Monday, May 18, 2015

Manglayang: Cerita Pertama Mendaki

“Perjalanan mendaki gunung bukanlah untuk mencari puncak,
tapi perjalanan untuk menemukan kembali jalan pulang”
– Someone says –

Semua orang memiliki cerita pertamanya sendiri-sendiri. Meski cerita pertama tidak pasti menjadi yang terbaik. Namun cerita pertama selalu punya cara untuk diingat. Selalu punya alasan untuk dikenang. Tak peduli cerita itu berakhir manis atau pahit. Berakhir suka atau duka. Apapun kisahnya, hal pertama akan selalu memberi guratan yang berbekas.
Gunung. Salah satu mahakarya Tuhan yang menyimpan berjuta cerita. Meyimpan misteri disetiap jengkal tanahnya. Menyimpan tanya dibalik rimbunnya pepohonan. Menyimpan kehangatan ditengah dingin hawanya. Menyimpan keindahan dibalik setiap puncaknya. Menyimpan pelajaran hidup dibalik kemegahannya. Tak heran bila gunung adalah destinasi para manusia untuk menyepi, menyegarkan pikiran, mencari kembali tujuan hidup, menempa mental dan spiritual dan belajar hal-hal baru tentang hidup. Perjalanan mendaki gunung bukan hanya perjalanan jasmani (fisik). Perjalanan mendaki gunung adalah perjalanan rohani (spiritual).
Jean Henry Dunant, sang bapak palang merah sedunia, pernah berkata, “sebuah bangsa/negara tidak akan kekurangan sosok pemimpin jika generasi mudanya sering berpetualang di hutan, gunung dan lautan”. Bukan tanpa alasan, karena alam adalah guru yang tidak akan pernah ditemui di instansi pendidikan manapun. Pendidikan alam adalah pelajaran yang tidak akan pernah diajari pengajar manapun. Manusia bisa seperti sekarang ini, karena mereka belajar dari alam.
“Jika anda ingin mengetahui sifat asli seseorang,
maka ajaklah ia pergi mendaki gunung”
– Someone says –

Gunung Manglayang terletak diantara Bandung dan Sumedang. Terletak persis dibelakang kampus Unpad, Jatinangor. Gunung Manglayang merupakan puncak terendah diantara kwartet gunung dalam legenda sangkuriang (Burangrang – Tangkuban Perahu – Bukit Tunggul – Manglayang) dengan tinggi 1.818 mdpl. Meski tidak terlalu tinggi, namun jangan sekalipun meremehkan Gunung Manglayang. Persiapan layaknya mendaki gunung pada umumnya tetap harus dilakukan guna mengantisipasi keadaan yang tidak terduga.
Mengambil rute dari Baru Beureum, perjalanan saya dan teman-teman dimulai tepat pukul 12.00 WIB malam. Sinar rembulan sepotong menemani sepanjang perjalanan menuju puncak. Sinarnya yang terang menjadi teman untuk setiap langkah yang dilalui. Menjadi penerang digelapnya malam. Memberi kehangatan ditengah dinginnya malam.
Jalur pendakian Mangalayang cukup sulit dilewati karena tingkat kemiringannya yang curam dan merupakan jalur air. Tanjakan berbatu dan tanah liat yang licin silih berganti menyapa. Beruntung saat itu cuaca sedang bagus dan tidak habis hujan. Dan meskipun cukup menguras tenaga, semua akhirnya bisa dilewati.
Kurang lebih tiga jam, puncak bayangan Manglayang akhirnya bisa dijamah. Mayoritas dari kita adalah pendaki pemula, sehingga waktu tersebut terasa wajar buat kami. Di puncak bayangan inilah, keindahan kota Bandung malam hari bisa dirasakan. Gemerlap lampu kota menjadi obat untuk kaki yang terasa lelah melangkah. Penawar untuk nafas yang terengah-engah. Pengganti cairan tubuh untuk peluh yang terus mengalir. Bersama tenda-tenda yang sudah didirikan para pendaki sebelumnya, dua tenda kami ada diantaranya.


Pagi hari. Datang sebagaimana pagi biasanya. Namun sayang seribu sayang, matahari seperti enggan tampil sesuai harapan. Langit pagi dan matahari terbit yang jadi salah satu destinasi para pendaki untuk merasakan kebesaran-Nya tidak terlalu bersahabat. Kabut-kabut tebal membuat mentari malu untuk memberi cahaya khasnya kala itu. Namun itu semua bukanlah tujuan utama, itu adalah hadiah jika kita beruntung. Canda tawa dan kehangatan antar kita lah yang terpenting.
Puncak sesungguhnya dari Manglayang masih harus ditempuh dari puncak bayangan dengan trek yang tak kalah seru. Kalau cepat, tiga puluh menit bisa sampai dipuncak. Namun dipuncak, kita tidak akan bisa menyaksikan pemandangan, karena seluruh sisi tertutup rimbunnya pepohonan. Tapi tanahnya yang lumayan lapang, cukup luas untuk menampung orang-orang berkumpul. Disana juga terdapat sebuah makam yang biasa diziarahi para penziarah atau para pendaki.


Sehabis dari puncak, tengah hari menandai perjalanan menuruni Manglayang. Dibandingkan mendaki, menuruni gunung Manglayang justru terasa lebih berat. Selain fisik yang sudah mulai lemah, semangatpun sudah berbeda dengan saat pertama mendaki. Jalur turunan yang terhampar jelas dalam pandangan turut memberi efek psikologis tersendiri. Trek dengan tingkat kesusahannya terlihat begitu nampak dimata. Sedikit banyak hal itu menurunkan mental. Siang hari seolah menunjukkan trek yang harus dilalui sebenarnya. Berbeda dengan malam hari, dimana masing-masing kita merasa cuek dan tak peduli dengan trek yang akan dilewati nanti. Sesulit apapun itu. Karena dimalam hari kondisinya tidak terlihat jelas, jauh berbeda dengan siang hari. Mungkin itulah salah satu keunggulan mendaki gunung dimalam hari. Kita tidak langsung ciut nyali ketika melihat jalur pendakian yang agak berat.
Menjelang sore, semua awak telah berkumpul sambil melepas lelah. Saya agak sedikit tertinggal dari yang lainnya karena terlalu asyik mengobrol dan lama berisitirahat di perjalanan. Sehabis mengistirahatkan badan sejenak dan menuntaskan semuanya di pos pertama di Baru Beureum, kamipun kembali ke tempat dimana kami biasanya. Gunung Manglayang telah memberi pengalaman baru hari itu. Gunung Manglayang menjadi cerita pertama mendaki buat saya. Semoga bisa kesana lagi suatu saat nanti. Dan semoga bisa mendaki gunung-gunung lainnya. Berkumpul bersama kengkawan di puncak yang lain.

 Manglayang, 10 Mei 2015

0 comments