Tuesday, April 28, 2015

Diskriminasi

Mungkin kita pernah mendengar sebuah ungkapan satir tentang seorang maling ayam yang tertangkap lalu ditindak dengan hukuman berat. Dan itu belum ditambah ajang main hakim sendiri dari masyarakat (baca: digebukin). Kemudian dibandingkan dengan para maling uang rakyat yang mendapat jatah hukuman ringan. Bahkan beberapa malah mendapat fasilitas hotel saat berada dalam tahanan. Dan parahnya, masih ada pula dari sebagian mereka yang sempat jalan-jalan saat masa hukuman berlangsung. Maling ayam dan maling uang rakyat. Dua hal yang mirip tapi beda yang saling bertolak belakang secara perilaku maupun perlakuan. Ironis? Memang.
Bila ditelaah lagi, mungkin paragraf diatas bukanlah sekedar ungkapan semata. Atau memang sesungguhnya pernah terjadi di negeri ini? Berbaik sangka sajalah. Semoga itu semua tidak pernah terjadi (walaupun sesungguhnya itu semua benar-benar terjadi, LOL). Berlebihankah jika menyebut ungkapan diatas sebagai sebuah diskriminasi dalam hukum? Dimana tercium sebuah bentuk ketidakadilan disana? Atau justru seperti itulah bentuk keadilan dinegeri ini?
Berbicara diskriminasi, isu ini memang selalu merebak hampir disemua belahan dunia. Di Indonesia sendiri, isu diskriminasi sudah bukan barang baru. Sejumlah kasus besar maupun kecil telah menghiasi hiruk pikuk negeri ini. Kasus diskriminasi terbesar yang pernah dialami Indonesia seperti ditulis kompas.com adalah konflik Maluku yang berlatar keagamaan dalam rentang waktu 4 tahun. Dilanjutkan konflik Sampit, konflik ahmadiyah di Transito Mataram dan konflik Lampung Selatan. Konflik-konflik tersebut sama-sama menelan nyawa manusia sebagai tumbalnya.
Secara sederhana, istilah diskriminasi merujuk pada pelayanan yang dianggap tidak adil terhadap individu tertentu, dimana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang dimiliki individu tersebut (wikipedia). Pengertian diskriminasi sendiri yaitu pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan golongan, warna kulit, suku, ekonomi, agama, dsb) (kbbi.web.id). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung atau tak langsung, didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status, sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, dst (sumber dari sini). Terlalu panjang kalau ditulis lagi. Tapi yang pasti, beberapa definisi tadi sedikit-banyak kita telah mengungkap tentang diskriminasi.
Entah berupa tren atau bukan (atau mungkin bisa jadi budaya, LOL) setiap tahun negeri ini selalu memiliki pemberitaan kasus hukum yang melibatkan lansia sebagai tersangkanya. Dan premisnya selalu sama, seorang nenek/kakek dituduh mencuri sebuah barang yang sebenarnya tidak besar-besar amat. Harganya juga tidak mahal-mahal amat, tidak sampai Rp. 10.000,00. Kemudian dilaporkan pihak yang merasa dirugikan atas tindakan si nenek/kakek, selanjutnya masuk persidangan yang berakhir pada vonis hukuman buat si nenek/kakek.
Kasus-kasus seperti yang dialami nenek Minah di Banyumas yang mencuri 3 (tiga) buah kakao di perkebunan PT Rumpun Sari Antan, kemudian diganjar satu bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan (sumber dari sini). Kasus Pak Kliwondo di Boyolali yang jadi tersangka pencurian gara-gara seikat kayu bakar (sumber dari sini). Dan yang terakhir, yang masih hangat tentunya, kasus nenek Asyani yang akhirnya harus didakwa atas dugaan pencurian tujuh batang kayu milik Perhutani. Vonis hukuman yang didapat nenek berusia 63 tahun tersebut adalah hukuman satu tahun penjara dan denda sebesar 500 juta subsider satu hari kurungan dengan masa percobaan 15 bulan (sumber dari sini dan sini). Tiga kasus tersebut hanya sebagian kecil contoh saja. Kasus sejenis yang mencuat juga tidak kalah banyak. Mungkin diluar sana juga masih ada lagi kasus sejenis yang belum tercium media.
