Saturday, June 18, 2016

The Conjuring 2 (2016): Believe Me! Even If You Called “It” a Joke


Nama James Wan dan film horor menjadi kombinasi paling klop dalam satu dekade terakhir. Diawali dengan menukangi Saw (2004), kemudian Dead Silence (2007) sampai akhirnya menemukan kepopulerannya lewat Insidious (2011), nama James Wan sudah jadi pertaruhan paling menjanjikan ketika berbicara film horor. The Conjuring (2013) dan Insidious Chapter 2 (2013) adalah bukti nyata yang semakin mengukuhkan namanya sebagai filmmaker horor paling handal di era modern sekarang. Maka tak beralasan jika sekuel The Conjuring yang bertajuk ‘The Enfield Poltergeist’ disambut begitu hangat oleh khalayak.
The Conjuring sendiri adalah sebuah fenomena dalam genre horor di era sekarang. James Wan sukses membuat sebuah presentasi memikat dalam balutan formula horor klasik yang khas namun tetap berkelas. Hal yang sangat jarang ditemui dalam horor modern konvensional di zaman sekarang, dimana kualitas cerita berbanding lurus dengan tampilan visualnya. Tidak hanya itu, karena James Wan pun piawai memainkan rasa horor yang sanggup menakuti penontonnya lewat rangkaian jump scares yang tepat dan efektif. Tapi lebih dari itu, bagi saya pribadi, The Conjuring adalah alasan terbesar kenapa saya mau menengok kembali film-film horor supranatural. Sebuah genre yang sempat saya tinggalkan karena begitu membosankannya. Ya, kalau mau jujur, film horor supranatural konvensional (khususnya haunted house) hanya begitu-begitu saja. Dan The Conjuring mematahkan kebosanan itu.
Banyak yang bilang The Conjuring itu benar-benar menakutkan tapi sejauh yang saya ingat, saya tidak pernah benar-benar dibuat takut saat menontonnya. Well, ini hanya masalah persepsi saja, tapi harus saya akui bahwa The Conjuring punya kualitas yang mampu memberi pengalaman menonton film horor yang menyenangkan. Terlebih konklusi The Conjuring begitu masuk di logika saya ketika si arwah jahat yang merasuki tubuh manusia harus dilawan dengan jiwa dari dalam manusia itu sendiri. Hal seperti ini relatif jarang ditemui, karena mayoritas film horor kadung melekat dengan image perilaku bodoh para karakternya. Seperti saat ketakutan si karakter malah seringkali lari ke tempat yang lebih sepi dan gelap. Atau yang paling mudah, lihat saja bagaimana konklusi Annabelle (2014) yang tak kalah bodohnya.
Pada dasarnya, definisi menakutkan atau menyeramkan dari sebuah film horor itu sangatlah relatif dan subjektif. Kadar horor yang menakutkan atau menyeramkan bagi setiap orang pun berbeda-beda. Mungkin satu film bisa sangat horor buat sebagian orang, tapi kadang itu tidak berlaku buat sebagian yang lain. Alasan saya malas nonton film horor khususnya horor supranatural adalah karena saya tidak pernah benar-benar dibuat takut oleh film horor tersebut. Horor itu sendiri sebenarnya lebih kompleks daripada sekedar penampakan menakutkan, teror pembunuh sadis atau bentuk lainnya. Buat saya, horor itu lebih menitikberatkan pada masalah psikis dimana kita merasa tidak nyaman akan sesuatu yang mengganggu dengan sebab tertentu. Bentuknya beragam. Saya pribadi, jarang sekali merasakan sensasi horor saat menonton film horor bahkan oleh The Conjuring sekalipun. Bukan karena saya tak kenal takut, mungkin saya yang tidak sadar, atau mungkin saya memang tidak peduli dengan “hantu-hantu” begitu. Meski demikian, sensasi horor pernah benar-benar saya rasakan saat menonton We Need To Talk About Kevin (2011). Uniknya, film tersebut bukanlah film horor melainkan sebuah drama keluarga.
Secara umum, The Conjuring 2 masihlah sama dengan film-film horor James Wan yang kita kenal. Disana masih ada rumah berhantu. Disana masih ada keluarga yang diteror makhluk tak kasat mata. Disana masih bertebaran jump scares yang siap memberi kejutan. Disana masih ada penampakan-penampakan yang siap menghantui. Disana masih ada warna-warna kelam yang membuat gerah. Dengan kata lain, The Conjuring 2 masih sangat repetitif dengan horor James Wan yang lain. Namun bukan berarti The Conjuring 2 ini film yang jelek. Tidak sama sekali. Memang saya sendiri lebih menyukai The Conjuring dibanding sekuelnya. Namun diantara jeda waktu semenjak Insidious Chapter 2 rilis sampai sekarang, hampir tidak ada film horor supranatural konvensional yang memiliki kualitas cukup ok. Dan The Conjuring 2 masuk mengisi kekosongan itu.
