Percaya
atau tidak, bila dalam hidup ini ada moment-moment
kecil yang bisa mengubah jalan hidup dimasa mendatang. Satu moment tak sengaja yang bisa menjadi
pembuka bagi jalan hidup yang lainnya. Cuaca buruk Amersfoort tanpa sengaja (atau
memang sudah takdir) mempertemukan Banjar, Wicak, Daus, Geri dan Lintang, 5
(lima) mahasiswa asal Indonesia yang sedang menimba ilmu Belanda. Pertemuan ini
pun membawa mereka pada sebuah hubungan persahabatan yang memberi warna lain
bagi hidup mereka selanjutnya. Kelima orang Indonesia berbeda latar belakang
inipun sepakat menamai diri mereka AAGABAN. AAGABAN bukanlah geng Power
Rangers yang diutus untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan. Mereka adalah kumpulan
mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda yang kebetulan bertemu karena badai,
kretek dan takdir.
‘Negeri
van Oranje’ ditulis keroyokan oleh Raden Wahyuningrat, Rizki Pandu Permana,
Adept Winiarsa dan Annisa Rijadi. Melihat bejibunnya penulis di buku ini, ada
sedikit kekhawatiran bila empat otak yang mendasari terciptanya ‘Negeri van
Oranje’ tidak membawa sentuhan berbeda pada karyanya. Setelah membacanya, ‘Negeri
van Oranje’ memang punya suatu sesuatu yang sepertinya tidak dipunyai buku sejenis.
Gelar ‘best seller’ memang pantas diraih buku yang pertama kali terbit pada tahun
2009 ini.
Cerita
‘Negeri van Oranje’ sebenarnya sederhana. Garis besar plot seperti inipun bukanlah
hal yang baru. Telah banyak karya (film, serial TV, buku) yang memiliki premis
seperti ini. Dan perlu digarisbawahi bahwa ‘Negeri van Oranje’ tidak mempunyai sesuatu
yang spesial dari segi cerita (setidaknya buat saya). Kejutan-kejutan atau twist yang coba dihadirkan disinipun cukup
mudah untuk diterka. Namun ini bukanlah permasalahan, karena pada dasarnya
keempat penulis tidak menempatkan cerita sebagai tujuan utama penulisan buku
ini. Maka sudah jelas bila plot yang hadir tidak terlalu menonjol.
Aspek
cerita yang kurang menonjol memang berimbas pada karakterisasi para tokohnya yang
kurang begitu tergali. Kecuali Lintang (karena
dia satu-satunya perempuan), tiga AAGABAN lain (Banjar, Daus, Wicak) masih terasa
kurang kuat karakternya. Jika latar belakang masing-masing tidak dijelaskan diawal,
mungkin saya akan lupa yang mana Banjar, yang mana Wicak dan yang mana Daus. Karakter
Geri yang mendapat porsi lebih sedikit dibanding teman-temannya justru
menjadi yang paling kuat secara karakter. Sedari awal diperkenalkan, karakter Geri
sudah terpatri dengan sangat jelas. Cara dia berbicara, berpenampilan, kita
sudah tahu pasti bahwa dia itu Geri, bukan yang lain.
Mungkin
aspek cerita dan karakternya tidak terlalu menonjol. Bahkan saya bisa bilang
bahwa cerita disini hanyalah sebuah element
penggerak untuk menggulirkan sesi sharing
pengalaman penulis selama di Belanda. Karena memang (IMO) ‘Negeri van Orange’ ini seperti ajang curhat para penulis
tentang pengalamannya membina ilmu di negeri kincir angin. Pengalaman berharga
tinggal dinegeri orang sebagai mahasiswa rantau yang ingin dibagi kepada
siapapun yang berkeinginan, berencana atau memang sedang kuliah di Belanda. Sayapun
tak menyangkal bila banyak orang yang menyebut ‘Negeri van Orange’ sebagai buku
panduan bagi mahasiswa Indonesia yang sedang atau hendak kuliah di Belanda. Karena
memang begitulah adanya. Segala macam tektek bengek menjalani kehidupan sebagai
mahasiswa rantau di Belanda dengan segala problematikanya dibeberkan dengan lugas
disini. Mulai dari urusan administratif, akademik, transportasi, hubungan
sosial, mencari tempat tinggal, mencari kerja sambilan, travelling ala backpacker, dsb, bahkan sampai kewaspadaan terhadap
pencopet dan pencuri yang menjamur disana.
‘Negeri
van Oranje’ sebagaimana judulnya sanggup mendeskripsikan dengan sangat gamblang
tentang negara yang pada zaman dulu kita sebut sebagai kompeni ini. Berbagai
detail dengan keakuratan yang kuat mampu membawa imajinasi pembaca akan negara
Belanda. Para pembaca yang belum pernah merasakan tanah kompeni akan mendapat
gambaran umum tentang negeri yang pernah menjajah kita ini. Bagi yang sudah pernah
ke Belanda, ‘Negeri van Oranje’ akan menjadi ajang nostalgia bagi para
pembacanya. Seorang Raditya Dika pun dibuat kangen sama Belanda dengan buku
ini.
Keunggulan
‘Negeri van Oranje’ yang membuatnya tampil menarik adalah pengemasannya dalam
bertutur. Dengan bahasa yang santai, diksi yang sederhana, mudah dimengerti, komunikatif,
ringan dan berselera humor, membuat ‘Negeri van Oranje’ menjelma menjadi bacaan
yang nyaman bagi siapapun. Lembar demi lembar rasanya tidak bosan untuk terus
dibuka. Kita juga pasti tak akan lupa dengan tips-tips menarik yang mirip
rangkuman mata pelajaran di sekolah. Atau footnote-footnote
informatif penting yang juga tidak penting disebagian lainnya (namun lucu
disaat bersamaan). Bahasa sehari-hari Belanda yang sederhana dan mudah dipahami juga tak lupa
diselipkan sebagai pengetahuan. Karena akan sedikit aneh bila sebuah
buku yang bercerita tentang Belanda tidak ada bahasa Belandanya sama sekali.
Berbagai
element yang dihadirkan ‘Negeri van Oranje’ tadi menyatu menjadi sesuatu yang
menyenangkan. Tak lain dan tak bukan adalah kolaborasi buah pikir keempat
penulisnya. Menyenangkan. Ya, mungkin itulah kunci dari ‘Negeri van Oranje’
dimata para pembaca. Hal ini senada dengan yang tertera di cover depan bertuliskan
“Novel yang menyenangkan” yang merupakan kesan pribadi Andrea Hirata terhadap
buku ini. Dan buat saya, ‘Negeri van Oranje’ hadir disaat yang tepat ketika
saya butuh sebuah bacaan santai sesuai selera. Dan saya menemukannya disini. Buku
ringan yang menyenangkan. Eskapisme tatkala bosan dari bacaan dan tontonan
berat. Ajang refreshing dari segala
kejenuhan itu.
0 comments
Post a Comment