Tahun
2015 telah berlalu, seakan dejavu,
saya merasa terpanggil kembali untuk membuat daftar film terbaik tahun 2015.
Seperti tahun lalu, dimana saya juga membuat daftar film terbaik tahun 2014 versi saya. Dibandingkan tahun 2014, tahun 2015 memang menjadi semacam penurunan
kuantitas menonton film bagi saya. Biarpun begitu, saya masih sempat menonton
beberapa judul sebelum menyelesaikan post ini. Beberapa diantaranya pun masuk
daftar pada saat-saat terakhir. Kecuali untuk ‘The Big Short’, ‘Steve Jobs’, 'Spotlight', ‘Room’, ‘Carol’, ‘Joy’ dan beberapa judul lainnya
belum saya tonton.
Membuat
daftar seperti ini memang sifatnya sangat subjektif dan personal. Tentunya
perspektif setiap orang akan berbeda satu sama lain. Dan seperti yang sudah
saya tekankan pada post sama tahun
lalu, bahwa “Terbaik” disini bukan berarti secara harfiah benar-benar terbaik (emang siapa saya sok-sok-an menentukan film
terbaik). Sederhananya, “Terbaik” disini adalah film yang paling saya suka
tahun lalu yang berhasil memberi kesan mendalam dan kepuasan tingkat tinggi
selama menonton. Pun setelahnya. Oleh karena itu, saya tak akan memasukkan judul
Seventh Son (Sergey Bodrov) dalam
daftar ini. Karena menurut saya itu adalah film terburuk yang pernah saya
tonton di tahun 2015. I’m sorry to say
that, Alicia Vikander! But.., you always look so sweet in every your movie! Seriously!
Dan
berikut 10 film terbaik tahun 2015 versi saya.
Honorable
Mentions:
Ex-Machina (Alex Garland), Wild Tales (Damian Szifron), Filosofi Kopi (Angga Dwimas Sasongko), Sicario (Dennis Villeneuve), Crimson Peak (Guillermo del Toro), Bridge of Spies (Steven Spielberg), The Gift (Joel Edgerton), Star Wars: The Force Awakens (J.J.
Abrams), The Hateful Eight (Quentin
Tarantino), Brooklyn (John Crowley).
#10
It Follows (David Robert Mitchell)
Adegan
pembukanya sudah sangat mengejawantahkan kengerian. Konsep horornya mungkin
terasa aneh, tapi ada pesan menarik dibalik premisnya bila mau dicermati.
Terutama mengenai kehidupan bebas ala remaja dewasa ini.
#9
The Revenant (Alejandro Gonzalez Inarritu)
Puisi
tragis tentang bagaimana alam menunjukkan sisi liarnya yang brutal yang juga
kontradiktif disaat bersamaan. Dingin menusuk menembus tulang. Membuncahkan emosi
disetiap bait kegetiran. Namun indah disela-sela keheningannya.
#8
Clouds of Sils Maria (Olivier Assayas)
Seakan
mengaburkan batasan realita dan fiksi. Seorang aktris paruh baya tengah mencoba
berdamai dengan diri dan masa lalunya. Menyenangkan bisa melihat performa
akting terbaik salah satu aktris favorit disini.
#7
Me and Earl and the Dying Girl (Alfonso Gomez-Rejon)
Cara
memperlakukan premis penyakit mematikannya terasa tak biasa. Namun begitu
hangat menghantarkan drama coming of age-nya.
Pada setiap sisi getir, ditanaminya benih positif. Plot kecilnya yang berbicara
banyak tentang film, masih jadi bagian terfavorit. [Review]
#6
Mencari Hilal (Ismail Basbeth)
Lupakan
sejenak tentang ‘Le Grand Voyage’-nya Ismael Ferroukhi. Kemudian tengoklah bagaimana
Pak Mahmud dan anaknya Heli menyusuri jalanan spiritual. Menebarkan aroma
introspeksi dan refleksi diri dalam nafas religi tanpa harus memaksanya
menerobos relung hati. Sederhana tapi manis.
#5
Mad Max: Fury Road (George Miller)
Begitu
gahar. Begitu kacau. Begitu gila. Entah apa yang ada dibenak pria tua George
Miller saat mencoba menghidupkan kembali franchise
lamanya. Karena kegaharan, kekacauan dan kegilaannya ini, padang pasir tandus
menjadi panggung aksi dengan ketegangan tingkat tinggi.
#4
Whiplash (Demian Chazelle)
Ambisi
dan kesempurnaan seolah tak berbatas bagi manusia. Besar pula harganya. Sampai
titik mana itu berhenti, tidak ada yang tahu. Stick drum Andrew telah
menelanjangi mindset kita tentang falsafah
berjuang sampai titik darah penghabisan. Darinya, (mungkin) kita jadi (sedikit)
mengerti.
#3
Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance) (Alejandro Gonzalez Inarritu)
Saat
parade teater menyertakan kritiknya pada panggung hiburan. Cerdas nan menggelitik.
Salah satu pencapaian tinggi dalam dunia sinematik lewat aspek teknisnya. One long take yang rumit itu begitu
mempesona.
#2
A Pigeon Sat on a Branch Reflecting on Existence (Roy Andersson)
Apa
jadinya jika seekor burung merpati yang bertengger pada sebatang dahan pohon
merenungkan kehidupan? Roy Andersson menerjemahkannya dalam sketsa kaya absurditas
yang kental aroma kenyinyiran dan kejenakaan yang khas. Tentang hidup, manusia
dan eksistensinya.
#1
Inside Out (Pete Docter)
Ketika
ide brilian dieksekusi dengan brilian pula. Imajinatif. Namun tak hilang unsur
“hati”-nya. Petualangan menyelami isi kepala manusia yang begitu menyenangkan sekaligus
mengharukan. Sekali lagi, Pixar menambah deretan panjang karya terbaiknya. [Review]
0 comments
Post a Comment