Tuesday, August 25, 2015

Resensi Buku: Negeri van Oranje


Percaya atau tidak, bila dalam hidup ini ada moment-moment kecil yang bisa mengubah jalan hidup dimasa mendatang. Satu moment tak sengaja yang bisa menjadi pembuka bagi jalan hidup yang lainnya. Cuaca buruk Amersfoort tanpa sengaja (atau memang sudah takdir) mempertemukan Banjar, Wicak, Daus, Geri dan Lintang, 5 (lima) mahasiswa asal Indonesia yang sedang menimba ilmu Belanda. Pertemuan ini pun membawa mereka pada sebuah hubungan persahabatan yang memberi warna lain bagi hidup mereka selanjutnya. Kelima orang Indonesia berbeda latar belakang inipun sepakat menamai diri mereka AAGABAN. AAGABAN bukanlah geng Power Rangers yang diutus untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan. Mereka adalah kumpulan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda yang kebetulan bertemu karena badai, kretek dan takdir.
‘Negeri van Oranje’ ditulis keroyokan oleh Raden Wahyuningrat, Rizki Pandu Permana, Adept Winiarsa dan Annisa Rijadi. Melihat bejibunnya penulis di buku ini, ada sedikit kekhawatiran bila empat otak yang mendasari terciptanya ‘Negeri van Oranje’ tidak membawa sentuhan berbeda pada karyanya. Setelah membacanya, ‘Negeri van Oranje’ memang punya suatu sesuatu yang sepertinya tidak dipunyai buku sejenis. Gelar ‘best seller’ memang pantas diraih buku yang pertama kali terbit pada tahun 2009 ini.
Cerita ‘Negeri van Oranje’ sebenarnya sederhana. Garis besar plot seperti inipun bukanlah hal yang baru. Telah banyak karya (film, serial TV, buku) yang memiliki premis seperti ini. Dan perlu digarisbawahi bahwa ‘Negeri van Oranje’ tidak mempunyai sesuatu yang spesial dari segi cerita (setidaknya buat saya). Kejutan-kejutan atau twist yang coba dihadirkan disinipun cukup mudah untuk diterka. Namun ini bukanlah permasalahan, karena pada dasarnya keempat penulis tidak menempatkan cerita sebagai tujuan utama penulisan buku ini. Maka sudah jelas bila plot yang hadir tidak terlalu menonjol.
Aspek cerita yang kurang menonjol memang berimbas pada karakterisasi para tokohnya yang kurang begitu tergali. Kecuali Lintang (karena dia satu-satunya perempuan), tiga AAGABAN lain (Banjar, Daus, Wicak) masih terasa kurang kuat karakternya. Jika latar belakang masing-masing tidak dijelaskan diawal, mungkin saya akan lupa yang mana Banjar, yang mana Wicak dan yang mana Daus. Karakter Geri yang mendapat porsi lebih sedikit dibanding teman-temannya justru menjadi yang paling kuat secara karakter. Sedari awal diperkenalkan, karakter Geri sudah terpatri dengan sangat jelas. Cara dia berbicara, berpenampilan, kita sudah tahu pasti bahwa dia itu Geri, bukan yang lain.
Mungkin aspek cerita dan karakternya tidak terlalu menonjol. Bahkan saya bisa bilang bahwa cerita disini hanyalah sebuah element penggerak untuk menggulirkan sesi sharing pengalaman penulis selama di Belanda. Karena memang (IMO) ‘Negeri van Orange’ ini seperti ajang curhat para penulis tentang pengalamannya membina ilmu di negeri kincir angin. Pengalaman berharga tinggal dinegeri orang sebagai mahasiswa rantau yang ingin dibagi kepada siapapun yang berkeinginan, berencana atau memang sedang kuliah di Belanda. Sayapun tak menyangkal bila banyak orang yang menyebut ‘Negeri van Orange’ sebagai buku panduan bagi mahasiswa Indonesia yang sedang atau hendak kuliah di Belanda. Karena memang begitulah adanya. Segala macam tektek bengek menjalani kehidupan sebagai mahasiswa rantau di Belanda dengan segala problematikanya dibeberkan dengan lugas disini. Mulai dari urusan administratif, akademik, transportasi, hubungan sosial, mencari tempat tinggal, mencari kerja sambilan, travelling ala backpacker, dsb, bahkan sampai kewaspadaan terhadap pencopet dan pencuri yang menjamur disana.
‘Negeri van Oranje’ sebagaimana judulnya sanggup mendeskripsikan dengan sangat gamblang tentang negara yang pada zaman dulu kita sebut sebagai kompeni ini. Berbagai detail dengan keakuratan yang kuat mampu membawa imajinasi pembaca akan negara Belanda. Para pembaca yang belum pernah merasakan tanah kompeni akan mendapat gambaran umum tentang negeri yang pernah menjajah kita ini. Bagi yang sudah pernah ke Belanda, ‘Negeri van Oranje’ akan menjadi ajang nostalgia bagi para pembacanya. Seorang Raditya Dika pun dibuat kangen sama Belanda dengan buku ini.
Keunggulan ‘Negeri van Oranje’ yang membuatnya tampil menarik adalah pengemasannya dalam bertutur. Dengan bahasa yang santai, diksi yang sederhana, mudah dimengerti, komunikatif, ringan dan berselera humor, membuat ‘Negeri van Oranje’ menjelma menjadi bacaan yang nyaman bagi siapapun. Lembar demi lembar rasanya tidak bosan untuk terus dibuka. Kita juga pasti tak akan lupa dengan tips-tips menarik yang mirip rangkuman mata pelajaran di sekolah. Atau footnote-footnote informatif penting yang juga tidak penting disebagian lainnya (namun lucu disaat bersamaan). Bahasa sehari-hari Belanda yang sederhana dan mudah dipahami juga tak lupa diselipkan sebagai pengetahuan. Karena akan sedikit aneh bila sebuah buku yang bercerita tentang Belanda tidak ada bahasa Belandanya sama sekali.
Berbagai element yang dihadirkan ‘Negeri van Oranje’ tadi menyatu menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tak lain dan tak bukan adalah kolaborasi buah pikir keempat penulisnya. Menyenangkan. Ya, mungkin itulah kunci dari ‘Negeri van Oranje’ dimata para pembaca. Hal ini senada dengan yang tertera di cover depan bertuliskan “Novel yang menyenangkan” yang merupakan kesan pribadi Andrea Hirata terhadap buku ini. Dan buat saya, ‘Negeri van Oranje’ hadir disaat yang tepat ketika saya butuh sebuah bacaan santai sesuai selera. Dan saya menemukannya disini. Buku ringan yang menyenangkan. Eskapisme tatkala bosan dari bacaan dan tontonan berat. Ajang refreshing dari segala kejenuhan itu.

0 comments