“Ghosts are real, that much I know. I’ve seen them all my life...”
–
Edith Cushing –
Hantu
itu nyata. Setidaknya itu yang dipercaya Edith Cushing (Mia Wasikowska). Semenjak
kematian sang ibu selagi ia kecil, Edith mulai bisa merasakan kehadiran “mereka”
disekitarnya. Keberadaan “mereka” tidak hanya mengganggu ketenangan hidup Edith,
lebih dari itu, ada peringatan besar yang sayangnya tak diindahkan Edith.
Peringatan yang belakangan akan diketahui berhubungan dengan Sir Thomas Sharpe
(Tom Hiddleston) dan Lady Lucille Sharpe (Jessica Chastain), kakak beradik
misterius asal Inggris. Penghuni kastil tua bernama Crimson Peak.
Guillermo
del Toro adalah sekian dari sutradara yang memiliki ciri khas dalam karyanya. Film-filmnya
selalu diisi dengan desain produksi yang kaya imajinasi bersama
karakter-karakter yang unik. Diawal karirnya, ia banyak menampilkan film-film
horor yang dipenuhi fantasi imajinatif dengan sentuhan gothic yang kental. Tidak hanya sajian horor pembawa rasa takut
semata, ada tema lain yang selalu dihadirkan del Toro dalam film-filmnya. Rasa gothic del Toro memang seperti sudah
mendarah daging, ini juga menular pada film-film non-horor del Toro seperti
Blade II (2002), Hellboy I & II (2004 & 2008).
Setting dan sinematografi adalah dua hal
yang selalu saya suka dari del Toro. Entah kenapa, dua hal ini ditangan del
Toro selalu membawa cita rasa yang lain daripada yang lain. Gelap, kelam, gothic, old-fashioned, klasik, unik, aneh, absurd tapi cantik, secantik-cantiknya. Pan’s Labyrinth (2006)
adalah contoh paling mudah untuk mendefinisikan itu. Memang selain itu, del
Toro pernah membuat Pacific Rim (2013) yang sejujurnya tidak terlalu saya
sukai. Tapi aspek visualnya jelas sangat tak layak disebut buruk. Dan seperti
ingin kembali ke masa dimana orang-orang mulai mengenal dirinya. Del Toro
kembali membawa unsur horor dengan mengedepankan dua aspek tadi dalam ‘Crimson
Peak’.
‘Crimson
Peak’ jelas bukan sajian horor seperti yang orang-orang umum duga. Ini bukanlah
‘The Conjuring’-nya James Wan yang bisa meneror dan mengejutkan anda dengan
beragam jump scare. Walaupun memiliki
formula yang sama sebagai haunted house
movie dalam wujud kastil tua misterius di Allardale Hall, tapi sekali lagi ditekankan ini bukanlah
horor yang seperti itu. Bahkan unsur horornya sendiri tidak sampai mendominasi
walaupun kesannya masih sangat terasa. Bisa dibilang, unsur horor bukanlah
tajuk utama disini. Berkaca pula pada dialog Edith yang memuat cerita hantu
yang ditulisnya hanya berupa metafora untuk masa lalunya. Dari jauh-jauh hari pun
del Toro sudah berujar bahwa ‘Crimson Peak’ lebih tepat disebut sebagai
gothic-romance dibandingkan pure horor.
Kesan yang langsung terlintas dibenak setelah
menonton ‘Crimson Peak’ adalah betapa cantik dan megahnya film ini. Bahkan hal ini
sudah tercium sedari awal. Lagi dan lagi, Guillermo del Toro sukses
menghipnotis mata dengan sajian visual termanis di tahun ini. Dimulai dengan
New York abad 19 yang dihiasi temaram kuning keemasan yang terasa begitu
melankolik mengiringi permulaan kisah. Kemudian ketika lokasi berpindah ke Cumbria
yang semakin mengejawantahkan kata cantik dan megah tadi. Kemegahan terpancar
jelas dari kastil tua yang tidak hanya menyimpan aura gelap dan misterius yang kuat
tapi juga keindahan disaat bersamaan. Rasa horor pun terpancar jelas dari berbagai
simbolisme yang disajikan sisi visualnya. Seperti halnya warna merah pekat yang
seringkali bercampur dengan putihnya salju. Bersanding bersama atmosfer kelamnya
yang turut diisi lantunan musik yang menghantui.
