Siapa bilang film
Indonesia itu gak layak tonton, jelek atau apalah. Siapa bilang
Indonesia ‘gak punya film bagus?
Walaupun
memang (dan gak bisa bohong) masih ada
film Indonesia yang jeleknya ‘gak ketulungan’ (bahkan kita pernah mengalami masa suram ini, film-film yang berhasil membunuh,
merusak, menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap film-film Indonesia, dan
anehnya ntu film bisa tayang di bioskop tanah air, lebih anehnya lagi koq ada
yang nonton ya?). Beberapa diantaranya juga masih ada yang berasa FTV yang
setiap hari nongol di TV. Tapi makin kesini (kelihatannya) kadar kejelekan yang
pernah dialami di masa suram itu mulai berkurang (walaupun masih ada, tapi setidaknya berkurang kan?).
Ok
cukup, jadi post ‘Catatan Nonton’ edisi kali ini sedikit berbeda dengan
biasanya. Edisi yang saya sebut sebagai edisi spesial. Asik! Sebelumnya saya juga pernah membuat edisi spesial yang saya
dedikasikan untuk Kristen Stewart. Tssahh! Dan kali ini, bukan untuk Kristen Stewart atau aktris yang saya suka lainnya, kali
ini saya mau ngobrolin film Indonesia. Saya tahu hari film nasional jatuh pada
tanggal 30 Maret namun tidak ada salahnya jika di bulan kemerdekaan RI ini kita
juga mulai semangat baru untuk mencintai film-film nasional.
Seperti
yang saya singgung di awal, siapa bilang Indonesia nggak punya film bagus.
Kalau kita jeli dan mau berusaha nyari jarum dalam tumpukan jerami, sebenarnya
banyak koq film-film Indonesia yang masuk kategori bagus. Hanya saja, kadang
kita sendiri sering tutup mata, hati dan telinga akan film-film Indonesia.
Sehingga film-film Indonesia yang bagus hanya nongol selewat saja. Kita ambil
contoh beberapa waktu lalu, ‘Mencari Hilal’ yang bisa dibilang paling bagus
secara kualitas kalah dari film-film yang rilis berbarengan dengannya (tanpa mendeskreditkan film lainnya,
tentunya). Bahkan jatah tayangnya paling sebentar, penontonnya sudah pasti,
paling sedikit. Selain juga karena kalah pamor dari film-film luar, apalagi
kemarin ada ‘Ant-Man’.
Fenomena
yang terjadi pada ‘Mencari Hilal’ memang bukan barang baru. Beberapa tahun ke
belakang kasus seperti ini sering dialami film yang masuk kategori bagus di
Indonesia. Ambil contoh, Minggu Pagi di Victoria Park (2010) atau Sang Penari (2011)
yang ternyata tidak mendapat apresiasi positif dari para penonton (dengan jumlah penonton yang sedikit),
dan kalah dari film-film horor yang tidak berperikehantuan. Beberapa pengalaman
teman nonton ‘Minggu Pagi di Victoria Park’ malah lebih parah, satu studio hanya
diisi 5 orang saja. Dalam kasus ‘Mencari Hilal’, saya tidak menyalahkan film
yang rilis berbarengan dengannya, toh ‘Comic 8: Casino Kings Part 1’ masih
menghibur. ‘Surga Yang Tak Dirindukan’, film drama dengan embel-embel religi stereotype ini tetap layak ditonton.
Hanya saja, film-film macam ‘Mencari Hilal’ seharusnya juga mendapat respon
yang lebih dari masyarakat Indonesia. Katanya ingin tontonan bagus, giliran
dikasih malah dibiarkan lewat saja.
Hasrat
menonton film Indonesia yang kurang memang bukan tanpa alasan. Saya yakin salah
satunya adalah karena masa suram yang pernah kita alami, dimana pelaku industri
film yang tak bertanggungjawab dengan sekarep dewek mengeksploitasi hantu-hantu
Indonesia, membawa aktris p****o populer
dari luar, menyajikan komedi *esek-esek* yang sudah tidak ada lucunya selain
kebodohan-kebodohan yang membodohi para penontonnya. Tapi anehnya ketika saya cari jumlah penontonnya, ternyata lumayan
juga. Lah?
Efek
dari masa suram itu tentunya membuat otak kita tereksploitasi karena skeptis
terhadap film nasional. Ujung-ujungnya adalah dengan tanpa alasan yang jelas
kita sudah men-judge dari awal bahwa
film Indonesia itu jelek tanpa pernah kita riset dahulu. Kita juga menjadi
takut dikecewakan sama film Indonesia. Jadi buat apa nonton film Indonesia bila
tidak memuaskan, mending nonton film luar yang setidaknya bisa menghibur dari
sisi visual, toh bayarnya juga sama. Lagipula jika kita ingin nonton film
Indonesia tinggal menunggu slot tayangnya di TV yang nggak nyampe setahun dari
perilisannya di bioskop.
