Captain
America: He’s my friend
Iron
Man: So was I
Tahun
2015 adalah titik terjenuh bagi saya terhadap Marvel Cinematic Universe (MCU).
Padahal di tahun sebelumnya, 2014 tepatnya, mereka sanggup merilis karya
terbaiknya lewat ‘Captain America: The Winter Soldier’ dan ‘Guardians of the
Galaxy’. Namun saat ‘Avengers: Age of Ultron’ dan ‘Ant-Man’ dirilis, titik
jenuh itu benar-benar berada pada puncaknya. Alasannya sebenarnya sederhana,
Marvel itu begitu-begitu saja. Pakem yang mereka pakai semenjak ‘Iron Man’
memulai MCU tahun 2008 lalu, terus
berulang dan berulang sampai phase 2 berakhir (kecuali saat Russo bersaudara dan
James Gunn di belakang layar). ‘Avengers: Age of Ultron’ tak lebih dari
sekedar batu loncatan. ‘Ant-Man’ tak berbeda dengan film origins Marvel yang lain. Memang kesan menyenangkan dan menghiburnya
masih ada. Namun jelas itu belum cukup. Untuk tetap mempertahankan animo
penonton akan MCU yang luas, Marvel
jelas harus mempunyai sesuatu yang lebih segar daripada hanya sekedar tampil
menyenangkan. Apalagi terus menerus memakai pola yang sama. Jelas sangat
membosankan. Kecuali mereka siap kehilangan penonton.
Beruntungnya
Marvel memiliki Russo bersaudara yang sadar akan hal ini. Meski gayung tak
langsung bersambut, titik terang justru muncul dari sang rival. Keinginan Russo
bersaudara untuk mengubah arah MCU
tanpa kehilangan rasanya diamini Kevin Feige setelah Feige mendengar pengumuman
‘Batman v Superman’. Sebuah kebetulan yang menguntungkan karena phase 3 dimulai lewat film Russo
bersaudara. Dan benar saja, ‘Captain America: Civil War’ sukses melaksanakan
tugasnya mengubah MCU ke arah yang
lebih baik (IMO). Kehadiran ‘Civil
War’ jelas membawa perubahan yang drastis bagi MCU. Buktinya, kita tak akan mendengar lagi embel-embel ‘Infinity
War’ Part I dan Part II yang sudah digemborkan sebelumnya. Meski saat ini belum
ditemukan judul yang pas untuk dua film Avengers, tapi saya pribadi kembali
menaruh perhatian penuh pada MCU karena
ini.
Tahun 2016 ini bisa dibilang ajang duel bagi dua studio pencetak superhero terbesar yaitu
Marvel dan DC. Aroma persaingan sudah menyeruak saat mereka memperlakukan
jagoannya dengan cara yang sama dengan jadwal rilis yang bersamaan pula. Meski akhirnya
tidak terwujud karena DC memilih memajukan jadwal film mereka (saya tidak tahu apa jadinya jika ini benar-benar terjadi, kasihan nanti yang kalah, hehe). Baik
Marvel maupun DC, keduanya sama-sama menyajikan pertarungan antar superhero
untuk disuguhkan kepada penonton. Seperti yang kita tahu, DC telah terlebih
dulu menyajikan ‘Dawn of Justice’ yang berujung kekecewaan. Padahal saya
berharap banyak pada film itu. Dan harus diakui, dalam hal
ini DC telah dikalahkan oleh Marvel. Mungkin DC memang terlalu dini untuk membuat superhero-nya saling
bertarung, tapi kemenangan ‘Civil War’ juga semata-mata bukan karena MCU telah berlangsung lama. Meski
sebagian lain faktor berasal dari situ. Tapi yang jelas, ‘Civil War’ berada ditangan yang
tepat disaat yang tepat.