Banyak pihak yang menyayangkan setiap kali kasus-kasus seperti ini terjadi. Agak sedikit aneh saja melihat permasalahan yang sebenarnya sepele tapi harus ditempuh lewat jalur hukum. Dan semakin disayangkan karena yang terkena imbas adalah orang-orang tua yang secara ekonomi pun mereka kurang mampu. Para orang tua yang harusnya sudah tenang dimasa tuanya ternyata harus berhadapan dengan horornya meja persidangan dan vonis hukuman. “Padahal, ya, tiga buah kakao doang / tujuh batang kayu doang. Ikhlasin saja kenapa? Nggak bakalan rugi banyak juga koq”.
Saya terkadang suka tidak mengerti dengan itu. Kenapa orang-orang itu harus menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan permasalahan semacam itu? Bukankah negara kita punya asas yang lebih dari sekedar hukum? Asas musyawarah untuk mufakat. Permasalahan seperti itu harusnya bisa selesai dengan sebuah musyawarah, lagipula permasalahannya tidak segede gunung juga. Dan tidak merugikan sampai negara harus menjual pulau juga. Bukankah musyawarah untuk mufakat itu salah satu tradisi dan budaya kita? Atau mungkin kita sudah lupa sama tradisi dan budaya sendiri? Atau orang-orang yang sudah mulai kehilangan nuraninya? Atau justru hukum kita yang memang tidak mempunyai nurani?
Adalah benar jika hukum tidak membeda-bedakan siapapun. Hukum itu mutlak. Tak pandang status, latar belakang atau apapun, semua warga negara sama, tanpa terkecuali, semua terikat oleh hukum. Namun masalahnya adalah apakah hukum itu benar-benar telah ditegakkan seperti seharusnya? Apakah hukum itu telah melakukannya dengan adil? Jangan-jangan hukum itu hanyalah sebuah bentuk diskriminasi berlabel, yang berani hanya sama manusia lanjut usia yang tua renta. Kalau nenek Asyani yang dituduh mencuri tujuh buah batang kayu saja dihukum dengan vonis seperti itu, lantas bagaimana dengan pembalakan liar berskala besar? Bagaimana dengan kasus lainnya? Korupsi misalnya. Jadi, sudah adilkah hukum dinegeri ini? Kalau saja memang hukum itu tak pandang bulu, maka sudah seharusnya para aparatur hukum tidak membuat gradasi dengan hukum itu sendiri.
FYI, kasus-kasus seperti yang dialami Nenek Asyani dll, sebenarnya bisa dikategorikan dalam tindak pidana ringan. Undang-undangnya sendiri telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Undang-undang ini dibuat untuk meninjau kembali perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil. Sehingga kasus pencurian dengan skala kecil tidak perlu didakwa dengan Pasal 362 KUHP di pengadilan.
Melihat hal-hal seperti diatas rasanya tak berlebihan ketika Deddy Mizwar berujar “Alangkah Lucunya Negeri ini”. Karena memang banyak yang lucu dinegeri ini. Satu hal yang tak kalah lucu dan membuat saya berkata sama sambil menggernyitkan dahi adalah tatkala mendengar isu pencekalan nama Ali dan Muhammad (di autogate bandara). Hanya karena takut jika orang dengan nama itu adalah pelaku teroris, padahal belum ada bukti konkrit bahwa orang bernama Ali atau Muhammad adalah teroris. Sebagai orang yang mempunyai nama Ali, saya merasa ini adalah bentuk diskriminasi terhadap orang dengan nama Ali dan Muhammad. Secara tidak langsung, hal ini juga telah mencederai falsafah “Bhineka Tunggal Ika” yang dianut negeri ini.
