Setelah
beberapa waktu agak mulai menurun, sepertinya bulan ini saya mulai menemukan
kembali mood menonton film seperti
biasanya. Terbukti di edisi ke-22 dari ‘Catatan Nonton’ kali ini jari tangan
saya sudah tak bisa menghitungnya. Triwulan terakhir dalam setahun biasanya selalu
menghadirkan film-film yang worhted
buat ditonton. Dengan kata lain, banyak film-film bagus (yang tidak hanya sekedar hiburan) yang rilis di periode ini.
Film-film ramah Oscar pun selalu bermunculan diperiode ini. Khusus bulan
Oktober saja, ada cukup banyak film-film yang nongol di bioskop. Sebut saja The
Martian, Sicario, The Walk, Crimson Peak dan Bridge of Spies. Film-film
tersebut sebenarnya juga muncul dalam daftar film yang saya tunggu tahun ini
dipostingan awal tahun. Meski begitu, kenyataannya saya tidak bisa menyaksikan
semua film-film itu. Tentunya ada berbagai alasan kenapa itu bisa terjadi. Tapi
apapun itu, ini adalah ‘Catatan Nonton’ yang berisi review-review pendek film
yang saya tonton selama sebulan ini. Movie
of the Month kali ini adalah Crimson Peak-nya Guillermo del Toro yang sukses menyajikan tontonan tercantik
sekaligus termegah tahun ini. Dan seperti biasa gambar diambil dari sini.
Tomorrowland
(2015) (01/10/15)
Short
review:
Diilhami
dari salah satu wahana Disneyland, 'Tomorrowland' memang terasa begitu ambisius
dengan segala remeh temeh tentang masa depan dan dunia futuristik. Dari luar,
'Tomorrowland' tampak begitu megah dengan visual futuristik yang memanjakan
mata. Menghibur? Ya. Menyenangkan? Ya. Namun ketika kita melihat lebih dalam
lewat caranya bercerita. 'Tomorrowland' seperti terseok-seok dalam bertutur
soal konsep dan ide yang imajinatif yang digelontorkan bersama isu kehancuran
bumi dimasa depan. Pesan besarnya mungkin kurang begitu tersampaikan, walaupun
Brad Bird telah banyak menceramahi penonton dengan berbagai pikiran positif dan
optimis. Eksekusi memang menjadi permasalahan disini.
Skor:
3,25/5
Terminator:
Genisys (2015) (01/10/15)
Short
review:
Bukan
salah penonton jika harus kebingungan sendiri menyaksikan installment terbaru sekaligus reboot
dari franchise yang melambungkan nama
Arnold Schwarzenegger. Mengusung elemen time
travel dan alternate timeline
yang bertabrakan menjadi sebuah paradoks memang terlihat cerdas dan rumit
disaat bersamaan. Namun itu hanya akan jadi omong kosong belaka jika skrip yang
ditulis tidak sebagaimana mestinya. Duo Laeta Karogridis dan Patrick Lussier
terlihat malas dalam menjelaskan hukum sebab-akibat yang pasti guna memaparkan
bla-bla-bla tersebut. Dan terkesan menggampangkan semuanya dengan dalih
"masa lalu telah berubah, begitupun masa depan". Beruntung Alan
Taylor masih menyisakan unsur hiburan yang cukup bekerja (meski tidak istimewa)
dan menebar homage-homage kecil yang
membawa kita bernostalgia dengan ‘Terminator’. Setidaknya, itu menyenangkan
(ditambah Emilia Clarke tentunya).
Skor:
3,25/5
Paper
Towns (2015) (04/10/15)
Short
review:
Ada
kehangatan yang begitu kentara melihat adaptasi novel young adult John Green ini. 'Paper Towns' tidak hanya berbicara
tentang kisah cinta masa SMA saja, ada kisah persahabatan yang diulik disini.
Jika itu belum cukup, tenang, karena 'Paper Towns' memberi selipan misteri dan
sebuah perjalanan menyenangkan bersama iringan musik indie yang catchy. Seperti kisah young adult pada umumnya, 'Paper Towns'
pun akan membawa unsur pendewasaan yang kalau saya bilang lebih related disini. Dari luar mungkin
terlihat sederhana, tapi ada muatan filosofis yang membuat kitapun ikut
merenungkannya bersama ending bittersweet
itu. Moment-moment yang terjadi disinipun sedikit banyak membawa kita ikut
berkontemplasi ke masa putih-abu dulu. Pun ketika mereka menyanyikan opening song ‘Pokemon Indigo League’
yang seru, lucu dan bikin kangen.
