Nyinyir.
Dimanapun berada, entah kenapa saya sering sekali nyinyir melihat tingkah laku
orang sekitar yang saya lihat. Saking seringnya, tanpa saya sadari, nyinyir itu
telah menjadi sebuah kebiasaan yang sudah melekat dan sulit untuk dihilangkan.
Seperti sebuah skill terlatih yang mubazir kalau tidak digunakan.
Bibit-bibit
tumbuhnya kebiasaan nyinyir dalam diri saya dimulai waktu saya masih SMP (walaupun saya sekolah di MTs). Entah
kenapa semenjak saat itu saya sering melihat hal-hal yang mengundang kenyinyiran
dari orang-orang sekitar dan seringkali jadi bahasan bersama teman-teman
ngobrol saya. Waktu itu saya belum sadar hingga kebiasaan nyinyir itu terus
hinggap dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Sebelum
memasuki inti dari post kali ini, saya akan mengajak flash back dulu ke masa dimana dan bagaimana nyinyir menjadi
kebiasaan yang sering saya lakukan. Mungkin ini bukanlah tindakan yang terpuji
dan sebaiknya tidak ditiru. Tapi biarpun begitu, saya percaya bahwa saya
bukanlah satu-satunya orang yang mempunyai kebiasaan nyinyir. Oh ya, saya tambahin sedikit bahwasanya orang nyinyir itu berbeda dengan yang disebut orang sebagai haters.
Saya
mulai dari zaman SMP. Hal pertama yang mengundang kenyinyiran saya adalah
sekolah. Dimana saya sering melihat anak-anak perempuan yang kulit mukanya beda
warna dengan kulit lehernya a.k.a kulit muka lebih putih dari kulit leher. Yang
membuat nyinyir, warna putihnya itu lho, apa ya? Palsu gitu lah. Atau mungkin
mereka memang suka gradasi warna kulit yang palsu? Saya tidak tahu. Selain itu,
saya suka tak habis pikir ketika ada anak-anak perempuan yang disekolahnya
biasa-biasa saja, cenderung tak terekspos malah, tapi bisa begitu liar dan
menor kalau lagi diluar sekolah. Memang sih tidak semua anak seperti itu tapi
yang saya sebutkan tadi juga tidak sedikit.
Sepintas
saya berpikir, kenapa sih ke sekolah saja mesti dandan dan membuat kulit muka
kayak perasan air beras? Kenapa nggak tampil biasa saja, apa adanya? Toh
disekolah juga kerjanya gitu-gitu doang! Tapi saya laki-laki, tidak mengerti
jalan pikiran mereka. Mungkin apa yang saya pikirkan tidak sesederhana seperti
yang mereka pikirkan. Bisa saja dengan begitu mereka merasa lebih baik dari
kelihatannya. Tapi tetap saja, saya malah nyinyir dibuatnya.
Saya
mencoba berpikir lagi, mungkinkah ini ada hubungannya dengan definisi cantik dimasyarakat
yang salah kaprah tapi sudah menjadi pakem yang mutlak bahwa cantik harus
seperti ini, harus seperti itu? Putih misalnya. Karena alasan itulah mungkin remaja
dan perempuan berlomba-lomba membuat kulit mereka putih seputih-putihnya agar
mereka menjadi lebih cantik walaupun hanya berupa kamuflase guna menutupi
kodrat warna kulit yang dikasih Tuhan.
Kemudian
saya berpikir lagi. Menurut saya ada kesalahan dengan konsep iklan produk-produk
kecantikan yang bertebaran dimasyarakat. Dimana yang sering saya lihat adalah iklan-iklan
produk kecantikan di Indonesia berlomba-lomba memasang wajah-wajah cantik dan
putih sebagai modelnya. Seolah mengintimidasi remaja atau perempuan di
Indonesia bahwa dengan memakai produknya mereka bisa seputih dan secantik model tersebut. Saya suka
merasa aneh melihat Raisa, Chelsea Islan dll jadi model iklan produk
kecantikan. Ya, mereka mah sudah cantik dan putih dari sananya. Mau digimanain
juga mereka mah sudah cantik (tssah!).
Seharusnya produk-produk kecantikan itu berebut menjadikan perempuan-perempuan
seperti Nam di ‘Crazy Little Thing Called Love’ menjadi model/bintang iklan. Atau
Aurel (mungkin) pada saat ia merilis single+klip ‘Dimarahi Tuhan’. Itu justru
lebih logis menurut saya.
