Thursday, February 18, 2016

Anime Review: Shiki


‘Shiki’ yang rilis tahun 2010 ini merupakan seri anime bergenre horor berjumlah 22 episode yang diadaptasi dari grafik novel karya Fuyumi Ono. ‘Shiki’ atau dalam versi Inggris disebut juga ‘Corpse Demon’ bercerita tentang sebuah desa kecil yang tenang dan damai namun perlahan berubah menjadi desa penuh kematian semenjak kedatangan penduduk baru yang misterius. Kematian demi kematian terus menghampiri para warga tanpa pandang bulu. Tua, muda, orang tua, anak-anak, semuanya tak luput jadi korban. Fenomena besar dan tak biasa ini membuat para warga resah namun tak banyak yang menyadari keanehan dari apa yang terjadi. Sampai diantara mereka mulai mencium bau tak biasa dari fenomena tersebut.
‘Shiki’ menggulirkan kisahnya dengan pace yang amat lambat. Bagi yang tidak terbiasa, mungkin akan terasa sedikit membosankan. Malah kalau dilihat kulit luarnya, ‘Shiki’ hanya berputar-putar disekitar situ saja. Meski begitu, tanpa disadari misteri ‘Shiki’ sesungguhnya sudah mencengkram sejak awal. Pace-nya yang lambat tak mengurungkan wajah muram desa Sotoba yang penuh aroma kematian. Atmosfer horornya sudah nampak kentara lewat tone-nya yang dingin. Sedingin tubuh mereka yang telah mati. Atmosfer seperti ini berhasil dijaga disetiap episodenya dengan tetap memberi clue dan misteri baru sampai ‘Shiki’ menemui babak pamungkasnya.
Daripada membuka tabir misteri yang terburu-buru, ‘Shiki’ memang lebih banyak mengenalkan para karakter dengan segala konflik didalamnya. ‘Shiki’ mungkin menjadi terasa sesak dengan penuhnya karakter yang hadir sampai saya tak bisa mengingat namanya satu persatu. Bukan tanpa alasan, kehadiran banyak karakter inilah yang justru berperan penting terhadap plot ‘Shiki’ secara utuh. Beruntung tim penulisnya mampu memperlakukan para karakter tersebut dengan porsi yang berimbang. Sehingga masing-masing karakter punya jatah untuk memberi kedalaman emosi tersendiri dibenak penonton. Meski karakternya relatif banyak, tapi kita tahu bahwa bagian sentralnya ada pada diri Seishin Muroi sebagai biksu muda, Toshio Ozaki sebagai dokter dan Yuuki Natsuno seorang remaja pindahan dari kota. Ketiganya lah yang menghubungkan setiap benang terputus tentang fenomena aneh desa Sotoba. Tentang makhluk mitos yang disebut Okiagari.
Dan seiring episode yang terus bergulir, ‘Shiki’ pun mulai menunjukkan titik terangnya. Tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tentang penyebab kematian yang terus menerus tanpa henti. Yang menarik adalah misteri yang sedari awal disimpan rapat-rapat tersebut menjadi cukup berkesan berkat investigasi para karakter lewat masing-masing perspektifnya. ‘Shiki’ pun tak lagi menjadi arena tebak-tebakan lagi. Tapi menjadi arena eksekusi bagaimana menyelesaikan permasalahan ini. Dan disinilah peran ketiga karakter sentral mulai terasa.
Toshio Ozaki dengan segala pemikiran logisnya sebagai dokter tentu tak pernah terpikir akan berurusan dengan mahkluk yang ia yakini hanya ada dalam mitos dan film. Sampai akhirnya ia mulai mengerti dan membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Keputusan tersebut tidaklah serta merta dan tak mudah untuk diambil. Bagaimana ia melewati fase kelam yang membuatnya frustasi sampai puncaknya ia menjadikan istrinya sendiri sebagai sebuah objek percobaan. Salah satu moment memilukan disini. Seishin Muroi dengan segala keyakinannya sebagai biksu muda ternyata tak mudah untuk mempercayai apa yang ia yakini. Bahwa membunuh, apapun alasannya, siapapun korbannya, bukanlah suatu hal yang harus dibenarkan. Keyakinannya pun menjadi bersebrangan dengan sahabatnya Toshio saat ia tahu bahwa didepan matanya Toshio telah membunuh istrinya. Dan Yuuki Natsuno dengan segala kegundahannya menjadi orang yang berada diantara dua sisi, manusia dan shiki itu sendiri. Dan pada akhirnya, semuanya telah memutuskan apa yang dipilihnya. Toh memang begitu seharusnya. Memilih pada apa yang diyakini.
Perspektif ketiga karakter tersebut memunculkan tanda tanya besar tentang dilema moral dalam kapasitas manusia sebagai makhluk manusiawi. Disatu sisi, manusia perlu mempertahankan hidup dan menghindari kematian-kematian yang tidak perlu. Menjadi logis ketika akhirnya para warga setuju dengan usul Toshio untuk membasmi para shiki. Namun para manusia akhirnya menjadi gila dengan apa yang ditakutinya. Menjadi brutal dan tak terkendali. Ada saat dimana mereka membunuh manusia lain yang terkena gigitan shiki tanpa ampun. Pada moment ini (entah kenapa) saya menjadi sedikit bersimpati pada kaum shiki. Mungkin itu salah satu alasan kenapa scene yang melibatkan pembunuhan Megumi Shimizu menjadi begitu menggetarkan.
Disisi lainnya, kaum shiki pun ingin bertahan hidup dan tak ada pilihan lain selain membunuh manusia. Ini sudah banyak diungkap Sunako Kirishiki mengenai bagaimana eksistensinya didunia. Kenapa ia menjadi shiki padahal ia tak pernah memilih untuk menjadi makhluk tersebut. Kenapa akhirnya ia membunuh banyak orang adalah karena hasrat tak tertahankan agar ia tetap bertahan hidup. Mungkin itulah alasan kenapa Muroi membantu Sunako. Mencoba memahami sudut pandang yang berbeda. Mencoba memahami apa yang ia tulis. Meski sampai saat terakhir pun ia belum menemukan jawaban pastinya tapi ia sadar akan keputusan yang telah diambilnya. Tema besar ‘Shiki’ pun menjadi terasa relatif ketika disandingkan. Yang mana yang benar masih terasa kabur walaupun ada satu sisi yang (mungkin) lebih baik untuk diambil. Tapi kita semua sudah tahu bahwa dua mahkluk yang saling memusnahkan satu sama lain tak akan pernah bisa hidup berdampingan. Begitu pula manusia dan shiki.
Secara keseluruhan, ‘Shiki’ cukup berhasil menjadi sajian horor penuh misteri yang tidak hanya menawarkan atmosfer horor didalamnya. Ada campur aduk emosi yang berhasil disuntikkan dibalik tone-nya yang kelam dan dingin. Tempo pelan yang dipilih sedari awal menjadi gundukan ketegangan yang cukup mengena ketika pergerakan plotnya mulai terlihat jelas. Punya warna berbeda dengan anime dalam genre sejenis. Ending-nya mungkin tidak akan memuaskan banyak orang yang berharap semuanya berakhir dengan mudah. Tapi bukankah setiap misteri selalu menyimpan misteri lainnya? Bukankah setiap jawaban selalu menimbulkan pertanyaan lainnya?

0 comments