak-tebakan siapa yang akan menjadi pasangan Lintang. Yang terasa
adalah kisah persahabatannya sendiri menjadi kurang tergali secara dalam.
Memang kisah persahabatan AAGABAN terlihat cukup menyenangkan, tapi naskahnya
sendiri tidak memberikan cukup banyak ruang untuk membawa sentuhan emosional
yang sejatinya akan berdampak pada emosi penonton. Dengan kata lain, naskahnya
terlalu bersifat ringan kalau tidak mau dibilang lemah. Ini pula yang membuat
proses yang harusnya menjadi fokus utama menjadi terasa setengah matang. Belum
ditambah kisah perjuangan mereka sebagai mahasiswa rantau dinegeri orang yang
hampir tak tersentuh sama sekali.
‘Negeri van Oranje’ mengambil lokasi syuting di
lima kota di Belanda + Praha (Rep. Ceko). Sejak film ini dibuka (baik Praha
maupun Belanda) sudah saling pamer keelokan Eropa. Eksploitasi keindahan
sudut-sudut kota berhasil ditangkap dengan baik lewat sinematografi Yoyok Budi
Santoso (walaupun sedikit over di lens flare). Jika ‘Negeri van Oranje’
dimaksudkan untuk memancing hasrat penonton untuk pergi kesana maka itu sudah
sangat berhasil. Ya, siapapun pasti akan dibuat ngiler melihat keelokan Belanda
dan Praha. Namun karena terlampau over
pamer keindahan “luar negeri”, ‘Negeri van Oranje’ pun menjadi lupa bahwa
mereka pun harus bercerita. Seperti tercipta sebuah kesan bahwa syuting diluar
negeri harus selalu memaksimalkan potensi lansekapnya. Tidak salah, tapi lebih
seringnya justru meminimalkan aspek cerita yang lebih penting. Dan inilah yang
terjadi pada ‘Negeri van Oranje’.
Beruntung
‘Negeri van Oranje’ punya ensemble cast
yang menjanjikan. Walaupun eksplorasi karakter masing-masing kurang berkembang.
Tapi nama-nama macam Tatjana Saphira, Ciccho Jerikho, Arifin Putra, Abimana
Aryasatya sampai Ge Pamungkas, jelas menjadi daya tarik terbesar ‘Negeri van
Oranje’. Merekapun cukup berhasil membawakan setiap karakter dengan kekuatannya
masing-masing. Tatjana Saphira sebagai Lintang sudah cantik, pantas bila
diperebutkan. Ciccho Jerikho sudah sangat tepat memerankan karakter Geri yang perfect, yang menurukan pasaran standar
ganteng orang Indonesia. Abimana Aryasatya mampu menampilkan sisi misterius
Wicak yang pendiam namun meneduhkan. Arifin Putra pun bisa meninggalkan sisi cool-nya ketika berperan sebagai pria
bar-bar tukang nyablak dalam diri Banjar, yang sukses berduet dengan Daus (Ge
Pamungkas ) yang konyol.
Sedari
awal memutuskan menonton ‘Negeri van Oranje’, saya memang tidak memasang
ekspektasi tinggi untuk film ini. Saya hanya ingin menontonnya bareng
teman-teman. Mencari hiburan. Senang-senang. Sudah. Kalau dibilang ‘Negeri van
Oranje’ menghibur, ya menghibur. Kita bisa tertawa karena Banjar dan Daus.
Penonton perempuan bisa sangat dimanjakan lewat perhatian Geri. Bisa dibuat melting lewat sosok Wicak. Penonton laki-laki,
ah sudah cukup dengan melihat nama Tatjana Saphira saja. Gambar-gambar yang
tersaji dilayar pun nyaman untuk ditonton. Namun satu bagian esensial film ini
yang mengatasnamakan persahabatan menjadi kurang sentimentil dibenak saya. Karena
‘Negeri van Oranje’ terlalu bernarsis-narsis ria dengan set-nya, sementara narasi yang juga harus tampil sama baiknya harus
menjadi korban. Naskahnya yang terlalu ringan, tidak berkembang dan terlalu
bermain aman sehingga eksplorasi konfliknya terasa dangkal. Overall, masih bisa menyenangkan dan cukup layak dinikmati.
0 comments
Post a Comment