Mungkin
kita pernah mendengar sebuah ungkapan satir tentang seorang maling ayam yang
tertangkap lalu ditindak dengan hukuman berat. Dan itu belum ditambah ajang
main hakim sendiri dari masyarakat (baca: digebukin). Kemudian dibandingkan
dengan para maling uang rakyat yang mendapat jatah hukuman ringan. Bahkan
beberapa malah mendapat fasilitas hotel saat berada dalam tahanan. Dan parahnya,
masih ada pula dari sebagian mereka yang sempat jalan-jalan saat masa hukuman berlangsung. Maling
ayam dan maling uang rakyat. Dua hal yang mirip tapi beda yang saling bertolak belakang secara
perilaku maupun perlakuan. Ironis? Memang.
Bila
ditelaah lagi, mungkin paragraf diatas bukanlah sekedar ungkapan semata. Atau
memang sesungguhnya pernah terjadi di negeri ini? Berbaik sangka sajalah.
Semoga itu semua tidak pernah terjadi (walaupun sesungguhnya itu semua
benar-benar terjadi, LOL). Berlebihankah jika menyebut ungkapan diatas sebagai
sebuah diskriminasi dalam hukum? Dimana tercium sebuah bentuk ketidakadilan disana?
Atau justru seperti itulah bentuk keadilan dinegeri ini?
Berbicara
diskriminasi, isu ini memang selalu merebak hampir disemua belahan dunia. Di
Indonesia sendiri, isu diskriminasi sudah bukan barang baru. Sejumlah kasus
besar maupun kecil telah menghiasi hiruk pikuk negeri ini. Kasus diskriminasi
terbesar yang pernah dialami Indonesia seperti ditulis kompas.com adalah konflik Maluku yang
berlatar keagamaan dalam rentang waktu 4 tahun. Dilanjutkan konflik Sampit,
konflik ahmadiyah di Transito Mataram dan konflik Lampung Selatan. Konflik-konflik
tersebut sama-sama menelan nyawa manusia sebagai tumbalnya.
Secara
sederhana, istilah diskriminasi merujuk pada pelayanan yang dianggap tidak adil
terhadap individu tertentu, dimana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik
yang dimiliki individu tersebut (wikipedia). Pengertian diskriminasi sendiri
yaitu pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan golongan,
warna kulit, suku, ekonomi, agama, dsb) (kbbi.web.id). Sedangkan menurut pasal 1 ayat
(3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung atau tak langsung,
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status, sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, dst (sumber dari sini). Terlalu panjang kalau ditulis lagi. Tapi yang pasti, beberapa
definisi tadi sedikit-banyak kita telah mengungkap tentang diskriminasi.
Entah
berupa tren atau bukan (atau mungkin
bisa jadi budaya, LOL) setiap tahun negeri ini selalu memiliki
pemberitaan kasus hukum yang melibatkan lansia sebagai tersangkanya. Dan
premisnya selalu sama, seorang nenek/kakek dituduh mencuri sebuah barang yang
sebenarnya tidak besar-besar amat. Harganya juga tidak mahal-mahal amat, tidak
sampai Rp. 10.000,00. Kemudian dilaporkan pihak yang merasa dirugikan atas
tindakan si nenek/kakek, selanjutnya masuk persidangan yang berakhir pada vonis
hukuman buat si nenek/kakek.
Kasus-kasus
seperti yang dialami nenek Minah di Banyumas yang mencuri 3 (tiga) buah kakao
di perkebunan PT Rumpun Sari Antan, kemudian diganjar satu bulan 15 hari penjara
dengan masa percobaan 3 bulan (sumber dari sini). Kasus Pak Kliwondo di Boyolali yang jadi tersangka pencurian gara-gara
seikat kayu bakar (sumber dari sini).
Dan yang terakhir, yang masih hangat tentunya, kasus nenek Asyani yang akhirnya
harus didakwa atas dugaan pencurian tujuh batang kayu milik Perhutani. Vonis
hukuman yang didapat nenek berusia 63 tahun tersebut adalah hukuman satu tahun
penjara dan denda sebesar 500 juta subsider satu hari kurungan dengan masa
percobaan 15 bulan (sumber dari sini dan sini).
Tiga kasus tersebut hanya sebagian kecil contoh saja. Kasus sejenis yang
mencuat juga tidak kalah banyak. Mungkin diluar sana juga masih ada lagi kasus
sejenis yang belum tercium media.
