You apologize! In their language, in our land!
Where is your honor?
Where is your honor?
- Uco -
Pada
awalnya ‘Berandal’ adalah sebuah proyek ambisius seorang Gareth Evans pasca
‘Merantau’ (yg sesungguhnya) tidak
ada sangkut pautnya dengan ‘The Raid’ a.k.a. ‘Serbuan Maut’. Bahkan naskah film
ini sudah selesai berikut sebuah teaser
yg sudah dirilis jauh sebelum ‘The Raid’ dibuat. Hanya saja karena berbagai
kendala produksi yg dialami, ‘Berandal’ mengalami proses penundaan. Hingga
akhirnya Merantau film memutuskan membuat film lain yg lebih simple & minim budget, dan kita tahu itu adalah ‘The Raid’. Hasilnya?
2
tahun lalu, ‘The Raid’ adalah sebuah fenomena dalam perfilman Indonesia. Tak
disangka plot yg begitu sederhana, set yg hanya disatu tempat, mampu tampil
spektakuler dan menghentak perfilman tanah air bahkan dunia. Hingga Sony Pictures Classics-pun tak ragu membeli hak
edar film ini. Segenap prestasi dan kesuksesan yg diraih ‘The Raid’ seakan
memberi lampu hijau buat proyek Gareth Evans yg sempat tertunda. And this is it, ‘Berandal’. A sequel of The
Raid.
Mengambil
setting 2 jam setelah kekecauan yg terjadi dalam ‘The Raid’, Rama (Iko Uwais) kembali
harus berhadapan dengan kenyataan bahwa saat ini ia tak bisa hidup normal lagi.
Demi keselamatan dirinya terutama keluarganya, ia menerima saran kakaknya Andi
(Doni Alamsyah) utk menemui Bunawar (Cok Simbara), seorang polisi veteran yg
berniat menggali informasi mengenai para polisi2 korup yg terlibat dengan
sindikat mafia kelas kakap di Jakarta dibawah pimpinan Bangun (Tio Pakusadewo)
dan Goto (Kenichi Endo). Tugas yg awalnya terlihat mudah karena Rama hanya
menyamar dan masuk ke sindikat mafia Bangun dgn mendekati anaknya, Uco (Arifin
Putra) justru menjadi begitu rumit. Ditambah lagi ada Bejo (Alex Abbad) seorang
pimpinan gangster lain yg berniat menguasai dunia hitam tersebut
Dengan
konsep yg sudah tersedia dan tinggal menyambungkan dengan benang merah ‘The
Raid’ sepertinya pekerjaan Gareth Evans kali ini akan cukup mudah. Dan seperti
yang telah ia gembar-gemborkan sebelumnya, bahwa sekuel ‘The Raid’ akan jauh
lebih kompleks dari sebelumnya ditambah skala yg lebih besar di semua aspek.
Ya, kenyataannya memang demikian.
Kalau
dulu, kita hanya menganggap plotnya biasa-biasa saja dan terkesan dangkal.
Sekarang Evans menyuguhkan sebuah plot lebih kompleks. Ada nafas-nafas ala ‘The
Godfather’ dan ‘Infernal Affairs’ disana. Melibatkan perebutan kekuasaan, revenge, dad-son relationship dan dilema seorang undercover. Dosis ceritanya memang telah ditingkatkan. Awalnya saya
masih meraba-raba arah cerita film ini tapi ternyata setelah ditilik lebih jauh
ceritanya bisa dibilang sederhana, justru terkesan dragging dibeberapa bagian. Mungkin aspek ceritanya tidak menyentuh
level yang spektakuler tetapi tetap mampu menghadirkan sebuah drama kriminal
yang menyenangkan. Temanya sendiri terbilang jarang diangkat oleh film-film
Indonesia.
Mungkin
aspek ceritanya tidak memuaskan, tapi percayalah untuk yang ini, ekpektasi
tinggi kita dilampaui begitu saja. Ya, inilah DNA-nya ‘The Raid’, fighting scene. Kalau dulu, kita hanya
melihat baku hantam didalam sebuah apartemen tua. Sekarang sudah merambah ke
berbagai lokasi dan tidak terbatas hanya disitu saja. Lapangan penjara, toilet,
jalanan, bar, pabrik film porno, dapur dan masih banyak lagi. Ditambah sebuah
adegan car chase (yg jujur saya
bilang itu keren banget!). Shelter
busway yg rusak di trailernya, sepertinya tidak ada apa-apanya disini. Benda
apapun bisa dipakai untuk membunuh, darah darah dimana-mana, tulang-tulang
retak dan patah, sayatan-sayatan yang merobek kulit dsb disajikan dengan sangat
brutal dan ekstrim. Pertarungan-pertarungan epik dan memompa spot jantung yg
lebih brutal dari sebelumnya. Sampai tiba di bagian final fight antara Rama dan The
Assasins dgn kerambitnya (Karambiak: Minang) yg mengingatkan kita pertarungan
threesome ‘The Raid’ dulu (Rama, Andi
& Mad Dog).
Selain
itu, karakter-karakter yg ada juga lebih beragam. Yang paling ikonik tentu duo kaki
tangan Bejo yg jadi scene stealer, Hammer Girl (Julie Estelle) dan Baseball Bat-Man (Veri Tri Yulisman).