Permasalahan film Indonesia yang sepi penonton
memang sudah menjadi bahasan di industri ini. Dari data yang ada, jumlah
penonton Indonesia juga semakin berkurang setiap tahunnya. Satu-satunya
prestasi penonton paling banyak adalah tahun 2008 yang menobatkan ‘Laskar
Pelangi’ sebagai film terlaris Indonesia dengan 4.63.841 penonton. Diapit ‘Ayat-ayat
Cinta’ dengan 3.581.947 penonton. Dari situs filmindonesia.or.id tercatat film
yang mampu menembus angka 3 juta penonton hanya ada 4 buah. Termasuk yang dua
tadi, sisanya adalah Habibi & Ainun (2012) dengan 4.488.889 penonton dan
Ketika Cinta Bertasbih (2009) dengan 3.100.906 penonton. Ada satu hal yang
didapat dari keempat film ini yakni tema. Ya mungkin tema seperti keempat film
tersebut masih menjadi favorit penonton Indonesia. Tak heran bila ‘Surga Yang
Tak Dirindukan’ menjadi yang terlaris tahun 2015 sejauh ini.
Permasalahan
penonton yang sepi di Indonesia juga bukan lah perkara sederhana. Kalau
dibilang jaringan bioskop Indonesia yang diskriminatif terhadap film Indonesia
tidak bisa dibilang salah juga. Bioskop itu bisnis. Dimana-mana bisnis inginnya
untung, tentu mereka harus bisa untung dengan menayangkan film-film yang
diminanti penonton. Mereka juga kan harus membayar para karyawan, membayar
listrik, merawat studio, dsb. Maka dari itu, akan menjadi logis ketika film yang
sepi penonton akan segera tutup layar. Walaupun
ya film-film bagus juga yang harus jadi korbannya???
Lebih
lanjut, banyak para penonton film yang tidak bisa menyaksikan film di bioskop
karena bioskopnya memang tak ada. Seperti daerah saya. Sebelum saya kuliah di
Bandung, saya jarang sekali nonton film di bioskop. Saya masih ingat waktu SMA
harus bela-belain ke luar kota hanya untuk nonton film, itupun harus masa libur
sekolah. Lebih jauh lagi, permasalahan kenapa masyarakat Indonesia tidak mau
nonton film Indonesia adalah faktor ekonomi. Ya, masyarakat kita belum
sejahtera. Jangankan untuk nonton film, buat makan saja susah. Menonton film itu
bayar dan bayarnya lumayan mahal, minimal Rp 25.000,00. Itupun masih terbilang
jarang bioskop yang memasang tarif demikian.
Cerita ngalor-ngidul tentang film Indonesia
dan permasalahannya memang sangatlah kompleks dan tak akan ada habisnya.
Apalagi dari kacamata awam seperti saya yang tak punya kualifikasi sama sekali
soal ini. Namun biarpun begitu, saya mau mendedikasikan ‘Catatan Nonton’ kali
ini untuk ngobrolin film Indonesia. Bukan untuk apa, saya hanya ingin mengajak
para penonton untuk membuka matanya sama film Indonesia. Sayapun dulu demikian,
skeptis sama film Indonesia. Namun setelah dicari, banyak juga ternyata film
bagus di Indonesia, hanya saja gaungnya yang tidak terlalu terdengar buat
masyarakat kebanyakan. Di edisi 21 ‘Catatan Nonton’ kali ini, saya merangkum
film-film yang menurut saya masuk kategori bagus dalam film Indonesia di era
2000-an. Jadi sudah jelas ini adalah versi saya (selera saya). Siapa tahu jika film-film yang saya sebut dibawah
ini bisa memberi wawasan buat para penonton dan membentuk selera menonton itu
sendiri. Sehingga nantinya bisa selektif dalam memilih film dan bisa apresiatif
terhadap film-film Indonesia yang memang bagus dan berkualitas. Jadinya tidak
terulang lagi film macam ‘Mencari Hilal’ buru-buru tutup layar.
Dan
berikut daftarnya.
