Waktu
kecil seringkali kita diajukan pertanyaan dari sekitar tentang cita-cita jika
sudah dewasa nanti mau jadi apa? Astronot mungkin menjadi salah satu profesi
yang paling diidolakan zaman anak-anak dulu. Astronot itu keren, bisa
menjelajahi angkasa raya. Menggapai bintang-bintang. Namun setelah kita mulai
besar dan mulai agak mengerti, kita pun tahu dan sadar bahwa menjadi astronot
itu tidak semudah seperti yang dibayangkan. Sisi kerennya memang masih ada.
Tapi ada konsekuensi mahaberat yang siap menanti tanpa pernah bisa diprediksi.
Beberapa film sci-fi telah banyak mengungkapkan kengerian bernama luar angkasa tersebut.
Sebut saja Gravity (2013) Alfonso Cuaron dan Interstellar (2014) Christopher
Nolan [Review].
Dua
film yang saya sebut diatas adalah dua film yang sanggup membawa sisi lain luar
angkasa dengan pendekatan yang realistis. Dari keduanya, saya menjadi semakin
sadar bahwa menjadi astoronot bukanlah pekerjaan mudah. Teramat sangat
mengerikan malah. Kadang saya suka berpikir bagaimana jika harus terombang-ambing
di antah berantah itu, sendirian, dengan berbagai kemungkinan buruk yang masih
bisa terjadi. Bahkan jika harus meninggal pun entah akan kemana mayatnya nanti.
‘Gravity’
dan ‘Interstellar’ adalah dua film yang sama-sama mengagumkan lewat tangan
dingin sutradaranya. Dan setelah berturut-turut dari ‘Gravity’ ke ‘Interstellar’,
tahun ini kitapun disuguhi menu yang hampir sama. Ada Ridley Scott, sutradara
gaek yang punya track record bagus
dalam film sci-fi bertema luar angkasa yang kali ini meminjam kisah dari novel Andy
Weir, The Martian. Bukan tentang kecelakaan luar angkasa lagi. Bukan pula tentang
perjalanan melintasi galaksi mencari planet yang bisa dihuni manusia. Scott akan menyoroti perjuangan survival seorang
manusia yang harus terdampar di planet Mars seorang diri.
Diantara
delapan planet dalam tata surya kita, planet Mars mungkin menjadi planet terdepan
yang dianggap paling bisa ditinggali setelah bumi. Sejumlah ilmuwan dan
peneliti telah acap kali mengemukakan berbagai konsep dan teori yang berkaitan
dengan itu. Mulai dari struktur planet Mars yang diperkirakan hampir sama
dengan bumi, adanya kehidupan di Mars lewat ditemukannya cairan yang
diperkirakan sebagai air, dsb. Walaupun sesungguhnya itu semua masih harus
perlu dikaji lebih dalam lagi, tapi kita semua sudah sering berimajinasi dan
bertanya-tanya tentang kehidupan disana. Seorang Bob Dylan pun tak ketinggalan
mempertanyakannya dalam salah satu lirik lagunya yang berbunyi, is there ilfe on Mars? Dan dalam medium
film, sudah bukan hal baru jika planet merah telah mendapat tempat tersendiri dimata
mata para sineas.
‘The
Martian’ memulai semuanya tanpa basa-basi. Kita langsung diperlihatkan pada
sejumlah awak tim dalam misi bernama Ares
3 di Mars yang gersang. Tanpa diduga sebuah badai besar menghadang
mengharuskan sang komandan Melissa Lewis (Jessica Chastain) membatalkan misi seketika.
Mark Watney (Matt Damon) yang punya pendapat berbeda soal keputusan sang
komandan malah mengalami kecelakaan yang membuat dirinya dianggap tewas oleh
seluruh rekannya. Dengan berat hati para awak pun meninggalkan mayat Watney
terdampar di Mars. Namun apa yang terjadi setelahnya, kita tahu bahwa Mark
Watney masih hidup, lebih ironis lagi karena masih hidupnya Mark adalah berkat kecelakaan
yang menimpanya.
Dalam
pembukaannya, Ridley Scott seolah ingin menunjukkan kembali betapa kejam dan
mengerikannya kehidupan diluar bumi. Adegan dalam badai tersebut sangat bisa
mendefinisikan pernyataan tadi. Kengerian, keriuhan, hadir bersama dentuman
keras dan visual yang ikut membawa suasana menegangkan. Bahkan sampai saat Mark
Watney selamat pun kita masih harus menyaksikan pemandangan yang tak
menyenangkan. Tak pelak lagi ingatan saya langsung dibawa pada ‘Gravity’ dan
‘Interstellar’. Dan harus saya akui sedikit banyak hal itu membawa ekspektasi
yang sama. Meski kenyataannya film ini sangatlah berbeda dengan keduanya.
