Thursday, February 5, 2015

Nanti. Nanti saja. Lalu nanti. Nanti lagi. Kemudian nanti. Masih nanti. Akhirnya nanti. Terus nanti. Nanti terus. Dan nanti. Sampai nanti.

Seperti sebuah kebiasaan lumrah ketika banyak dari kita (termasuk yang nulis) menunda-nunda sesuatu untuk dikerjakan. Berjuta-juta alasan A-Z seringkali menyelimuti penundaan-penundaan yang tiada henti berlandaskan “nanti dan nanti”. Entah karena terlalu mudah atau terlalu sukar. Entah kita yang tak berbakat atau kurang percaya diri. Entah kita yang mudah menyerah atau justru malah terlalu perfeksionis terhadap hasil. Atau kita sendiri yang tidak tahu harus bagaimana.
Pada dasarnya menunda-nunda sesuatu yang harus kita kerjakan tidak lantas membuatnya menjadi lebih mudah. Atau lebih kecil dari seharusnya. Ditunda sampai kapanpun wujudnya akan tetap sama. Bukit yang akan kita daki takkan pernah menjadi datar dengan kita menunggu. Jadi kenapa masih berpikir untuk menunda? Toh apa yang kita tunda tetap harus dikerjakan juga. Dengan menunda, justru kita memberi kesempatan hasil pekerjaan kita tidak maksimal. Yang lebih parah malah tidak selesai bahkan tidak terjamah sama sekali.
Kebiasaan menunda adalah sebuah stimulus pada otak agar kita terus melakukan hal yang sama. Ketika otak terus dijejali stimulus yang sama, secara otomatis organ-organ tubuhpun akan merespon hal yang sama. Pada akhirnya, jika terus-terusan dibiarkan, pekerjaan menunda adalah pilihan tepat yang kita lakukan setiap kali kita harus mengerjakan sesuatu. Kebiasaan menunda memang seperti sebuah penyakit yang akan terus menggerogoti penderitanya. Semakin didiamkan ia akan terus menjalar ke seluruh tubuh.
Nanti dan nanti...
Hanyalah sebuah pelarian diri dari ketidakmampuan melawan diri sendiri yang selalu bersandar pada alasan-alasan abstrak. Seolah bergemuruh suara-suara pikiran yang menyuruh untuk bilang “nanti dan nanti”. Seolah semua indera tak bisa bergerak untuk memulai karena dihalangi bisikan “nanti dan nanti”. Atau begitu mudahnya teralihkan dengan hal-hal tak substansial karena godaan “nanti dan nanti”.
Daripada kita terus berkutat pada “nanti dan nanti” yang menjadikan semuanya tertunda. Kenapa tidak kita buat semua hal itu sederhana. Pertama, kita ganti waham “nanti dan nanti” dengan ‘sekarang dan sekarang’. Itu jauh lebih baik. Selanjutnya segeralah memulai. Memang berat untuk memulai, sayapun mengakuinya. Berat sekali. Butuh tenaga penuh dan ekstra untuk melakukannya. Tapi percayalah, mau berusaha sedikit dengan hal kecil saja, dampaknya sudah luar biasa. Yang perlu kita lakukan hanya satu, memulainya.
Jadi sampai kapankah kita mau menunda-nunda sesuatu yang harus kita kerjakan? Nanti? Sampai kapan?

0 comments