Tahun
2015 semakin menambah daftar panjang manga dan anime yang dibuatkan versi live action. Ada ‘Attack on Titan’,
‘Bakuman’ dan ‘Assasination Classroom’. ‘Assasination Classroom’ merupakan seri
manga populer rekaan Yusei Matsui. Bercerita tentang misi pembunuhan makhluk
aneh kuning berwujud gurita oleh kelas 3-E. Kelas yang terisolasi di SMP
Kunugigaoka. Seri animenya telah menuntaskan musim pertamanya dalam dua cour dan berakhir pada bulan Juni lalu. Review
lengkapnya bisa dilihat disini.
Versi
live action manga/anime Jepang
seperti dua sisi mata uang. Selalu menghadirkan ekpektasi berbeda dikalangan
fans dan non-fans. Disatu sisi memang kurang adil jika terus menerus
membandingkan manga/anime dengan versi live
action. Karena jelas medianya berbeda. Tapi disisi lain, cukup sulit juga
membiasakan diri untuk melepas bayang-bayang manga/anime yang kadung melekat. Menyaksikan
versi live action bagi yang sudah
akrab dengan manga ataupun animenya bagaikan perjudian besar. Terlebih jika
manga/ anime itu begitu disukai. Yang paling terasa adalah ketika beberapa
waktu lalu muncul versi live action
‘Attack on Titan’ yang dimodifikasi hampir disemua aspek. Mulai dari plot, set
sampai karakter. Tak pelak kritikan pun begitu tajam dialamatkan pada film
garapan Shinji Higuchi ini. Karena dianggap melenceng terlalu jauh dari sumber
aslinya. Lantas bagaimana dengan ‘Assasination Classroom’ sendiri?
Harus
saya akui menit-menit awal film adalah moment
adaptasi buat saya. Terutama mengenai penggambaran karakter. Secara penampilan,
Koro-Sensei tidak terlalu bermasalah, sosoknya pun berhasil divisualisasikan
dengan cukup halus sehingga tampak menyatu dengan karakter lain yang notabene
adalah manusia. Kecuali suaranya yang diisi Kazunari Ninomiya. Maklum dalam
anime suara Koro-Sensei itu begitu khas dan masih terngiang sampai sekarang.
Kemudian berlanjut ke Nagisa (yang kurang
feminin, haha), Karashuma, Irina (Bitch-Sensei),
Karma, dan yang lainnya. Selang beberapa saat saya pun mulai terbiasa dan
menerima penggambaran karakter yang ada. Beralih ke cerita, dan...
Harus
diakui juga jika banyak konten-konten manga/anime yang hilang disini. Plot hole pun mulai bermunculan dan
cukup terasa, terutama bagi yang belum bersentuhan sama sekali dengan
manga/animenya. Tapi Eiichiro Hasumi sanggup membawa ‘Assasination Classroom’
versinya sendiri dengan tetap berpegang teguh pada inti ‘Assasination
Classroom’ yang sudah kita kenal. Beberapa moment
penting dan khas yang tercatut dalam manga/anime pun kembali dibawa. Sekaligus
memberi ruang bagi beberapa karakternya untuk tampil bersinar dan meninggalkan
kesan seperti di manga/animenya. Walaupun porsinya sendiri tidak terlalu
banyak. Tapi itu sudah lebih dari cukup.
Apa yang dilakukan Eiichiro Hasumi pada
‘Assasination Classroom’ terbilang cukup tepat. Dia tak sampai hati untuk
memodifikasi secara ekstrim fokus dan tone-nya.
Menyederhanakannya, mungkin kata yang lebih tepat. Walaupun diluar sana masih banyak
yang merasakan perbedaan, itu tidak terlalu bermasalah. Karena memang diperlukan
beberapa penyesuaian dari serial 22 episode menjadi film berdurasi 110 menit. Saya
pikir, versinya ini masih bisa diterima (dan disukai) baik oleh kalangan fans
maupun non-fans. Apalagi modal “menyenangkan” sudah dipunyai ‘Assasination
Classroom’ sedari awal. Sayapun menikmatinya.
0 comments
Post a Comment