Kamis
malam kemarin, seorang teman mengirim sms ke saya dan memberi kabar bahwa Bu Een sedang dalam kondisi kritis di sebuah rumah sakit di Sumedang. Dalam sms tersebut dia mengajak saya
beserta teman-teman yang lain untuk menjenguk Bu Een ke Sumedang. Dengan berat hati, saya
menolak. Bukan tanpa alasan memang, saya juga sedang tidak
sehat saat itu. Ingin rasanya mengamini ajakan teman tadi, namun apa daya
kondisi sedang tidak memungkinkan. Jum’at sorenya, teman saya mengirim sms lagi dan
mengabarkan kalau Bu Een telah dipanggil Yang Maha Kuasa.
Inna Lillahi wa Inna
Ilaihi Roji’un
Antara
percaya dan tidak ketika mendengar kabar tersebut, namun saya pikir tidak ada
hal yang lebih baik selain saya mengirim doa untuk almarhumah yang sempat saya
kenal selama 40 hari tersebut (kurang lebih).
Saya
mengenal beliau kira-kira setahun yang lalu, waktu saya sedang menjalani
program KKN di Sumedang. Nah kebetulan, kelompok saya kebagian lokasi di tempat
Bu Een berada. Bahkan rumah yang kita tempati waktu itu cukup dekat dengan
rumah Bu Een. Jadinya tetanggaan. Dan karena tetanggaan itulah kelompok kami
sering berjumpa dengan Bu Een dan mulai mengenal pribadi beliau secara perlahan.
Sebenarnya,
jauh sebelum program KKN dimulai saya tidak pernah tahu tentang Bu Een, sama
sekali. Sedikitpun. Siapa Bu Een? Saya juga tidak tahu. Padahal disaat
bersamaan, Bu Een pernah ngasih kuliah umum gitu di kampus dan dapat
penghargaan dari salah satu stasiun TV swasta yang membuat namanya menggaung dan
menebar jutaan inspirasi dan semangat di tanah air. Lalu waktu itu saya kemana aja? Hingga ketika program KKN sudah
mulai mendekat, saya mulai mencari tahu tentang beliau di google. Dan ternyata ada
sesuatu yang berbeda ketika membaca tentang beliau atau melihat foto beliau di
internet dengan bertemu dan berbincang langsung dengan beliau. Ada kesan yang
lain.
Singkat
saya mengenal sosok Bu Een, beliau itu merupakan pribadi yang hangat. Pribadi
lembut khas wanita yang religius dan berpegang teguh pada agamanya. Berjiwa dan
berhati besar, penuh semangat, pantang menyerah, tak mudah putus asa, tak
pernah mengeluh walaupun dengan kondisi yang tidak baik. Senantiasa bersyukur
dengan apa yang diberikan Tuhan kepadanya. Tanpa sedikitpun berburuk sangka
dengan takdir-Nya.
Sebagai
seorang guru, sosok Bu Een buat saya adalah tipikal ideal dari seorang guru,
sang pahlawan tanpa tanda jasa. Jiwa yang dalam hatinya menyadari bahwa guru
adalah profesi mengabdi bukan profesi mencari rezeki. Jiwa dengan segenap
hatinya yang tulus memberikan ilmu yang dimiliki kepada murid-muridnya tanpa
pernah mengharapkan imbalan apapun. Terlebih beliau juga tidak hanya mengajar
tapi juga mendidik. Nah ini yang suka dilupakan sama guru-guru zaman sekarang. Mendidik.
Guru memang dituntut tidak hanya harus bisa mengajar tapi juga harus pandai
mendidik. Dan ternyata mendidik anak itu memang bukan pekerjaan mudah. Dan kalau saya boleh berpendapat, mendidik itu justru lebih sulit daripada mengajar.
Secara
fisik, Bu Een mungkin kurang ideal untuk jadi seorang guru. Tapi beliau punya
semangat, tekad dan niat yang kuat untuk jadi seorang guru, yang memang telah
menjadi cita-cita beliau sejak kecil. Tanpa mengenal lelah, sekuat yang beliau
mampu memberi pendidikan buat anak-anak disekitarnya. Bahkan Bu Een sampai
bela-belain belajar materi pelajaran lagi, supaya bisa memberi pengajaran
kepada anak-anak yang bertanya kepada beliau. Tujuannya sederhana, agar
anak-anak bisa.
Satu
hal lagi yang melekat dari sosok Bu Een adalah kasih sayangnya. Buat Bu Een kasih
sayang itu penting dalam pendidikan. Itu juga jadi hal paling mendasar yang
harus dimiliki seorang guru. Satu kalimat yang terngiang-ngiang sampai sekarang
ditelinga saya adalah perkataan beliau, bahwa pendidikan itu harus berbasis
kasih sayang. Kenapa tidak katanya kalau kurikulum pendidikan kita berbasis
kasih sayang. Nah Pak Kemendikbud, kalau
masih bingung nentuin kurikulum 2006 atau 2013, kenapa tidak dicoba saja saran Bu
Een untuk menggunakan kurikulum berbasis kasih
sayang dalam pendidikan di Indonesia. Hehe.
Mungkin
rentang waktu 40 hari (kurang lebih)
mengenal beliau bukanlah waktu yang lama untuk benar-benar secara deskriptif
menjelaskan kebaikan-kebaikan beliau. Tapi kesempatan mengenal yang sebentar
itulah justru yang terasa berharga. Seperti menampar sisi diri saya yang masih kurang
bersyukur dengan apa yang telah dikasih Tuhan. Yang masih suka suka
malas-malasan padahal kondisi fisik baik-baik saja. Yang bisanya cuma bicara,
tanpa pernah ada tindakan nyata yang benar-benar bermanfaat buat sekitar.
Tapi
lihat Bu Een, apa yang telah diperbuatnya selama ini? Ditengah kondisinya yang tidak
seperti kita-kita yang sehat wal’afiat ini. Beliau justru mampu berbuat lebih banyak
dari kita. Lebih dari sekedar lebih. Mungkin pernah mendengar salah satu
istilah bunyinya seperti ini, bahwa salah satu ciri manusia yang baik adalah ia
mampu bermanfaat untuk sekitarnya. Dan Bu Een adalah salah satu contoh diantaranya.
Saat
ini, mungkin jasad beliau telah tiada. Dan tak bisa kita sapa lagi secara langsung
lewat ucapan "Assalamu’alaikum!" Tapi namanya, semangatnya, jasanya takkan
pernah terlupakan. Apa yang telah diperjuangkannya selama ini. Petuah-petuah
bijak khas seorang guru yang selalu terurai lembut dari beliau kala berbincang
dengannya. Semoga memberi aura-aura positif untuk semua orang. Senantiasa memberi
inspirasi untuk seluruh guru di Indonesia.
Selamat
jalan, Bu Een!
P.S.
Beberapa potret yang sempat terdokumentasikan ketika saya sedang menjalani program KKN bersama
teman-teman setahun yang lalu.
Beberapa anak yang sering main sekaligus belajar ke tempat Bu Een. Sedang berfoto ria bersama kakak-kakak mahasiswa didepan rumah Bu Een. |
Anak-anak didik Bu Een sedang mempersembahkan lagu di pembukaan acara peletakkan batu pertama renovasi kamar belajar dan pembangunan rumah pintar Bu Een. |
0 comments
Post a Comment