Skor:
3,5/5
The
Martian (2015) (05/10/15)
Short
review:
‘The
Martian’ mungkin agak kurang sesuai dengan ekspektasi awal saya, dimana saya
mengharapkan ini akan menjadi tontonan serius dan kelam layaknya ‘Gravity’ atau
‘Interstellar’. Dan kalau mau dibandingkan pesona ‘The Martian’ memang masih
kalah dari keduanya menurut saya. Tapi jalan berbeda yang ditempuh Ridley Scott
adalah jalan yang sangat tepat, terlepas dari novelnya yang juga demikian atau
tidak. Setidaknya itu bisa membuat ‘The Martian’ berdiri sendiri tanpa harus
terus dikaitkan dengan ‘Gravity’ atau ‘Interstellar’. Caranya itu pula yang
membuat ‘The Martian’ menyisakan perasaan puas di benak penontonnya. Review
lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor:
3,75/5
Pixels
(2015) (10/10/15)
Short
review:
Premis
‘Pixels’ memang sudah menjanjikan sesuatu yang menarik ketika pertama kali film
ini diumumkan. Meski ada kekhawatiran ketika nama Adam Sandler didapuk sebagai
pemeran utama. Maklum akhir-akhir ini nama Adam sudah terdengar sangat
‘membosankan’ melalui judul-judul yang dibintanginya. Dan ditangan Chris
Colombus nama Adam Sandler (sepertinya) mulai agak naik lagi nih. Hehe. ‘Pixels’ memang bukanlah tipikal
tontonan yang bagus di cerita ataupun karakter, tapi Chris Colombus berhasil
menyulap premisnya yang sudah menarik itu menjadi sajian menghibur dan
menyenangkan. Terlebih saya belum pernah menyaksikan versi short movie yang menjadi dasar pembuatan film ini. Visualnya juga
sangat layak diapresiasi. Dan satu hal lagi (mungkin
ini point-nya) bahwa ‘Pixels’ sukses menyajikan moment nostalgia yang manis untuk siapapun yang pernah hidup dengan
arcade game.
Skor:
3,5/5
Minions
(2015) (11/10/15)
Short
review:
I think, siapapun sudah tahu jika ‘Minions’
adalah perwujudan kebiasaan hollywood yang suka mengekploitasi karakter
pendukung yang mencuri perhatian penonton. Dan setelah jadi scene stealer di dua seri ‘Despicable
Me’ (yang kedua malah mendapat porsi
lebih) Minion pun akhirnya mendapat jatah peran utama. Sesungguhnya, selalu
ada kekhawatiran terkait hal-hal seperti ini. Menjadikannya sebuah prekuel
sekaligus spin-off, ‘Minions’ hadir
membawakan origin story-nya. Lantas
apalagi yang ingin ditawarkan Illuminations Studios dari si kuning imut ini? Kekhawatiran
yang sebelumnya ada memang menjadi terbukti dan beralasan. Pada akhirnya,
‘Minions’ pun tidak menawarkan sesuatu apapun. Kemunculan film inipun semakin menyiratkan
secara tegas jika para pembuatnya sengaja meraup pundi-pundi dolar dari makhluk
kecil tersebut. Selain memperpanjang usia franchise-nya
tentunya.
Skor:
2,75/5
Me
and Earl and the Dying Girl (2015) (11/10/15)
Short
review:
‘Me
and Earl and the Dying Girl’ memang bukan seperti drama remaja pada umumnya
yang menjadikan penyakit mematikan sebagai premisnya. Sebenarnya semua elemen
khas tema seperti ini masih ada, hanya caranya saja yang berbeda dan tak biasa.