Ok,
kita kita tinggalkan kenyinyiran yang pertama, kita lanjut pada kenyinyiran
yang kedua. Ini terjadi saat saya SMA. Hal yang membuat saya nyinyir di SMA
adalah soal musik. Sebagai seorang yang dulunya anak band (ngakunya), saya seringkali melakukan kebiasaan nyinyir melihat
orang-orang yang dalam playlist lagu dihandphone-nya mengoleksi lagu-lagu dari
band macam Salju, Mahkota dan sebangsanya. Lebih nyinyir lagi kalau mereka
memutar lagu-lagu itu keras-keras. Ingin sekali rasanya menghapusnya. Saya
pernah melihat ada orang naik motor yang dipasangin speaker terus muter-muter
gak jelas dijalan sambil mutarin lagu Mahkota. Itu sungguh sangat menyiksa. Selera
musik orang ternyata membuat saya nyinyir.
Waktu
itu saya termasuk orang yang nyinyir sama musik dangdut (mungkin juga sampai sekarang). Bukan karena apa, musik dangdut
yang saya kenal waktu kecil sangat jauh berbeda dengan musik dangdut saat itu
(SMA) dan saat ini. Musik dangdut dalam era baru kebanyakan absurdnya. Mulai
dari judul, lirik sampai goyangan, sama absurdnya. Banyak lirik-lirik lagu yang
absurd menurut saya. Lirik-lirik macam, “susu yang inilah, susu yang itulah”,
“wanita punya lubang buaya”. Woi! Itu apaan? Absurd! Sumpah! Dan parahnya itu
hanya sebagian kecil saja. Karena masih banyak lirik-lirik dan judul lain yang tak
kalah absurd.
Terus
goyangan, entah para penyanyi dangdut zaman sekarang terlampau kreatif atau
gimana sampai bisa menemukan goyangan yang sangat absurd bahkan membuat saya
speechless. Ambil contoh goyang dribble.
Itu apaan lagi? Absurd! Sumpah! Kenapa dangdut ‘is the musik of country’ menjadi begini? Kemana musik dangdut yang
saya kenal waktu kecil dulu? Saya rindu musik dangdut yang dulu.
Tak
berhenti sampai disitu, para pencipta lagu dangdut zaman sekarang juga sama
kreatifnya sampai bisa bikin lagu persis seperti lagu yang sudah ada. Coba deh
dengerin ‘Pusing Pala Barbie’-nya Putri Bahar terus dengerin ‘All About That
Bass’-nya Meghan Trainor! Dijamin terkagum. Kabar baiknya, lagu ‘Pusing Pala
Barbie’ bukanlah satu-satunya lagu dangdut yang mirip dengan lagu lain.
Lanjut!
Saya
menjalani periode SMA kira-kira kisaran tahun 2007-2010. Pada periode itu,
happening banget yang namanya social media. Nah socmed inilah yang mengundang
kenyinyiran saya berikutnya. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena tingkah
laku orang-orang di socmed itu sendiri. Saya sendiri pernah membuat akun
facebook waktu itu namun hanya berumur satu hari, saya langsung tinggalkan,
non-aktifkan dan tak pernah dibuka-buka lagi. Karena saya tak tahan untuk tidak
nyinyir melihat tingkah polah pengguna socmed. Mulai dari masang nama yang
aneh-aneh. Sampai saya merasa bodoh karena tak bisa membacanya. Bahkan sampai
mulut saya berbusa. Entah nama mereka dikasih nama seperti itu sama orang tua
mereka atau bagaimana, saya tidak mengerti. Terus majang profil picture yang
sama anehnya. Pose-pose absurd dan saya tidak tahu menyebutnya itu apa. Ada
juga yang masang foto selebritis sebagai profil picture. Mau ngapain coba?
Emang situ nggak punya muka?
Itu
hanya sebagian kecil, masih ada kenyinyiran yang saya dapat dari socmed. Entah
kenapa, adanya istilah update status menjadi begitu mengundang kenyinyiran.
Masalahnya adalah adanya update status justru membuat banyak orang menjadi hobi
mengeluh. Kayaknya hidup sebagai anak SMA itu berat banget buat mereka. Apa-apa
yang terjadi mengeluh. Ujian sedikit, mengeluh. Remidial sedikit, mengeluh. Dan
masih banyak hal lain yang dikeluhkan seolah itu cobaan hidup yang berat
sekali. Yang membuat saya semakin nyinyir adalah orang yang berdoa di socmed.
Saya bukanlah orang religius, tapi itu, apa maksudnya? Apakah dengan berdoa di
socmed Tuhan semakin mendengar doa kita? Itu belum ditambah gaya penulisannya.
Entah menemukan dari literatur mana dan siapa pencetusnya tapi tata cara
penulisan bahasa Indonesia yang mereka buat membuat mata saya sakit.
