“But now
I’m free. There are no strings on me!”
–
Ultron –
Tak
peduli seorang fans atau bukan. Pembaca komik ataupun bukan. Rasanya Marvel Cinematic Universe telah menjadi
candu bagi para penikmat film dimanapun berada. Kehadirannya menjadi sebuah
euforia tatkala para anggota the earth
mighty heroes kembali beraksi. Especially,
ketika akhirnya seluruh punggawa tampil dalam satu layar.
The
Avengers (2012) yang menjadi titik awal bergabungnya para superhero Marvel dalam satu frame
(setelah sebelumnya tampil solo) telah mendeskripsikan bagaimana seharusnya
sebuah film crossover superhero dibuat. Dengan adanya standar
tinggi yang dibuat Joss Whedon sebelumnya, tak aneh jika banyak orang yang
menaruh ekspektasi tingkat tinggi ketika Whedon kembali terpilih menahkodai
sekuel ‘Avengers’, Age of Ultron (2015).
Tentu
bukan perkara mudah buat seorang Whedon untuk memenuhi segala macam tuntutan
dan tekanan yang dibebankan kepadanya. Bahkan seorang Christopher Nolan pun tak
sanggup menjawab ekspektasi fans yang begitu besar tatkala menanggung tugas
berat menahkodai sekuel superhero terbaik sepanjang masa, The Dark Knight
(2008). Walaupun The Dark Knight Rises (2012) bukanlah film jelek, tapi tetap
saja, tak bisa dipungkiri jika ‘The Dark Knight Rises’ masih berada dibawah ‘The
Dark Knight’. Setali tiga uang dengan Nolan, dalam hal ini, Whedon pun memiliki
nasib yang hampir sama dengan Nolan.
Kenyataan
bahwa yang dibuat Whedon masih berada dalam satu universe, mau tidak mau, itu membuat ‘Age of Ultron’ tidak bisa
berdiri sendiri dalam menggulirkan kisahnya. Sebagai sebuah sekuel, ia juga harus
mampu menjadi sekuel yang baik untuk film-film sebelumnya, dan menjadikan semua
peristiwa dalam film terdahulu tetap berada dalam satu benang merah yang sama. ‘Age
of Ultron’ juga harus memberi sinyal cerita untuk film-film yang akan datang.
Karena jelas, sebuah universe harus
berhubungan satu dengan lainnya. Disisi lain, dan tak kalah pentingnya, Whedon pun
harus menjawab dahaga penonton yang sudah haus akan resep yang dihidangkannya
kali ini. Apalagi sebelumnya, Captain America: The Winter Soldier (2014),
Guardians of the Galaxy (2014) sampai serial TV Daredevil (2015) sudah memberi
nafas yang sangat positif buat film Marvel. Hasilnya?
‘Age
of Ultron’ masihlah layak disebut sebagaimana seharusnya film crossover superhero dibuat. Ia megah. Dahsyat. Adegan aksinya spektakuler.
Visualisasinya keren. Premisnya ok. Dan jelas, ini amat sangat menghibur. Namun
apa daya, semuanya pernah kita saksikan sebelumnya. ‘Age of Ultron’ seperti bentuk
pengulangan dari sebelumnya, hanya saja dengan beberapa pendekatan tambahan
yang tak pernah ada di predesesor-nya.
Seperti pendekatan cerita yang lebih kelam, bumbu-bumbu romansa, sampai
ketakutan-ketakutan para karakter yang sedikit banyak memunculkan sisi gelap
masing-masing. Dan selebihnya, sama.
Secara
keseluruhan, pola penceritaan yang ditampilkan dalam ‘Age of Ultron’ pun hampir
sama dengan ‘The Avengers’. Beberapa moment
yang ada pun seperti membuat moment
dejavu. Namun biarpun begitu, ‘Age of
Ultron’ tetaplah sebuah hiburan khas summer
blockbuster berkualitas yang sayang jika dilewatkan. Karena pada dasarnya,
DNA itu memang sudah ada dalam film ini. Adapun jika ‘Age of Ultron’ disebut-sebut
akan lebih kelam dari sebelumnya (bukan Marvel
banget) tidak perlu dirisaukan. Karena tingkat kekelamannya tidak seperti
yang dibayangkan. Tidak seperti DC yang sangat kental nuansa dark-nya. ‘Age of Ultron’ masih
menawarkan kesenangan-kesenangan yang sudah jadi ciri khas Marvel. Joke-joke gokil dari dialog setiap
karakternya masih ada. Bahkan dalam keadaan yang sangat serius pun kita masih
bisa dibuat tertawa.
Bicara
soal karakter, pastinya kurang afdol jika The Avengers masih memakai line-up yang sama. Maka karakter
tambahan pun dimunculkan guna memeriahkan suasana. Ada sikembar Quicksilver dan
Scarlett Witch yang lumayan mencuri perhatian. Ada juga Vision yang selama
promo agak sedikit dibuat misterius. Btw,
Quicksilver di Age of Ultron (rasanya)
masih kalah mempesona jika di-compare
sama Quicksilver di ‘X-Men: Days of Future Past’. Untuk villain-nya, ada Ultron yang ternyata tidak seseram dan seganas
yang saya kira. Karakter Ultron sendiri kurang begitu tergali, sehingga aura
jahatnya masih belum 100%. Sebagai villain
sekelas The Avengers, Loki justru lebih berkesan.
Memang
‘Age of Ultron’ tidak banyak menawarkan sesuatu yang baru. Agak dibawah
ekspektasi untuk yang mengharapkan lebih. Keramaian dan kemeriahan yang coba
diangkat lewat tambahan karakter memang berhasil. Tapi itu tidak membuatnya
jauh lebih hebat dari versi
sebelumnya. Buat saya, adegan aksi dan pertempuran di ‘The Avengers’ justru
lebih membuat merinding dibandingkan ‘Age of Ultron’.
‘Age
of Ultron’ sendiri menjadi semacam jembatan untuk installment selanjutnya (khususnya
Infinity War). Bumbu-bumbu ‘Civil War’ juga sedikit banyak telah diumbar
disini. Hal-hal lain yang tak kalah menarik untuk ditelusuri adalah misteri
tentang batu yang sering jadi objek permasalahan di universe ini. Batu-batu ajaib yang dinamai Infinity Stones ini memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Jumlahnya
ada enam buah, yang konon katanya, huruf pertama dari masing-masing nama batu
tersebut kalau digabung akan membentuk kata T-H-A-N-O-S. Sampai saat ini, Infinity Stones yang telah terungkap adalah
Tesseract (T), Aether (A), Orb (O) dan Scepter (S).
Kita
lihat aja nanti, kemunculan sisa batu lainnya yang diduga akan memiliki nama
dengan awalan huruf H dan N. Untuk ke depan, sepertinya Thanos sendiri yang
akan turun tangan (seperti yang di bilang
disini). Hegemoni Marvel Cinematic
Universe rasa-rasanya tidak akan berakhir dalam waktu dekat ini. Setelah ‘Ant-Man’
yang akan rilis Juli nanti, bersiaplah menyambut fase ke-3 MCU yang akan segera
dihelat 2016 nanti, yang dibuka terlebih dulu oleh ‘Captain America: Civil War’.
Rumornya, Spider-Man akan menandai kemunculan perdananya di MCU disini.
0 comments
Post a Comment