Banyak
pihak yang menyayangkan setiap kali kasus-kasus seperti ini terjadi. Agak sedikit
aneh saja melihat permasalahan yang sebenarnya sepele tapi harus ditempuh lewat
jalur hukum. Dan semakin disayangkan karena yang terkena imbas adalah
orang-orang tua yang secara ekonomi pun mereka kurang mampu. Para orang tua
yang harusnya sudah tenang dimasa tuanya ternyata harus berhadapan dengan
horornya meja persidangan dan vonis hukuman. “Padahal, ya, tiga buah kakao doang / tujuh batang kayu doang. Ikhlasin
saja kenapa? Nggak bakalan rugi banyak juga koq”.
Saya
terkadang suka tidak mengerti dengan itu. Kenapa orang-orang itu harus menempuh
jalur hukum untuk menyelesaikan permasalahan semacam itu? Bukankah negara kita
punya asas yang lebih dari sekedar hukum? Asas musyawarah untuk mufakat. Permasalahan seperti itu harusnya bisa selesai dengan sebuah musyawarah,
lagipula permasalahannya tidak segede gunung juga. Dan tidak merugikan sampai
negara harus menjual pulau juga. Bukankah musyawarah untuk mufakat itu salah
satu tradisi dan budaya kita? Atau mungkin kita sudah lupa sama tradisi dan
budaya sendiri? Atau orang-orang yang sudah mulai kehilangan nuraninya? Atau justru hukum
kita yang memang tidak mempunyai nurani?
Adalah
benar jika hukum tidak membeda-bedakan siapapun. Hukum itu mutlak. Tak pandang status, latar
belakang atau apapun, semua warga negara sama, tanpa terkecuali, semua terikat oleh hukum.
Namun masalahnya adalah apakah hukum itu benar-benar telah ditegakkan seperti seharusnya? Apakah hukum itu telah melakukannya dengan adil? Jangan-jangan hukum
itu hanyalah sebuah bentuk diskriminasi berlabel, yang berani hanya sama manusia
lanjut usia yang tua renta. Kalau nenek Asyani yang dituduh mencuri tujuh buah
batang kayu saja dihukum dengan vonis seperti itu, lantas bagaimana dengan
pembalakan liar berskala besar? Bagaimana dengan kasus lainnya? Korupsi misalnya. Jadi,
sudah adilkah hukum dinegeri ini? Kalau saja memang hukum itu tak pandang bulu,
maka sudah seharusnya para aparatur hukum tidak membuat gradasi dengan hukum
itu sendiri.
FYI, kasus-kasus seperti yang dialami
Nenek Asyani dll, sebenarnya bisa dikategorikan dalam tindak pidana ringan. Undang-undangnya
sendiri telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Undang-undang ini dibuat untuk meninjau kembali
perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang kecil. Sehingga kasus
pencurian dengan skala kecil tidak perlu didakwa dengan Pasal 362 KUHP di
pengadilan.
Melihat
hal-hal seperti diatas rasanya tak berlebihan ketika Deddy Mizwar berujar “Alangkah
Lucunya Negeri ini”. Karena memang banyak yang lucu dinegeri ini. Satu hal yang
tak kalah lucu dan membuat saya berkata sama sambil menggernyitkan dahi
adalah tatkala mendengar isu pencekalan nama Ali dan Muhammad (di
autogate bandara). Hanya karena takut jika orang dengan nama itu adalah pelaku
teroris, padahal belum ada bukti konkrit bahwa orang bernama Ali atau Muhammad
adalah teroris. Sebagai orang yang mempunyai nama Ali, saya merasa ini adalah
bentuk diskriminasi terhadap orang dengan nama Ali dan Muhammad. Secara tidak langsung,
hal ini juga telah mencederai falsafah “Bhineka Tunggal Ika” yang dianut negeri
ini.
