Setelah
di bulan April kemarin sempat membuat edisi khusus/spesial untuk aktris
kesukaan saya, Kristen Stewart, format ‘Catatan Nonton’ kembali seperti semula
di bulan Mei ini. Kembali menghadirkan kumpulan review-review pendek dari film
yang telah saya tonton secara random
selama sebulan ini. Edisi ke-18 dari ‘Catatan Nonton’ kali ini menganugerahkan Movie of the month kepada film thriller
cyber-crime asal Jerman, ‘Who am I –
No System is Safe’. Salah satu film cyber-crime
terbaik sejauh ini. Hollywood pun dikabarkan akan segera membuat versi
remake-nya. Dan berikut kumpulan short review
film dalam edisi ‘Catatan Nonton’ kali ini.
P.S. Untuk ‘Still
Alice’, saya menontonnya dibulan April, tapi untuk short review-nya saya
masukkan disini.
Still
Alice (2014) (27/04/15)
Short
review:
Julianne
Moore meraih berbagai penghargaan atas perannya disini. Performanya begitu
mempesona sebagai perempuan paruh baya pengidap alzheimer. Bersanding bersama
si cantik Kristen Stewart sebagai anak bungsunya. Hal menyenangkan dari 'Still
Alice' adalah bahwa ia tidak terjebak dalam stereotype
drama yang memakai penyakit sebagai tema utama (baca: cengeng). Kehangatanlah
yang justru begitu menonjol ketika 'Still Alice' dengan premisnya tidak dibuat
duo Richard Glatzer dan Wash Westmoreland menjadi sebuah formula tearjaker. Dan berhasil menebar nuansa
depresifnya tanpa harus mengeksploitasi sisi drama melankolis yang berlebihan.
Penonton bersimpati bukan karena dia menderita karena penyakitnya tapi
perjuangannya (dan orang disekitarnya). Seperti yang Alice bilang dalam
pidatonya, "I am not suffering. I am
Struggling".
Skor:
3,75/5
Who
Am I (2014) (01/05/15)
Short
review:
Ketika
aksi, drama, thriller, kriminal, teknologi dan psikologis dalam sebuah dunia
retas meretas menjadi tontonan yang segar, menyenangkan, menegangkan dan
bercita rasa tinggi. Maka itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan
film thriller cyber-crime asal
Jerman, ‘Who am I – No System is Safe’. Gaya penceritaannya yang cool, flow-nya yang asyik, naskahnya yang cerdas serta sisi teknisnya
yang ok, bersatu padu membuat sebuah
pola dengan lapisan twist yang
mencengangkan. Seperti melihat Edward Norton di ‘Primal Fear’ dan ‘Fight Club’
secara bersamaan ketika melihat Benjamin yang diperankan Tom Schilling. Tontonan
wajib buat penikmat genre serupa. P.S.
visualisasi darknet disini keren banget!
Skor:
4,25/5
Snowpiercer
(2013) (03/05/15)
Short
review:
Sebuah
hasil manis yang diperoleh Bong Joon-ho didebut internasionalnya. Sebuah film post apocalypse yang menggugah. Kisah
pergerakan revolusioner akibat perbedaan dan ketidakadilan dalam strata sosial
memang bukan tema yang baru yang diangkat dalam medium film. Tapi dengan hanya
berada dalam satu set yakni kereta
api, Bong Joon-ho berhasil membawa premis tersebut menjadi begitu kompleks dan
intim. 'Snowpiercer' sendiri berjalan dengan cara yang keras dan brutal. Sarat akan
kritik sosial yang kental disana-sini. Aksi pemberontakan Curtis seperti sebuah
petualangan video game, dan setiap
gerbong yang dilalui adalah setiap level yang menghadirkan tantangannya
masing-masing. Seru, keren, asyik!