Kenyinyiran-kenyinyiran
yang terjadi karena socmed membuat saya memutuskan untuk tidak mendekati socmed
lagi. Saya cukup idealis untuk hal itu. Dan selama SMA saya berhasil
melakukannya (hore!) dan itu
berlanjut sampai saya kuliah. Dengan idealisme yang saya anut, saya adalah
satu-satunya mahasiswa baru yang tak punya akun facebook atau twitter. Waktu perkuliahan
bergulir saya masih idealis untuk tidak mendekati socmed. Hingga setahun berlalu,
idealisme sayapun luluh. Berbedanya kehidupan sekolah dan kuliah menuntut saya
harus punya akun socmed. Dan pada akhirnya, dengan alasan “kebutuhan” sayapun membuat akun facebook untuk kedua kalinya,
namun yang ini tidak akan saya tinggalkan dan non-aktifkan seperti yang dulu.
Satu pelajaran yang saya dapat dari situ adalah “KEBUTUHAN MERUNTUHKAN IDEALISME”.
Mungkin
itulah beberapa hal yang membuat saya nyinyir. Dan daripada terus
panjang-panjang tak ada juntrungan, sebaiknya saya lanjutkan pada inti dari
post kali ini. Jadi, intinya adalah nggak ada! LOL.
Ok
jadi begini, faktor bertambahnya usia, sedikit banyaknya mampu berpengaruh dan membuat
pola pikir kita berubah. Bukan hanya tentang apa yang kita lihat, dengar dan
rasakan. Tapi tentang bagaimana cara kita memandang kehidupan dengan segala
problema dibaliknya. Kehadiran orang-orang baru dan berbeda turut menghadirkan pemikiran,
pandangan dan pengalaman baru. Hal itu
berjalan beriringan bersama apa yang terjadi disekitar kita. Darisana mungkin kita
bisa tahu ada diposisi mana kita seharusnya.
Apa
yang telah saya sebutkan diatas perlahan memuat mata saya terbuka, terutama
soal kebiasaan saya yang suka nyinyir. Saya sadar bahwa banyak hal yang menurut
saya tidak menarik, menyebalkan, ngeselin dan ujung-ujungnya membuat nyinyir,
justru itulah (mungkin) yang membuat orang lain bahagia. Ya, kita harus
mengerti kebahagiaan orang lain walaupun itu tidak menarik untuk kita (Ernest
Prakasa). Karena seringnya, orang lain yang bahagia, kita nggak terganggu, tapi
kita yang nyinyir (Ernest Prakasa). Dan itu memang sering terjadi pada diri kita,
termasuk saya.
Oleh
karena itu, saya sedang belajar untuk nggak nyinyir lagi atau setidaknya
mengurangi nyinyir itu sendiri. Karena saya menyadari, bahwa apa yang saya
lakukan didunia nyata maupun maya, selera musik atau film saya, penampilan,
dandanan atau cara berjalan saya, mungkin juga sebenarnya mengundang kenyinyiran
buat orang-orang.
Dan terkadang, kita nyinyir karena kita tidak berada pada
posisi dari apa yang kita nyinyirkan. Misalkan. Senyinyir-nyinyirnya anda sama
sinetron GGS kalau anda ditawari jadi pemerannya terus dibayar mahal, berpikir
untuk menolakkah anda? Atau senyinyir-nyinyirnya anda sama acara pernikahan
live atau lahiran di TV, kalau anda justru yang ada diposisi itu, bagaimana
sikap anda? Senyinyir-nyinyirnya musisi sama acara musik (katanya) pagi,
buktinya masih ada saja yang mau tampil disitu. Sedikitnya hal itu menjadi
bahan pemikiran buat saya. Memang masih banyak diantara kita yang idealis tapi
tak sedikit juga yang munafik.
Pada
akhirnya, saya sering berpikir dua kali untuk melakukan nyinyir. Ya, karena
cara orang-orang untuk bahagia memang berbeda dan kadang kita tak mengerti
karenanya. Tapi kita juga harus menghargai dan menghormatinya. Terserah orang
mau berbuat apa dan bagaimana, kalau memang tidak mengganggu, buat apa kita
nyinyir. Tapi kalau memang masih ingin nyinyir dan tak tahan untuk tidak nyinyir,
ya bebaslah mau nyinyir atau nggak. Karena saya juga masih sering gagal untuk
tidak nyinyir melihat apa yang terjadi. Tapi tulisan ini, setidaknya
mengingatkan saya untuk tidak nyinyir sama orang atau apapun yang memang
mengundang kenyinyiran.
0 comments
Post a Comment