Sama
seperti karya-karya del Toro yang lain, ‘Crimson Peak’ pun masih setia menampilkan
karakter-karakter unik dari makhluk rekaannya. Dan yang kebagian jatah kali ini
adalah para hantu. Desain para hantu yang memang didominasi CGI ini terasa
berbeda dengan hantu versi film horor yang biasanya. Terlihat lebih keren dan
saya menyukainya. Apalagi ada satu moment
yang mengingatkan saya pada detik terakhir pertarungan Ichigo Kurosaki dan
Ulquiorra Schiffer di ‘Bleach’ (anime). Ketika akhirnya Ulquiorra berdispersi
menjadi butiran debu sesaat sebelum tangan Inoue menyentuhnya.
Maksimal dan gila-gilaan disisi visual ternyata
tidak berbuah manis pada narasi dan plotnya. Seolah dikorbankan, aspek yang
satu ini memang seperti terpinggirkan. Tidak buruk sebenarnya, saya pun masih
menikmatinya. Namun untuk yang berekspektasi lebih, mungkin akan sedikit
kecewa. Terlebih aura horor yang mungkin sudah terpatri dibenak penonton diawal
(mengingat film inipun berlabel horor)
terasa kurang menggigit. Sisi drama yang terjalin lewat romansanya sebenarnya tidak
terlalu buruk juga, hanya kurang maksimal saja. Sehingga emosi yang ingin
dihadirkan kurang begitu mengena dihati. Twist
psikologis-nya juga sedikit mudah ditebak. Dan tak seperti yang saya kira, Mia
Wasikowska dan Tom Hiddleston ternyata tidak menunjukkan performa terbaiknya. Beruntung,
Jessica Chastain menambalnya dengan penampilan memukau penuh kesan.
Tiga
perempat babak ‘Crimson Peak’ memiliki tempo dan tone yang cukup lambat. Faktor ini pula yang (mungkin) membuat para
penonton lain teralihkan fokusnya dari layar dengan tak sungkan berlalu lalang,
ngobrol atau main smartphone. Mungkin
mereka mulai sadar bahwa ‘Crimson Peak’ bukanlah film horor yang
diekspektasikan mereka. Tentu, ini tidak berlaku buat saya yang sedari awal
sudah terhipnotis oleh ini. Pace yang
lumayan lambat itu akhirnya berubah haluan diseperempat babak akhirnya. Simbol merah
pekat yang sedari awal muncul mulai bertransformasi menjadi tragedi menegangkan
penuh darah. Unsur gore dan kesadisan
sangat terasa lewat tusukan-tusukan benda tajam yang cukup memberi perasaan
ngeri dalam benak. Anak-anak dibawah umur tidak disarankan menonton film ini.
Terlepas
dari rasa horornya yang kurang menggigit atau romansanya yang kurang emosional,
saya sangat menikmati ‘Crimson Peak’ secara utuh. Nama Guillermo del Toro
sebenarnya sudah sangat mengisyaratkan bahwa ini bukanlah film horor komersil
macam ‘Insidious’ atau ‘The Conjuring’. Lagipula, saya juga tidak pernah
mengharapkan tontonan seperti itu saat menonton ‘Crimson Peak’. Justru ‘Crimson
Peak’ berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Walaupun memang harus
diakui ada beberapa bagian yang kurang. Tapi semua itu seolah begitu mudahnya
termaafkan ketika tak henti-hentinya kecantikan dan kemegahan tersaji indah dilayar.
Kembali saya terhipnotis oleh karya del Toro seperti yang pernah saya rasakan dalam
‘Pan’s Labyrinth’.
0 comments
Post a Comment