Tuesday, February 24, 2015

Nyinyir

Nyinyir. Dimanapun berada, entah kenapa saya sering sekali nyinyir melihat tingkah laku orang sekitar yang saya lihat. Saking seringnya, tanpa saya sadari, nyinyir itu telah menjadi sebuah kebiasaan yang sudah melekat dan sulit untuk dihilangkan. Seperti sebuah skill terlatih yang mubazir kalau tidak digunakan.
Bibit-bibit tumbuhnya kebiasaan nyinyir dalam diri saya dimulai waktu saya masih SMP (walaupun saya sekolah di MTs). Entah kenapa semenjak saat itu saya sering melihat hal-hal yang mengundang kenyinyiran dari orang-orang sekitar dan seringkali jadi bahasan bersama teman-teman ngobrol saya. Waktu itu saya belum sadar hingga kebiasaan nyinyir itu terus hinggap dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Sebelum memasuki inti dari post kali ini, saya akan mengajak flash back dulu ke masa dimana dan bagaimana nyinyir menjadi kebiasaan yang sering saya lakukan. Mungkin ini bukanlah tindakan yang terpuji dan sebaiknya tidak ditiru. Tapi biarpun begitu, saya percaya bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang mempunyai kebiasaan nyinyir. Oh ya, saya tambahin sedikit bahwasanya orang nyinyir itu berbeda dengan yang disebut orang sebagai haters.
Saya mulai dari zaman SMP. Hal pertama yang mengundang kenyinyiran saya adalah sekolah. Dimana saya sering melihat anak-anak perempuan yang kulit mukanya beda warna dengan kulit lehernya a.k.a kulit muka lebih putih dari kulit leher. Yang membuat nyinyir, warna putihnya itu lho, apa ya? Palsu gitu lah. Atau mungkin mereka memang suka gradasi warna kulit yang palsu? Saya tidak tahu. Selain itu, saya suka tak habis pikir ketika ada anak-anak perempuan yang disekolahnya biasa-biasa saja, cenderung tak terekspos malah, tapi bisa begitu liar dan menor kalau lagi diluar sekolah. Memang sih tidak semua anak seperti itu tapi yang saya sebutkan tadi juga tidak sedikit.
Sepintas saya berpikir, kenapa sih ke sekolah saja mesti dandan dan membuat kulit muka kayak perasan air beras? Kenapa nggak tampil biasa saja, apa adanya? Toh disekolah juga kerjanya gitu-gitu doang! Tapi saya laki-laki, tidak mengerti jalan pikiran mereka. Mungkin apa yang saya pikirkan tidak sesederhana seperti yang mereka pikirkan. Bisa saja dengan begitu mereka merasa lebih baik dari kelihatannya. Tapi tetap saja, saya malah nyinyir dibuatnya.
Saya mencoba berpikir lagi, mungkinkah ini ada hubungannya dengan definisi cantik dimasyarakat yang salah kaprah tapi sudah menjadi pakem yang mutlak bahwa cantik harus seperti ini, harus seperti itu? Putih misalnya. Karena alasan itulah mungkin remaja dan perempuan berlomba-lomba membuat kulit mereka putih seputih-putihnya agar mereka menjadi lebih cantik walaupun hanya berupa kamuflase guna menutupi kodrat warna kulit yang dikasih Tuhan.
Kemudian saya berpikir lagi. Menurut saya ada kesalahan dengan konsep iklan produk-produk kecantikan yang bertebaran dimasyarakat. Dimana yang sering saya lihat adalah iklan-iklan produk kecantikan di Indonesia berlomba-lomba memasang wajah-wajah cantik dan putih sebagai modelnya. Seolah mengintimidasi remaja atau perempuan di Indonesia bahwa dengan memakai produknya mereka bisa seputih dan secantik model tersebut. Saya suka merasa aneh melihat Raisa, Chelsea Islan dll jadi model iklan produk kecantikan. Ya, mereka mah sudah cantik dan putih dari sananya. Mau digimanain juga mereka mah sudah cantik (tssah!). Seharusnya produk-produk kecantikan itu berebut menjadikan perempuan-perempuan seperti Nam di ‘Crazy Little Thing Called Love’ menjadi model/bintang iklan. Atau Aurel (mungkin) pada saat ia merilis single+klip ‘Dimarahi Tuhan’. Itu justru lebih logis menurut saya.
