We
know better now, don’t we?
Devils
don’t come hell beneath us. They come from the sky.
–
Lex Luthor –
Ada
rasa senang bercampur khawatir ketika DC memutuskan membuat proyek universe untuk film superhero mereka (seperti halnya Marvel membuat MCU). Proyek yang
kemudian dikenal sebagai DC’s Extended Universe (DCEU) ini jelas bukan proyek
abal-abal. Tak main-main, DC dan Warner Bros. sudah merencanakan proyek
besarnya hingga 2020 mendatang. Film-film apa saja yang akan muncul pun kita
sudah mengetahuinya. ‘BvS: Dawn of Justice’ secara resmi membuka DCEU lewat
pertarungan dua superhero ikonik DC yakni Batman dan Superman. Satu hal yang langsung
disambut gembira oleh hampir seluruh fans diseluruh dunia semenjak pertama kali
diumumkan Zack Snyder.
Kekhawatiran
saya bukan tanpa alasan. Jika menilik jadwal film DCEU, ‘Justice League’ yang
merupakan gong DCEU terlalu berdekatan dengan ‘BvS: Dawn of Justice’. Hanya
diselang ‘Suicide Squad’ dan ‘Wonder Woman’. ‘Suicide Squad’ pun bisa dibilang tidak
terhubung secara langsung dengan ‘Justice League’ (IMO). Lalu bagaimana
akhirnya line-up Justice League bisa
berkumpul? Karena dua film bukan waktu yang ideal untuk memberi perkenalan
serta latar belakang yang pasti dalam rangka mengumpulkan 6 (enam) karakter
besar dalam satu frame (IMO).
Bandingkan dengan Marvel yang setidaknya butuh 5 (lima) film sampai akhirnya ‘The
Avengers’ hadir ditengah-tengah kita. Lalu bagaimanakah peran ‘BvS: Dawn of
Justice’ dalam membuka DCEU?
Berbicara
mengenai universe film yang memang
sedang trend dewasa ini, saya jadi teringat dengan kasus yang dialami ‘The
Amazing Spider-Man 2’. Tentu kita masih ingat bagaimana Sony sesumbar akan
memperluas dunia Spider-Man lewat pembangunan universe-nya sendiri yang dimulai dengan ‘The Amazing Spider-Man 2’
tahun 2014 lalu. Namun apa yang terjadi, sebelum benar-benar terwujud, proyek universe Spider-Man pun berhenti
ditengah jalan. ‘The Amazing Spider-Man 2’ pun flop dipasaran. Permasalahan paling mendasar terletak pada
perencanaan yang bisa dibilang kurang matang. Membuat sebuah semesta film yang
saling berhubungan satu sama lain jelas bukan perkara mudah. Butuh rencana yang
matang untuk menjalankan visi serta orang yang benar-benar tepat untuk
menanganinya.
Kasus
yang menimpa ‘The Amazing Spider-Man 2’ adalah karena konsep universe tersebut terlalu membebani buat
‘The Amazing Spider-Man 2’. Idealnya, sebuah film hanya menceritakan isi
filmnya sendiri secara mandiri. Namun dalam kasus universe, sebuah film punya tugas dan tanggung jawab yang lebih
yakni menjadi jembatan untuk fim-film lain dimasa depan yang nantinya akan
terhubung dalam universe tersebut.
Dengan kata lain, ‘The Amazing Spider-Man 2’ harus menceritakan isi filmnya
secara mandiri. Ditambah harus menjadi jembatan untuk film lainnya atau setidaknya
memberi petunjuk untuk film-film yang akan datang. Belum lagi, film tersebut
akan mempunyai sekuel yang sedikit banyak juga harus disinggung dalam cerita. Pengalaman
sebelumnya dari 'Spiderman 3' yang gagal dikarenakan (salah satunya)
karena memiliki villain lebih dari
satu. Dan ini dialami juga oleh ‘The Amazing Spider-Man 2’.
Secara
umum, apa yang dialami ‘BvS: Dawn of Justice’ hampir tak berbeda dengan yang
dialami ‘The Amazing Spider-Man 2’. Setidaknya setelah saya menontonnya, saya
jadi mengerti kenapa banyak sekali komentar-komentar dunia maya bernada
kekecewaan yang mengiringi perilisan ‘BvS: Dawn of Justice’. Isu mengenai
sulitnya membuat sebuah universe film
tanpa rencana yang matang serta visi yang jelas (seperti yang saya singgung sebelumnya), memang cukup terasa pada ‘BvS:
Dawn of Justice’. Hasilnya, sebagai pembuka DCEU, ‘BvS: Dawn of Justice’ pun
menderita banyak dari segi cerita. Plotnya diisi dengan begitu banyak subplot
yang begitu ambisius namun terasa kurang berisi dan tumpang tindih. Beberapa
malah terasa dipaksakan, salah satu contohnya easter egg yang memperkenalkan line-up
Justice League. Karakternya tidak diberikan kesempatan yang banyak untuk
dieksplorasi. Motif Lex Luthor sebagai villain
pun terasa setengah matang jika tak mau dibilang gak jelas. Konfrontasi dua
superhero yang digadang-gadang menjadi sajian duel superhero terbesar pun
kurang begitu mengena karena plotnya tidak benar-benar sampai memfokuskan
kesana. Atau lebih tepatnya plotnya melompat-lompat. Meski masih menyajikan
sekuen aksi yang seru dan menegangkan.