Dan itu menyenangkan, sekaligus menghangatkan. Terlebih ‘Me and Earl and the
Dying Girl’ membawa aura positif dibalik semua getir yang ada. Sisi gloomy kematian dibawanya pada sebuah
pelajaran berharga buat karakternya. Menjadikannya lebih dewasa dalam
menghadapi hidup dan menghargainya. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor:
4/5
Cop
Car (2015) (13/10/15)
Short
review:
Opening yang teramat menarik disebuah
padang gersang membawa dua bocah yang sedang berjalan-jalan. Melontarkan
kata-kata umpatan yang terasa salah tapi juga menggelikan disaat bersamaan. Sebuah
mobil polisi tergeletak begitu saja, lengkap dengan kuncinya. Namanya juga
anak-anak mereka langsung saja bermain-main dengannya. Membawa mereka pada
perjalanan mengemudi pertama yang mungkin juga menjadi yang terakhir. Di tempat
lain ada seorang polisi yang sedang melakukan perbuatan yang juga terasa salah
dan akhirnya harus kehilangan mobilnya. Dan mulailah pencarian si polisi akan
mobilnya sementara para bocah asyik bermain dengan mobil yang ditemukannya.
Semua yang terasa salah tapi juga menggelikan disaat bersamaan seperti menjadi
fokus utama disini. Dan Joan Watts cukup efektif dalam mengungkapnya. Filmnya
memiliki tempo yang lambat tapi entah kenapa tiba-tiba sudah mendekati ujungnya
saja. Dengan kata lain, saya menikmatinya.
Skor:
3,75/5
Assasination
Classroom (2015) (14/10/15)
Short
review:
Apa
yang dilakukan Eiichiro Hasumi pada ‘Assasination Classroom’ terbilang cukup
tepat. Dia tak sampai hati untuk memodifikasi secara ekstrim fokus dan tone-nya. Menyederhanakannya, mungkin
kata yang lebih tepat. Walaupun diluar sana masih banyak yang merasakan
perbedaan, itu tidak terlalu bermasalah. Karena memang diperlukan beberapa
penyesuaian dari serial 22 episode menjadi film berdurasi 110 menit. Saya
pikir, versinya ini masih bisa diterima (dan disukai) baik oleh kalangan fans
maupun non-fans. Apalagi modal “menyenangkan” sudah dipunyai ‘Assasination
Classroom’ sedari awal. Sayapun menikmatinya. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor:
3,75/5
Crimson
Peak (2015) (19/10/15)
Short
review:
Terlepas
dari rasa horornya yang kurang menggigit atau romansanya yang kurang emosional,
saya sangat menikmati ‘Crimson Peak’ secara utuh. Nama Guillermo del Toro
sebenarnya sudah sangat mengisyaratkan bahwa ini bukanlah film horor komersil
macam ‘Insidious’ atau ‘The Conjuring’. Lagipula, saya juga tidak pernah
mengharapkan tontonan seperti itu saat menonton ‘Crimson Peak’. Justru ‘Crimson
Peak’ berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Walaupun memang harus
diakui ada beberapa bagian yang kurang. Tapi semua itu seolah begitu mudahnya
termaafkan ketika tak henti-hentinya kecantikan dan kemegahan tersaji indah
dilayar. Kembali saya terhipnotis oleh karya del Toro seperti yang pernah saya
rasakan dalam ‘Pan’s Labyrinth’. Review lengkapnya bisa dilihat disini.
Skor:
4/5
Fantastic
Four (2015) (27/08/15)
Short
review:
Permasalahan
internal yang menimpa reboot ‘Fantastic
Four’ memang berimbas penuh pada hasil akhir filmnya. Josh Trank yang pernah
mengejutkan dunia lewat ‘Chronicle’ ternyata membuat para fanboy naik pitam dengan merevolusi penuh ‘Fantastic Four’. Mulai
dari pemilihan cast, pembuatan origin story, sampai tone yang dibuat berbeda. Pun dengan
kesenangan yang selalu hadir pada warna bendera Marvel yang kita kenal tak kita
temukan disini. Sesungguhnya separuh awalnya masih bisa dinikmati oleh saya
ketika Trank membawa sisi drama berbau sci-fi dalam penceritaannya (terlepas dari berbagai kekurangan yang
masih terasa). Namun setelahnya adalah sebuah kesalahan yang membuat film
ini seolah terpisah antara bagian awal dan bagian akhirnya. Parahnya lagi,
bagian akhir inilah yang paling fatal. Bagaimana tidak, Dr Doom yang notabene
adalah salah satu villain terkuat
dijagat Marvel dibuat lemah tak berdaya dengan membuat pertarungan bodoh
semacam itu? Selebihnya, tonton sendiri saja! Karena masih banyak kekonyolan
dan kebodohan lainnya.
Skor:
2,25/5
0 comments
Post a Comment