Dari
judulnya tertulis kata “dying”. Dari premisnya terpatri sebuah penyakit
mematikan. Sepintas, kita sudah bisa menebak film ini akan berjalan seperti
apa. Polanya mungkin tak jauh dari eksploitasi rasa sakit si penderita yang
mengharap belas kasih penonton. Berdepresif ria menunggu ajal menjemput. Formula
khas tearjaker pun rasanya sudah
pasti dalam genggaman. Namun tenanglah karena sang pencuri perhatian Sundance sebagai
Grand Jury Prize dan the Audience Award ini berbeda dari yang
kita kira.
Sebagaimana
judulnya, film yang disadur dari novel karya Jesse Andrews ini akan lebih
banyak bercerita tentang ketiga tokoh utamanya yaitu Greg, Earl dan Rachel dan
bagaimana relasi diantara ketiganya. Semenjak scene dibuka pertama kali, kesan yang terlintas adalah quirky. Buat yang akrab dengan
karya-karya Wes Anderson, tak ragu rasanya menambatkan film garapan Alfonso Gomez-Rejon
pada nama Wes Anderson. Karena memang begitulah adanya. ‘Me and Earl and the
Dying Girl’ seperti versi ringan film-film Wes Anderson tanpa menghilangkan jati
diri si sutradara.
Ke-quirky-an di awal rupanya berlanjut pada
ke-quirky-an lainnya. Yang paling
nyata terlihat adalah pada karakter-karakternya. Terutama Greg Gaines (Thomas
Mann) sebagai “Me” sang karakter utama yang notebene adalah siswa SMA tingkat
akhir yang terlalu takut dengan kehidupan sekolahnya. Punya permasalahan dengan
diri sendiri (insecure, self-loathing,
socially awkward) dan hubungan sosialnya. Sampai ia terlalu paranoid untuk
menyebut teman sebagai “teman”. Greg menjalin persahabatan dengan Earl (Ronald Cyner
II) yang tidak terlalu mempermasalahkan sebutan rekan kerja yang disandang Earl
dari Greg. Tapi pastinya kita tahu bahwa mereka berdua sahabat baik yang bisa
menerima satu sama lain. Kemudian ada Rachel Kusnher (Olivia Cooke) si
penderita leukimia stadium empat yang tak sungkan menertawai nasibnya bersama
Greg daripada harus terus meratapinya. Karakter pendukung lainpun tak kalah quirky-nya.
Karakter
nyentrik Greg turut berkontribusi pada selera menonton filmnya yang anti-mainstream. Bersama Earl ia sering
menghabiskan jam makan siangnya menonton film-film klasik dan arthouse. Bersama Earl pula ia sering
membuat film-film nyentrik yang merupakan versi sweded dari film-film klasik lainnya. Menyenangkan sekaligus
menggelitik melihat judul-judul macam ‘Anantomy of a Murder’ dirubah menjadi ‘Anatomy
of a Burger’, ‘A Clockwork Orange’ menjadi ‘A Sockwork Orange’, ‘Eyes Wide Shut’
menjadi ‘Eyes Wide Butt’ dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal ini menjadi hiburan
tersendiri terutama buat yang akrab dengan film-film tersebut.
Alih-alih
menyajikan tontonan yang depresif, ‘Me and Earl and the Dying Girl’ memang
lebih banyak menyoroti potensi itu dengan cara yang lain. Seringnya malah kita
tersenyum dan tertawa melihat celotehan-celotehan masing-masing karakter beserta
tingkah polah mereka. Namun disamping itu, film ini tidak sedikitpun kehilangan
emosi dan moment dramatisnya. Malah Alfonso
Gomez-Rejon memiliki cara yang elit dalam memberi koneksi emosi kepada
penontonnya. Dan berhasil menyajikan moment
mengharu biru tanpa harus mendramatisirnya secara over. Tapi semuanya terjadi begitu saja, mengalir apa adanya dan
kitapun terhanyut akannya. Ditambah scoring
Brian Eno dan Nico Muhly yang begitu mengena dalam menghidupkan setiap scene-nya.
‘Me
and Earl and the Dying Girl’ memang bukan seperti drama remaja pada umumnya
yang menjadikan penyakit mematikan sebagai premisnya. Sebenarnya semua elemen
khas tema seperti ini masih ada, hanya caranya saja yang berbeda dan tak biasa.
Dan itu menyenangkan, sekaligus menghangatkan. Terlebih ‘Me and Earl and the
Dying Girl’ membawa aura positif dibalik semua getir yang ada. Sisi gloomy kematian dibawanya pada sebuah pelajaran
berharga buat karakternya. Menjadikannya lebih dewasa dalam menghadapi hidup
dan menghargainya.
0 comments
Post a Comment