Seperti
sebuah kebiasaan lumrah ketika banyak dari kita (termasuk yang nulis) menunda-nunda sesuatu untuk dikerjakan. Berjuta-juta
alasan A-Z seringkali menyelimuti penundaan-penundaan yang tiada henti berlandaskan
“nanti dan nanti”. Entah karena terlalu mudah atau terlalu sukar. Entah kita
yang tak berbakat atau kurang percaya diri. Entah kita yang mudah menyerah atau
justru malah terlalu perfeksionis terhadap hasil. Atau kita sendiri yang tidak
tahu harus bagaimana.
Pada
dasarnya menunda-nunda sesuatu yang harus kita kerjakan tidak lantas membuatnya
menjadi lebih mudah. Atau lebih kecil dari seharusnya. Ditunda sampai kapanpun
wujudnya akan tetap sama. Bukit yang akan kita daki takkan pernah menjadi datar
dengan kita menunggu. Jadi kenapa masih berpikir untuk menunda? Toh apa yang
kita tunda tetap harus dikerjakan juga. Dengan menunda, justru kita memberi
kesempatan hasil pekerjaan kita tidak maksimal. Yang lebih parah malah tidak
selesai bahkan tidak terjamah sama sekali.
Kebiasaan
menunda adalah sebuah stimulus pada otak agar kita terus melakukan hal yang
sama. Ketika otak terus dijejali stimulus yang sama, secara otomatis organ-organ
tubuhpun akan merespon hal yang sama. Pada akhirnya, jika terus-terusan
dibiarkan, pekerjaan menunda adalah pilihan tepat yang kita lakukan setiap kali
kita harus mengerjakan sesuatu. Kebiasaan menunda memang seperti sebuah
penyakit yang akan terus menggerogoti penderitanya. Semakin didiamkan ia akan terus
menjalar ke seluruh tubuh.
Nanti dan nanti...
Hanyalah
sebuah pelarian diri dari ketidakmampuan melawan diri sendiri yang selalu bersandar
pada alasan-alasan abstrak. Seolah bergemuruh suara-suara pikiran yang menyuruh
untuk bilang “nanti dan nanti”. Seolah semua indera tak bisa bergerak untuk
memulai karena dihalangi bisikan “nanti dan nanti”. Atau begitu mudahnya
teralihkan dengan hal-hal tak substansial karena godaan “nanti dan nanti”.
Daripada
kita terus berkutat pada “nanti dan nanti” yang menjadikan semuanya tertunda. Kenapa
tidak kita buat semua hal itu sederhana. Pertama, kita ganti waham “nanti dan
nanti” dengan ‘sekarang dan sekarang’. Itu jauh lebih baik. Selanjutnya
segeralah memulai. Memang berat untuk memulai, sayapun mengakuinya. Berat sekali.
Butuh tenaga penuh dan ekstra untuk melakukannya. Tapi percayalah, mau berusaha
sedikit dengan hal kecil saja, dampaknya sudah luar biasa. Yang perlu kita
lakukan hanya satu, memulainya.
Jadi
sampai kapankah kita mau menunda-nunda sesuatu yang harus kita kerjakan? Nanti?
Sampai kapan?
0 comments
Post a Comment