Dan
akhirnya.., saya jadi keterusan mereview anime. Btw, sudah sekitar 8 (delapan) buah anime yang sudah saya review di blog ini (bisa dicek ada apa saja). Pokoknya
setiap bulan pasti ada dua anime yang saya review (terhitung sejak bulan Desember
2014). Dan yang kebagian jatah direview kali ini adalah ‘Tokyo Ghoul’, yang memang
cukup ramai juga dibicarakan tahun lalu. ‘Tokyo Ghoul’ sendiri merupakan manga yang
ditulis Sui Ishida dan telah mempunyai 14 (empat belas) volume antara periode
September 2011 sampai September 2014. Season
pertama animenya telah tayang pada 3 Juli 2014 dengan jumlah 12 episode. Season keduanya juga sudah tayang dan
berakhir pada 26 Maret lalu.
‘Tokyo
Ghoul’ mengisahkan tentang Tokyo yang didominasi dua makhluk, yakni manusia dan
ghoul. Dilihat dari segi fisik, manusia dan ghoul tidak ada bedanya. Walaupun
begitu, ghoul ternyata bukanlah makhluk yang bersahabat bagi manusia. Bahkan
dianggap berbahaya karena makanan ghoul adalah daging manusia. Maka tak heran
bila manusia dan ghoul saling bermusuhan dan saling menghancurkan satu sama
lain. Seorang mahasiswa bernama Kaneki Ken terkena sial karena harus berhadapan
dengan maut. Perkenalannya dengan seorang wanita bernama Rize menjadi titik awal
perubahan hidupnya.
Secara
cerita, ‘Tokyo Ghoul’ tidak menawarkan sesuatu yang baru buat saya. Seorang
pria kikuk nan polos yang tak tahu apa-apa, harus dihadapkan pada kenyataan
yang tak pernah ia kira sebelumnya. Mengharuskannya menjadi makhluk diantara
dua dunia, yakni manusia dan ghoul. Menurut pengalaman yang
sudah-sudah, biasanya kita tinggal menunggu waktu saja sampai pada saatnya dia
akan menjadi hero kuat yang bertujuan
melindungi orang-orang yang harus dilindunginya. Jelas, template cerita seperti itu bukanlah formula baru dalam dunia
anime.
Namun
dalam perjalanannya, ‘Tokyo Ghoul’ memberi pendekatan yang sedikit berbeda
dengan template usang tersebut. Saya
cukup karena senang karena hal itu. Terlebih karena karakter Kaneki tidak
terlalu cepat menjadi seorang heroine.
Bisa dibilang bahwa season pertama ‘Tokyo
Ghoul’ adalah tentang dilema dan konfrontasi dalam diri Kaneki. Sedari awal kita
memang sudah diperlihatkan hal itu. Secara sadar, ia tak bisa menerima fakta bahwa
dirinya adalah seorang ghoul yang mengkonsumsi daging manusia sebagai makanan.
Namun disisi lain, ada sosok Rize dalam dirinya yang selalu kelaparan dan membuatnya
menderita. Sisi manusia dan ghoulnya saling bertarung dalam diri Kaneki.
Konflik seperti ini justru terasa lebih menyenangkan buat saya, daripada
melihat Kaneki menjadi sosok yang kuat dan mengalahkan musuh-musuhnya. Perjalanan
dilematis sang karakter utama itulah yang membuat ‘Tokyo Ghoul’ tidak jatuh
menjadi tontonan membosankan.
Ditengah
kegalauan seorang Kaneki, ada sosok perempuan yang cukup mencuri perhatian. Dia
adalah Touka Kirishima. Sosoknya sedikit mengingatkan saya pada Misaki Mei di
‘Another’ dan Mikasa Ackerman di ‘Attack on Titan’. Seorang karakter perempuan
kuat, dingin dan misterius tapi juga menyimpan kerapuhannya sebagai seorang
perempuan. Dalam dunia anime, saya memang selalu suka dengan tipikal karakter
perempuan seperti itu.
Sebagai
anime bergenre action, ‘Tokyo Ghoul’
sanggup menunjukkan gen action-nya
dengan rasa yang cukup kuat. Buat saya, adegan aksi dan pertarungan yang terjadi disini
lumayan asyik dan enak dinikmati. Bahkan ‘Tokyo Ghoul’ mampu menawarkan sesuatu
yang berbeda dengan efek gambar negatif yang dihadirkan dibeberapa pertarungan.
Entah dimaksudkan untuk menutupi bagian-bagian sadisnya atau bukan tapi saya
sangat menyukainya. Pun begitu, ketika jiwa Rize dalam diri Kaneki hadir
bersama visual abstrak yang ok.
Mungkin sudah menjadi kebiasaan jika anime-anime zaman sekarang tak malu mengumbar
adegan sadis. Tak terkecuali buat ‘Tokyo Ghoul’ yang juga menjadikan gore dan darah sebagai salah satu
jualannya. Bahkan ada praktik kanibalisme didalam ‘Tokyo Ghoul’ yang terbilang
jarang dilakukan oleh anime lain. Meski dibeberapa bagian hanya tampil secara implisit,
tapi tetap saja hal itu memicu imajinasi liar bagi penonton. Episode
dimana Kaneki ditawan kemudian dijadikan objek psikopatnya seorang “Jason”
terasa begitu mengerikan. Adegan-adegan pada saat itu merupakan cerminan perilaku
seorang psikopat akut. Adegan-adegan penuh pesakitan beriringan bersama
dentingan piano yang menghantui.
Selain
kebiasaan mengumbar adegan sadis, salah satu kebiasaan anime yang lain adalah
kita selalu dihadapkan pada keadaan/kondisi yang sudah seperti itu. Misalkan
dalam kasus ‘Tokyo Ghoul’ ini, kita sebagai penonton juga dipaksa untuk
menerima keadaan/kondisi bahwa Tokyo memang sudah dihuni manusia dan ghoul.
Tidak ada latar belakang atau penjelasan kenapa mahkluk bernama ghoul itu bisa
berada dibumi. Harapannya kita sebagai penonton memang diberi sedikit
penjelasan mengenai hal itu, namun terkadang kita tidak menemukannya. Atau memang
sebaiknya kita sudah harus memakluminya sedari awal?
Masih
banyak hal yang belum diungkap di season
pertamanya ini. Kehadiran beberapa karakter yang ada juga masih menyisakan
misteri (seperti kelompok yang menamai dirinya Aogiri). Secara keseluruhan, ‘Tokyo
Ghoul’ memang tidak sampai pada tahap yang bagus sekali. Atau dengan kata lain masih
berada dalam level standar (baca:
lumayan). Namun dengan teknik presentasi yang cepat dan alur penuh
pertanyaan yang belum dijawab, membuat 'Tokyo Ghoul' tetap terlihat menarik untuk diikuti.
Apalalagi muatan adegan action-nya yang ok. Dan sebuah ending penuh
kejutan yang menggantung telah disiapkan guna menggiring penonton untuk menyaksikan kembali season keduanya.
Skor: 8.0/10
0 comments
Post a Comment