Rasanya berbicara masalah diskriminasi dalam tatanan kenegaraan seperti diatas terkesan terlalu besar untuk dibahas oleh orang yang tak mempunyai kapasitas seperti saya. Karena menurut saya, justru banyak hal-hal kecil disekitar kita, cenderung sepele malah, namun bisa jadi itu merupakan bibit-bibit diskriminasi. Sebagai contoh, saya pernah membeli makan disebuah tempat. Saya datang lebih awal dan yang saya beli saat itu hanya nasi, tahu dan tempe. Selang sekian detik kemudian datang pembeli lain dengan pembelian yang lebih banyak, lebih mahal dari yang saya beli. Dan tanpa saya sadari, si pedagang mendahulukan melayani orang setelah saya dengan sangat ramah sekali. Sementara saya dicuekin begitu saja. Ketika saya mengajukan protes, si pedagang malah ketus. Mungkin buat si pedagang, pembeli setelah saya lebih menguntungkan daripada saya. Makanya perlakuannya pun berbeda.
Contoh lainnya, disekolah (mungkin ini juga sering terjadi) seorang guru yang memperlakukan beberapa siswanya secara spesial. Jadi, si guru hanya berfokus pada siswa yang ia senangi saja. Sementara yang lain, seolah tidak ada disana. Hanya pelengkap bangku sekolah semata. Tentunya hal ini tidak dibenarkan (IMO). Karena akan menimbulkan kecemburuan sosial antarsiswa. Adapun kalau memang ada siswa yang harus diapresiasi karena prestasinya, tentu bukan menjadi alasan memberikan perlakuan berbeda kepada siswa lainnya dikelas.
Contoh yang lebih sederhana lagi, mungkin masing-masing dari kita juga pernah melakukan perlakuan berbeda kepada orang-orang tertentu. Sebagai contoh dari kaum lelaki misalnya. Mungkin, para lelaki pernah memberi perlakuan berbeda terhadap teman perempuannya karena kecantikannya. Seperti lebih ramah dan bersahabat pada teman perempuan yang masuk kategori cantik. Sementara buat yang biasa-biasa saja atau tidak cantik sama sekali justru lebih cuek. Btw, definisi cantik/ganteng itu sebenarnya mutlak. Yang biasa-biasa saja justru yang relatif. Walaupun banyak yang bilang definisi cantik/ganteng itu relatif, tapi tetap saja cantik/ganteng relatif itu ada standarnya. Koq jadi ngomongin cantik dan ganteng ya? Pokoknya, intinya, kita pasti pernah lah memberi perlakuan berbeda kepada orang-orang. Entah alasan atau modusnya apa. Entah disadari ataupun tidak.
Dari uraian yang telah saya ketik sampai sepanjang ini, ada satu benang merah yang bisa ditarik tentang diskriminasi. Baik dari contoh serius dan kompleks maupun dari contoh sederhana seperti diatas, semuanya mempunyai kesamaan. Yakni membeda-bedakan sesuatu atas sebuah dasar latar belakang. Latar belakang disini bisa dalam berbagai bentuk. Bisa agama, ras, warna kulit, status sosial/ekonomi, profesi, penampilan fisik, dsb. Jadi, kecenderungan membeda-bedakan inilah yang sesungguhnya menjadi bibit-bibit terjadinya diskriminasi. Mungkin, terlalu kecil ketika menyebut seorang pedagang yang melakukan pelayanan berbeda kepada pembelinya, guru yang memberikan perlakuan spesial kepada muri-murid kesayangannya atau kita-kita yang (mungkin) masih suka memperlakukan berbeda orang-orang berdasarkan penampilan fisiknya, sebagai bentuk diskriminasi. Ya, mungkin hal-hal seperti itu terlalu kecil untuk disebut sebuah diskriminasi. Tapi bukankah setiap hal yang besar selalu berawal dari hal yang kecil?
Dengan kata lain, diskriminasi ini akan selalu terjadi. Akan selalu ada. Baik dalam lingkup yang kecil ataupun besar. Skala yang kecil maupun besar. Baik antar pribadi maupun kelompok. Karena manusia memang punya kecenderungan untuk membeda-bedakan manusia yang lainnya. Sebuah sifat alamiah yang cukup sulit untuk dihilangkan. Maka, selama manusia (yaitu kita) masih selalu membedak-bedakan manusia yang lainnya, baik dari segi ras, agama, budaya, jenis kelamin, profesi, latar belakang, status sosial, dan berbagai alasan latar belakang lainnya, maka selama itu pula diskriminasi akan selalu ada mengiringinya.

0 comments