Honorable
Mentions:
Puisi
Tak Terkuburkan (2001), Ca-Bau-Kan (2002), Eliana, Eliana (2002), Gie (2005), Belahan
Jiwa (2005), Ruang (2006), Kamulah Satu-Satunya (2007), Kuntilanak 2 (2007), 3
Doa 3 Cinta (2008), Claudia/Jasmin (2008), Laskar Pelangi (2008), Cin(T)a
(2009), Identitas (2009), Jamilah dan Sang Presiden (2009), Perempuan Berkalung
Sorban (2009), Ruma Maida (2009), Alangkah Lucunya Negeri Ini (2010), Hari
Untuk Amanda (2010), 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (2011), ? (2011), Batas (2011), The
Mirror Never Lies (2011), Modus Anomali (2012), Tanah Surga, Katanya (2012), Soegija
(2012), 9 Summers 10 Autumns (2013), Belenggu (2013), Sokola Rimba (2013), Tampan
Tailor (2013), Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014), Mari Lari (2014), Killers
(2014), The Raid 2: Berandal (2014), Hijab (2015), Kapan Kawin (2015), Toba Dreams (2015).
#1
Petualangan Sherina (2000) – Riri Riza
Masa
dimana Lembang begitu asri. Masa dimana Bosscha menjadi tempat yang ingin
dituju. Masa dimana masa kecil begitu menyenangkan. Petualangan seru berpadu
bersama iringan musik yang menyenangkan.
#2
Pasir Berbisik (2001) – Nan Achnas
Kegetiran
dibalik personifikasi indah dalam balutan visual tak kalah indah. Dian Sastro
mempersembahkan penampilan terbaiknya yang penuh pesona.
#3
Jelangkung (2001) – Rizal Mantovani
Ritual
etnik asli Indonesia yang mampu menjadi sajian paling horor dimasanya. Ikut
ambil bagian dalam generasi kebangkitan film nasional.
#4
Ada Apa dengan Cinta? (2002) – Rudi Soedjarwo
Seberapa
seringnya menonton AADC, rasanya tak pernah sekalipun rasa bosan melanda,
melihat geng cinta dan Rangga dengan puisinya. Film romantis terbaik yang
pernah dimiliki Indonesia.
#5
Arisan! (2003) – Nia Dinata
Saya
sebenarnya hampir muntah melihat Tora Sudiro dan Surya Saputra beradegan ....
(ehhm), ah sudahlah. Tapi bukan itu point-nya,
karena Nia Dinata ingin bernyinyir-nyinyir ria pada kehidupan sosialita kota
besar yang terlihat bahagia diluar namun menyimpan kepahitan didalamnya. Dan
berhasil. Well done!
#6
Janji Joni (2005) – Joko Anwar
Film
memang dunianya Joko Anwar. ‘Janji Joni’ seolah menjadi bukti kecintaannya pada
film. Membawa cerita film dari sisi yang tak terpikirkan. Film menyenangkan
dengan kumpulan cameo-nya yang
bejibun.
#7
Catatan Akhir Sekolah (2005) – Hanung Bramantyo
Film
tentang film yang sangat menyenangkan. Seru dan sangat menghibur. Trio Agni,
Alde & Arian akan selalu terkenang sebagai trio putih-abu paling “kongkrit”
sepanjang masa.
#8
Realita, Cinta & Rock ‘n Roll (2006) – Upi Avianto
“Ngeband itu bukan hobi tapi
cita-cita!” Ah,
saya masih ingat saja kalimat itu sampai saat ini. Satu sisi dimana warna
putih-abu masih begitu bergolak menyuarakan teriakannya. Let’s Rock!
#9
Berbagi Suami (2006) – Nia Dinata
Omnibus
tentang isu yang mungkin sangat dibenci mayoritas kaum hawa, poligami. Namun
disini Nia Dinata bukan untuk meneriakkan ketidaksetujuan pada poligami, tapi lebih mengajak kita
untuk melihat lebih dalam lagi tentang poligami itu sendiri. Satirikal.
#10
Opera Jawa (2006) – Garin Nugroho
Sebuah
kasus langka dalam dunia perfilman tanah air. Teatrikal eksotis menyoroti
kebudayaan masyarakat Jawa. Cantik.
#11
Jomblo (2006) – Hanung Bramantyo
Di
awal karirnya, Hanung Bramantyo banyak menghadirkan film-film ringan menghibur namun
tetap memiliki kesan tak terlupakan. Salah satunya ini. Yang jomblo mana suaranya???
#12
3 Hari untuk Selamanya (2007) – Riri Riza
Perjalanan sederhana 3 hari Jakarta-Jogja bersama dua anak muda baru gede yang mengasyikan. Obrolan ngalor-ngidul yang jujur dan begitu dekat
dengan keseharian, membuat kitapun ikut berpikir.
#13
Naga Bonar Jadi 2 (2007) – Deddy Mizwar
Tanpa
harus berceramah soal nasionalisme, ‘Naga Bonar Jadi 2’ sudah bisa menyentuh
sisi nasionalisme itu sendiri dimata penonton. Inspiratif. Dan tak hilang unsur
hiburannya.