Skor:
4/5
The
Avengers: Age of Ultron (2015) (06/05/15)
Short
review:
Bahkan
seorang Christopher Nolan pun tak sanggup menjawab ekspektasi fans yang begitu
besar tatkala menanggung tugas berat bernama sekuel superhero terbaik sepanjang
masa, 'The Dark Knight'. Setali tiga uang dengan Nolan, Joss Whedon pun
memiliki nasib yang kurang lebih sama dengan Nolan saat ditugasi Marvel
menahkodai sekuel 'The Avengers' yang bertajuk 'Age of Ultron'. 'Age of Ultron'
adalah pengulangan-pengulangan yang sesungguhnya pernah kita lihat di ‘The
Avengers’. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor:
3,25/5
Fast
& Furious 7 (2015) (13/05/15)
Short
review:
Sudah
jelas rasanya jika kita harus menghiraukan nalar dan logika ketika menonton
salah satu franchise action terbesar
saat ini, ‘Fast & Furious’. Karena memang bukan itu jualannya. Tak peduli
jika naskahnya sangat medioker, ‘Fast & Furious’ akan tetap digemari ketika
dia berhasil memanjakan penonton dengan beragam aksi gila, kebut-kebutan sampai
parade mobil-mobil keren. James Wan yang notabene berlatar belakang film horor
berhasil mengemban tugas menukangi seri ketujuhnya ini. Meski sempat berduka
setelah kepergian Paul Walker, namun justru hal itulah yang membuat ‘Furious 7’
menjadi lebih spesial dibanding seri lainnya. Sebuah moment bercampur haru di
lima menit terakhirnya. Sebuah penghormatan yang layak untuk seorang Paul
Walker yang telah hadir sejak seri pertamanya.
Skor: 3,75/5
It’s been a long day
without you my friend.
And I’ll tell you all about it when I see you again.
We’ve come along way
from where we began.
I’ll tell you all about it when I see you again.
Jupiter
Ascending (2015) (13/05/15)
Short
review:
Pemandangan
yang memanjakan mata ketika menyaksikan karya terbaru The Wachowskis, ‘Jupiter
Ascending’. Visualnya sangat keren. Set dunia yang dibangun, desain kostum
sampai karakter-karakter unik berhasil tersaji dengan ciamik. Terima kasih
untuk orang-orang yang bekerja dengan keras untuk aspek yang satu ini. Namun
sisi teknis yang bekerja maksimal, tidak sejalan dengan plot yang dihadirkan.
Penceritaannya kacau, naskah yang dihadirkan pun tidak terlalu baik. Bahkan chemistry antara Mila Kunis dan Channing
Tatum tidak tergarap dengan baik pula. Padahal dua karakter ini adalah pondasi
utama untuk keseluruhan cerita ‘Jupiter Ascending’. Sepertinya memang agak
berat buat The Wachowskis mengulang kesuksesan yang sama dengan ‘The Matrix’ di
film ini.
Skor:
2,75/5
Super
(2010) (18/05/15)
Short
review:
Rilis
ditahun yang sama. Punya konsep cerita yang sama. Membuat ‘Super’ selalu
dibanding-bandingkan dengan ‘Kick-Ass’. Bahkan James Gunn sendiri sempat
dituding mendompleng kesuksesan ‘Kick-Ass’ yang lebih dahulu rilis. Memang
sulit juga buat kita untuk tidak membandingkan ‘Super’ dan ‘Kick-Ass’. Namun
terlepas dari itu semua, ‘Super’ sendiri bukan berarti tanpa kekuatan. Meski
punya konsep yang mirip, ‘Super’ mampu berjalan dengan caranya sendiri. Malah
ada beberapa keunggulan yang tak dipunyai ‘Kick-Ass’ dibeberapa sisi. Dibandingkan
‘Kick-Ass’ yang kental nuansa remajanya, ‘Super’ memang lebih dewasa dan
memiliki unsur realitas yang lebih kuat. Adegannya juga lebih sadis dan
berdarah. Karakter utamanya lebih fokus, berbeda dengan ‘Kick-Ass’ yang
teralihkan fokusnya setelah kemunculan Hit Girl.