Ok, kita kita tinggalkan kenyinyiran yang pertama, kita lanjut pada kenyinyiran yang kedua. Ini terjadi saat saya SMA. Hal yang membuat saya nyinyir di SMA adalah soal musik. Sebagai seorang yang dulunya anak band (ngakunya), saya seringkali melakukan kebiasaan nyinyir melihat orang-orang yang dalam playlist lagu dihandphone-nya mengoleksi lagu-lagu dari band macam Salju, Mahkota dan sebangsanya. Lebih nyinyir lagi kalau mereka memutar lagu-lagu itu keras-keras. Ingin sekali rasanya menghapusnya. Saya pernah melihat ada orang naik motor yang dipasangin speaker terus muter-muter gak jelas dijalan sambil mutarin lagu Mahkota. Itu sungguh sangat menyiksa. Selera musik orang ternyata membuat saya nyinyir.
Waktu itu saya termasuk orang yang nyinyir sama musik dangdut (mungkin juga sampai sekarang). Bukan karena apa, musik dangdut yang saya kenal waktu kecil sangat jauh berbeda dengan musik dangdut saat itu (SMA) dan saat ini. Musik dangdut dalam era baru kebanyakan absurdnya. Mulai dari judul, lirik sampai goyangan, sama absurdnya. Banyak lirik-lirik lagu yang absurd menurut saya. Lirik-lirik macam, “susu yang inilah, susu yang itulah”, “wanita punya lubang buaya”. Woi! Itu apaan? Absurd! Sumpah! Dan parahnya itu hanya sebagian kecil saja. Karena masih banyak lirik-lirik dan judul lain yang tak kalah absurd.
Terus goyangan, entah para penyanyi dangdut zaman sekarang terlampau kreatif atau gimana sampai bisa menemukan goyangan yang sangat absurd bahkan membuat saya speechless. Ambil contoh goyang dribble. Itu apaan lagi? Absurd! Sumpah! Kenapa dangdut ‘is the musik of country’ menjadi begini? Kemana musik dangdut yang saya kenal waktu kecil dulu? Saya rindu musik dangdut yang dulu.
Tak berhenti sampai disitu, para pencipta lagu dangdut zaman sekarang juga sama kreatifnya sampai bisa bikin lagu persis seperti lagu yang sudah ada. Coba deh dengerin ‘Pusing Pala Barbie’-nya Putri Bahar terus dengerin ‘All About That Bass’-nya Meghan Trainor! Dijamin terkagum. Kabar baiknya, lagu ‘Pusing Pala Barbie’ bukanlah satu-satunya lagu dangdut yang mirip dengan lagu lain.
Lanjut!
Saya menjalani periode SMA kira-kira kisaran tahun 2007-2010. Pada periode itu, happening banget yang namanya social media. Nah socmed inilah yang mengundang kenyinyiran saya berikutnya. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena tingkah laku orang-orang di socmed itu sendiri. Saya sendiri pernah membuat akun facebook waktu itu namun hanya berumur satu hari, saya langsung tinggalkan, non-aktifkan dan tak pernah dibuka-buka lagi. Karena saya tak tahan untuk tidak nyinyir melihat tingkah polah pengguna socmed. Mulai dari masang nama yang aneh-aneh. Sampai saya merasa bodoh karena tak bisa membacanya. Bahkan sampai mulut saya berbusa. Entah nama mereka dikasih nama seperti itu sama orang tua mereka atau bagaimana, saya tidak mengerti. Terus majang profil picture yang sama anehnya. Pose-pose absurd dan saya tidak tahu menyebutnya itu apa. Ada juga yang masang foto selebritis sebagai profil picture. Mau ngapain coba? Emang situ nggak punya muka?
Itu hanya sebagian kecil, masih ada kenyinyiran yang saya dapat dari socmed. Entah kenapa, adanya istilah update status menjadi begitu mengundang kenyinyiran. Masalahnya adalah adanya update status justru membuat banyak orang menjadi hobi mengeluh. Kayaknya hidup sebagai anak SMA itu berat banget buat mereka. Apa-apa yang terjadi mengeluh. Ujian sedikit, mengeluh. Remidial sedikit, mengeluh. Dan masih banyak hal lain yang dikeluhkan seolah itu cobaan hidup yang berat sekali. Yang membuat saya semakin nyinyir adalah orang yang berdoa di socmed. Saya bukanlah orang religius, tapi itu, apa maksudnya? Apakah dengan berdoa di socmed Tuhan semakin mendengar doa kita? Itu belum ditambah gaya penulisannya. Entah menemukan dari literatur mana dan siapa pencetusnya tapi tata cara penulisan bahasa Indonesia yang mereka buat membuat mata saya sakit.