Embel-embel kisah nyata masih melekat dengan The Conjuring 2 tatkala Wan meminjam peristiwa supranatural terseram yang menimpa keluarga Hodgson di London. Peristiwa yang begitu terkenal sekitar tahun 1977-1979 dan tercatat sebagai peristiwa supranatural yang paling banyak didokumentasikan hingga saat ini. Yang membuatnya menarik adalah bahwa rumah Hodgson sendiri bukanlah bangunan yang terletak sendirian ditengah hutan. Tak seperti rumah keluarga Perron di seri sebelumnya atau Amityville House yang jadi segmen pembuka, rumah Hodgson terletak dalam lingkungan yang cukup ramai dalam sebuah komplek perumahan. Dari sini, The Conjuring 2 sudah punya pembeda dibanding predesesornya.
The Conjuring 2 memberi ikatan drama yang lebih emosional pada hubungan Ed dan Lorraine sebagai pasangan suami istri. Hal yang belum sempat di-push lebih dalam dari seri sebelumnya. Beruntung, chemistry Patrick Wilson dan Vera Farmiga masih sangat ampuh sebagai pasangan. Dan disaat Patrick Wilson dan Vera Farmiga mempertontonkan chemistry apik, Madison Wolfe menjelma menjadi bintang dari The Conjuring 2. Berperan sebagai Janet yang dalam kisah aslinya menjadi anak yang paling sering mengalami kejadian gaib, Madison Wolfe berhasil memberi penampilan menawan dengan jangkauan dimensi yang luas. Mulai dari senang, sedih, tertawa, menangis, takut sampai marah sukses ia tampilkan. Penampilannya sedikit mengingatkan saya pada karakter Regan MacNeil (The Exorcist) meskipun tidak sampai seekstrim itu. Fokus yang begitu kuat terhadap karakter Janet sedikit banyak berpengaruh terhadap porsi dan relasi antarkarakter. Terutama ikatan keluarga Hodgson sendiri yang masih kalah bila dibanding ikatan keluarga Perron. 
Diawali dengan cukup menarik, The Conjuring 2 memilih menurunkan tensinya di pertengahan. Durasi yang lebih panjang dari sebelumnya terasa lama yang berujung melelahkan dan membosankan. Mungkin plotnya akan lebih padat dan berisi jika durasinya sedikit dipangkas. Hal ini pun sedikit berimbas terhadap klimaksnya yang terasa kurang menggigit. Terlebih karakter film horor James Wan sudah mudah ditebak karena terasa sangat repetitif. Untungnya, karakter hantu The Conjuring 2 itu menarik dan ikonik. Meski akhirnya Valak malah jadi bulan-bulanan netizen dalam buaian meme-meme lucu. Haha. Satu hal yang tak dipunyai The Conjuring adalah The Conjuring 2 memiliki lagu klasik populer yang begitu menyenangkan setiap kali terdengar. Seolah memberi warna ceria ditengah suasana yang suram. Sebut saja London Calling dari The Clash atau I Started a Joke dari Bee Gees. Patrick Wilson malah sempat menyumbangkan suaranya lewat lagu Can’t Help Fallin’ in Love with You. Salah satu moment manis ditengah teror Bill Wilkins.
Untuk kadar horornya saya tidak bisa berbicara banyak karena ini amatlah relatif dan subjektif. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya lebih menyukai The Conjuring dibanding sekuelnya ini. Seperti yang sudah-sudah, saya sendiri pun belum benar-benar merasakan sensasi horor yang benar-benar kuat saat menonton film ini. Mungkin ini efek menonton siang-siang di bulan ramadhan atau bagaimana, saya kurang tahu. Mungkin akan lain ceritanya jika saya menontonnya malam-malam. Ah, saya tidak tahu. Sensasi horornya mungkin tidak berada dalam taraf maksimal tapi moment mengangetkannya masih cukup bekerja. Dan ditengah sepinya horor supranatural konvensional yang mampu memberi kesenangan menonton film horor akhir-akhir ini, The Conjuring 2 muncul ke permukaan sebagai salah satu alternatif jawaban di garda paling depan.

0 comments