“Perjalanan mendaki
gunung bukanlah untuk mencari puncak,
tapi perjalanan untuk
menemukan kembali jalan pulang”
– Someone says –
Semua
orang memiliki cerita pertamanya sendiri-sendiri. Meski cerita pertama tidak
pasti menjadi yang terbaik. Namun cerita pertama selalu punya cara untuk
diingat. Selalu punya alasan untuk dikenang. Tak peduli cerita itu berakhir
manis atau pahit. Berakhir suka atau duka. Apapun kisahnya, hal pertama akan
selalu memberi guratan yang berbekas.
Gunung.
Salah satu mahakarya Tuhan yang menyimpan berjuta cerita. Meyimpan misteri
disetiap jengkal tanahnya. Menyimpan tanya dibalik rimbunnya pepohonan. Menyimpan
kehangatan ditengah dingin hawanya. Menyimpan keindahan dibalik setiap
puncaknya. Menyimpan pelajaran hidup dibalik kemegahannya. Tak heran bila
gunung adalah destinasi para manusia untuk menyepi, menyegarkan pikiran,
mencari kembali tujuan hidup, menempa mental dan spiritual dan belajar hal-hal
baru tentang hidup. Perjalanan mendaki gunung bukan hanya perjalanan jasmani (fisik).
Perjalanan mendaki gunung adalah perjalanan rohani (spiritual).
Jean
Henry Dunant, sang bapak palang merah sedunia, pernah berkata, “sebuah bangsa/negara tidak akan kekurangan sosok pemimpin
jika generasi mudanya sering berpetualang di hutan, gunung dan lautan”. Bukan
tanpa alasan, karena alam adalah guru yang tidak akan pernah ditemui di
instansi pendidikan manapun. Pendidikan alam adalah pelajaran yang tidak akan
pernah diajari pengajar manapun. Manusia bisa seperti sekarang ini, karena mereka
belajar dari alam.
“Jika anda ingin mengetahui
sifat asli seseorang,
maka ajaklah ia pergi
mendaki gunung”
– Someone says –
Gunung
Manglayang terletak diantara Bandung dan Sumedang. Terletak persis dibelakang
kampus Unpad, Jatinangor. Gunung Manglayang merupakan puncak terendah diantara
kwartet gunung dalam legenda sangkuriang (Burangrang – Tangkuban Perahu – Bukit
Tunggul – Manglayang) dengan tinggi 1.818 mdpl. Meski tidak terlalu tinggi,
namun jangan sekalipun meremehkan Gunung Manglayang. Persiapan layaknya mendaki
gunung pada umumnya tetap harus dilakukan guna mengantisipasi keadaan yang
tidak terduga.
Mengambil
rute dari Baru Beureum, perjalanan saya dan teman-teman dimulai tepat pukul
12.00 WIB malam. Sinar rembulan sepotong menemani sepanjang perjalanan menuju
puncak. Sinarnya yang terang menjadi teman untuk setiap langkah yang dilalui. Menjadi
penerang digelapnya malam. Memberi kehangatan ditengah dinginnya malam.
Jalur
pendakian Mangalayang cukup sulit dilewati karena tingkat kemiringannya yang
curam dan merupakan jalur air. Tanjakan berbatu dan tanah liat yang licin silih
berganti menyapa. Beruntung saat itu cuaca sedang bagus dan tidak habis hujan. Dan
meskipun cukup menguras tenaga, semua akhirnya bisa dilewati.
Kurang
lebih tiga jam, puncak bayangan Manglayang akhirnya bisa dijamah. Mayoritas dari
kita adalah pendaki pemula, sehingga waktu tersebut terasa wajar buat kami. Di puncak
bayangan inilah, keindahan kota Bandung malam hari bisa dirasakan. Gemerlap lampu
kota menjadi obat untuk kaki yang terasa lelah melangkah. Penawar untuk nafas
yang terengah-engah. Pengganti cairan tubuh untuk peluh yang terus mengalir. Bersama
tenda-tenda yang sudah didirikan para pendaki sebelumnya, dua tenda kami
ada diantaranya.
Pagi
hari. Datang sebagaimana pagi biasanya. Namun sayang seribu sayang, matahari
seperti enggan tampil sesuai harapan. Langit pagi dan matahari terbit yang jadi
salah satu destinasi para pendaki untuk merasakan kebesaran-Nya tidak terlalu
bersahabat. Kabut-kabut tebal membuat mentari malu untuk memberi cahaya khasnya
kala itu. Namun itu semua bukanlah tujuan utama, itu adalah hadiah jika kita
beruntung. Canda tawa dan kehangatan antar kita lah yang terpenting.
Puncak
sesungguhnya dari Manglayang masih harus ditempuh dari puncak bayangan dengan
trek yang tak kalah seru. Kalau cepat, tiga puluh menit bisa sampai dipuncak. Namun
dipuncak, kita tidak akan bisa menyaksikan pemandangan, karena seluruh sisi tertutup
rimbunnya pepohonan. Tapi tanahnya yang lumayan lapang, cukup luas untuk menampung
orang-orang berkumpul. Disana juga terdapat sebuah makam yang biasa diziarahi para
penziarah atau para pendaki.
Sehabis
dari puncak, tengah hari menandai perjalanan menuruni Manglayang. Dibandingkan mendaki,
menuruni gunung Manglayang justru terasa lebih berat. Selain fisik yang sudah
mulai lemah, semangatpun sudah berbeda dengan saat pertama mendaki. Jalur turunan
yang terhampar jelas dalam pandangan turut memberi efek psikologis tersendiri. Trek
dengan tingkat kesusahannya terlihat begitu nampak dimata. Sedikit banyak hal
itu menurunkan mental. Siang hari seolah menunjukkan trek yang harus dilalui
sebenarnya. Berbeda dengan malam hari, dimana masing-masing kita merasa cuek
dan tak peduli dengan trek yang akan dilewati nanti. Sesulit apapun itu. Karena
dimalam hari kondisinya tidak terlihat jelas, jauh berbeda dengan siang hari.
Mungkin itulah salah satu keunggulan mendaki gunung dimalam hari. Kita tidak
langsung ciut nyali ketika melihat jalur pendakian yang agak berat.
Menjelang
sore, semua awak telah berkumpul sambil melepas lelah. Saya agak sedikit
tertinggal dari yang lainnya karena terlalu asyik mengobrol dan lama
berisitirahat di perjalanan. Sehabis mengistirahatkan badan sejenak dan menuntaskan
semuanya di pos pertama di Baru Beureum, kamipun kembali ke tempat dimana kami
biasanya. Gunung Manglayang telah memberi pengalaman baru hari itu. Gunung Manglayang
menjadi cerita pertama mendaki buat saya. Semoga bisa kesana lagi suatu saat
nanti. Dan semoga bisa mendaki gunung-gunung lainnya. Berkumpul bersama
kengkawan di puncak yang lain.
Manglayang, 10
Mei 2015
0 comments
Post a Comment