‘BvS:
Dawn of Justice’ disutradarai oleh Zack Snyder. Yang saya tahu dari Snyder bila
melihat film-film yang pernah ia buat adalah bahwa dia salah satu sutradara
artistik yang mampu memanfaatkan potensi CGI secara maksimal. Sehingga
adegan-adegan bombastis terasa sangat tepat bila ditangani oleh Snyder. Namun ada
sedikit kelemahan yang cukup kentara bila melihat filmografinya. Selain ‘Watchmen’,
kita bisa merasakan kelemahan Snyder yang satu ini, yaitu ia kurang pandai
dalam bertutur dan bercerita. Dan ini kembali terjadi di ‘BvS: Dawn of Justice’.
Mungkin ia belum belajar banyak dari apa yang telah ia buat di ‘Man of Steel’. Patut
disayangkan pula karena David S. Goyer dan Chris Terrio sebagai penulis naskah
tidak bisa berbuat banyak untuk membuat alurnya lebih terkesan rapi.
Dibalik
segala penderitaan cerita yang dialami, ‘BvS: Dawn of Justice’ masih memiliki banyak
keunggulan ditengah setting gelapnya
yang mendominasi. Kekuatan terbesar terletak pada ensemble cast-nya. Trinitas DC yang diisi Superman, Batman dan
Wonder Woman berhasil ditampilkan secara apik oleh masing-masing pemerannya.
Henry Cavill sukses menjadi superhero dilematis ditengah kekuatannya yang terlalu
besar. Ben Affleck menjadikan kejutan sebagai Bruce Wayne dan Batman walaupun
sempat diragukan banyak pihak. Ben sukses menampilkan sosok Batman yang lain dari
pemeran sebelumnya. Menjadi versinya sendiri tanpa harus dibandingkan dengan
Christian Bale atau Michael Keaton. Dan Gal Gadot? Tidak hanya karena ia
cantik. Ia adalah scene stealer yang
kehadirannya selalu dinanti. Bahkan saya sudah suka ketika fotonya sebagai
Diana Prince muncul pertama kali. Hayo! Siapa
yang dulu meragukan perannya sebagai ratu Amazon ini? Amy Adams sebagai
Louis Lane, Jeremy Irons sebagai Alfred Pennyworth dan Jesse Eisenberg sebagai
Lex Luthor juga menampilkan penampilan yang tak kalah memikat.
Klimaksnya
adalah pertarungan puncak yang mempertemukan Superman, Batman & Wonder
Woman melawan Doomsday. Seperti yang pernah diperlihatkan sedikit di
trailernya, ketiganya bahu membahu mengalahkan mahkluk ciptaan Lex Luthor dari
jasad General Zod ini. Pertarungan yang tersaji begitu besar, kehancuran
yang eksplosif, membawa keseruan yang menjadikannya
salah satu part terbaik dalam ‘BvS:
Dawn of Justice’. Sebelum akhirnya ending
menutupnya dengan manis. Tak lupa scoring
Hans Zimmer yang senantiasa menjadikan setiap moment terasa lebih hidup.
Secara
keseluruhan, ‘BvS: Dawn of Justice’ tidak jatuh pada taraf buruk seperti yang
banyak diperbincangkan orang. Saya menikmatinya dari awal sampai akhir. Diantara
dua setengah jam durasinya, saya tak pernah benar-benar terjerumus kedalam jurang
kebosanan. Meski diawal-awal tak banyak sekuen aksi yang membuat jantung
berdebar. Meski tak banyak unsur komedi yang dihadirkan. Meski setting-nya tak pernah benar-benar
terang alias selalu gelap. Saya cukup menikmatinya atau mungkin memang itu yang
saya cari dari film ini. Dua setengah jamnya terasa pas, tidak terasa sebentar,
tidak pula terasa lama. Tak seperti saat saya menonton ‘Transformers: Age of
Extinction’ yang terasa sekali lamanya.
Apakah
terlalu prematur menilai masa depan DCEU menilik hasil akhir ‘BvS: Dawn of
Justice’, sementara disaat yang sama sang pesaing sudah melangkah jauh? Bisa
iya, bisa tidak. Saya sendiri masih ingin menyaksikan bagaimana kelanjutan DCEU
dimasa depan. Hanya saja, jika DC dan Warner Bros mau sedikit bersabar untuk
mengizinkan universe-nya berkembang
secara bertahap tanpa harus terkesan terburu-buru. Untuk memberi banyak ruang yang
lebih bagi setiap karakter maupun konfliknya berkembang. Sehingga penonton pun lebih
mudah terkoneksi dengan plot besarnya. Mungkin cerita ‘BvS: Dawn of Justice’
akan lain. ‘BvS: Dawn of Justice’ bisa saja menjadi pembuka universe superhero yang mengasyikkan
baik dari sisi cerita maupun teknisnya.
0 comments
Post a Comment