#14
Kala (2007) – Joko Anwar
Sebuah
kemasan neo-noir di antah berantah dengan balutan mitologi lokal. Drama kriminal
yang begitu menarik hati.
#15
The Photograph (2007) – Garin Nugroho
Potret-potret
emosionil balada dua anak manusia kesepian berbeda latar. Touching!
#16
Quickie Express (2007) – Dimas Djayadiningrat
Film
komedi dewasa yang vulgar tapi tidak vulgar (nah
lho?!). Konyol tapi tetap elit dengan naskahnya. Sangat menghibur. Btw, Sandra Dewi cantik banget disini!
#17
Mereka Bilang, Saya Monyet! (2007) – Djenar Maesa Ayu
Penuh
simbolisme dan metafor. Dan Titi Sjuman.., ternyata tidak hanya pandai membuat
musik, dia juga bisa menunjukkan performa akting yang prima.
#18
Fiksi. (2008) – Mouly Surya
Eksplorasi
sisi tergelap dan terdalam manusia. Begitu dingin, begitu sepi, begitu suram, begitu
menghantui.
#19
Under the Tree (2008) – Garin Nugroho
Giliran
magisnya Bali yang menjadi perhatian Garin Nugroho untuk menunjukkan sisi metafornya.
Pesan tersirat pada sebuah ‘pohon’. Filosofis.
#20
Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) – Edwin
Film
yang menyentil isu diskriminasi agama dan ras dengan begitu satir. Menelanjangi
bobroknya sebuah moralitas.
#21
Pintu Terlarang (2009) – Joko Anwar
Saya
tidak bisa berbicara apapun tentang ‘Pintu Terlarang’ selain film ini “GW
BANGET!!!” Salah satu film favorit saya.
#22
Jermal (2009) – Ravi Bharwani, Rayya Makarim, Utawa Tresno
‘Jermal’
menerjemahkan hubungan ayah-anak yang membumi dalam balutan nuansa lokal yang
kentara. Mengharukan dengan segala hal didalamnya.
#23
3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010) – Benni Setiawan
Isu
yang cukup sensitif tidak menjadikannya menjadi tontonan berat. Meski
konfliknya kurang begitu dalam, namun sanggup membawa sedikit renungan ketika
menontonnya.
P.S.
film ini rilis waktu saya masih SMA dan saat itu saya sedang senang-senangnya sama
Laura Basuki, aktris utama film ini. Tak ada hubungannya juga sih sebenarnya. Haha.
#24
Minggu Pagi di Victoria Park (2010) – Lola Amaria
Tema
yang jarang diangkat para sineas tanah air. Dibalik cerita drama kakak-adiknya
yang menawan, ada pesan besar yang ingin disampaikan Lola Amaria kepada semua
orang dari para pahlawan devisa dinegeri orang.
#25
Sang Penari (2011) – Ifa Isfansyah
Seperti
halnya tari ronggeng itu sendiri, ‘Sang Penari’ menyajikan liukan gemulai penuh
keindahan, namun menyimpan kepedihan dibaliknya. Kisah pahit dua insan yang tak
bersatu.
#26
The Raid (2012) – Gareth Evans
Keterbatasan
yang dipunyai film ini justru sanggup memaksimalkan aspek lainnya. Premis boleh
sederhana, tapi sebelum ini, kita tak pernah menonton film action Indonesia segahar ini. Film action Indonesia telah naik level dengan ini.
#27
What They Don’t Talk About When They Talk About Love (2013) – Mouly Surya
Sebuah
drama romansa pahit-manis para penyandang disabilitas. Karenanya kita menjadi
semakin sadar bahwa cinta memang milik semua orang.
#28
Tabula Rasa (2014) – Adriyanto Dewo
Sederhana
tapi manis. Begitulah adanya. Film yang sanggup menggoyang lidah. Gulai kepala
ikan kakap.., rasanya pernah tak berhenti menggugah selera.
#29
Filosofi Kopi (2015) – Angga Dwimas Sasongko
Adaptasi
karya Dewi Lestari paling mumpuni, dalam racikan tangan dingin barista Angga
Dwimas Sasongko. Seperti menikmati sensasi secangkir kopi tiwus Pak Seno yang
dibuat dengan penuh cinta. Perfecto!
#30
Mencari Hilal (2015) – Ismail Basbeth
Seolah
masih terhipnotis oleh pesonanya ketika layar mulai menghitam. Perjalanan
spiritual yang emosional. Begitu mengesankan.
0 comments
Post a Comment