Rasanya berbicara masalah diskriminasi dalam tatanan kenegaraan seperti diatas terkesan terlalu besar untuk dibahas oleh orang yang tak mempunyai kapasitas seperti saya. Karena menurut saya, justru banyak hal-hal kecil disekitar kita, cenderung
sepele malah, namun bisa jadi itu merupakan bibit-bibit diskriminasi. Sebagai
contoh, saya pernah membeli makan disebuah tempat. Saya datang lebih awal dan
yang saya beli saat itu hanya nasi, tahu dan tempe. Selang sekian detik kemudian
datang pembeli lain dengan pembelian yang lebih banyak, lebih mahal dari yang
saya beli. Dan tanpa saya sadari, si pedagang mendahulukan melayani orang
setelah saya dengan sangat ramah sekali. Sementara saya dicuekin begitu saja.
Ketika saya mengajukan protes, si pedagang malah ketus. Mungkin buat si
pedagang, pembeli setelah saya lebih menguntungkan daripada saya. Makanya
perlakuannya pun berbeda.
Contoh
lainnya, disekolah (mungkin ini juga sering terjadi) seorang guru yang
memperlakukan beberapa siswanya secara spesial. Jadi, si guru hanya berfokus
pada siswa yang ia senangi saja. Sementara yang lain, seolah tidak ada disana.
Hanya pelengkap bangku sekolah semata. Tentunya hal ini tidak dibenarkan (IMO).
Karena akan menimbulkan kecemburuan sosial antarsiswa. Adapun kalau memang ada
siswa yang harus diapresiasi karena prestasinya, tentu bukan menjadi alasan
memberikan perlakuan berbeda kepada siswa lainnya dikelas.
Contoh
yang lebih sederhana lagi, mungkin masing-masing dari kita juga pernah
melakukan perlakuan berbeda kepada orang-orang tertentu. Sebagai contoh dari
kaum lelaki misalnya. Mungkin, para lelaki pernah memberi perlakuan berbeda
terhadap teman perempuannya karena kecantikannya. Seperti lebih ramah dan
bersahabat pada teman perempuan yang masuk kategori cantik. Sementara buat yang
biasa-biasa saja atau tidak cantik sama sekali justru lebih cuek. Btw, definisi cantik/ganteng itu
sebenarnya mutlak. Yang biasa-biasa saja justru yang relatif. Walaupun banyak
yang bilang definisi cantik/ganteng itu relatif, tapi tetap saja cantik/ganteng
relatif itu ada standarnya. Koq jadi
ngomongin cantik dan ganteng ya? Pokoknya, intinya, kita pasti pernah lah memberi
perlakuan berbeda kepada orang-orang. Entah alasan atau modusnya apa. Entah disadari
ataupun tidak.
Dari
uraian yang telah saya ketik sampai sepanjang ini, ada satu benang merah yang bisa ditarik tentang diskriminasi. Baik dari contoh serius dan kompleks maupun dari contoh sederhana seperti diatas, semuanya mempunyai kesamaan. Yakni membeda-bedakan
sesuatu atas sebuah dasar latar belakang. Latar belakang disini bisa dalam berbagai bentuk. Bisa agama, ras, warna kulit, status sosial/ekonomi, profesi,
penampilan fisik, dsb. Jadi, kecenderungan membeda-bedakan inilah yang
sesungguhnya menjadi bibit-bibit terjadinya diskriminasi. Mungkin, terlalu kecil
ketika menyebut seorang pedagang yang melakukan pelayanan berbeda kepada pembelinya, guru
yang memberikan perlakuan spesial kepada muri-murid kesayangannya atau kita-kita yang (mungkin) masih suka memperlakukan berbeda orang-orang berdasarkan penampilan fisiknya, sebagai bentuk diskriminasi. Ya, mungkin
hal-hal seperti itu terlalu kecil untuk disebut sebuah diskriminasi. Tapi bukankah
setiap hal yang besar selalu berawal dari hal yang kecil?
Dengan kata lain, diskriminasi ini akan selalu terjadi. Akan selalu ada. Baik dalam lingkup yang kecil
ataupun besar. Skala yang kecil maupun besar. Baik antar pribadi maupun kelompok. Karena
manusia memang punya kecenderungan untuk membeda-bedakan manusia yang lainnya.
Sebuah sifat alamiah yang cukup sulit untuk dihilangkan. Maka, selama
manusia (yaitu kita) masih selalu membedak-bedakan manusia yang lainnya, baik dari segi ras,
agama, budaya, jenis kelamin, profesi, latar belakang, status sosial, dan berbagai alasan latar belakang lainnya, maka selama itu pula diskriminasi akan selalu ada mengiringinya.
0 comments
Post a Comment