Gareth Evans pun juga menghadirkan unsur drama yang kental kali ini. Bahkan
sosok menyeramkan Mad Dog pun dikasih
porsi drama disini lewat perannya sbg Prakoso. Tapi seberapa hebat apapun
sebuah karakter tidak akan berarti apa-apa jika tidak diisi penampilan gemilang
ensemble cast-nya.
Dukungan
aktor-aktor baru, baik junior maupun senior tampil cukup memukau, baik itu
peran yang penting maupun cuma numpang lewat. Iko Uwais memberi peningkatan
dalam memerankan Rama. Julie Estelle juga mampu memberi teror yg kuat walau
tidak berbicara. Veri Tri Yulisman tampil cool
dengan pemukul baseball-nya (Sini, bolanya!). Cecep Arif Rahman sbg The Assasin mampu menampilkan kemampuan silat
terbaiknya. Pertarungan terakhirnya dgn Iko menjadi pertarungan silat paling memorable kali ini. Dan yang patut
diapresiasi lebih tentunya Arifin Putra yg berperan sebagai Uco yg mampu mengekplorasi
karakternya sebagai sosok anak bos mafia ambisius, berwajah dingin sekaligus
kejam.
Aspek
teknis disini juga mengalami peningkatan yg besar. Cinematografinya lebih
dahsyat. Lebih cantik, kalau saya bilang. Angle-angle
kamera yg diambil entah yg bergerak lambat atau cepat mampu menyajikan
ketegangan yg intens. Scoringnya juga bekerja dengan baik. Dan semakin menambah
kekayaan film ini. Film action paling cantik yg pernah saya tonton.
Kalau
dalam ‘The Raid’ yg memang tersaji pure
non-stop action sehingga membuat kita tidak bisa bernafas lega, dalam
‘Berandal’ tidak demikian. Jadi tidak usah khawatir buat penonton yg suka shock kalau nonton film beginian. Kita
masih bisa bernafas lega dalam waktu yg cukup lama. ‘Berandal’ mempunyai unsur
dramatisasi yang coba digali kali ini dan yang lebih mengejutkan banyak
kekonyolan disini. Semakin konyol karena penonton lain saat itu begitu ekpresif
merespon scene-scene tadi bahkan yang
tidak patut ditertawakan sekalipun. Bagaimana tidak, sempat-sempatnya mereka
bilang “Ciye! Ciye!” waktu Rama
membunuh Uco. Dan begitu lepasnya tawa mereka melihat acara makan malamnya
Mamang Yayan Ruhiyan dengan Marsha Timothy. Padahal menurut saya itu usaha yang
sangat bagus dari seorang Yayan Ruhiyan yg mencoba untuk tampil lebih dramatis
daripada hanya sekedar bak-bik-buk saja. Tapi saya cukup terhibur juga dgn
kelakuan para penonton waktu itu, setidaknya itu mampu mengendurkan urat saraf para
penonton yg menegang saat adegan aksi yg di tampilkan di layar & mengganti
kata-kata umpatan dgn tawa. Buat saya, moment lucu itu muncul dari scene salju waktu Prakoso mati. Scene salju itu memang manis sekaligus
melankolis tapi Evans dgn beraninya menampilkan gerobak dorong jualan abang2 khas
di Indonesia + ada tulisannya saya lupa lagi, entah mie
ayam, lomie
ayam atau apa itu (LOL).
Selain
hal-hal tadi, yg cukup annoying dalam
‘Berandal’ buat saya adalah saya masih bisa menemukan formula-formula klise
khas film action disini. Dalam arti, sosok pahlawan yg terlalu tangguh dan
sulit sekali dibuat mati. Ya, Rama terlalu tangguh kali ini. Ambil contoh
[SPOILER!], sebelum melakukan aski penerobosan ke sarang Bejo. Rama sudah terluka terlebih
dulu bahkan lengannya sempat robek waktu dia bertarung dengan para polisi. Tapi
setelah itu, dia masih bisa bertarung sekan tidak terjadi apa-apa dan malamnya
dia beraksi sendirian menghabisi musuh-musuhnya. Kurang hebat apalagi coba? Memang bukan problem besar dan
sepertinya hal lumrah utk genre action, tapi menurut saya Rama yg dulu
jauh realistis dari yang ini bahkan saya dibuat peduli pada nasib karakternya
ini. Saya berharap semoga saja detail-detail seperti ini bisa diperhatikan Evans di
film selanjutnya.
Finally,
‘Berandal’ adalah sebuah film yg memuaskan. Seorang Gareth Evans memang tahu
sekali cara memperlakukan sebuah sekuel yg sudah sangat ditunggu orang-orang
dengan berbagai ekpektasinya. Menaikkan kelas dan levelnya jauh lebih tinggi
dari predesesornya. Terlepas dari berbagai kekurangan (yg sesungguhnya) tidak begitu
menjadi masalah, ‘Berandal’ mampu membuat saya bangga nonton film Indonesia.
Sehingga ketika film ini berakhir, saya tidak tahan untuk tidak bertepuk tangan
(hal yang jarang saya lakukan di bioskop). Cukup sulit juga menerima kenyataan
bahwa credit scene telah bergulir dan
film ini telah usai. Rasanya ingin terus melihat pertarungan lewat seni
beladiri silat ini lagi, lagi dan lagi.
0 comments
Post a Comment