Menilik
premis yang sama, secara umum, ‘Dawn of Justice’ dan ‘Civil War’ memiliki pola penceritaan
yang sama. Bila dilihat, alasan para superhero saling berbeda paham adalah
karena sepak terjang mereka yang berimbas negatif pada masyarakat sipil yang
tak berdosa. DC punya pertarungan masif Superman dan General Zod yang
meluluhlantakkan kota. Dan Batman tak terima akan hal ini. Marvel lebih banyak
lagi, New York, Washington DC, Sokovia sampai yang terbaru Lagos, Nigeria
adalah saksinya. Dan diantara perseteruan tersebut, ada manusia lain yang turut
mendalangi panasnya konfrontasi antar masing-masing kubu. Dibalik perseteruan
Batman dan Superman ada si cerewet Lex Luthor. Sedangkan dibalik perselisihan
Captain America dan Iron Man ada nama Helmut Zemo yang diam-diam menghanyutkan.
Yang
membedakan keberhasilan perseteruan superhero di ‘Civil War’ dibanding ‘Dawn of
Justice’ adalah latar belakangnya. Perbedaan prinsip dan ideologi masih menjadi dasar. Tapi ‘Civil War’ punya latar belakang yang lebih jelas,
bertahap dan tertata. Semua karakter di ‘Civil War’ punya alasan dan motif yang
lebih logis sebelum akhirnya memutuskan memilih yang mana. Semuanya disampaikan
secara runut dan teratur, tidak serta merta terjadi begitu saja. Dan kitapun
dibuat percaya akan alasan dan keputusan yang dipilih masing-masing mereka.
Terlepas dari siapa yang benar dan salah atau siapa yang menang dan yang kalah,
itu bukanlah sesuatu yang penting. Pondasi inilah yang menyebabkan ‘Civil War’
tampil lebih superior dibanding ‘Dawn of Justice’. Bahkan motif seorang Helmut
Zemo pun terlihat logis untuk membuat para superhero saling bertarung dibandingkan
Lex Luthor. Bila dilihat lebih dalam, motifnya pun cukup sentimentil untuk
ukuran seorang villain. Dan
konklusinya tentu tidak semudah dan sesederhana menyebut nama seseorang untuk
mengakhiri perselisihan sebesar ini.
‘Civil
War’ sukses meneruskan estafet keberhasilan suksesornya ‘The Winter Soldier’.
Meski tidak sesolid dan seintens ‘The Winter Soldier’, ‘Civil War’ tetap punya
warnanya sendiri. Sekuens pertama diisi dengan adegan yang mengingatkan kita
pada ‘The Winter Soldier’, terlebih ada nama Brock Rumlow aka Crossbones disana. Tapi itu hanyalah
hidangan pembuka sebelum masuk ke menu utamanya. Plotnya menyajikan tingkat
kerumitan dan kompleksitas yang diisi dengan berbagai subplot yang tidak
bertele-tele namun saling terikat. Sehingga memperkuatnya sebagai satu kesatuan
yang utuh meski cakupannya menjadi melebar. Duo penulis Christopher Markus dan
Stephen McFeely juga tidak membiarkan semua kerumitan itu menjadi tampak rumit
namun tetap berkenan dibenak semua orang. Ya, ‘Civil War’ adalah contoh
bagaimana sebuah cerita yang rumit dan kompleks cenderung kelam tapi tetap
menyajikan unsur yang fun dan
menghibur tanpa harus menjadi sulit untuk dicerna.
Melihat
bagaimana bejibunnya karakter yang hadir, tidak lantas menjadikannya saling
tumpah tindih satu sama lain. Fokus utama masih dipegang Steve Rogers bersama
kisah bromance-nya dengan Bucky Barnes
dan Tony Stark dengan segenap pergulatan batin yang menyelimutinya, tetap
mendapat porsi yang paling besar. Meski begitu, hal ini tidak menjadikan
karakter lainnya urung tampil bersinar. Semuanya mendapat perlakuan yang layak
untuk terlibat. Puncaknya adalah pertarungan di bandara ketika konfrontasi antar
kubu berakhir menjadi baku hantam. Bisa dibilang ini adalah gong ‘Civil War’
yang juga menjadi salah satu moment
terbaik disini. Dan bagaimana Russo bersaudara dengan lihai menyajikan sekuens
aksi yang menarik dan seru dengan tetap mempertimbangkan porsi masing-masing
karakter yang ada. Hasilnya semua anggota dari masing-masing kubu sukses
menancapkan kesan tersendiri dimata penonton. Lebih dari itu, Russo bersaudara tetap
menyuntikkan DNA Captain America yang besar bagi ‘Civil War’ meski deretan
superhero mengisi line-up layaknya
‘The Avengers’. Jadi jangan khawatir ini film Captain America atau bukan.
