Tuesday, June 7, 2016

X-Men: Apocalypse (2016): Derita Film Ke-3


Hadir setelah dua film superhero besar (baca: Batman v Superman: Dawn of Justice dan Captain America: Civil War) seperti menurunkan pamor ‘X-Men: Apocalypse’. Apalagi Deadpool yang tergolong film kecil sukses berat di pasaran (walaupun tidak terlalu saya sukai). Lalu apa yang hendak ditampilkan Bryan Singer untuk meramaikan jagat per-superhero-an tahun ini?
 'X-Men: Days of Future Past’ yang rilis dua tahun lalu berhasil menaikkan level X-Men pada tingkatan tertinggi dari semua film X-Men yang ada. Tak ayal, ekspektasi begitu membumbung tinggi menanti kehadiran sekuelnya. Post-credit scene yang membawa sosok mutan pertama sekaligus terkuat sebagai villain turut membawa harapan ini. Ditambah Bryan Singer yang masih bertugas sebagai nahkoda utama. Rasanya tidak ada alasan pesimis untuk ini. Sayang, harapan hanya tinggal harapan. Kenyataan kadang tak sesuai dengan yang diharapkan. Aura-aura mengecewakan santer terdengar ditelinga sebelum menonton film ini. 
Derita film ke-3. Saya menyebutnya begitu. Kenapa? Karena ‘Apocalypse’ seperti mengalami hal yang dialami ‘The Last Stand’. ‘X-Men: The Last Stand’ adalah film ketiga setelah X-Men (2000) dan X-2: X-Men United (2003). Dan seperti yang kita tahu, ‘The Last Stand’ dicap sebagai film terburuk X-Men (selain Origins Wolverine) dan mendapat kritik tajam baik dari kalangan fans maupun non-fans. Kenyataannya memang begitu sih. ‘Apocalypse’ sendiri sebenarnya masih jauh lebih baik daripada ‘The Last Stand’ namun sangat tidak beruntung karena dua film terdahulunya lebih superior.


Menonton ‘Apocalypse’ tak ubahnya menonton film blockbuster yang hobinya main hancur-hancuran tanpa esensi dan motif yang jelas. Berbekal villain paling kuat sejagat, En Sabah Nur aka Apocalypse didampingi pula ‘The Four Horsemen’ nampak tak banyak membantu. Semua terasa kosong. Kalau memang mau main hancur-hancuran, kenapa nggak bikin hancur-hancuran yang gila-gilaan sekalian? Yang ada malah klimaks nanggung. Bahkan aspek teknisnya pun tak sanggup menyajikan tontonan eyegasm yang menyenangkan.
Jangan tanya soal cerita, yang sudah sangat jelas tidak sekompleks sebelumnya. Interaksi Charles dan Erik yang sudah jadi trademark X-Men reboot tak nampak lagi. Penggalian karakter tak pernah benar-benar terjamah kecuali oleh wajah-wajah muda yang lebih mendominasi. Namun yang paling disesalkan adalah kehadiran villain utama, Apocalypse, yang tak segahar namanya. Karakternya benar-benar tidak pernah diberi waktu untuk berkembang. Atau setidaknya diberi kesempatan untuk membuat penonton benar-benar percaya bahwa dia adalah mutan paling kuat yang bisa menjadi kiamat bagi dunia. Karakter-karakter ‘The Four Horsemen’ pun seperti terabaikan begitu saja dibalik segala potensi yang dimilikinya. Padahal penampilan Psylocke sudah....ehhmm (????)
Sejujurnya, tak perlu pedulikan segala embel-embel cerita, karakter, tema, teknis dan tek-tek bengek lainnya. Lupakan tentang ‘First Class’ dan ‘Days of Future Past’ yang sebelumnya tampil menggila. Jadikan ‘X-Men: Apocalypse’ sebagai film yang berdiri sendiri. Pasang ekspektasi yang serendah-rendahnya. Niscaya, ‘X-Men: Apocalypse’ bakal tampil menghibur sebagai film entertainment khas blockbuster. Setidaknya, itu cukup efektif buat saya yang telah mendengar banyak nada kekecewaan dari orang-orang sebelumnya. Kalau masih mengecewakan juga, ya..., mau gimana lagi.

0 comments