Kenyinyiran-kenyinyiran yang terjadi karena socmed membuat saya memutuskan untuk tidak mendekati socmed lagi. Saya cukup idealis untuk hal itu. Dan selama SMA saya berhasil melakukannya (hore!) dan itu berlanjut sampai saya kuliah. Dengan idealisme yang saya anut, saya adalah satu-satunya mahasiswa baru yang tak punya akun facebook atau twitter. Waktu perkuliahan bergulir saya masih idealis untuk tidak mendekati socmed. Hingga setahun berlalu, idealisme sayapun luluh. Berbedanya kehidupan sekolah dan kuliah menuntut saya harus punya akun socmed. Dan pada akhirnya, dengan alasan “kebutuhan” sayapun membuat akun facebook untuk kedua kalinya, namun yang ini tidak akan saya tinggalkan dan non-aktifkan seperti yang dulu. Satu pelajaran yang saya dapat dari situ adalah “KEBUTUHAN MERUNTUHKAN IDEALISME”.
Mungkin itulah beberapa hal yang membuat saya nyinyir. Dan daripada terus panjang-panjang tak ada juntrungan, sebaiknya saya lanjutkan pada inti dari post kali ini. Jadi, intinya adalah nggak ada! LOL.
Ok jadi begini, faktor bertambahnya usia, sedikit banyaknya mampu berpengaruh dan membuat pola pikir kita berubah. Bukan hanya tentang apa yang kita lihat, dengar dan rasakan. Tapi tentang bagaimana cara kita memandang kehidupan dengan segala problema dibaliknya. Kehadiran orang-orang baru dan berbeda turut menghadirkan pemikiran,  pandangan dan pengalaman baru. Hal itu berjalan beriringan bersama apa yang terjadi disekitar kita. Darisana mungkin kita bisa tahu ada diposisi mana kita seharusnya.
Apa yang telah saya sebutkan diatas perlahan memuat mata saya terbuka, terutama soal kebiasaan saya yang suka nyinyir. Saya sadar bahwa banyak hal yang menurut saya tidak menarik, menyebalkan, ngeselin dan ujung-ujungnya membuat nyinyir, justru itulah (mungkin) yang membuat orang lain bahagia. Ya, kita harus mengerti kebahagiaan orang lain walaupun itu tidak menarik untuk kita (Ernest Prakasa). Karena seringnya, orang lain yang bahagia, kita nggak terganggu, tapi kita yang nyinyir (Ernest Prakasa). Dan itu memang sering terjadi pada diri kita, termasuk saya.
Oleh karena itu, saya sedang belajar untuk nggak nyinyir lagi atau setidaknya mengurangi nyinyir itu sendiri. Karena saya menyadari, bahwa apa yang saya lakukan didunia nyata maupun maya, selera musik atau film saya, penampilan, dandanan atau cara berjalan saya, mungkin juga sebenarnya mengundang kenyinyiran buat orang-orang. 
Dan terkadang, kita nyinyir karena kita tidak berada pada posisi dari apa yang kita nyinyirkan. Misalkan. Senyinyir-nyinyirnya anda sama sinetron GGS kalau anda ditawari jadi pemerannya terus dibayar mahal, berpikir untuk menolakkah anda? Atau senyinyir-nyinyirnya anda sama acara pernikahan live atau lahiran di TV, kalau anda justru yang ada diposisi itu, bagaimana sikap anda? Senyinyir-nyinyirnya musisi sama acara musik (katanya) pagi, buktinya masih ada saja yang mau tampil disitu. Sedikitnya hal itu menjadi bahan pemikiran buat saya. Memang masih banyak diantara kita yang idealis tapi tak sedikit juga yang munafik.
Pada akhirnya, saya sering berpikir dua kali untuk melakukan nyinyir. Ya, karena cara orang-orang untuk bahagia memang berbeda dan kadang kita tak mengerti karenanya. Tapi kita juga harus menghargai dan menghormatinya. Terserah orang mau berbuat apa dan bagaimana, kalau memang tidak mengganggu, buat apa kita nyinyir. Tapi kalau memang masih ingin nyinyir dan tak tahan untuk tidak nyinyir, ya bebaslah mau nyinyir atau nggak. Karena saya juga masih sering gagal untuk tidak nyinyir melihat apa yang terjadi. Tapi tulisan ini, setidaknya mengingatkan saya untuk tidak nyinyir sama orang atau apapun yang memang mengundang kenyinyiran.

0 comments