Scene stealer layak disematkan pada 3 (tiga)
karakter yang baru saja bergabung dengan tim. Ant-Man kembali meneruskan track record di film pertamanya. Black
Panther dengan penampilan, aksi dan aura misteriusnya yang terlihat cool. Dan yang paling ditunggu, Spider-Man.
Ya, Spider-Man seperti mendapat perlakuan yang benar-benar layak ketika
ditangani oleh Marvel. Terima kasih,
Sony! Untuk mengizinkan Spidey kembali ke Marvel. Tak perlu dijelaskan lagi
bagaimana penampilannya. Tapi saya rasa, mayoritas orang akan suka dengan
Spider-Man versi Tom Holland ini. Mungkin ini versi terbaik yang paling
mendekati komiknya. Eitts, jangan
lupakan juga sosok Aunt May yang lebih muda yang tak pernah kita lihat di film
Spider-Man sebelum-sebelumnya.
Semua kesenangan di bandara memang menjadi
puncak ‘Civil War’ yang pada akhirnya mengendurkan tensinya. Cukup terasa
bagaimana tone-nya berangsur-angsur
berubah secara signifikan semenjak pertarungan gila-gilaan di bandara. Seolah-olah
bahan bakarnya benar-benar diporsir habis disana. Klimaks sebenarnya justru
berada di ujung Siberia. Mungkin tidak menyajikan sekuens aksi dengan aroma grande bersama kehancuran dan ledakan
dimana-mana. Namun satu hal yang saya rasakan disini. Aroma keintiman yang
sarat emosi ketika membenturkannya dengan masalah yang lebih personal.
Ideologi, prinsip atau apapun itu menjadi kurang berarti lagi ketika urusan
personal menjadi pembatasnya. Pada akhirnya semua tindakan menjadi pembenaran
akan apa yang dipercayainya. Helmut Zemo meski tak terlihat membahayakan
sebagai villain tapi kehadirannya
justru mampu menjadi pelecut pertarungan emosional antara Iron Man dengan
Captain America dan Winter Soldier. Kalimat "So
was I" seperti berbicara banyak disini. Pertarungan terakhir ini sedikit banyak
telah mendefinisikan arti ‘Civil War’ yang sebenarnya dimata saya.
Overall, ‘Civil War’ adalah
film yang sangat memuaskan. Levelnya sedikit dibawah ‘The Winter Soldier’ namun
menjadi salah satu yang terbaik dijajaran
Marvel Cinematic Universe. Kehadirannya benar-benar membawa angin segar dan arah
yang lebih benar bagi MCU. Setidaknya, saya masih tertarik dan memiliki motivasi serta minat
untuk kembali mengikuti perjalanan Marvel
Cinematic Universe. Sebagai penonton awam, saya pun dibuat tertarik dengan
bagaimana Black Panther akan beraksi di film solonya nanti. Tak terkecuali pula
buat Spider-Man yang ternyata masih menimbulkan harapan walaupun filmnya banyak
dengan jarak yang berdekatan. Yang terdekat ada ‘Dr. Strange’ yang rupanya
terlalu sayang untuk dilewatkan. So, sejauh
ini ternyata MCU masih cukup
menjanjikan untuk disimak. Kalau sudah begini, DC dan Warner Bros. dengan DC Extended Universe-nya harus segera
belajar dari kesalahan mereka agar tak kalah dari rivalnya ini.
0 comments
Post a Comment