Mungkin
sedari awal Ridley Scott memang sudah sadar bahwa filmnya yang bertema luar
angkasa, berurutan pula dengan ‘Gravity’ dan ‘Interstellar’ (yang sudah punya
standar sendiri), akan di-compare
penonton dengan karya Cuaron dan Nolan. Maka dari itu, terlepas dari sumber
aslinya, Ridley memillih mengambil jalan berbeda dengan para pendahulunya. Meninggalkan
kesan kelam dan serius yang dilakukan Cuaron dan Nolan, ‘The Martian’ dibawanya
pada sajian yang ringan, santai, lucu, sarkastik tanpa sedikitpun menghilangkan
unsur sains dan ketegangannya.
Keberhasilan
Ridley Scott yang paling terasa disini adalah bagaimana ia bisa membuat timing yang tepat dalam menciptakan
setiap moment yang sanggup menarik
atensi penonton sebelum jatuh pada jurang kebosanan. Moment-moment santai yang
ia ciptakan langsung ditimpa suasana mencekam penuh ketegangan sebelum
benar-benar membosankan. Pun begitu ketika urat nadi mulai menegang, Ridley Scott
membawanya pada suasana canda penuh tawa yang datang tanpa kita duga. Berulang kali
silih berganti. Semuanya terasa tepat waktu. Dan itu menyenangkan.
Matt
Damon ternyata tidak sedepresif itu ketika harus tertinggal sendiri di Mars.
Berbekal kepintarannya, Mark Watney memang bisa hidup sol demi sol (hari versi
Mars) lebih dari dugaan awalnya. Namun dibalik itu, ia adalah seseorang yang selalu
berpikir positif, gaya bicara dan guyonannya selalu bisa membuat suasana
menjadi sedikit lebih menenangkan. Ia masih sanggup menari-nari disko tatkala
orang bumi begitu mengkhawatirkan keadaannya. Ia juga masih sempat berpose
ketika diminta Annie Montrose memberikan gambarnya. Performa Matt disini juga
layak mendapat apresiasi walaupun ia masih kurang memberi koneksi emosi yang dalam
bagi penonton.
‘The
Martian’ tidak hanya melulu tentang perjuangan bertahan hidup seorang anak
manusia di Mars. Kita juga bisa melihat bagaimana kondisi yang terjadi dibumi
ketika tahu bahwa ada saudara mereka yang tertinggal 35 juta km jauhnya dari
mereka. Bagaimana mereka juga ikut memperjuangkan keselamatan Mark di Mars
sampai bisa kembali ke bumi dengan berbagai cara serta upaya. Meski mereka
sendiri sadar bahwa masih ada resiko besar menanti dibalik itu. NASA, media
sampai masyarakat luas pun ikut memberi dukungannya. Tak ketinggalan pula rekan
Mark di Hermes ikut ambil bagian
dalam ini. Pada akhirnya kitapun akan berkesimpulan bahwa ‘The Martian’ itu
sangat kaya akan sisi humanisme didalamnya. Menurut saya, malah itulah fokus
utamanya.
Berjubelnya
karakter disini sedikit banyak memang memberi nilai minus buat ‘The Martian’. Yang
paling terasa adalah peran karakter pendukung yang kurang begitu mengena. Saya
kadang suka lupa nama mereka siapa dan kepentingan mereka disitu untuk apa.
Interaksi yang terjalin antar karakter pun masih kurang mengena menurut saya.
Beruntung di bumi masih ada Jeff Daniels, Sean Bean dan Chiwetel Ejiofor,
ditambah Donald Glover yang lumayan mencuri perhatian. Sementara di Hermes ada lima orang yang hampir tidak
memberikan koneksi apapun ketika mereka berinteraksi satu sama lain. Bahkan
saat mereka membuat keputusan untuk menjemput kembali Mark. Sedangkan di garda
terdepan kita memiliki Matt Damon yang tanpa performa baiknya, mungkin ‘The
Martian’ akan menjadi sajian yang kosong semata.
So, ‘The Martian’ mungkin agak kurang
sesuai dengan ekspektasi awal saya, dimana saya mengharapkan ini akan menjadi tontonan space-thriller serius dan kelam layaknya ‘Gravity’ atau ‘Interstellar’. Dan kalau mau
dibandingkan pesona ‘The Martian’ masih kalah dari keduanya menurut saya. Tapi
jalan berbeda yang ditempuh Ridley Scott adalah jalan yang sangat tepat,
terlepas dari novelnya yang juga demikian atau tidak. Setidaknya itu bisa
membuat ‘The Martian’ berdiri sendiri tanpa harus terus dikaitkan dengan
‘Gravity’ atau ‘Interstellar’. Caranya itu pula yang membuat ‘The Martian’ masih
bisa menyisakan perasaan menyenangkan di benak penontonnya.
2 comments
nonton dimana maneh pak?
@Dzabihullah: di Braga bang!
Post a Comment