Do
you ever look at someone and wonder,
“What’s
going on inside their head?”
‘Inside
Out’ adalah film animasi yang paling saya tunggu tahun ini (dan wajib hukumnya untuk ditonton). Tapi saya sangat kecewa ketika
tahu jadwal tayang ‘Inside Out’ di Indonesia mengalami penundaan, bahkan sampai
dua bulan lamanya (Oh, why?). Yang lebih
mengecewakan lagi adalah ‘Minions’ yang jelas-jelas hanya mau mengambil keuntungan
dari kepopuleran namanya malah mengambil jatah tayang lebih awal di Indonesia (ah, kenapa film bagus selalu kalah dari
film populer?).
Pixar is BACK! Ya, studio penghasil animasi
berkualitas dan inovatif ini telah kembali setelah 5 (lima) tahun lamanya.
Waktu lima tahun memang bukan berarti Pixar tanpa karya, kita sudah menyaksikan
Cars 2 (2011), Brave (2012) dan Monster University (2013). Namun bisa dibilang film
tersebut seperti penurunan kualitas dari nama sebesar Pixar yang seperti
kehabisan ide out of the box-nya. Toy
Story 3 (2010) praktis jadi paling terakhir yang membuat kita benar-benar
berteriak, “yeah, that’s Pixar!” Dan
tahun 2015 ini, mereka kembali dengan sebuah premis segar tentang emosi
manusia. Dibawah komando Pete Docter (Monster
Inc., Up) dan kolega, Del Carmen kita diajak berpetualang dan menjelajahi
isi pikiran manusia dari kacamata anak 11 tahun.
Manusia
mengalami berbagai fase dalam hidupnya sebelum ia benar-benar membentuk
identitasnya sendiri sebagai seorang manusia atau biasa disebut dewasa. Fase remaja
menjadi fase paling riskan dalam hidup manusia. Fase dimana secara pola pikir
sudah bukan anak-anak lagi tapi disisi lain masih belum matang secara emosi.
Pergolakan-pergolakan batin terhadap berbagai hal sering terjadi pada fase ini.
Pete Docter mencoba menggambarkannya dengan gamblang dalam ‘Inside Out’, meski
kalau dilihat lagi ‘Inside Out’ lebih menitikberatkannya pada fase pra-puber.
Pete
Docter memperoleh ide ‘Inside Out’ ketika melihat anak(baru gede)-nya mengalami perubahan drastis secara emosional. Ide
yang kompleks dan rumit seperti ini terasa ambisius disaat bersamaan, maka tak
heran bila Pete butuh waktu setidaknya lima tahun untuk benar-benar mematangkan
idenya menjadi bentuk animasi. Butuh riset terus-menerus untuk bisa menuangkan
isi pikiran manusia yang begitu rumit menjadi sesuatu yang menyenangkan tapi juga
tidak terlampau absurd. Dan setelah
periode panjang itu, lahirlah Joy, Sadness, Fear, Anger & Disgust yang mewakili emosi dasar dalam
diri manusia.
Sebuah pertanyaan provokatif memulai narasi ‘Inside
Out’ diikuti penampakan bayi mungil nan lucu. Bayi yang kemudian diberi nama Hely
Riley ini mengalami masa anak-anak yang menyenangkan. Berbagai moment telah ia lewati bersama keluarga,
teman dan hal-hal yang disukainya. Dibawah kendali Joy, semua terasa indah dan baik-baik saja. Hingga di usianya yang
ke-11, Ayah Riley memutuskan untuk pindah rumah. Dan sudah bisa ditebak, dari
sinilah semua bermula.
Ada
dua plot yang dihadirkan disini. Plot utama adalah isi pikiran Riley sedangkan
subplot-nya adalah kehidupan Riley sendiri didunia nyata. Isi pikiran Riley mulai
mengalami kekacauan semenjak keluarga Riley pindah rumah. Hal ini secara
langsung berimbas pada tingkah laku Riley di kehidupan sehari-hari. Kelompok
emosi pimpinan Joy ini mulai
kebingungan ditengah keadaan yang ada, permasalahan-permasalahan mulai
menghadang jiwa Riley yang masih dalam usia labil. Belum lagi Sadness mulai merasa terisolasi dari
kelompoknya dan merasa kehadirannya tak berguna. Membuatnya berusaha untuk
tampak berguna dan lebih berperan dimata teman-temannya. Sampai sebuah insiden membawa
kita pada petualangan menjelajahi isi kepala manusia.
Menonton
‘Inside Out’ seperti sedang mengikuti satu mata kuliah psikologi yang dibawakan
dosen bernama Pete Docter dan asistennya Del Carmen. Yang menjabarkan isi
pikiran manusia dengan teori-teori yang imajinatif. Imajinatif karena kita
tidak akan menemukan struktur otak, sel-sel syaraf, atau apapun yang tampak
rumit itu. Yang ada adalah sebuah semesta penuh warna dalam kepala manusia yang
tetap masuk akal dalam mengejawantahkan setiap detail prosesnya. Inti ingatan,
ingatan terlupakan, khayalan, imajinasi, proses mimpi, alam bawah sadar, dsb
menjadi ajang travelling yang fun untuk diikuti. Soal kualitas gambar,
jelas Pixar bukanlah nama yang pantas untuk diragukan. Semakin terasa hidup
dengan para pengisi suara yang berhasil menghidupkan karakter emosi yang ada. Terutama
untuk Amy Poehler (Joy) dan Phyllis Smith (Sadness) yang memang punya peran
lebih disini.
Mungkin
premis ‘Inside Out’ akan terasa berat bagi anak-anak. Namun bukan berarti tak
ramah untuk mereka. Melihat keseruan yang tersaji bersama desain karakter yang
lucu rasanya sudah cukup menyenangkan bagi anak-anak. Toh para penonton dewasa
juga bisa dengan mudah menjelaskan tanya dibenak para penonton cilik. Berlainan
dengan hal itu, ‘Inside Out’ terasa lebih personal bagi penonton dewasa. Karena
lewat ‘Inside Out’ kita tidak hanya diajak melihat isi pikiran manusia. Kita diajak
memahami, menyelaminya lebih dalam dan merenungkannya kemudian. Bahwasanya ketika
masih kecil imajinasi kita tak tak terbatas dan kitapun bersengan-senang
dengannya. Namun seiring beranjak dewasa semua itu perlahan terlupakan. Bahwasanya
pergolakan batin ketika mulai beranjak dewasa sering menghinggapi diri yang
labil. Tak jarang kita menutup-nutupi perasaan dan emosi yang ada. Padahal tak
ada salahnya bersedih sementara sebelum senang datang kemudian. Bahwasanya semua
emosi itu adalah harmoni dalam diri manusia. Yang mana itu semua merupakan karunia
Tuhan yang wajib kita syukuri.
‘Inside
Out’ adalah alasan kenapa Pixar telah
kembali. Karenanya, Pixar berhasil mengembalikan hakikatnya sebagai studio
animasi spesialis pengaduk emosi dan perasaan, yang kaya akan pesan moral namun
ramah untuk semua usia. Disinilah kita kembali merasakan pengalaman menonton
yang luar biasa. Bisa tertawa dengan guyonan-guyonannya, entah bagian verbal
ataupun bagian slapstick-nya.
Mencintai karakter-karakternya yang colourful.
Kagum dengan apa yang tersaji di layar. Dan seperti diajak naik roller coaster, kitapun diajak bermellow-mellow
ria ketika layar membawa aura melankolis yang tak bisa disangkal rasa. Pixar memang
selalu punya hati untuk film-filmnya. Awesome!
0 comments
Post a Comment