Skor:
3,25/5
Kingsman:
The Secret Service (2014) (23/05/15)
Short
review:
Sempat
merasa bosan diawal-awal karena ceritanya yang sangat sederhana. Namun style Matthew Vaughn membuat ‘Kingsman:
The Secret Service’ masih terlalu sayang untuk dilewatkan. Layaknya ‘Kick-Ass’
dan ‘X-Men: First Class’ yang menyenangkan, ‘Kingsman’-pun melakukan hal yang
sama. Adegan aksi brutal, berdarah dan sadis tersaji bersama koreografi ciamik dan
efek slowmotion yang stylish. Dan puncaknya adalah babak
akhir yang menjadi klimaksnya. Sebuah sajian yang sangat menghibur. Penuh
warna. Spektakuler. Karakter-karakter yang muncul disinipun sangat memorable. Memang tak salah jika Mark
Millar kembali bekerja sama dengan Vaughn dalam memvisualkan komiknya.
Skor: 4/5
Ex
Machina (2015) (25/05/15)
Short
review:
Saya lumayan menyukai presentasi
Alex Garland di debut penyutradaraannya. Tone-nya
tenang namun menyimpan misteri yang ditaburi rasa abu-abu didalamnya. Premis tentang
kecerdasan buatan memang sudah sering diangkat dalam medium film. Namun itu
tidak berarti bahwa ‘Ex Machina’ adalah sci-fi thriller yang membosankan. Malah
dengan set yang hanya disatu tempat saja, membuat ‘Ex Machina’ mempunyai kesan
intim yang kuat tapi tetap intimidatif. Isu yang diangkat disini juga berhasil
memberi ruang eksplorasi buat penontonnya, yang kemudian membekas setelah
filmnya berakhir. Dua tokoh wanita disini (Alicia Vikander dan Sonoya Mizuno) juga
sukses mencuri perhatian saya lewat penampilan mereka.
Skor: 3,75/5
Vertigo
(1958) (27/05/15)
Short
review:
Selain ‘Psycho’, ‘Vertigo’ juga
disebut-sebut sebagai salah satu karya terbaik seorang Alfred Hitchcock’. Bahkan
beberapa diantaranya menyebut lebih baik dibanding ‘Psycho’. Masih menawarkan psychological-thriller dengan kadar suspense khas Hitchcock + sedikit
dibumbui sisi mistis dan romansa. Ya, romansa. Bahkan sisi yang satu ini begitu
mendominasi di sepertiga bagian akhir. Terdengar agak klise tapi cukup efektif
untuk membuatnya menjadi lebih berbeda. Bahkan sisi romansa turut berkontribusi
dalam menggulirkan cerita. Meskipun sempat menurunkan sedikit tensi dan
atmosfernya, tapi Hitchcock memang paling tahu bagaimana caranya element suspense bekerja dalam film. Begitulah yang
terjadi pada ‘Vertigo’. Predikat The Master of Suspense memang tak salah jika
dialamatkan padanya.
Skor: 4/5
'Chappie jelas beda dengan 'District 9' yang dipuja-puja. Bahkan dengan 'Elysium' sekalipun yang tak lepas dari kritik. 'Chappie' teramat sangat ringan bila dibandingkan dengan keduanya. Isu-isu sosial yang sudah jadi ciri khas film-film Neill Blomkamp memang masih ada. Namun tidak sesatir dan selugas sebelumnya. Membawa premis yang sudah bolak-balik dipakai dalam film, tentang kelancangan manusia yang bermain-main sebagai Tuhan, Blomkamp sanggup memberi tontonan menghibur. Banyak cita rasa yang dihidangkan lewat kekhasan Neill disini. Ya, menghibur bila kita mau memaafkan kekurangan-kekurangan yang ada. Itu belum ditambah hal-hal yang (sebenarnya) tidak terlalu saya sukai, seperti para anggota gangster atau lagu-lagu yang diperdengarkan disini. Bahkan tokoh Chappie pun tak luput dari kesan annoying ditengah rasa simpati kita padanya. Saya juga kurang suka dengan ending-nya. Selain terkesan terlalu dipaksakan, ending-nya juga cukup menggernyitkan dahi. But overall, 'Chappie' adalah sajian sci-fi yang nyaman untuk ditonton.
Skor: 3,25/5
Gambar dari sini.
0 comments
Post a Comment